Lama mereka terdiam, sama-sama berperang dengan pikiran masing-masing. Eleanora diam menunduk, tidak berani mengangkat kepala untuk bertemu pandang dengan orang tua Devan. Ia bingung harus bagaimana. "Ini, Diego Lim, tertulis jelas nama ayah Eleanora di situ." Devan memberikan Bapak selembar kertas berupa fotocopy kartu keluarga Eleanora dari dalam tasnya. "Itu berarti Eleanora lahir dari perkawinan yang sah, kan, Pak?' Bapak mengangguk, sebenarnya agak ragu juga. Zaman sekarang banyak orang yang secara agama nasab anaknya tidak jelas, atau anak itu hadir karena persetubuhan di luar nikah, tetapi dibuat jelas dalam akta kelahiran. "Akta lahir ada?" Bapak bertanya pada Eleanora. Eleanora yang sejak tadi menunduk akhirnya mengangkat kepalanya. Ia memeriksa tasnya, mengambil akta lahir, KTP, kartu keluarga asli, juga buku nikah orang tuanya. Bapak m
"Tapi El, Ibu mau tanya lagi, Ibu penasaran soal ini dari awal kamu datang ke sini." Raut wajah Ibu tiba-tiba berubah, buat Eleanora agak cemas. "Kenapa kamu panggil Devan langsung dengan nama? Padahal perbedaan usia kalian lumayan."Mampus, Eleanora mati kutu, secara memaksa bibir untuk tersenyum, kepala Eleanora berputar membuat jawaban. "Eee, itu karena Eleanora nggak ingin Devan merasa kalau Eleanora masih muda, Bu?"Ibu mengerutkan keningnya, kurang paham dengan ucapan blunder Eleanora."Eleanora ingin membuat seolah kami tidak berjarak, Bu. Eleanora tidak Devan memikirkan jarak usia kami, Bu. Apalagi Eleanora masih di bawah dua puluh tahun."Walaupun penjelasan Eleanora terkesan berbelit, Ibu mencoba memaklumi. Ia juga hanya penasaran kenapa Eleanora hanya pakai nama tanpa embel-embel yang lain.Setelah mengajukan beberapa pertanyaan lagi, Eleanora akhirny
Devan tidak menyangka kalau persiapan nikah itu lumayan banyak. Apalagi harus ada dispensasi dari pengadilan karena Eleanora belum berusia 19 tahun dan surat surat lainnya.Beruntung Devan punya kakak-kakak yang baik yang senantiasa dengan senang hati membantunya. Mereka mempersiapkan dengan cepat karena waktu yang mepet.Namun, ditengah kebahagiaan Eleanora menanti pernikahannya dengan Devan yang tinggal menghitung hari, yang akan dilaksanakan di rumah orang tua Devan, ada tetangga tetangga yang nyinyir, menggosipkan mereka.Eleanora disangka hamil duluan sebab pernikahan mereka yang terkesan buru-buru. Ibu sampe kesal dan menyuruh Eleanora tes kehamilan. Tak hanya pakai testpack secara mandiri, Eleanora juga diajak ke dokter. Bukan karena Ibu tidak percaya dengan Devan dan Eleanora, tapi hal itu dia lakukan untuk memberi bukti pada orang-orang yang bergunjing tentang anak-anaknya.
"Devan sini!""Kenapa, Bibi?” Devan berteriak, kaki kecilnya berlari menghampiri."Kamu mau permen yang kayak kemarin nggak?"Devan dengan polos mengangguk senang. "Mau, Bibi.""Bibi akan kasih lagi, tapi yang ini tidak gratis ya, ada syaratnya."Devan sontak mencium pipi bibinya, karena itulah yang biasa bibinya minta sebagai balasan saat akan memberikan sesuatu. "Sudah, Bibi," ucapnya sembari menadahkan tangan.Namun kali ini bibinya menggelang. "Nggak cukup, Devan."Devan mencium lagi, pipi kiri, bibir lalu pipi kanan."Bukan begitu." Bibi membantah lagi. Ia langsung menarik Devan masuk ke dalam rumahnya, lalu masuk lebih dalam lagi ke kamarnya. "Sekarang Devan buka baju."Hv VVIP hot menggeleng. "Nggak mau, Bibi. Devan sudah besar, malu." Anak yang usianya belum cukup t
Sabtu pagi Devan sibuk mengajak Eleanora keliling pasar. Mereka berencana belanja beberapa macam sayuran daun dan lain-lainnya, dengan niat akan bersama-sama membuat urap sayur dan ayam goreng. Lalu dibagikan ke tetangga sebagai salam perkenalan."Ini yakin mau buat sendiri?" Eleanora mengekor di belakang Devan, terlihat sangat tidak semangat. "Capek loh itu, weekend ini mending istirahat, tidur."Devan menoleh, melihat jarak satu meter di antara mereka membuatnya langsung menarik Eleanora mendekat. Pagi itu pasar cukup ramai, jika dibiarkan bisa-bisa mereka akan semakin berjarak."Kamu pengangguran, apanya yang istirahat."Eleanora melirik, tampak tak setuju. "Kamu kerja, aku juga kerja tahu."Devan tidak membalas, ia sibuk melihat-lihat sayur-mayur yang ingin dibeli. Sementara tangan kanannya memilah-milah, tangan kirinya tetap menggandeng tangan Eleanor
Hiruk pikuk kota di pagi hari bisa dibilang tidak menyenangkan. Jalanan di pagi hari selalu sibuk dan padat.Dan biasanya Eleanora mengakalinya dengan pergi lebih pagi. Seperti pagi ini, Eleanora keluar rumah tepat pukul lima. Tak peduli dengan hujan kecil yang membuat udara semakin dingin.Eleanora mengeratkan jaketnya, sembari mengambil napas dalam-dalam. Menikmati udara bersih yang masih tersisa. Matanya mengitari sekitar, kakinya berjalan mundur. Masih sepi, dan mungkin selalu sepi di senin pagi.Alun-alun kota menjadi tujuannya sejak beberapa hari lalu untuk mengenal kota kelahiran Devan. Berjarak sekitar dua kilometer dari rumah mereka dan Eleanora tempu dengan berlari.Eleanora menghela napas, tiba-tiba ia teringat akan ucapan Devan semalam. Tentang masa lalu laki-laki itu. Terlihat berat untuk mengingat, tetapi Devan berusaha menceritakannya.Elean
Devan pernah lihat beberapa berita tentang pasangan suami istri baru di internet dengan masalah berbeda-beda. Pembunuhan diantara pasangan suami istri baru lumayan banyak diberitakan. Yang paling ngeri menurut Devan saat ini tentang istri dibunuh di hari pernikahan karena menolak berhubungan badan. Itu berita belasan tahun silam. Devan pernah diceritakan kakaknya. Dan ternyata banyak kasus serupa yang terjadi. Devan takut kalau istrinya tiba-tiba khilaf karena sudah terlalu kesal. Meski di banyak kasus yang terjadi suami-lah yang menjadi pelaku. Devan menggelengkan kepala. Eleanora cinta padanya, jadi tidak mungkin akan setega itu. Devan berusaha keras menghilangkan pikirannya itu. Sekarang masih jam kerja, dan sebagai pegawai baru, harusnya ia fokus dan giat, agar tidak dicap berkinerja buruk sejak awal. Biar bagaimanapun Devan harus profesional, masalah rumah pikirkan di rumah, jangan dibawa ke tempat kerja. “Nggak mau makan siang?” “Oh, ya?” Devan yang masih dalam lamunan terke
Siapa sangka mengiyakan ajakan teman bisa berujung maut? Devan mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha memperjelas penglihatan perihal sosok yang ada di depannya, benarkah itu Eleanora atau bukan. Namun begitu menangkap sosok Keenan tak jauh dari Eleanora membuat Devan yakin kalau sosok Eleanora di depannya itu benar adanya. Devan mendengkus. Sosok yang katanya sahabat Eleanora itu sungguh di luar dugaan. Devan baru tahu akan ada orang yang rela-rela menghabiskan uang yang sudah susah payah dikumpulkan lewat warung pecel kecil-kecilan hanya untuk bertemu sahabat. Sungguh penjual pecel yang mencurigakan. Atau mungkin bisa juga Eleanora yang membiayai, mengingat berapa banyak yang Eleanora beri pada Devan. Devan dikejutkan dengan serangan tiba-tiba di pipi kirinya. Lembut, basah dan kenyal, benda yang cukup sering Devan rasakan. Mata Devan bertatapan dengan mata Eleanora yang berwarna coklat bening. Di luar dugaan, tatapan Eleanora yang awal dilihatnya tajam kini tampak berbinar
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas