‘’Monik kemas semua barang-barang kamu ya.’’ Wanita berkerudung coksu itu melangkah memasuki kamar yang selama ini aku tempati. Aku terdiam sejenak. Tak kan ada lagi aku diganggu oleh papanya Andre. Di satu sisi aku senang bisa pindah dari sini dan di sisi lain aku pun sedih harus berpisah dengan bu Karni dan juga bibi yang selama ini jadi malaikat yang dititipkan Allah untukku. Tak seperti pak Ardi yang begitu sangat membenciku. ‘’Aku jadi pindah pagi ini ya, Bu?’’ tanyaku tanpa menjawab kata bu Karni. ‘’Iya, Monik. Ibu sudah dapat kos untukmu, kebetulan yang punya kos itu adalah teman Ibu. Ibu udah hubungi dia kok, tapi ada anak sekolahan di kos itu, Anak SMA. Apa kamu nggak keberatan?’’ Bu Karni menghenyak di sofa sembari memandangiku. ‘’Gimana ya, Bu,’’ sahutku dilanda kebingungan. ‘’Apa mereka nanti nggak akan menghinaku, Bu? Apalagi sepantaran denganku.’’ Aku memandangi beliau. Yang aku cemaskan saat ini adalah jika anak SMA itu tahu kalau aku hamil tanpa suami, dan mer
‘’Yang ada nantinya Monik tambah makan hati di sini,’’ tambahnya dengan tertawa kecil. Membuat aku ikut tertawa, tapi dalam hati membenarkan ucapan bibi.‘’Ya sudah. Hati-hati ya, Monik. Bibi mau melanjutkan pekerjaan dulu. Nanti biar Bibi yang membawa piring kotor itu ke dapur.’’‘’Iya, Bi. Makasih banyak ya.’’Bibi mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah keluar dari kamar sembari menutup kembali pintu. Aku bergegas menyambar makanan yang belum sempat kusentuh. Sambal gulai cincang, perkedel tahu, dan tempe terletak manis di atas nasiku. Tak lupa minuman segelas susu dan segelas air putih, serta buah mangga yang selesai dipotong kecil jadi pelengkapnya.Beberapa menit kemudian, aku telah selesai sarapan. Kutaruh kembali piring dan nampan itu di nakas. Biar bibi yang nantinya membereskan. Sesaat kemudian bu Karni tiba menghampiriku, karena pintu terbuka jadi baliau bisa masuk saja tanpa aku bukakan.‘’Kamu sudah sarapan?’’ tanya bu Karni menghampiriku yang tengah duduk di ranjang s
‘’Ma, aku tinggal dulu ya. Aku mau ke kantor Papa nih,’’ ucapku sembari duduk di sebelah wanita yang telah melahirkanku beberapa tahun nan lalu.‘’Trus Mama bagaimana?’’ Mama mengernyitkan keningnya.‘’Pake angkot aja, Ma.’’ sahutku. Kulihat sekilas Monik perlahan menggeleng.‘’Kamu ini ya, Ndre.’’ Mama malah ikut menggeleng.‘’Kan Mama tahu sendiri gimana Papa kalo nggak diturutin kemauannya.’’ Aku beranjak dari duduk, lalu melirik Monik sekilas. Entahlah, entah kenapa cintaku padanya tak sebesar dulu. Dulu begitu aku tergila-gila dengannya. Tak ada kabarnya saja sejam membuat kepalaku pusing. Kini kenapa semuanya terasa berubah? Ada apa gerangan? Bahkan aku merasa bosan memandanginya lama-lama. Kenapa cintaku ini begitu cepat pudar seiring berjalannya waktu. Monik yang dahulunya kucintai, Monik yang dahulunya terlihat cantik dan mempesona. Sekarang? Seakan-akan semuanya telah lenyap.‘’Ya udah deh, tapi kamu janji, Ndre. Jangan diturutin semua kemauan Papamu. Yang ada nanti dia m
‘’Ndre!’’ Dia melambaikan tangannya di depanku, membuatku kaget seketika.‘’E—eh, iya. Maaf,’’ sahutku terbata, seketika membuat papa menggelengkan kepala. Aku pun kembali menjabat tangannya yang sejak tadi diulurkannya untuk berkenalan denganku.‘’Kamu baik-baik aja, Ndre?’’ tanya wanita yang bernama Nina itu.‘’Aku baik-baik saja. Apalagi ketemu sama kamu,’’ lirihku sembari meliriknya dengan sebelah mata. Duhh! Tuh kan kata gombalanku malah keluar. ‘’Ahh! Kamu bisa aja, Ndre.’’ Duhh! Dia memegangi tanganku. Kucoba menepisnya perlahan. Papa memandangi kami.‘’Papa tinggalin kalian berdua dulu ya. Papa ada acara meeting hari ini.’’ Papa bergegas bangkit dari kursi kebesarannya. Pasti papa sengaja meninggalkanku dengan Nina, agar dapat berduaan. Dasar papa, memang tahu apa yang kumau. ‘’Nggak apa-apa kok, Om. Kami juga mau nongkrong di cafe,’’ jawabnya sembari memandangiku.‘’Ya udah, kalian hati-hati ya!’’ ‘’Ndre, jaga Nina calonmu.’’ Papa bergegas melangkah keluar, sedangkan aku
‘’Kamu bicara juga dengan Mamaku, ya?’’Aku yakin mama pasti tak kan menyetujui aku menikah dengan Nina. Tapi aku pun sebenarnya tak mampu menolak perjodohan papa. Bagaimana aku mau menolak dijodohkan dengan seorang gadis yang sangat cantik, tak bosan mata memandang. Tetapi disatu sisi aku teringat dengan Monik. Aku sudah berjanji dengan pihak kepolisian. Ahh! Aku harus bagaimana lagi? Apa aku menikah saja dengan Monik untuk sementara dulu?‘’Kok gitu, Ndre?’’ Dia tampak mengernyitkan kening sembari menyuap kebab yang telah terhidang sedari tadi. Aku hanya terdiam sembari tersenyum tipis lalu menyantap kebab yang disuguhkan di depanku. ‘’Papa sama Mamaku itu selalu beda pendapat. Jadi kamu harus bicara juga sama Mamaku, minta restu sama beliau,’’ jelasku setelah menyuap kebab.‘’Ya udah deh, aku akan bicara dengan calon mertuaku itu. Dia pasti setujulah,’’ katanya sembari tersenyum dengan pede dan kembali menyuap kebab yang masih tersisa.‘’Kamu nggak tahu aja, Nin. Mamaku bahkan ud
‘’Kamu nggak mampir dulu, Ndre? Mama nanyain kamu loh,’’ ujarnya entah sekadar basa-basi denganku atau memang sungguhan mamanya menanyakan aku. Dia memperbaiki rambutnya yang terurai panjang. ‘’Nggak, Nin. Kapan-kapan aja ya, sampaikan salamku sama Tante,’’ tolakku sembari mematikan mesin dan menepikan mobil.‘’Nanti kusampaikan. Hati-hati, Ndre. Bye!’’ Dia bergegas keluar dari mobil, dan melambaikan tangannya sembari tersenyum manis tampak lesung pipinya itu. Yang membuat jantungku semakin berdebar.‘’Iya, Nin. Bye!’’ Aku ikut melambaikan tangan sembari menunjukkan seulas senyuman, lalu menghidupkan kembali mesin mobil. Beberapa menit kemudian, aku telah tiba di pekarangan rumah. Aku memparkirkan mobil di garasi terlebih dahulu, lalu bergegas memasuki rumah. ‘’Kayaknya pikiranku perlu ditenangkan,’’ bisik hatiku sembari memegang kepala yang terasa mulai pusing. Tadinya padahal aku hanya bersandiwara saja di depan Nina. Eh, kini malah pusing sesungguhnya.‘’Ndre!’’ panggil suara ya
Pagi-pagi seperti biasanya aku marathon keliling di sekitar kos, kata calon mertuaku harus rajin marathon di pagi hari biar mudah proses melahirkan. Aku melangkah dengan napas terengah-engah, makin ke sini terasa sulit dan berat untuk melangkah olehku. Mungkin karena usia kandunganku yang sudah cukup tua. ‘’Capek banget,’’ gumamku sembari menyeka keringat yang sejak tadi bercucuran. Sepertinya aku harus istirahat dulu. Ya, di depan warung itu aja kali ya. Dengan langkah gontai aku melangkah ke warung yang tak jauh dari tempatku berdiri, ya 3 langkah sudah sampai di sana. Aku menghenyak di kursi kayu.‘’Ka—kamu, Monik?’’ suara yang tak asing lagi bagiku mampu membuyarkanku, dia tampak kaget, dan kelihatan jijik melihat perutku yang membesar. Saking kagetnya dia menutup mulutnya seolah tak percaya dengan apa yang dilihat di depan matanya. ‘’I—Ibu Nirma?’’ Mataku terbelalak tatkala menatap wanita muda yang tegak mematung di sampingku. Allah! Kenapa aku harus ketemu dengan wanita ini
’A—aku...‘’‘’Yuk masuk ke mobil! Biar aku antar, nanti di mobil kita cerita ya.’’ Dia bergegas membukakan pintu mobil untukku, tanpa kata aku hanya mengangguk dan memasuki mobil Ayu. ***‘’Minum dulu, Monik!’’ Ayu mengulurkan sebotol air mineral kepadaku, sembari fokus pandangannya ke depan karena tengah menyetir. ‘’Makasih ya, Yu,’’ ucapku pelan dan meraih botol itu, lalu menyeruputnya. ‘’Sama-sama, gimana? Udah tenang kan?’’ tanya Ayu melirik sejenak ke arahku, aku hanya membalas dengan anggukan dan tersenyum tipis. ‘’Kamu ada masalah? Cerita dong ke aku, jangan diem aja.’’ ‘’Iya, Yu. A—aku ketemu sama Bu Nirma tadi.’’ ‘’Apa? Kok bisa, Monik?’’ dia kaget seketika. ‘’Iya, tadi ketika aku marathon. Aku berhenti di depan warung, berniat mau beli air juga dan sekalian melepaskan penatku. Bu Nirma datang begitu saja,’’ Jelasku dengan suara bergetar.‘’Terus, Bu Nirma udah tahu semuanya?’’ tanya Ayu kembali, dia masih fokus menyetir sesekali melirik ke arahku.Aku mengangguk lema
Kupandangi bayiku masih terlelap di pangkuan mama. Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan rumah. Papa bergegas mematikan mesin mobil, lalu membukakan pintu untuk kami.Aku melangkah keluar, seketika tetangga menatapku dengan tatapan aneh dan tajam. Terlebih mama yang tengah menggendong bayiku, tatapan mereka begitu tajam menatap mama.‘’Eh, Bu Elsa bawa bayi. Cucunya ya?’’ tanya salah seorang tetangga dengan senyum mengejek. Kupandangi mama hanya menunduk.‘’Anakku aja udah daftar kuliah loh. Eh, Monik malah udah punya bayi.’’‘’Ayahnya siapa tuh? Jangan-jangan nggak tahu siapa Ayahnya lagi,’’ ketusnya dengan senyuman sinis.‘’Nah bener, nggak pulang-pulang selama beberapa bulan. Eh, tahu-tahunya udah punya baby aja. Makanya Bu Elsa sama Pak Indra anak tuh dididik dengan baik, jangan biarkan keluar malem-malem. Ini kerja aja terus, sampai lupa dengan anak satu-satunya.’’ ‘’Iya, kaya banget tapi anaknya hamil di luar nikah. Ihh, ngeri!’’ ucapnya bergedik ngeri.‘’Jangan
‘’Ja—jangan, Nak. Dia paham kok kenapa Mama dan Papa mengusirnya. Dan kemaren kami juga udah saling minta ma’af.’’ Mama mencoba mencegahku. Ucapan mama membuat aku lega.‘’Tapi kok sekarang Bu Karni nggak menemui aku lagi, Ma?’’‘’Kamu tenang aja, dia akan menemuimu kok. Mama ada janjian kemaren dengannya, jika kamu udah bisa pulang ke rumah dan udah beneran pulih, Mama akan telpon dia. Mama juga akan bicara soal pernikahan kamu dengan Andre’’ jelas mama panjang lebar. ‘’Bu—bukannya Papa—‘’‘’Iya, sekarang Papamu udah bisa menerima dan mema’afkan Andre. Ini semua demi kebaikanmu dan cucu Mama,’’ kata mama sembari menunjukkan seulas senyuman.‘’Iya, Ma. Syukurlah, makasih ya Ma.’’‘’Ta—tapi, apakah Andre mau menikahi aku dengan kondisi kayak gini. Ahh, bukannya ini karena perbuatannya juga,’’ batinku. Mama mengangguk sembari tersenyum,’’Yaudah, yuk!’’ Mama meraih koper dan membantuku untuk berjalan. Aku merasa berada di awang-awang rasanya. Tubuhku terasa sangat ringan. Mungkin kare
Tubuhku mulai terasa pulih kembali setelah seminggu lebih terbaring di brankar. Alhamdulillah aku sudah diberi izin pulang kembali oleh pihak rumah sakit.‘’Kamu memang beneran udah sehat kan, Monik?’’ tanya mama sekilas menatapku, beliau sedang membereskan semua baju-bajuku ke dalam koper. Aku mengangguk lalu tersenyum, ‘’Alhamdulillah udah kok, Ma. Tapi, aku boleh nggak ngekost aja sama bayiku,’’ sahutku pelan. Karena aku tak mau nanti kedua orang tuaku jadi bahan gunjingan lagi karena ulahku. Apalagi jika aku membawa bayiku kembali ke rumah.Mama seketika kaget dan ada rasa yang tak bisa kutafsirkan dari wajah mama, tetapi masih berusaha untuk tersenyum.’’Mama kenapa ya?’’ batinku yang terus menelusuri wajah mama.‘’Ka—kamu udah kembali sehat, Nak,’’ ucap beliau dengan lirih dan terus saja menatapku.‘’Ma—maksud, Mama?’’ tanyaku heran. Apa maksud mama ya? Mama seketika mendekat ke arahku.‘’Beberapa hari setelah kamu melahirkan, sikap kamu aneh dan kamu bilang kalo bayi itu bu
‘’Ma, Mama kenapa? Apa yang terjadi sama anak kita?’’ lelaki yang tiga puluh delapan tahun menemaniku itu menghampiri aku yang masih menangis dengan sesegukan sembari bersandar di dinding. Dia spontan memelukku.‘’Mo—Monik, Pa,’’ lirihku, nyaris tak terdengar olehnya. ‘’Kenapa dengan Monik, Ma?’’‘’Dia depresi kata Dokter. Sejak tadi dia menangis nggak jelas dan mengamuk, apalagi setelah mendengar nama lelaki brengsek itu.’’Membuat suamiku melepaskan pelukannya pelan, tampak dari wajahnya yang begitu berubah. Dia mengusap mukanya dengan kasar.‘’Astaghfirullah!’’‘’Lelaki itu berani ke sini menampakkan mukanya? Kenapa Mama nggak katakan sama Papa?’’ tangannya tampak mengepal dan rahangnya mengeras. Aku menyeka air mataku dengan kasar.‘’Bukan dia, Pa. Tapi Mamanya yang ke sini,’’ kataku pelan. Ya, dia tak tahu siapa sebenarnya mama Andre. Jika dia tahu bahwa mama Andre itu adalah Karni, pasti akan membuat suamiku makin menyimpan kebencian dan dendam pada wanita itu. Apalagi setelah
‘’Saya akan memberikan obat penenang sementara untuknya.’’ dia tampak bergegas bangkit dan melangkah ke lemari obat-obat itu. Tangannya meraih beberapa pil obat. Raut mukanya menggambarkan kepanikan dan melangkah ke luar dari ruangannya mungkin menuju ruang rawat anakku, aku pun mengikuti dari belakang.‘’Tenanglah, Mba. Istighfar.’’ ‘’Aku nggak melahirkan! Nggak!’’ dia terus saja berteriak sambil menangis. Air mataku terus saja berjatuhan dan hatiku begitu perih.‘’Bayinya nggak mau diem sejak tadi, Dok. Apa dia mau minta susu?’ Jadi cucuku tak bisa diam? Kenapa aku tak tahu dan tak mendengar tangisannya dari tadi, saking tak terarahnya pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Apalagi dengan keadaan mamanya yang seperti ini. Jangankan untuk menyusui, menggendong saja dia tak mau.‘’Dia haus mungkin, Sus. Buatkan saja susu SGM dulu ya, kita nggak bisa memaksakannya untuk mengasih ASI ke bayinya,’’ kata dokter itu yang tengah memasuki ruangan rawat Monik.Perih rasanya. Dan tubuhku ter
‘’Memangnya aku kenapa, Ma? Habis kecelakaan?’’ ‘’A—apa maksud, Monik? Apa dia berpura-pura?’’ batinku. Yang merasa ada keanehan pada anak semata wayangku itu.‘’Kamu habis melahirkan, Nak,’’ sahutku pelan. Aku berusaha menahan buliran air mata yang hendak berjatuhan.‘’A—apa? Ini nggak mungkin, Ma. Aku belum menikah, kenapa bisa melahirkan begini. Nggaakk!’’ ‘’Ya Allah, bukannya ini semua akibatmu sendiri, hah?’’ aku menunjuknya dengan telunjuk kiri dengan tangan gemetaran. Emosiku sungguh tak bisa ditahan lagi. Enak saja dia berkata seperti itu. Padahal ini adalah hasil perbuatannya. Kini dia seolah berpura-pura tak ingat semuanya. Karena ulahnya membuat aku malu dengan tetangga, yang bahkan setiap hari menggunjing aku dan suami. Sudah sembilan bulan lebih lamanya aku dan suamiku membiarkannya seorang diri di luar sana. Papanya mengusirnya ketika sudah tahu kalau dia tengah mengandung bayi yang bukan pada waktunya. Aku pun tak bisa melarang papanya agar tak mengusir dia dari dari
‘’Tolong, aku ingin meminta ma’af dan do’a dari mereka.’’ Nyaris tak terdengar olehnya.Seketika suster itu menghentikan langkahnya, lalu mendekat di sampingku.‘’Iya, Mba. Akan saya bantu nanti ya.’’‘’Ma—makasih, Sus.’’‘’Sama-sama, Mba. Jangan banyak bicara dulu, jangan banyak pikiran dan banyakin istighfar ya, Mba.’’‘’Saya keluar dulu.’’Beberapa orang wanita yang berpakaian seragam putih itu bergegas melangkah keluar. Makin ke sini kontraksi sering datang, dengan rasa sakit yang amat mendalam.Beberapa menit kemudian.‘’Moniik!’’ panggilnya dengan isakan tangis. Bergegas menghampiriku yang terbaring lemah. Lantas mengenggam tanganku dengan erat.‘’Ma—ma’afkan aku ya, Ma, Pa,’’ lirihku terbata.Mudahan dengan datangnya kedua orang tuaku, mereka bisa mema’afkanku dan mendo’akanku agar lancar dalam operasi melahirkan. Karena do’a kedua orang tua itu adalah mustajab. Seharusnya jauh sebelum melahirkan aku sudah meminta ma’af kepada kedua orang tuaku, karena aku sudah membuat mereka
Aku membuka mata dengan pelan, kepalaku terasa sangat pusing, dan merasakan sakit di sekujur tubuhku, terlebih di area kew*nitaanku. Apa aku sudah melahirkan? Kucoba memeriksa perutku perlahan.‘’Ya Allah ternyata aku belum melahirkan. Aku di mana?’’ Aku pandangi seluruh ruangan, tampak seorang wanita yang berpakaian seragam putih tengah mempersiapkan sesuatu, entah apa. Aku pun tak tahu. Oh iya, semua alat medis terpasang indah di tubuhku.Ada apa denganku? Kenapa sampai sekarang aku tak kunjung melahirkan? Rasanya tubuhku begitu lelah. Oh iya, kira-kira siapa yang membawaku ke rumah sakit? Aku teringat ketika aku merasakan pusing di tepi jalan itu dan aku tak ingat apa-apa lagi. Apa mungkin Ayu yang membawaku ke sini? Lalu siapa lagi kalau bukan Ayu.‘’Arrgghhhh!!’’ perutku bagian bawah terasa sangat sakit.‘’ Syukurlah Mba sudah sadar. Bertahanlah, akan saya panggilkan dokter.’’ Wanita yang berpakaian seragam putih itu menghampiriku dengan wajah cemas. Lalu berlari keluar dari ruan
‘’Ya Allah, kok bisa?’’‘’Ceritanya panjang, nanti akan kuceritakan. Sekarang jemput aku ya.’’‘’Aku akan jemput, tapi ini aku masih di rumah sakit menemani Nenek. Beliau dirawat.’’‘’Ya Allah, Nenek masuk rumah sakit? Kok kamu nggak cerita, Yu.’’‘’Iya, Monik. Gimana aku mau cerita, karena beliau baru saja masuk rumah sakit. Dan juga aku nggak mau menambah beban pikiran kamu.’’‘’Ya udah, kamu di mana sekarang. Biar aku jemput, tapi aku tunggu dulu Bunda biar Nenek ada yang jagain. Soalnya Bunda tadi sedang mengurus surat-surat keperluan Nenek,’’ imbuhnya di seberang sana.‘’Aku udah jauh dari kost itu, nanti kukirimkan alamatnya.’’‘’ Iya, Yu. Tapi cepetan ya, aku capek banget rasanya nih.’’‘’Iya, kamu cari tempat duduk dulu di sana. Biar bisa istirahat.’’‘’Jangan kemana-mana ya, tunggu aku. Oke.’’‘’Assalamua’laikum.’’Aku bergegas memasukkan kembali benda pipih milikku ke saku-saku. Seketika perutku terasa keroncongan. Ya, ternyata perutku belum diisi makanan apapun sejak tadi p