Matahari bersinar dengan cerahnya. Aku yang sejak sudah bangun sejak subuh tadi membantu Bunda menyiram tanaman. Sore tadi Bunda lupa menyiram tanamannya karena sakit kepala. Pohon dan tanaman di halaman rumah kami jadi terlihat layu serta tidak segar. Oleh karena itu aku menawarkan diri untuk membantu Bunda dengan menyiram tanamannya."Tumben sudah bangun?" tanya Bang Angga."Iya, Bang. Sejak kapan ada di situ?""Sejak kamu kentut tadi," jawabnya seraya tertawa.Bodohnya aku tidak menyadari keberadaan Bang Angga karena asyik menyiram tanaman dan memikirkan laki-laki tampan kemarin.Ah, mengingatnya aja membuatku tersipu."Sekarang senyum-senyum sendiri, ada yang gak beres sepertinya," ucap Bang Angga yang membuyarkan lamunanku."Abang, apaan sih!"Bang Angga menghampiriku. Aku tau dia pasti ingin mengacak-acak rambutku seperti biasanya, sebelum itu terjadi, aku menyemprotnya dengan air. Terjadilah candaan diantara kami."Aqila, Abang basah nih!" teriaknya."Biarin, sekalian mandi pag
Hampir setiap hari aku terlambat pulang ke rumah karena pelajaran tambahan yang luar biasa banyak. Tidak mengapa, aku senang karena memiliki teman baru. Fajar ternyata sangat baik dan nyambung jika diajak berbincang. Tiap hari kami ngobrol sambil menunggu jam tambahan di mulai. Ada saja bahan yang kami bicarakan. Aku kadang mendengarkan cerita fajar tentang kampungnya dan alasan dia tidak bisa meneruskan sekolah. Jika sudah begitu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung karena bisa hidup nyaman dan bersekolah di tempat yang aku mau. Kadang kita memang perlu melihat ke bawah agar kita menjadi pandai bersyukur."Lusa ujian kelulusan di mulai, gue takut gak lulus," ucapku."Yakin aja, La. Kamu pasti lulus," ucap Fajar menenangkanku."Kalo gak lulus gimana? Gue harus ngulang lagi, gitu?""Lu itu terlalu parno, La. Yakin kita lulus dengan nilai sempurna," timpal Mita."Kalian ini orang-orang beruntung yang bisa sekolah dan pasti akan melanjutkan kuliah, belajar lebih giat untuk men
Seminggu telah berkali-kali setelah aku memergoki Mita dan Fajar berada di taman kota. Sejak itu pula aku tidak ingin bertemu mereka. Kebetulan saat ujian aku tidak sekelas dengan Mita. Begitupun dengan Fajar, dia sudah diterima kerja entah di mana, jujur saja aku tidak mau tahu tentangnya lagi.Setiap hari selama seminggu ini aku berusaha menghindari Mita yang ingin memberi penjelasan. Aku sengaja tidak ingin mendengar apa pun darinya. Aku ingin fokus mengerjakan soal ujian.Hari ini ujian terakhir. Karena cuma satu mata pelajaran, aku meninggalkan sekolah lebih awal. Aku tidak ingin berlama-lama di sekolah ataupun kantin. Aku juga malas jika bertemu Mita."La, Tunggu!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar. Aku mengabaikan teriakan Mita. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Sangat disayangkan memang persahabatan kami harus hancur karena kebohongannya.Aku mempercepat langkah agar tidak terkejar oleh Mita. Namun, dia berhasil memegang tanganku."La, tunggu. Gue t
"Aqila, bangun, sudah siang, Nak!"Aku membuka mata perlahan sambil melihat siapa yang menepuk badanku. Terlihat Bunda tengah tersenyum lembut."Sudah siang, ayo bangun!""Sebentar lagi, Bun. Aku masih mengantuk. Lagi pula sekolah libur hari ini.""Baiklah kalau begitu, tidurlah tiga puluh menit lagi.""Makasih, Bunda."Bunda Ibu yang sangat pengertian. Saking pengertiannya, aku sering merasa beliau terlalu baik untuk ukuran ibu kandung. Marah saja beliau sangat jarang meskipun aku sering berbuat salah. Berbeda dengan ibu kebanyakan yang akan marah ketika anaknya membuat kesalahan. Entah harus senang atau semakin curiga jika aku memang bukan anak kandung.Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi. Namun, baru saja mata ini terpenjam, ponselku bergetar.Drtt ... DrttAku buru-buru mengambilnya, semoga saja ini sesuatu yang penting. Jika tidak, aku pasti marah besar."Halo, Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam, La, lu udah rapi?" tanya seseorang
Aku berdiri di depan pintu kamar Lita bersama dua orang suster. Sementara itu, Lita tengah berbincang dengan Mita. Suatu kebetulan jika ternyata Mia atau sahabat Lita adalah kakak dari Mita. Dengan begini kami bisa mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi dengan Lita.Mita terlihat antusias mendengar Lita berbicara. Mereka layaknya sahabat yang sangat akrab. Sayangnya dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa pun. Tidak mengapa, nanti aku bisa bertanya kepada Mita tentang apa yang mereka bicarakan."Lita terlihat senang, baru kaki aku melihatnya seperti sekarang," ucap Suster."Iyakah, Sus?" tanyaku."Iya, emosinya terlihat stabil dan itu bagus.""Lita tertekan ya, Sus. Dia depresi dan akhirnya menjadi seperti ini. Apakah hanya KDRT yang menyebabkan Lita menjadi begini?" tanyaku."Kehilangan anak di usia muda adalah awal dari segalanya. Aku membaca buku riwayat pasien milik Lita dan di sana tertulisnya jelas jika dia hamil diluar nikah dan melahirkan tanpa suami."Lita
"Sekarang bagaimana, La?" tanya Mita yang tengah berbaring di ranjangku."Apa? Soal lu sama Bang Angga? Ngebet banget lu!" ucapku mencubit perutnya."Bukan itu, soal Lita."Aku buru-buru menutup mulut Mita sambil celingukan. Menyebut nama itu adalah hal yang tabu di rumah ini. Aku harap Bunda tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Mita tadi."Jangan bahas itu di sini.""Oke," jawab Mita dengan wajah bingung.Aku mengajak Mita keluar rumah untuk membicarakan Lita."Aqila, mau ke mana?" tanya Bunda."Nganterin Mita pulang, Bun," jawabku asal."Lho, Mita sudah mau pulang?""Eh, iya, Bun. Sudah siang.""Biar Angga yang antar!" perintah Bunda."Bang Angga sepertinya masih marah, Bun. Lebih baik sama pak sopir aja," ucapku."Baiklah."Dengan diantar pak sopir aku mengantarkan Mita pulang. Sebenarnya ini lucu, harusnya Mita pulang sendiri dengan sopir tanpa aku ikut, tetapi penyelidikan kami belum selesai, kami harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.Tiba di rumah Mita, aku l
Bab 42 : Rahasia Angga (POV Aqila)Aku dan Mita terkejut melihat Bang Angga yang tiba-tiba saja memeluk Mia. Apa-apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Apa mereka saling kenal dan memiliki hubungan? Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Inginku mengutarakannya, tetapi aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik aku menunggu Bang Angga menjelaskan ini semua.Aku dan Mita memilih menjauh dari pasangan yang entah aku harus menyebutnya apa. Mia terlihat mengusap matanya begitu Bang Angga melepaskan pelukkannya. Aku seperti tengah berada dalam sebuah drama.Aku dan Mita saling pandang dan memilih mengalihkan pandangan dari dua orang yang entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya."La.""Hmm.""Sejak kapan Bang Angga kenal dengan Kak Mia?" tanya Mita."Itu pertanyaan yang sama seperti yang ada dalam otak gue.""Owh, okeh."Hening, Mita tidak bertanya lagi. Mungkin dia juga tengah memikirkan apa yang aku pikir. Masalah dalam hidupku semakin rumit sekarang, tetapi aku yakin semuanya ak
Aku membaca ulang hasil tes DNA yang ada di tanganku. Aku harap aku salah liat. Namun, berapa kali pun aku membacanya, di sana tertera namaku dan nama Lita.Air mata tidak bisa aku bendung lagi. Dadaku sesak mengingat pelukan Lita yang terasa sangat hangat. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu.Aku menutup mulut agar tangisku tidak terdengar oleh orang rumah. Aku duduk sambil memeluk lutut. Sesegukan sendirian karena tahu sebuah kebenaran yang disembunyikan oleh Bang Angga dan pastinya keluarga ini.Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Kenyataan ini begitu membuatku merasa sedih. Meskipun sudah menduganya, rasa sesak semakin berkecamuk dalam dada.Sekarang aku tidak bisa berpikir jernih. Menangis dan menangis hanya itu saja sambil mengingat senyuman tulus Lita ketika melihatku. Tak sepantasnya aku memanggilnya Lita, harusnya aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, sebab dia adalah wanita yang melahirkanku.Sampai pagi menjelang aku tidak tidur. Aku juga sudah berhenti menan
Semua orang tertegun dengan penuturan Mia. Bagaimana ini bisa terjadi? Kebenarannya adalah Mita anak Lita, bukan aku? Lantas siapa aku? Kenapa ada kertas hasil DNA aku dan Lita? Lagi-lagi kepalaku di penuhi oleh banyak pertanyaan. Namun, enggan untuk aku tanyakan terlebih melihat Mita yang sedari tadi diam saja."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku.Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mita. Dia benar-benar terpukul. Bunda menghampiri gadis itu dan beliau memeluknya. Aku tahu kenyataan ini begitu pahit."Sebaiknya kita masuk, bicarakan ini di dalam rumah, tidak baik membicarakan sesuatu yang serius di depan rumah seperti ini," ucap Ayah.Sesuai dengan keinginan Ayah, kami masuk ke rumah. Lita juga diajak masuk oleh Mia meskipun dia lebih banyak diam.Kami berada di ruang tamu sekarang. Membicarakan masalah besar ini dengan kepala dingin. Aku ingin semuanya terungkapkan. Aku tolong ingin ada kebohongan lagi."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku yang duduk di sampingnya."Ke
Pelukan Lita terasa sangat hangat, jauh berbeda dengan pelukan Bunda. Aku merasa nyaman dalam dekapan wanita ini. Rasanya benar-benar tidak bisa aku jelaskan."La, lu bilang apa?" tanya Mita yang sepertinya bingung."Gue beneran anaknya, Ta.""Jangan aneh-aneh deh, lu punya bukti?"Aku mengambil kertas yang sedari tadi ada di saku celanaku. Aku langsung menunjukkannya kepada Mita tentang apa yang tertera di sana."Ini apa?""Hasil tes DNA gue dan Ibu Lita, hasilnya gue anak kandung wanita-wanita ini," ucapku sambil mencium lembut pipi Ibu Lita."La?""Gue seneng banget karena tahu kebenaran ini.""Tapi, La. Lu dapet dari mana kertas ini?"Aku menceritakan bagaimana aku dapat kertas hasil DNA itu. Awalnya Mita masih berusaha meyakinkan aku jika kertas ini bisa saja dibuat, tetapi aku menyangkal karena ada tanda tangan dokter dan tanda sebuah rumah sakit."La, lu gak apa-apa?""Gak, sekarang gue tau siapa gue sebenarnya."Aku, Mita, dan Ibu Lita saling berpelukan sambil menangis. Sampai
Aku membaca ulang hasil tes DNA yang ada di tanganku. Aku harap aku salah liat. Namun, berapa kali pun aku membacanya, di sana tertera namaku dan nama Lita.Air mata tidak bisa aku bendung lagi. Dadaku sesak mengingat pelukan Lita yang terasa sangat hangat. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu.Aku menutup mulut agar tangisku tidak terdengar oleh orang rumah. Aku duduk sambil memeluk lutut. Sesegukan sendirian karena tahu sebuah kebenaran yang disembunyikan oleh Bang Angga dan pastinya keluarga ini.Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Kenyataan ini begitu membuatku merasa sedih. Meskipun sudah menduganya, rasa sesak semakin berkecamuk dalam dada.Sekarang aku tidak bisa berpikir jernih. Menangis dan menangis hanya itu saja sambil mengingat senyuman tulus Lita ketika melihatku. Tak sepantasnya aku memanggilnya Lita, harusnya aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, sebab dia adalah wanita yang melahirkanku.Sampai pagi menjelang aku tidak tidur. Aku juga sudah berhenti menan
Bab 42 : Rahasia Angga (POV Aqila)Aku dan Mita terkejut melihat Bang Angga yang tiba-tiba saja memeluk Mia. Apa-apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Apa mereka saling kenal dan memiliki hubungan? Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Inginku mengutarakannya, tetapi aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik aku menunggu Bang Angga menjelaskan ini semua.Aku dan Mita memilih menjauh dari pasangan yang entah aku harus menyebutnya apa. Mia terlihat mengusap matanya begitu Bang Angga melepaskan pelukkannya. Aku seperti tengah berada dalam sebuah drama.Aku dan Mita saling pandang dan memilih mengalihkan pandangan dari dua orang yang entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya."La.""Hmm.""Sejak kapan Bang Angga kenal dengan Kak Mia?" tanya Mita."Itu pertanyaan yang sama seperti yang ada dalam otak gue.""Owh, okeh."Hening, Mita tidak bertanya lagi. Mungkin dia juga tengah memikirkan apa yang aku pikir. Masalah dalam hidupku semakin rumit sekarang, tetapi aku yakin semuanya ak
"Sekarang bagaimana, La?" tanya Mita yang tengah berbaring di ranjangku."Apa? Soal lu sama Bang Angga? Ngebet banget lu!" ucapku mencubit perutnya."Bukan itu, soal Lita."Aku buru-buru menutup mulut Mita sambil celingukan. Menyebut nama itu adalah hal yang tabu di rumah ini. Aku harap Bunda tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Mita tadi."Jangan bahas itu di sini.""Oke," jawab Mita dengan wajah bingung.Aku mengajak Mita keluar rumah untuk membicarakan Lita."Aqila, mau ke mana?" tanya Bunda."Nganterin Mita pulang, Bun," jawabku asal."Lho, Mita sudah mau pulang?""Eh, iya, Bun. Sudah siang.""Biar Angga yang antar!" perintah Bunda."Bang Angga sepertinya masih marah, Bun. Lebih baik sama pak sopir aja," ucapku."Baiklah."Dengan diantar pak sopir aku mengantarkan Mita pulang. Sebenarnya ini lucu, harusnya Mita pulang sendiri dengan sopir tanpa aku ikut, tetapi penyelidikan kami belum selesai, kami harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.Tiba di rumah Mita, aku l
Aku berdiri di depan pintu kamar Lita bersama dua orang suster. Sementara itu, Lita tengah berbincang dengan Mita. Suatu kebetulan jika ternyata Mia atau sahabat Lita adalah kakak dari Mita. Dengan begini kami bisa mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi dengan Lita.Mita terlihat antusias mendengar Lita berbicara. Mereka layaknya sahabat yang sangat akrab. Sayangnya dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa pun. Tidak mengapa, nanti aku bisa bertanya kepada Mita tentang apa yang mereka bicarakan."Lita terlihat senang, baru kaki aku melihatnya seperti sekarang," ucap Suster."Iyakah, Sus?" tanyaku."Iya, emosinya terlihat stabil dan itu bagus.""Lita tertekan ya, Sus. Dia depresi dan akhirnya menjadi seperti ini. Apakah hanya KDRT yang menyebabkan Lita menjadi begini?" tanyaku."Kehilangan anak di usia muda adalah awal dari segalanya. Aku membaca buku riwayat pasien milik Lita dan di sana tertulisnya jelas jika dia hamil diluar nikah dan melahirkan tanpa suami."Lita
"Aqila, bangun, sudah siang, Nak!"Aku membuka mata perlahan sambil melihat siapa yang menepuk badanku. Terlihat Bunda tengah tersenyum lembut."Sudah siang, ayo bangun!""Sebentar lagi, Bun. Aku masih mengantuk. Lagi pula sekolah libur hari ini.""Baiklah kalau begitu, tidurlah tiga puluh menit lagi.""Makasih, Bunda."Bunda Ibu yang sangat pengertian. Saking pengertiannya, aku sering merasa beliau terlalu baik untuk ukuran ibu kandung. Marah saja beliau sangat jarang meskipun aku sering berbuat salah. Berbeda dengan ibu kebanyakan yang akan marah ketika anaknya membuat kesalahan. Entah harus senang atau semakin curiga jika aku memang bukan anak kandung.Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi. Namun, baru saja mata ini terpenjam, ponselku bergetar.Drtt ... DrttAku buru-buru mengambilnya, semoga saja ini sesuatu yang penting. Jika tidak, aku pasti marah besar."Halo, Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam, La, lu udah rapi?" tanya seseorang
Seminggu telah berkali-kali setelah aku memergoki Mita dan Fajar berada di taman kota. Sejak itu pula aku tidak ingin bertemu mereka. Kebetulan saat ujian aku tidak sekelas dengan Mita. Begitupun dengan Fajar, dia sudah diterima kerja entah di mana, jujur saja aku tidak mau tahu tentangnya lagi.Setiap hari selama seminggu ini aku berusaha menghindari Mita yang ingin memberi penjelasan. Aku sengaja tidak ingin mendengar apa pun darinya. Aku ingin fokus mengerjakan soal ujian.Hari ini ujian terakhir. Karena cuma satu mata pelajaran, aku meninggalkan sekolah lebih awal. Aku tidak ingin berlama-lama di sekolah ataupun kantin. Aku juga malas jika bertemu Mita."La, Tunggu!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar. Aku mengabaikan teriakan Mita. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Sangat disayangkan memang persahabatan kami harus hancur karena kebohongannya.Aku mempercepat langkah agar tidak terkejar oleh Mita. Namun, dia berhasil memegang tanganku."La, tunggu. Gue t
Hampir setiap hari aku terlambat pulang ke rumah karena pelajaran tambahan yang luar biasa banyak. Tidak mengapa, aku senang karena memiliki teman baru. Fajar ternyata sangat baik dan nyambung jika diajak berbincang. Tiap hari kami ngobrol sambil menunggu jam tambahan di mulai. Ada saja bahan yang kami bicarakan. Aku kadang mendengarkan cerita fajar tentang kampungnya dan alasan dia tidak bisa meneruskan sekolah. Jika sudah begitu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung karena bisa hidup nyaman dan bersekolah di tempat yang aku mau. Kadang kita memang perlu melihat ke bawah agar kita menjadi pandai bersyukur."Lusa ujian kelulusan di mulai, gue takut gak lulus," ucapku."Yakin aja, La. Kamu pasti lulus," ucap Fajar menenangkanku."Kalo gak lulus gimana? Gue harus ngulang lagi, gitu?""Lu itu terlalu parno, La. Yakin kita lulus dengan nilai sempurna," timpal Mita."Kalian ini orang-orang beruntung yang bisa sekolah dan pasti akan melanjutkan kuliah, belajar lebih giat untuk men