Farrel dan Sally tinggal di rumah sakit bersama Xander cukup lama. Setelah itu, Farrel menerima telepon dari kantor dan harus pergi.Sally tetap tinggal bersama anak itu. Setelah dia menelepon ke rumah untuk menjelaskan situasinya, dia meminta Nyonya Jahn untuk memberikan telepon ke Tina.“Sayang, Ibu mungkin tidak bisa menemanimu ke sekolah.”Tina, yang sampai pagi itu, masih mengganggu Sally untuk menemaninya ke sekolah, tiba-tiba menjawab dengan sangat bijaksana, "Aku tahu Ibu perlu bersama kakak, jadi nenek saja yang akan menemaniku."Mendengar ini, Sally tergerak. "Kau yang terbaik, Sayang.""Apa kakak baik-baik saja, Bu?" tanya Tina."Dia baik-baik saja. Dia hanya perlu tinggal di rumah sakit selama beberapa hari.”"Bolehkah aku mengunjunginya sepulang sekolah?""Tentu saja boleh."Sally berjanji pada Tina bahwa dia akan menjemputnya sepulang sekolah dan membawanya ke rumah sakit untuk menemui kakaknya.Sally kemudian menutup telepon setelah mengucapkan selamat tinggal.
Sally meneruskan pesan Yetta ke Yves.Yves sangat senang mendengarnya.Sally bisa merasakan kesenangan itu, bahkan melalui telepon. Sally tersenyum.“Terima kasih, Sally.” Yves mengucapkan terima kasih padanya.“Sama-sama.”Setelah menyelesaikan urusan pribadinya, baru saat itu Yves ingat untuk bertanya pada Sally. “Bagaimana semuanya di rumah?”Sally melirik ke arah Xander yang terbaring di tempat tidur. “Tidak terlalu buruk. Tapi, sesuatu terjadi pada Xander, jadi mungkin aku tidak bisa segera kembali ke ibu kota. Aku akan merepotkanmu untuk menjaga ibuku.”“Apa yang terjadi pada Xander?” Tanya Yves dengan cemas.“Dia jatuh dan kepalanya terbentur. Dia berada di rumah sakit sekarang.”Sally takut Yves akan merasa khawatir dan dengan cepat dia menambahkan, “Tidak ada yang serius, dia hanya perlu istirahat selama beberapa hari.”Bahkan jika cederanya tidak serius, seorang anak kecil yang kepalanya terbentur tetap saja membuat khawatir.Yves memberi tahu orang tuanya mengenai
Setelah melihat tingkah Tina, Sally merasa ada beban yang menimpa dadanya.Dia menghampiri Tina, berlutut, dan bertanya, “Tina, ada apa? Apa seseorang mengganggumu?”Tina mengalihkan pandangannya dan tidak melihat atau berbicara dengan Sally.Sally berbalik untuk melihat ke arah guru Tina.Sebelum Sally bicara, guru Tina mengantisipasi apa yang akan dia katakan dan buru-buru berkata, “Tina sangat baik dan patuh hari ini, selalu seperti itu.”Ekspresi cemas guru itu tidak terlihat seperti dia sedang berbohong.“Tina, jangan abaikan Ibu, ya?”Sally berpura-pura sangat terluka dan sedih. Bahkan suaranya dengan sengaja membawa sedikit isak tangis.“Ibu tidak menyayangiku,” gerutu Tina.Sally mengerutkan alisnya, merasa bingung, dan bertanya, “Siapa yang bilang padamu seperti itu?”“Jika tidak begitu, kenapa kalian berdua bersama dengan Kakak?”Tina akhirnya menolehkan kepalanya dan cemberut. Matanya mulai memerah secara perlahan.Dia terlihat menyedihkan.Sally merasa sangat t
”Teman? Benar, kita teman.” Yves tersenyum.Diam-diam dia menenangkan dirinya. Setidaknya Yetta mau berteman dengannya. Dia akan mencoba lagi bila saatnya tiba.“Karena kita teman, maka menerima hadiah ini bukan masalah.” Yves mengangkat sebelah alisnya ke arah Yetta dan memberi isyarat pada wanita itu untuk menerimanya.Yetta tetap menolak.“Ini terlalu mahal. Aku tidak bisa menerimanya.”Yves tidak memaksa. Dia menarik tangannya dan tersenyum malu. “Kalau begitu kalung ini sia-sia.”“Kau bisa memberikannya pada Sally,” kata Yetta.Yves mengangguk. “Kau benar, aku bisa memberikannya pada Sally.”Dia memasukkan kembali kotak itu ke dalam sakunya, lalu menundukkan kepala untuk melanjutkan makan steik yang dia pesan sebelumnya.Dia tidak yakin apakah karena sudah dingin sehingga dagingnya sedikit keras, tapi rasanya tidak enak.Singkatnya, rasanya seperti dia sedang mengunyah lilin.…Hari sudah gelap.Farrel mencium dahi Xander dan menghampiri Sally yang sedang tidur sambil
Sally mengerti apa yang bibinya maksud. Dia memeluk Sabrina, menyandarkan kepala di bahunya, dan berkata sambil bercanda, “Bibi Bungsu sangat mencintaiku.”Sabrina tertawa. “Ya, aku sangat mencintaimu.”Karena dia memperlakukan Sally seperti putrinya sendiri, dia sangat menghargai pendapat keluarga suami Sally dan tidak ingin mempermalukannya.Namun demikian, kekhawatiran Sabrina tidak terbukti.Begitu mereka sampai di kediaman Jahn, Tuan Jahn dan Nyonya Jahn menyambut mereka dengan antusias.“Selamat datang, Paman dan Bibi Sally.”Terry dan Sabrina melihat ke arah Tuan Jahn dan Nyonya Jahn yang tersenyum di hadapan mereka dan diam membeku untuk sesaat. Mereka pikir kalau orang tua Farrel akan lebih serius.Mereka tidak menyangka mereka berdua sangat antusias dan menyenangkan.“Paman Bungsu dan Bibi Bungsu, ini ayah dan ibu mertuaku,” kata Sally.Terry dan Sabrina tersentak kembali ke dunia nyata oleh suara Sally dan menjabat tangan mereka dengan cepat. "Halo, senang bertemu d
Melihat Tina yang sedih, Sally mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala putrinya, “Jadilah gadis yang baik. Saat kakakmu sudah pulih, Ibu akan mengajak kalian bermain di luar.”Mata Tina berbinar. “Benarkah?”Sally tersenyum. “Ya. Benar.”“Hore!” Tina berputar-putar dengan bahagia, membuat kedua orang dewasa itu tertawa.Lalu Sally mengajak Sabrina ke teras di lantai tiga.Sally menarik sebuah kursi. “Bibi Bungsu, duduklah.”Sabrina duduk sambil tersenyum, menolehkan kepalanya, dan melihat sekeliling. “Tempat ini sangat unik dan udaranya bagus.”“Kediaman Tuan Besar Xavier juga tidak buruk.”Sabrina dan Sally saling bertatapan dan tersenyum.Ada sedikit keraguan di raut wajah Sabrina. Dia memikirkan kata-katanya. “Sally, mertuamu baik padamu.”Itu adalah kalimat penegasan.Sally tersenyum. “Memang benar. Aku sangat bersyukur mereka menerimaku.”Sabrina memegang tangan Sally dengan lega. “Kau sangat beruntung memiliki mertua seperti itu.”Mereka duduk dan mengobrol sebent
Terry dan istrinya tinggal sampai larut malam sebelum pergi.Saat mereka akan mengunjungi teman lama mereka keesokan harinya, mereka masih dengan sopan menolak undangan Nyonya Jahn untuk tinggal.Farrel mengantar mereka kembali ke hotel. Sudah lewat jam sebelas malam ketika dia sampai di rumah.Setelah Sally menidurkan kedua anaknya, dia pergi mandi.Kemudian dia duduk di tempat tidur, membolak-balik halaman buku, dan menunggu Farrel kembali.Begitu Farrel membuka pintu, dia melihat sosoknya duduk di tempat tidur. Dia tidak bisa menahan senyum.Meskipun tidak baik bagi kesehatannya untuk terjaga selarut itu, namun rasanya menghangatkan hati ketika ada seseorang sedang menunggunya pulang."Kenapa kau masih terjaga?" Dia berjalan dengan lembut.Awalnya Sally sedikit asyik dan tidak mendengarnya. Namun, suaranya tiba-tiba mengejutkannya.Dia mendongak dan tersenyum pada Farrel. "Kau pulang."Cahaya jatuh dan terpantul dari matanya, seolah-olah memantulkan gelombang beriak--begit
Zhayn meletakkan dua cangkir teh di atas meja kopi di depan Terry dan Sabrina, lalu duduk di seberang mereka dengan senyum canggung di wajahnya.“Bagaimana kalian menemukanku?”Terry menatap dan memelototinya dengan tajam. “Kami di sini bukan untuk mengenang masa lalu. Tentu saja, kau dan aku tidak punya apa-apa untuk dikenang.”Zhayn menggosok tangannya dengan canggung. Karena masa lalunya dengan Felicia, dia tidak tahu bagaimana menghadapi keluarganya.Dahulu, Felicia tidak ragu untuk berselisih dengan ayahnya demi dirinya dan meninggalkan keluarga Xavier. Namun pada akhirnya, Zhayn lah yang malah meninggalkannya.Keluarga Xavier pasti membencinya.Memikirkan hal ini, Zhayn menundukkan kepalanya. “Maaf, ini semua salahku. Aku seharusnya tidak memperlakukan Felicia dan Sally seperti itu.”Mendengar itu, Sabrina mencibir. "Zhayn, apa bisa permintaan maafmu menghapus kesedihan yang dialami kakak iparku dan Sally bertahun-tahun?"Zhayn tetap diam.Dia menarik napas dalam-d