Pertemuan Istri Pertama dan Kedua
"Jangan memperlakukanku seperti penjahat! Kalau tidak, kalian akan menyesal!" Zaki mengancam.
"Ya, lakukan itu kalau kamu bisa!" jawab polisi yang menangkapnya. Pria itu baru saja keluar dari mobil sementara sejak tadi, Zaki diurus oleh rekannya sepanjang perjalanan.
Ia tak peduli dianggap kasar dan semena-mena oleh penjahat berdarah dingin sepertinya.
"Permisi." Seorang pria membuat polisi yang membawa Zaki menoleh. Begitu pun Zaki. Dokter muda itu mengenalnya, tapi ia memilih tak peduli dan diam. Memalukan sekali, diseret polisi dalam kondisi terborgol.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya polisi itu pada pria yang baru datang
"Saya ingin bertemu, seorang kenalan. Dia beberapa hari lalu ditangkap polisi." Subakhi menjelaskan maksud kedatangannya. Namun, ia terhenyak kala melihat seorang pria yang menunduk dan melihat ke arah lain, seolah menyembunyikan jati dirinya.
Subakhi menautkan alis. "Dokter Zaki
Saat Semua Jelas"Tolong ambilkan saya air," ucap Adelia yang merasa kerongkongannya terlalu kering. Banyak sekali pertanyaan menurutnya, yang polisi itu ajukan, padahal dia belum lama bisa berpikir normal."Ah ya." Seorang polisi wanita segera bergerak ke nakas. Menunmpah air dicerek yang sudah perawat siapkan untuk pasien. Kamar VVIP itu memang tampak tak biasa, lebih mirip kamar hotel yang di dalamnya ada sebuah ranjang empuk berisi pasien.Fasilitas tiudr, toilet, kursi tamu dan televisi besar yang menempel di dinding dengan interior mewah. Polisi yang mereka dari kalangan menengah, bahkan sampai geleng-geleng takjub melihat."Saya hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan jika tak masalah. Namun, tugas utama saya adalah menjaga kondisi pasien. Jadi Ibu bisa menjelaskan keluhan yang dirasakan." Seorang polisi yang memegang bolpoin dan buku di tangan mengucap pada Adelia yang tengah meneguk minuman dalam gelas yang disodorkan rekannya. Ia merasa meski
Menguatkan Posisinya sebagai Seorang Istri"Ini barangkali bisa membantu," ucap seorang pria berusia 30 tahun. Pria yang bernama Herman Faris itu menyodorkan sebuah amplop besar berisi hasil pekerjaannya.Yusuf memang tak mau dia menjadi pengacara yang mengurus kasusnya. Akan tetapi pria itu bekerja untuk Eksha, dan pimpinan Eksha Group itu menginginkannya melakukan pekerjaan di balik layar dengan memberikans semua analisa dan hasil penyelidikannya pada pengacara yang disewa Yusuf."Apa ini?" tanya pengacara Yusuf yang meraih amplop tersebut dan mengintip isi, dengan membuka bagian penutupnya."Berkas. Foto. Fakta yang terjadi. Anda bisa memakai itu untuk menguatkan posisi Yusuf." Pria itu menyahut."Kenapa Anda memberikan ini?" tanya pengacara Yusuf heran."Anda tidak mau?" Herman Faris balik bertanya.Balik ditanya, orang yang disewa Yusuf itu mendecih. Lalu diambil coffee latte yang masih mengepulkan asap tipis-tipis di depannya.
Wanita yang Tak Bisa Mengambil Pelajaran"Akhirnya Om kemari." Alex memeluk pria paruh baya yang datang mengunjunginya.Jika dulu Subakhi akan membalas pelukan itu, meski dengan hanya menepuk pundaknya. Kini pria itu bersikap dingin dengan hanya diam saja.Alex yang merasakan hal itu, pria yang mengenakan pakaian berwarna orange tersebut menjauhkan tubuhnya sambil mencebik."Yah, baiklah. Om, sudah berubah terhadapku." Alex melepas tangan dari tubuh gembul Subakhi lalu duduk lebih dulu ke kursi.Subakhi sendiri yang sebenarnya merasa malasp bertemu Alex mendesah panjang sebelum akhirnya ikut duduk di seberang pria itu."Aku tahu Om akan ke sini. Mengingat sudah banyak hal yang kita lalui bersama.""Diamlah! Kalau bukan karena Mamimu merengek dan mengungkit kebaikanmu aku tentu tak akan ke sini. Kesannya aku harus membayar apa yang sudah kamu lakukan untuk keluargaku. Jadi ini, kukira kamu tulus tanpa pamrih mendekati kami.""Ha
Adil atau Lepaskan"Terima kasih, Om." Alex yang sudah bangkit dan akan kembali ke sel mengucap basa-basi.Subakhi hanya menanggapi dengan tersenyum masam. Pemuda yang menurutnya berlebihan dalam bersikap. Semua kebaikan Alex yang dulu pernah tampak di matanya kini bernilai nol, karena mengungkit dan menunjukkan bahwa semuanya palsu, dan tak tulus.Untung saja Subakhi tak sempat menjodohkan Hanna. Kalau saja terjadi entah, Hanna pasti akan sangat menderita hidup dengan pria semacam Alex."Oh ya, Om." Alex berbalik. Memanggil Subakhi yang sudah bangkit dan juga akan pergi.Pria paruh baya itu pun berhenti. Lalu, membalik tubuh menatap pada Alex. Barangkali ada info yang tertinggal. Meski aslinya malas berlama-lama bicara dengannya."Apa Om tidak tahu kalau menantu kesayangan Om masuk ke sel ini?" tanya Alex dengan mengangkat kedua alisnya.Subakhi terdiam. Dia hampir saja lupa, bahwa Yusuf pun ada di sini, seperti info yang didapatnya
Hanna : "Dia hanya Mencintaiku!"Hanna menuruni anak-anak tangga setelah tahu ada tamu yang datang. Kakinya baru menjejaki separuh tangga itu, pintu sudah dibuka oleh Arista. Tampak sosok seorang pria paruh baya sudah berdiri di bawah sana."Papa?!"Subakhi mengucap salam sebelum memasuki rumah besar tersebut, sembari tersenyum tipis pada Arista yang membukakan pintu."Assalamuallaikum.""Waallaikumussalam." Arista menyahut. "Silakan masuk, Tuan."Subakhi mengangguk. Tak lama Hanna yang sudah berada di depannya meraih tangan pria itu dan mencium punggungnya."Mama gak ikut?" tanya Hanna sambil celingukan.Subakhi menoleh. "Papa baru pulang dari penjara, dan langsung ke sini.""Oh." Mulut Hanna membulat. Memang tak mungkin mamanya akan ikut ke penjara. Apalagi tadi dia mendengar sekilas, Indah bilang Zio sedang sakit.Ia merasa bersalah, tak peduli pada kondisi ponakannya dan hanya fokus pada dirinya sendiri.
Wewenang Istri PertamaSeorang wanita menatap bayi dalam inkubator dengan tangis yang tak dapat ditahan."Kamu baik-baik saja kan, Nak?" tanya Adelia, mengusap kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan sang anak."Maafin, mama, ya. Kamu harus kuat. Supaya kita bisa berkumpul dan membalas perbuatan orang yang merusak hidup mama dan papa. Kalau saja orang itu tak menyentuh mama, pasti papa, mama dan kamu hidup bahagia sekarang." Panjang lebar wanita di atas kursi roda itu bicara. Seolah bayi yang tampak terpejam dan tak bergerak lantaran tertidur itu bisa mendengar dan memahami semua ucapannya.Adelia sebenarnya belum pulih benar. Namun, kemauannya yang kuat mampu memaksa semua orang untuk menuruti kemauannya.Diseka air mata di pipi yang masih tampak pucat tersebut. Adelia kembali bicara pada bayinya."Kenapa silih berganti orang datang mengacaukan hidup kita, Sayang. Belum lagi mama bisa memberi pelajaran orang jahat yang merenggut kesuc
Aku Tak Peduli Dia JahatAdelia duduk dengan tenang di atas kursi roda yang membawanya. Sementara seorang pria berdiri di sampingnya. Pria itulah yang sedari tadi memencet bel rumah berkali- kali atas perintah Adelia.Bean terpaksa melakukan itu, sebab wanita yang mengaku padanya memegang penuh wewenang atas kehidupan dan rumah Yusuf itu memaksa."Em, maafkan saya sudah bertindak kurang ajar, Nyonya." Bean sedikit menunduk, mengakui kesalahannya.Hanna menatap pada pria itu sejenak lalu pada Adelia yang tengah duduk di atas kursi roda. Benar juga, wanita itu tak mungkin memencet bel. Secara tak langsung permintaan maaf Bean adalah pengakuan bahwa dialah yang melakukannya."Kenapa kamu minta maaf?" Adelia mengucap dengan nada lemah, tapi sinis.Bean terdiam. Ia tak mengerti harus berbuat apa pada wanita yang terkesan paling berkuasa itu."Ya, aku maafkan. Karena itu memang sangat tak sopan! Bahkan jika itu rumahmu sendiri, Bean!" Hanna
Jangan Picik!"Bukan saya tak percaya, Tuan. Namun, saya dan semua yang terlibat menyelesaikan kasus ini hanya bisa melihat fakta." Pengacara itu menjelaskan alasannya mengungkap kemauannya agar Yusuf mengikuti kemauan Adelia."Diamlah. Kalau memang kamu tak bisa mempercayaiku, untuk apa kamu berada di tempat ini?!" Yusuf meninggikan suaranya."Aku pikir dia akan berubah setelah kami menikah," ucap Yusuf lemah. Pria mengacak rambutnya kasar, tampak frustrasi dengan keputusan Adelia."Mungkin dia akan berubah, kalau Anda tidak mengkhianatinya, Tuan," ceplos sang pengacara yang masih kukuh pada pendapat sendiri.Hal itu membuat Yusuf sontak mendongak menatap pria itu, hingga ia jadi salah tingkah karena memahami, tatapan yang ditujukan untuknya adalah sebuah tatapan tak terima."Kalau begitu saya permisi. Saya akan mencari bukti lain. Saya akan coba mempercayai Tuan. Dan menguatkan pernyataan Anda." Sang pengacara, membereskan berkas yang semp
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
EP11 - Malam Pertama"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk."Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.Saat itu Adelia memejamkan mata.Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya."Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?""Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP10 - Double Date (3)"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Maya pada Alex."Ke rumah teman. Bentar Mi." Pria yang sedang sibuk mengikat tali sepatu itu menyahut. Melirik sekilas wanita yang selama ini setia menemaninya."Lex, Mami gak mau kamu kena masalah lagi, ya." Maya mengingatkan. Sudah cukup mereka merasakan hidup lebih sulit dari sebelumnya tanpa Alex.Pikir Maya, sekarang ini, dua keluarga kaya itu pasti tengah mengawasi Alex dan mencari-cari kesalahannya."Iya. Mi. Tenang saja." Alex menyahut singkat. Kali ini ia telah berdiri tegak di atas kedua kakinya dan siap bergerak pergi."Aku pamit dulu." Pria itu menunjuk keluar, di mana mobil sudah siap di depan rumah mengantarnya ke mana saja."Ya." Maya melepas putranya dengan kondisi hati yang was-was. Berharap Alex bisa memegang kata-kata, dan tak membuat masalah di luar sana.***"Jadi tadi ... aku bertemu dan bicara dengan Alex, bahkan dia sempat mencengkeram
EP9 - Double Date 2Yusuf menyerah. "Kita bahas soal bulan madu kita saja.""Hah?" Mata Hanna membulat. Semudah itu? "Bu- bukan kita yang bulan madu, tapi mereka Mas.""Tapi kita diajak untuk meramaikan acara mereka." Yusuf tersenyum pada Hanna."Yeah! Itu lebih baik!" Henry berseru senang. Sejak awal pria itu memang terus terlihat senang. Apalagi ini adalah malam pertamanya dengan Adelia.Karena itu juga lah, Yusuf yang sebenarnya sangat kesal, menahan diri untuk tidak marah. Tak etis rasanya kalau harus merusak kebahagiaan pengantin baru karena kesalahan yang menurutnya tak disengaja."Btw, Mas bakal perjalanan bisnis ke mana?" tanya Henry."Ke Inggris. Kami perlu bertemu klien dan memeriksa lapangan untuk memutuskan apakah tanda tangan kontrak atau tidak." Yusuf menjelaskan hal yang tak Henry pahami."Yah ... kenapa ke Inggris. Kami baru mau rencana ke Turkey berkunjung ke Aya Sofia." Henry menyayangkannya."Wah, kali
EP8 - Double DateAlex mondar-mandir gelisah di dekat meja makan. Meski sang mami sudah menyediakan makanan lezat di atas meja, pria itu tampak tak berselera untuk menyantapanya."Lex kenapa tidak segera duduk dan makan?" tanya Maminya heran. Pemuda itu malah mondar-mandir gak jelas, dan membiarkan makanan sampai dingin."Mi, udah dapat telepon dari Tante Risa?" tanya Alex penasaran.Mami Alex menggeleng. "Belum, sabar. Sekarang dia pasti sedang berusaha keras membujuk Om kamu buat maafin kita."***"Waallaikumussalam. Mas Yusuf. Baiknya kamu pulang deh sekarang.""Hah? Pulang?" protes Yusuf. Dia bahkan baru sampai. "Ada apa?""Udah cepetan. Ini aku mumpung baik loh ngasih tau!" teriaknya memaksa di ujung telepon.Yusuf terbengong-bengong. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan kerisauan hatinya. Atau pria itu cuma mengerjainya saja? Henry kan dikenal usil."Bilang deh. Kamu ngerjain aku, ya.
EP7 - Paksaan Henry pada YusufHanna tak ingin mempedulikan Alex dan berjalan begitu saja melewati pria itu. Namun, di saat bersamaan, tangan panjang Alex dengan cepat meraih lengan wanita tersebut. hingga langkah wanita itu terhenti.Merasa tak nyaman dan risih, Hanna menarik kasar tangannya. "Jaga perilakumu!" tekannya mengacungkan jari tepat ke wajah Alex, dengan tatapan tajam pada pria itu."Oke." Alex mengangkat kedua tangannya. Seolah takut pada ancaman Hanna. "Ck. Galak amat. Padahal aku udah berubah jadi anak baik." Senyumnya tipis. Ingin menunjukkan ketulusan pada lawan bicaranya, kalau dia memang sudah berubah.Hanna bergerak mundur, sekira tak lagi sampai Alex meraihnya. Tak ingin berlama-lama meladeni pria yang menurutnya gila, kakinya pun bergerak semakin cepat menjauh.Alex hanya bisa tersenyum. Tak mudah mengambil hati orang-orang yang disakitinya."Yah, semua perlu waktu. Aku akan mencoba memahami itu." Pria itu memiringkan s
EP6 - Apa Maumu, Lex!?Tujuan utama Alex ke rumah Adelia, selain membuat semua orang yang bahagia saat dia di penjara, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, adalah untuk bertemu sosok wanita yang terus dirindukannya, Hanna.Setelah menemui Adelia dan suaminya, ia berkeliling mencari di mana Hanna berada. Namun, setelah mendapati Eksha dan tantenya Risa sudah tak terlihat, ia pun yakin bahwa Hanna juga sudah pulang bersama mertuanya itu. Apalagi Yusuf juga tak terlihat. Sepasang suami istri itu harusnya bersama, jika tak ada salah satunya, berarti satu yang lain pun tak ada.Merasa putus asa, Alex akhirnya memilih pulang saja. Dia bisa meneruskan keinginannya itu di lain waktu, dan beristirahat untuk sekarang. Sepulang dari lapas, punggungnya sama sekali belum bertemu tempat rehat, bahkan sekedar untuk bersandar. Di dalam mobil pun, tanpa sadar ia terus duduk tegap, karena serius menyimak penjelasan pengacara yang dibawa sang mami.Langkah lebar pr
EP5 - Bawa Aku, Mas!"Selamat ya," ucap Alex sembari menyodorkan tangan pada mempelai wanita yang kini sedang beristirahat di ruang ganti. Seluruh make up di wajahnya dibersihkan oleh penata rias.Adelia mengerutkan kening. Ia tampak tak mengenali pria itu, lalu menangkupkan dua tangannya. Kenapa ada pria asing yang bisa masuk ke ruang pribadinya. Keluarga atau kenalan dekat memang masih dibolehkan untuk masuk, tapi ia merasa tak mengenal Alex.Alex tersenyum. Meski kecewa respon yang didapat tak sebaik bayangannya. Dia lalu beralih ke mempelai laki-laki. Pria itu dengan terpaksa meraih tangan Alex."Selamat ya, Dokter em ...." Alex tampak berpikir. Bodohnya tak memperhatikan banner di depan dengan nama sepasang pengantin di sana."Henry. Nama saya Henry." Pria itu tersenyum tipis. Setelah bersalaman Alex pun menjauh."Siapa dia?" bisik Henry yang merasa aneh. Karena bahkan wanita yang sudah sah jadi istrinya itu tak mengenalnya."Ent
EP4 - Turunin, Mas!Hanna baru saja selesai mandi. Wanita itu keluar dari pintu toilet sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil."Kenapa pakai handuk kecil itu? Bakal lama selesainya. Itu ada hair dryer." Yusuf yang tengah menggendong Akhyar menunjuk ke arah lemari.Hanna menggeleng. Nanggung menurutnya. Pakai handuk kering sudah cukup simple tak perlu menyalakan mesin dan menggerakkannya ke kepala. Lagi pula mereka tak sedang buru-buru, karena takut kepergok berduaan di kamar itu."Ck. Pasti sengaja, ya. Mau goda," goda Yusuf dengan menyebut Hanna yang menggodanya."Ish, apa sih, Mas? Baru juga selesai. Masa goda lagi," protes Hanna sambil mencebik, melirik pura-pura kesal ke arah sang suami."Heleh. Pura-pura jaim." Yusuf tak menyerah. "Ya, kan, Dek." Kini tatapannya beralih pada batita dalam gendongan. Rasanya senang saja Hanna kesal, dan hanya memperhatikannya."Hehmh. Mas kali yang jaim. Padahal pengen lagi kan tapi ngomong