Aryo tak berhenti melihat ke ujung jalan, azan Maghrib sudah selesai lima belas menit yang lalu, namun Sri belum juga pulang. Aryo akhirnya memutuskan keluar dari pondok, menyusul istrinya sampai jalan besar, melewati pematang sawah yang diterangi oleh lampu pijar yang di gantung di atas tiang bambu untuk menerangi jalan.
Tidak jauh, kira-kira seratus meter dia sudah sampai di jalan desa. Deru motor mengalihkan perhatian Aryo, tidak salah lagi, itu motor Yayuk dan dibelakang gadis itu adalah istrinya.Motor berhenti tepat di depan Aryo. Mata Aryo terlihat membelalak, rahangnya mengeras."Makasih ya, Yuk. Aku cukup senang hari ini." Sri turun dari motor Yayuk, agak kewalahan membawa barang belanjaan di tangannya. Yayuk mengangguk, dan melirik Aryo sekilas."Mas?""Kenapa rambutmu, Dek?"Sri agak tergagap, dia meraba rambutnya. Memang, sepulang bekerja mereka singgah ke salon, Yayuk mengatakan kalau rambut Sri tak bermodel, jadi dia menyarankan Sri untuk memotongnya dan langsung di iyakan oleh Sri."Oh, aku memotongnya, Mas.""Kenapa kau tak bilang dulu pada Mas?" Jujur merasa kehilangan, rambut panjang Sri adalah salah satu yang paling disukainya dari istrinya itu."Nanti aja aku jelaskan ya, Mas. Aku capek." Sri berjalan mendahului Aryo yang masih menampilkan wajah tidak puas.Sesampai di pondok, Sri langsung membuka tudung saji. Dia bernafas lega, ada nasi dan lauk serta sayur yang masih hangat di sana.Aryo hanya diam menunggu istrinya itu menyelesaikan makan malamnya. Setelah selesai, Aryo mendekati Sri, dia ingin berbicara serius dengan istrinya itu."Dek,""Hmmm?" Sri menjawab pelan, matanya terlihat mengantuk."Seminggu ini, mas lihat kau terlalu banyak berubah.""Perubahan dibutuhkan, Mas. Begitu kata Yayuk. Oh ya! Tadi Yayuk sempat membawaku mampir ke toko baju.""Uang dari mana?""Yayuk yang pinjamkan. Boleh dibayar pas gajian." Sri tersenyum semangat. Dia mengeluarkan gaun bewarna biru muda dari kantong belanjaannya."Cantik kan, Mas?" Sri menunjukkan gaun biru itu."Cantik, tapi apa nggak terlalu terbuka, Dek? Mas lihat, nggak ada lengannya.""Ini masih sopan, Mas. Besok malam kami ada acara perusahaan, jadi semua karyawan wanita wajib pakai gaun.""Besok malam?""Iya." Sri mengangguk semangat."Artinya kau takkan pulang?""Acaranya diadakan di hotel, Mas. Dan kami langsung menginap di sana.""Tapi, Dek. Mas tidak izinkan kamu nginap di sana.""Mas," Sri mulai menunjukkan wajah serius. "Mas sudah mengizinkan aku untuk bekerja, artinya Mas juga harus siap dengan segala kewajiban yang dilimpahkan kepadaku. Termasuk mengikuti acara perusahaan.""Tapi, kau wanita bersuami, mana mungkin kau meninggalkan suamimu di rumah sendiri.""Mas, hanya satu malam. Ini pun sekali setahun. Tolonglah, Mas. Mengertilah." Sri menggenggam tangan Aryo. Mau tak mau, laki-laki itu hanya mengangguk walau terpaksa."Entah kenapa, Mas lebih suka kau menjadi ibu rumah tangga, setiap saat kita bertemu.""Kita sudah bicarakan ini, Mas. Kita takkan maju kalau hanya bergantung pada belas kasih orang lain.""Maafkan mas, Dek. Jika kau menderita selama ini karena hidup kita yang miskin."Sri tersenyum, menyandarkan kepalanya pada dada bidang suaminya."Jangan bicara begitu lagi, Mas. Aku bahagia dengan Mas.""Sykurlah, Dek." Aryo membalas pelukan Sri. Tapi, di sudut hatinya yang paling dalam, ada kegelisahan yang tak bisa dijelaskan oleh Aryo. Entah apa.***Sri berjalan tidak percaya diri di antara kerumunan tamu undangan yang hadir di pesta ulang tahun perusahaan itu. Jujur, ini lah pertama kalinya dia pergi ke pesta yang begitu modern dan sangat berkelas. Dia sampai tak bisa menutup mulutnya melihat dekorasi yang di tata begitu apik dan indah.Sri tersadar saat sikutnya di senggol Yayuk. Yayuk yang malam ini begitu cantik dan elegan."Ada Pak Bos." Yayuk merelakan senyum namun, Novan malah terpaku pada gadis yang bergerak canggung di samping Yayuk. Malam ini wanita itu sangat cantik, bahkan Novan mengabaikan panggilan Laura yang selama ini berusaha merebut perhatiannya."Malam, Pak!" Yayuk mengangguk berlebihan, sedangkan Sri hanya tersenyum hormat sekedarnya."Malam." Mata Novan melirik ke arah Sri."Silahkan nikmati pestanya.""Oh, terimakasih, Pak." Yayuk mengangguk lagi. Sedangkan Sri malah asik menatap kolam renang yang memantulkan indahnya lampu warna-warni."Sri Rahayu?""Oh, iya, saya, Pak.""Bisa ikut saya sebentar?"Sri mengerjap, dia melirik Yayuk untuk minta pendapat. Yayuk malah mendorongnya, terlihat memberikan dukungan."Ehm, saya,""Saya tunggu di taman hotel." Novan berlalu begitu saja."Pergi sana!" Yayuk menyemangati Sri. "Mana tau kamu langsung naik jabatan.""Ah! Nggak mungkin kerja baru seminggu langsung naik jabatan.""Itu makanya, temui aja dulu."Sri hanya pasrah, tak ada pilihan lain selain mengikuti Novan dari belakang. Beberapa orang menatap Sri ingin tau sejak Novan sengaja mendekatinya.Sri akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Novan tersenyum hangat, lalu menepuk kursi yang dicat dari besi yang di ukir begitu cantik dan dilapisi cat putih."Duduk!""Saya," Sri menggigit bibirnya sendiri, rasanya begitu canggung."Jangan terlalu kaku, saya hanya ingin berbincang dan mengenalmu lebih jauh, ini bukan urusan kantor, jadi, santai saja. Oke?" Novan kembali tersenyum ramah.Mau tak mau Sri meletakkan bokongnya duduk di samping laki-laki itu. Novan semakin takjub, wanita ini bahkan seribu lebih cantik jika dilihat dari dekat."Sri Rahayu,""Panggil Sri aja, Pak.""Hmm, Sri." Novan mengutuk dirinya yang kehilangan kosa kata di dekat wanita itu."Ya, Pak." Sri menunduk meremas jemarinya canggung."Kamu berasal dari mana?""Oh, saya tak jauh dari sini, Pak. Tetanggaan sama Yayuk.""Oo, pantas saja kalian selalu pergi dan pulang bareng."Sri mengangguk."Oh ya, saya ada sesuatu." Novan mengeluarkan kotak kecil dari balik jasnya."Ini, untuk kamu." Novan menyodorkan kotak kecil itu pada Sri dan dilihat wanita itu dengan binggung."Apa ini, Pak?""Anggap saja hadiah." Novan tersenyum lagi."Hadiah? Tapi saya?""Kata supervisor kamu, selama seminggu ini kamu berhasil menjadi karyawan terbaik." Novan mencari alasan, yang jelas mengada-ada."Saya,""Buka saja dulu!"Sri hanya menuruti, saat membuka kotak kecil itu, dia hanya bisa menganga, sebuah kalung, cantik, sangat cantik, memiliki liontin bermata biru muda."Sini! Saya pakaikan."Dan bodohnya, Sri hanya bisa pasrah tanpa menolak.Aryo menghisap rokoknya dalam. Sudah jam sebelas malam, berulang kali dia berusaha merebahkan dirinya di tempat tidur dan memejamkan matanya, namun tak bisa membuatnya tertidur. Ranjang tanpa Sri adalah hal yang begitu aneh. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar pondok, menyalakan rokok. Matanya memandang langit malam yang ditaburi bintang, seakan mengejek dirinya yang tengah kesepian.Tentu Sri saat ini sedang bersenang-senang dengan rekan kerjanya. Bagiamana pun, Sri adalah wanita pada umumnya, yang suka pesta, pakaian bagus dan makanan enak. Beberapa hal yang belum pernah diberikan untuk istrinya itu.Sri dan dia bernasib sama. Sama-sama yatim piatu sejak kecil. Sama-sama miskin dan terbiasa akan kesusahan hidup. Dua hal itu yang membuat dia dan Sri terasa cocok. Namun, hati Aryo mulai meragu, seminggu ini istrinya itu banyak berubah. Sri mulai berdandan seperti orang kota, mulai berbicara ini itu yang berkaitan dengan perusahaan yang bahkan tak dimengerti oleh Aryo. Terkadang, Ary
Sri dan Yayuk sudah siap dengan tas mereka masing-masing. Hari ini hari Minggu, tentu saja mereka bisa menghabiskan waktu di rumah masing-masing. Sri tidak memiliki rencana apa-apa hari ini, yang dia butuhkan adalah tidur, mungkin karena tak terbiasa tidur dengan AC, dia merasa tubuhnya meriang.Sri baru saja menerima helm dari Yayuk, ketika mereka dikejutkan dengan suara klakson mobil di samping mereka."Mobil Pak Bos tuh!" Yayuk menunjuk dengan dagunya.Benar, Novan menurunkan kaca mobil, tersenyum hangat pada Sri."Ayo, Sri! Saya antar.""Eh?! Nggak usah, Pak. Saya sama Yayuk saja.""Pergi sana!" Yayuk malah mendorong bahu Sri, dan dapat hadiah pelototan."Kamu tak keberatan pulang sendiri kan, Yuk?" tanya Novan."Ya enggaklah Pak. Lagian saya ada keperluan juga ke rumah saudara. Duluan ya, Sri." Tanpa menunggu Sri, Yayuk sudah kabur duluan dengan motornya.Tinggal Sri yang kebingungan."Cepat masuk! Orang akan semakin curiga melihat kamu." Novan membantu membuka pintu, Sri bagaika
Sampai menjelang sore, Aryo dan Sri masih belum bertegur sapa, bahkan Aryo tak menyuruhnya membuat kopi seperti biasa. Memang, Sri belum sempat memasak hari ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Dia tak mencegah Aryo pergi ke pasar dengan motornya, membawa beberapa ikat sayur dan beberapa jenis lauk.Bahkan Aryo tak menunggu semua bahan mentah itu diolah oleh Sri, dia mengerjakan sendiri, membersihkan ikan dan memasaknya. Bahkan makan sendiri tanpa menunggu dihidangkan.Sri tau, Aryo tengah mengabaikannya. Suaminya itu, jika sudah marah akan mengunci mulutnya dan takkan menatapnya sama sekali. Sri pun sedang tidak mood untuk memberi penjelasan.Namun, sudah menunggu beberapa lama, Sri mulai jenuh diabaikan."Mas," Sri mendekati Aryo yang tengah melahap nasi di depannya. Dia tak menyahut, hanya memandang Sri sekilas, kemudian kembali dengan aktifitas makan siangnya walaupun ini sudah sore."Mas masih marah sama aku?""Kamu sudah dewasa, bisa menyimpulkan sendiri, ap
Sri hanya melongo menerima sebuah kotak yang tak tau apa isinya itu, Yayuk sengaja menghampirinya pas makan siang di kantin."Nih, ada titipan." Yayuk mencomot kentang goreng milik Sri. Kening Sri berkerut."Apa ini, Yuk?""Nggak tau, buka saja.""Siapa yang ngasih?""Pak Bos." Yayuk sedikit berbisik. "Aku mau ke meja yang di sana dulu ya," Yayuk bangkit. Sri mengangguk.Sejenak, Sri mengamati kotak yang dibungkus dengan kertas kado bewarna pink itu. Kemudian, dia membukanya hati-hati, mata Sri membola, sebuah Smartphone model terbaru. Mata Sri juga menangkap secarik kertas yang ditulis begitu rapi."Aku rasa, kamu butuh ponsel baru, karena ponsel lipatmu sepertinya sudah tak layak pakai. Tidak usah berterimakasih, karena aku hanya ingin kau mau ku antar pulang setelah bekerja. Novan."Sri buru-buru melipat kertas itu kembali, kemudian menyelipkan di dalam tas hitamnya. Tas itu juga diberikan Novan tiga hari yang lalu. Sri membuka segel kotak tersebut, kemudian tersenyum sumringah m
Sri baru sampai di pondok setelah azan Maghrib. Sudah tiga hari berturut-turut dia diantarkan oleh Novan setiap kali pulang bekerja. Sejauh ini, dalam pikiran Sri, Novan adalah laki-laki yang baik dan ramah. Dia tidak seperti orang kaya pada umumnya, Novan tidak sombong, dia tak membedakan status sosial karyawannya. Dan diakui oleh Sri, dia mulai merasa nyaman dan kagum akan kerendahan hati bosnya itu.Seperti biasa, dia mendapati Aryo yang duduk di kursi kayu setiap kali dia pulang. Aryo masih memakai sarung dan peci, serta Al-Qur'an di tangannya. Aryo terbiasa menunggu Azan isya dengan membaca Al-Qur'an. Begitu juga dengan Sri dulu, kebiasaan itu telah berlangsung sejak mereka menikah. Setelah mereka shalat berjamaah, mereka akan tadarus bersama.Akan tetapi semenjak bekerja, Sri tak sempat melakukan itu. Tenaganya terkuras bekerja di pabrik, setiap hari Sri harus menyelesaikan target pekerjaannya.akhir-akhir ini, setelah mandi dan makan malam masakan yang dimasak Aryo, dia biasany
"Mau pesan apa?" tanya Novan sambil menyodorkan buku menu ke hadapan Sri. Wanita cantik itu tersenyum canggung, bahkan tak satu pun menu yang ada di buku itu yang dipahaminya. Isinya berbahasa Inggris semua."Saya sama kayak Pak Novan aja.""Oh, gitu ya? Oke." Novan mengamati menu itu satu persatu. Siang ini Novan sengaja mengajak Sri makan siang bersama, memang ini bukan pertama kalinya. Novan sekarang sedang gencar-gencarnya mendekati Sri. Sebuah kebahagiaan tersendiri baginya jika berdekatan dengan gadis lugu itu."Pak, sebenarnya saya merasa tak enak diajak makan siang dan diantar pulang. Orang-orang mulai heboh menggunjingkan saya. Dibilang saya wanita penggoda." Sri menyampaikan unek-unek dalam hatinya. Sebenarnya, dalam hatinya ada kenyamanan tersendiri setiap Novan memberi perhatian khusus padanya. "Santai saja, Sri. Tak semuanya harus dipikirin, orang akan berhenti ngomong kalau udah capek. Oh ya, boleh aku bertamu ke rumahmu, Sri. Ingin silaturrahmi dengan orangtuamu."Sri
Hujan turun makin deras, menyapa rumput yang tumbuh di sekitar pondok. Air yang mengalir di saluran irigasi bewarna kecoklatan dan keruh, bahkan melimpah masuk ke dalam sawah.Di dalam pondok, seorang wanita cantik jelita tengah memandang ujung jalan dengan gelisah, lampu lima Watt menerangi jalan setapak yang biasa mereka lalui setiap menuju jalan desa.Wanita itu adalah Sri, ketika dia pulang, dia mendapati pondok dalam keadaan gelap gulita, biasanya Aryo sudah duduk di kursi rotan sambil mengaji dan ditemani segelas kopi. Tapi, malam ini, suaminya itu tak ada di pondok."Kemana kamu, Mas?" Sri menggigit kukunya gelisah. Ini sudah jam delapan malam, bahkan suaminya itu tak pernah pulang ke pondok seterlambat ini.Seharusnya Sri membelikan suaminya itu handphone, sehingga dia tak perlu kebingungan.Benda pipih yang dinamakan ponsel pintar milik Sri bergetar. Novan, memanggilnya."Halo, Pak?""Hai, kok masih panggil "pak"?""Eh, iya. Mas." Sri tersenyum canggung."Udah di rumah kan? T
Matahari sudah merangkak naik. Cahayanya menyusup masuk ke jendela yang ditutup gorden tipis, jendela itu tepat berada di samping bangkar Aryo.Brenda muncul, dengan plastik berisi makanan di tangannya. Entah kenapa, wanita itu selalu membawa makanan setiap masuk ke ruang perawatan, padahal makanan yang dibeli semalam belum tersentuh. Bukannya tidak lapar, tapi melihat apa yang dibeli wanita itu, selera Aryo langsung surut. Pizza, mungkin enak bagi sebagian orang, tapi tidak baginya, lidahnya merasa asing saat pertama kali mencoba makanan itu beberapa tahun lalu. Tak hanya merasa asing, parahnya dia merasa perutnya bergejolak saat sebuah cairan dari makanan itu meleleh dalam mulutnya.Mungkin benar, lidah orang kaya berbeda dengan lidah orang miskin sepertinya, jika ditawarkan makan pizza atau makan singkong rebus, dia memilih makan singkong rebus. "Makanan semalam sudah dingin." Tanpa banyak kata, Brenda memasukkan makanan itu ke dalam tong sampah, Aryo hanya tak habis pikir, begit
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p