Felix tersenyum sarkas. "Tuan Hanggara? Apa maksud Anda?""Saya sebagai pemilik saham di perusahaan ini sama sekali tidak setuju!" ucap Hanggara lantang.Felix berdiri. "Tunggu! Saham yang mana? Tidak ada saham atas nama Anda di sini sepeserpun, Tuan."Hanggara tertawa lepas. Ia mengatakan jika dirinya memiliki saham sebesar tiga puluh persen. "Aku tidak pernah menjual saham perusahaan ini!" Felix menatap sinis Hanggara. Felix berdiri tepat di hadapan para dewan. "Sebelum aku tahu siapa yang curang, aku tunggu surat pengunduran diri dalam waktu dua kali dua puluh empat jam di meja kerjaku!"Felix menoleh ke arah Hanggara. "Terima atau tidak, putraku tetap menjadi pemilik perusahaan ini. Lagipula, ranah ini bukan urusanmu!"Felix mengajak Nathan meninggalkan ruangan. Sebelumnya ia menutup meeting pagi itu. "Putramu masih muda, belum berpengalaman dalam dunia bisnis. Perusahaan ini bisa hancur!" teriak Hanggara karena Felix dan Nathan sudah menghilang di balik pintu.Felix dan Nathan
Hari demi hari Nathan lalui dengan penuh semangat. Tugas kantor dari Felix dapat ia kerjakan tepat waktu dan penuh ketelitian. Semakin lama, semakin ia paham dan tau jika dunia bisnis itu kejam. Banyak orang melakukan segala cara demi kelangsungan bisnisnya, termasuk salah satu dewan direksi di perusahaannya yang sekarang ia pimpin. Nathan mengendus sikap licik mereka. "Kamu tenang saja, orang yang sudah berlaku curang itu sudah mengundurkan diri," kata Felix kepada Nathan. "Siapa, Pa?""Namanya Bian. Dia memanfaatkan perusahaan ini yang sedang maju pesat. Tenang saja, kamu tidak usah memikirkan hal ini. Perkara saham biar jadi urusan Papa. Lagipula, Hanggara memiliki saham ini hanya sepuluh persen saja.""Baik, Pa. Kalau begitu Abang pamit meeting dulu.""Cieee ... yang mau mimpin meeting!" Suara seorang wanita tiba-tiba menggema. Felix dan Nathan menoleh ke arah suara. "Mama!" seru Nathan. "Sayang, kau datang?" sambung Felix."Iya, Lili mau diantar sekolah. Jadi, daripada pulan
Suara decitan ban yang beradu dengan aspal sangat nyaring terdengar saat mobil Jody parkir di basement apartemen. Terdengar di telinga Jody napas Pricilla yang memburu. Jody menoleh. Ia melihat sang istri memegang dadanya sembari terpejam. Sudah dapat disimpulkan jika Pricilla sangat ketakutan. "Maaf!" Hanya kata itu yang terlontar dari mulut Jody. Laki-laki itu bergegas turun. Pun dengan Pricilla. "Wih, kayaknya enak, Bang?" tanya Jody kepada seorang pria yang sedang merokok. "Mau?" tanya Pricilla itu. "Boleh, dua."Jody tak hanya menerima dua batang, tetapi satu bungkus. Jody menggantinya dengan beberapa lembar uang, lalu bergegas pergi. "Kak? Tunggu!" cegah Pricilla sembari berlari mengejar, tetapi Jody terus melangkah. "Kak? Untuk apa rokok itu? Kakak, kan, tidak merokok! Kak?!"Setibanya di depan pintu apartemen, dengan cepat jemari Jody memijit kode pin. Pintu pun dapat ia buka. Jody masuk diikuti oleh Pricilla. Pricilla mengguncang lengan Jody. "Kak? Ngomong, dong!"Jod
"Setiap waktu aku menunggu malaikat kecil hadir di rahimmu, Cilla! Sampai sekarang, lima tahun lamanya aku menunggu kabar bahagia itu. Tapi, apa? Tanpa seizinku kamu meminum pil KB ini, kenapa?!"Jody melempar alat kontrasepsi itu, lalu membuka kaos oblong yang ia kenakan. Pria itu mendekati Pricilla merapatkan tubuhnya tanpa celah. Jemarinya meraih dagu Pricilla agar menatapnya. Napasnya pun memburu. "Pintar sekali lidahmu berkelit saat aku mengajakmu untuk konsultasi ke dokter dulu. Kenapa? Kamu tidak mau memiliki anak dariku?"Tampak Pricilla ketakutan. Bahkan bulir bening sudah menggenang di pelupuk mata. "Jawab!" bentak Jody. "A-aku, a-aku belum siap!"Jody tertawa keras membuat Pricilla bertambah takut. "Belum siap kamu bilang? Dan sekarang kamu so peduli dengan anaknya si Dio itu, hah?!"Prang! Jody meninju kaca lemari. Darah segar pun mengucur. "Apa maksud kamu, Cilla, apa?!"Tangis Pricilla pun pecah. Jody membekap bibir Pricilla dengan bibirnya cukup kasar. "Bibir ini
Dio tersenyum penuh kemenangan. Sesungguhnya ia tahu jika mobil yang baru saja terparkir dekat mereka adalah mobil Jody. Dio sengaja melakukan itu. Bahkan ia tertawa puas saat Pricilla bergegas pulang. Pricilla, melajukan mobilnya cukup kencang. Ia berniat mengejar mobil Jody, tetapi kehilangan jejak. Pricilla bermonolog, "Sepertinya tidak mungkin Kakak pulang!"Pricilla memutar arah. Ia akan ke kantor Jody. Tin! Tin! Tin! "Cepat minggir!" seru Pricilla sembari berkali-kali menyalakan klakson karena tepat di depannya puluhan mobil mengular.Pricilla menghela napas. Tamat sudah hubungannya dengan Jody. Usai sudah pernikahannya. "Arrrrrrggh! Bodoh!" Pricilla memukul kepalanya. Pricilla merogoh ponselnya dalam tas. Lekas ia menghubungi nomor Jody. Terhubung, tetapi Jody tidak menerimanya. "Angkat, dong, Kak!" serunya panik. Berkali-kali Pricilla menghubungi, berkali-kali juga Jody tak menerima panggilannya. Satu jam berselang, tibalah Pricilla di kantor Jody. Lekas ia turun. Ber
Setelah sedikit perdebatan tadi, baik Pricilla maupun Jody memilih diam. Namun, diamnya Pricilla mampu membuat hatinya gundah. Pricilla yang sedang mengunci diri di kamar pun keluar mencari keberadaan Jody. "Kak, tolong jelaskan maksud Kakak tadi!" pinta Pricilla pelan sembari duduk di samping Jody yang tengah menonton televisi. "Yang mana?" Jody balik bertanya tanpa menoleh, justru ia sibuk memindahkan chanel televisi. "Yang itu ... kalau kamu lebih bahagia dengan Dio, Kakak akan kabulkan! Apa maksudnya?"Jody menoleh. "Jawab jujur! Kenapa kamu diam saja saat Dio memegang tangan, mengusap pipi bahkan hampir mengecup bibirmu?""I-itu ... itu ...,"Jody tersenyum sarkas, lalu dengan cepat ia kembali bertanya, "Rindu sentuhan Dio? Masih mencintainya? Itu?!""Tidak!" "Lalu?""Aku salah, aku minta maaf, Kak.""Apa yang dikatakan atau dijanjikan Dio kepadamu?!"Pricilla berpaling muka. "Tatap mataku dan jawab, Pricilla Henry!"Pricilla hendak pergi, tetapi secepat kilat Jody menarik l
Di kamar, Nathan duduk di tepi ranjang. Kejadian tadi sungguh membuatnya syok sekaligus tidak menyangka ternyata Pricilla menyimpan dendam kepadanya perihal keguguran itu. Maaf Pricilla tenyata hanya dalam mulut saja, pikirnya. "Boleh masuk?" tanya Felix di bibir pintu. Nathan menoleh. "Masuk saja, Pa."Felix turut duduk di tepi ranjang. Pria berbeda generasi itu pun duduk berhadapan. "Kakakmu ngomong apa sampe mamamu ng-drop gitu?"Embusan napas kasar lolos dari mulut Nathan. "Mulut Kak Cilla ternyata pedes!" Nathan pun mengulang apa yang Pricilla katakan. "Kakakmu itu benar-benar tidak berubah. Kasian mamamu!" Felix mengembuskan napas kasar. "Memangnya apa yang terjadi, Pa? Kenapa sampe Om Jody mau cerai dari Kak Cilla?"Felix menceritakan apa yang menimpa rumah tangga putrinya itu. "Kasihan sekali mereka," ucap Nathan. "Tapi ... memang semua benar itu salahku juga, Pa. Coba saja dulu bayinya gak gugur ga--""Bukan! Semua bukan karena kamu, Bang. Sudah sifat Kakakmu seperti it
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan