Demi Citra aku memakai aplikasi untuk mengubah suaraku, tadi dia mengatakan kalau ingin menelepon. Sepertinya Citra benar-benar sedang membutuhkan teman curhat. Mungkin mas Bara sudah tidak menghubunginya lagi jadi Citra merasa sendiri. Sayangnya aku sudah menghapus sadap WA-ku, jadi aku tidak tahu lagi perkembangan hubungan mas Bara dan Citra.Sudah beberapa hari tidak lagi ada pesan yang masuk, tepatnya setelah aku berhasil membongkar permainan mereka malam itu. Lantas aku percaya pada mas Bara kalau dia sudah tidak ada hubungan dengan Citra.Aku mengharapkan Citra segera punya waktu untuk menelepon sebelum mas Bara pulang kerja, tidak mungkin aku akan menerima teleponnya di hadapan mas Bara."Hai, Al. Apa kau sedang ada waktu, aku ingin menelepon sekarang.""Ok, Manis."Aku membalas pesan Citra dengan penuh semangat, bahkan aku segera menyiapkan sebotol susu untuk Afnan sebagai antisipasi kalau dia bangun pas aku lagi asyik mengobrol.Perasaan cemas takut ketahuan sempat singgah di
Seperti yang pernah kualami sebelumnya, malam ini aku menghabiskan malam dengan penuh rasa kekecewaan.Mas Bara sama sekali tidak menginginkan menghabiskan malam yang penuh cinta bersamaku. Pikirannya entah ke mana dan itu membuatku teramat sebal padanya. Apa lebih baik aku pisah ranjang saja dengan suamiku dari pada setiap malam hanya ada dingin dan sepi saja. Tidak pernah ada lagi kehangatan yang sangat kudamba."Apa kau masih mengharapkan wanitamu itu untuk menemani malammu dan bukannya aku, Mas?""Tidak usah mencari masalah lagi, Aruna.""Aku tidak cari masalah, kau yang sudah cari masalah dan imbasnya sampai sekarang ini masih terasa.""Aku tidak berhubungan dengan Citra lagi.""Tapi kau tidak bisa melupakannya dan kau pasti menginginkannya hingga kau sudah tidak pedulikan aku, aku sakit hati padamu, Mas."Aku tidak tahan lagi untuk tidak mengucapkan kalimat itu. Mas Bara tertegun, mungkin dia tak menyangka kalau aku akan merasa sesakit ini."Maafkan aku, Aruna ...."Ucap mas Bara
"Aku ingin bertemu kamu, Citra."Aku sudah tidak sabar lagi rasanya, segera ingin bertemu Citra dan mengadakan perhitungan dengan perempuan gatal itu.Dengan tanpa sengaja aku melihat foto tangan seorang lelaki yang sedang duduk di sebuah kafe bersama Citra.Citra melakukan pembaruan status satu jam lalu dan aku baru sempat melihatnya. Aku tahu betul itu tangan siapa dilihat dari jam tangan dan kemeja yang dikenakannya, aku tidak mungkin salah.Sangat bisa dipastikan kalau itu adalah mas Bara. Ternyata naluriku selalu benar, mereka masih melanjutkan hubungan terlarang itu.Mungkin Citra kurang pas dalam mengambil gambar dirinya sehingga lelaki teman kencannya bisa terlihat olehku. Jelas saja Citra tidak segera membalas pesanku, mereka sedang sibuk berkencan. Menjijikan!Dua jam kemudian Citra baru membaca pesanku. Aku segera meneleponya, tidak sabar rasanya untuk menunggu dia membalas pesanku."Hai bisakah aku bertemu denganmu, Citra ?""Tapi sepertinya aku sedang sibuk dalam waktu ak
Dengan hati berdebar aku turun dari sepeda motor dan dengan buru-buru aku membayar bang ojol dengan uang tunai.Aku membenarkan topi dan kaca mata hitamku saat kulangkahkan kaki menuju pintu yang sebelumnya sudah diberitahukan nomornya oleh Citra.Aku menjadi ragu saat sudah berada di depan pintu, suasana sangat sepi sekali. Apa benar Citra ada di dalam? Aku mengirim pesan padanya jika aku sudah berada di depan pintu rumahnya, langsung saja ia membalas. Dia akan segera membukakan pintu untukku. Hatiku semakin tidak karuan.Langkah kaki Citra terdengar menuju pintu, sekuat tenaga aku berusaha untuk menyingkirkan rasa gugupku."Silakan masuk, Al."Aku mendorong pintu tanpa bicara, kemudian aku masuk. Sepertinya Citra merasa takut padaku. Dia mundur dua langkah menjauhiku. Aku membuka topi dan rambutku jatuh tergerai, sepertinya Citra terkejud sekali. Kemudian aku juga melepas kaca mata hitamku."Kau ....?"Aku tersenyum sinis. "Iya, ini aku. Kau masih mengingatku dengan baik bukan?"Ci
"Apa ini, Aruna?"Mas Bara bertanya dengan setengah berteriak, aku yang sedang memandikan Afnan jadi terkejud.Di acungkannya baju Citra yang bernoda merah ke arahku. Aku tersenyum sambil terus memandikan Afnan kemudian memakaikan handuk dan memakaikan baju untuknya."Apa yang sudah kau lakukan, apa kau membunuhnya?""Memangnya kenapa kalau aku membunuhnya. Kau akan patah hati dan sedih karena calon pengantinmu mati?""Aruna!""Tidak usah berteriak atau Mama dan Papa akan tahu juga kalau hari ini kau akan kawin lari bersama perempuan bernama Citra itu."Mas Bara diam, dia duduk di tepi ranjang sambil memandangi baju Citra, calon pengantinnya, wanita yang dicintainya ...."Apa yang sudah kau lakukan pada Citra, Aruna?"Tanya mas Bara dengan nada rendah. Kudengar suaranya seperti orang merintih. Sedih sekali dia, padahal Citra masih hidup. Bagaimana jika aku benar-benar membunuhnya? Mungkin mas Bara akan menangis atau menyusulnya mati sekalian.Aku memberikan mainan pada Afnan. Putraku b
"Kau harus meminta maaf pada Citra, dan aku akan membayar dendanya.""Aku tidak akan meminta maaf pada orang yang berusaha merebut suamiku.""Masalahnya akan semakin panjang jika kau teruskan keegoisanmu.""Aku egois, apa Mas sudah merasa benar menuduhkan kata itu padaku? Kau lah yang sebenarnya egois, Mas. Kau bertindak seperti pahlawan. Seakan kau menyelamatkanku dan juga menyelamatkan Citra. Padahal kau hanya berlindung dari rasa bersalahmu.""Apa sebenarnya maumu, Aruna. Aku lakukan ini agar Citra mencabut perkara yang dilaporkannya. Kita masih diberi kesempatan untuk berdamai, bersyukurlah!""Apa?, aku harus bersyukur saat aku harus meminta maaf pada orang yang akan merebut suamiku, orang yang akan memporak porandakan pernikahanku? Ah, yang benar saja kamu, Mas.""Lupakan itu sejenak, Aruna. Pikirkan tentang nama keluarga kita di masyarakat?""Nama keluarga atau namamu?"Aku melawan tatapan mata mas Bara yang seakan mau menembus jantungku.Sungguh aku tidak bisa berkompromi jika h
Aku baru saja menidurkan Afnan saat kudengar suara mencurigakan dari arah ruang tamu, karena penasaran aku ke sana."Citra ingin bertemu, Ma.""Kau mau apa lagi, apa kesepakatan kita belum jelas?"Aku mempercepat langkah ketika kudengar suara mama dan mas Bara yang menyebutkan nama Citra. "Tolong kamu bicara dulu, Mas."Nah, itu suara Citra. Berani sekali ia datang ke sini. Pasti mas Bara yang mengajaknya. Dasar memang lelaki buaya!Lebih baik aku mendengarkan dari tempat ini saja tapi bila diperlukan aku juga akan tampil ke depan."Ma, sekarang Mama sudah tahu semuanya kan? Ma, aku tidak bahagia hidup bersama Aruna karena memang dari awal aku tidak mencintainya. Aku menikahinya karena paksaan dari Alya dan menuruti Mama-Papa saja. Aku ingin pisah dari Aruna, Ma. Tapi Mama tahu kan Aruna itu seperti apa, dia tidak akan mau. Aku mencintai Citra dan ingin menikahinya, Ma. Hari ini aku mengajaknya untuk pergi jauh, bukan ke kampungnya. Tujuan kami pun belum pasti tapi yang jelas kami aka
Entah mengapa aku sangat merindukan ibu. Aku merasa sangat lelah akhir-akhir ini. Bukan karena pekerjaan atau karena Afnan yang lagi aktif-aktifnya. Aku lelah dengan keadaan hidupku sendiri. Aku ingin sekali ke rumah ibu dan melepaskan beban perasaanku ini. Aku ingin mencurahkan segala isi hatiku pada ibu. Sebanyak apa pun umurku aku akan tetap membutuhkan ibu seperti masa kecilku dulu."Ma, aku akan menginap di rumah ibu. Sudah lama sekali rasanya aku tidak ke sana."Mama diam. Mama mertua yang kurasakan seperti ibu kedua untukku ini memegang lenganku dengan pelan."Kau bosan di rumah ini, bukan?""Tidak, Ma. Mama jangan salah paham.""Aku tidak salah paham bahkan aku lebih mengerti hatimu dari pada dirimu sendiri. Maafkanlah Bara ...."Aku mengembuskan napas dengan berat. Dari mana mama tahu apa yang kurasakan ini?"Tidak ada masalah dengan mas Bara, Ma. Dia sudah kembali seperti dulu, tidak pernah membuat masalah lagi, pulang tepat waktu dan tidak pergi keluyuran.""Tapi kau tidak
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de