Tak menyalahkan juga, cuacanya memang cocok di pakai untuk tidur. Mendung dan dingin. Sangking dinginnya gigiku sampai sakit. Oh, bergumul dengan bantal, guling, dan selimut nyatanya menjadi isi otakku satu-satunya.
"Fi, ada apa, sih ... ada agenda yang aku nggak tahu, ya?"
Seorang wanita kisaran usia tiga puluh tahun bersimbah air mata. Rona wajahnya memudar. Semangat hidup seolah tak lagi bersemayam dalam dirinya. Wanita itu menengadah, memandang langit-langit di mana melingkar sebuah tali. Kaki bergetarnya menaiki kursi plastik biru yang sudah tersedia di hadapannya.Perlahan. Namun pasti wanita itu naik. Jemari bergetarnya menguntai tali. Mengalungkannya melewati kepala. Mengetatkannya di area leher. Aku berteriak, memintanya turun. Kakiku mencoba mendekat, tetapi aku seperti terpasak ke bumi.Wanita itu memejamkan mata. Menarik napas dalam, kemudian menendang kursi penahan tubuhnya. Rasa sakit itu kuyakini mulai menyerang. Wajahnya merah pucat. Mulutnya menganga lebar. Pekikan suaranya yang tersendat-sendat, perlahan lenyap bersama napas yang tak lagi bersarang dalam raganya.Aku kehabisan napas, terseng
Kejadian itu membuat ketenangan Nabila dan yang lain mengendur. Setelah satu jam, gadis cantik itu pun menghentikan tangisnya, bahkan sudah jauh lebih tenang. Ia bersandar padaku mencari perlindungan. Mencoba meyakinkan diri, selama bersama dia aman.Kami dikepung rasa cemas. Meninggalkan tempat menjadi satu-satunya hal yang tak dilakukan. Diam. Duduk melingkar dan saling pandang. Bermain-main dengan pikiran masing-masing menjadi pengalih perhatian paling tepat. Aku, Sahira, dah Haqi yang pastinya sudah terbiasa dengan kondisi ini, mulai mengkhawatirkan yang lain. Masa KKN masih panjang. Proker baru berjalan. Kami tak mungkin mengeluh pada dosen pendamping terkait kejadian mistis ini. Terlebih lagi pindah lokasi, tak ada opsi itu dalam daftar alternatif lain. Satu-satunya solusi yang bisa terealisikan saat ini, yaitu pindah tempat tidur. Baik aku maupun yang lain pasti tak ingin l
Aku bermimpi?Syukurlah ini hanya mimpi. Mimpi yang sejatinya terasa begitu nyata. Aku mendesah. Mengusap dada naik turun. Setelahnya, kembali kupandangi rona wajah Siti yang pucat-lesi."Ti, aku baik-baik saja," tegurku. Dia membisu."Ti, woy!" Kukibaskan telapak tangan ke udara, tepat di depan bola matanya. Siti seolah masuk ke dimensi lain yang tak bisa kuselami. Kesadarannya sedang tidak bersamaku.Kubiarkan sejenak. Kali ini geliat mataku bertemu ruang sepi. Ke mana semua orang? Sirat jendela yang masih tertutup, menggariskan rona putih keperakan. Tegak lurus menyentuh lantai berkeramik putih tulang. Sudah siang rupanya. Barangkali yang lain telah bergulat dengan proker kerja---walau di tengah ketidak kondusifan keadaan----semua mesti selesai tepat pada waktunya.Kembali kuamati mata Sit
Bismillah."Ti, padahal kamu itu termasuk pemberani, loh. Tipe-tipe perempuan yang nggak akan menjerit kalau ditakut-takuti.""Lah, kalau demit bohongan, ya, nggak takut. Kalau beneran, aku melempem, Fi."Aku mencoba menahan tawaku."Ojo, guyu ... ora ono sing lucu. Wes, ayo ... ke rumah Pak Lurah dulu, baru ke puskesmas."Tak ada percakapan lanjutan. Kami tergesah menyusuri jalan desa---yang entah kenapa lebih sepi dari biasannya. Ini sudah siang, tetapi kabut yang turun masih setinggi dada.Berjajar rumah-rumah sempit perkarangan, sebelum akhirnya bertemu satu-satunya rumah dengan pekarangan yang begitu luas. Kediaman Lurah desa.Kaki kami berbelok. Beberapa sendal jepit diletakkan tak beraturan di bawah undakan. Pintu rumah terbuka lebar. Barisan punggung berlapis kain warna-warni kukenali. Mereka para mahasiswa KKN Universitas *** alias teman-temanku. Jendela rumah ini memang tembus pandang, maka dari itu a
"Nasib kita bagaimana, Pak? Saya khususnya, sudah nggak mau tinggal di sana. Seperti yang kami inginkan sebelumnya. Tolong, carikan rumah untuk kami bisa tinggal."Dengan wajah tenangnya, Pak Lurah menjawab. Sungguh, pria tua itu memiliki daya tarik sendiri, yang membuatku hatiku teduh saat melihatnya."Seperti yang sudah, Bapak, janjikan. Bapak akan mencarika tempat tinggal baru untuk adek-adek. Tapi, Bapak mohon, adek -adek bisa sabar. Mencari warga yang mau rumahnya.di tempati itu tidak gampang.""Malam ini ... kami masih harus tidur di sana?""Betul, Dek Sahira.""Apa nggak ada solusi lain, Pak. Maaf bukan saya lancang." Seketika aku berdiri. "Semakin lama kami tinggal di sana itu sangat berbahaya.""Fi, duduk. Nggak sopan!" sentak Siti pelan."Ora iso, Ti. Iki sudah menyangkut nyawa. Bagaimana kalau hantu sialan itu malah menjadi dan mencelakai kita secara fisik. Lihat itu Faris. Sampai harus dirawat di rumah sakit, k
"Apakah seperti aku?" Aku menoleh. Sosok yang sebelumnya adalah Sahira, kini telah berganti wujud menjadi wanita dengan muka pucat dan penuh keriput. Keriput tak wajar. Wajahnya hampir tak memiliki daging. Tulang tengkoraknya tercetak jelas. Aku terdiam. Wanita tua itu tersenyum. Menampilkan deretan gigi hitamya yang seperti arang. Dalam cengkeraman tangannya, pergelangan tanganku perlahan menghangat, dan lama-lama menyengat. Amat panas. Seperti bara api telah ditempelkan ke kulitku. "Nduk, kowe iku aku. Aku iku kowe. Saiki dadi siji." Wanita tua itu mendekat perlahan. Aku terpaku. Terpasak ke bumi. Tak bisa bergerak, sampai akhirnya wanita tua itu mendekapnya. "Tidak!" aku berteriak, lantas tergeragap bangun. Ini mimpi. Semua kejadian yang terasa nyata itu hanyalah sebentuk mimpi. Keringatnya mengucur. Jantungku empot-empotan. Dalam ketakutan yang masih terasa, aku mengedarkan pandangan kesekitar. Mendapati Tia dan yang lain
B a y i B u n g k u sBab 78Hantu GudangHari ini hari sabtu. Seperti biasanya, jika hari sabtu seluruh dewan guru tetap masuk, tetapi proses belajar mengajar tidak ada. Sekolah libur sabtu dan hari minggu. Sabtu diperuntukan sebagai hari bersih-bersih atau melakukan pekerjaan lain. Seperti hari ini, dewan guru membersihkan area bawa yang sudah dialih fungsikan sebagai kantor. Sebelumnya, area ini kosong. Tak digunakan. Tetapi karena memang sangat dibutuhkan untuk menunjang operasional sekolah. Area bawah dirombak habis -habisan. Sesungguhnya area bawah ataupun atas sama-sama memiliki cerita mistis yang sudah menjadi rahasia umum. Pak Dodi penjaga sekolah. Yang menempati salah satu kamar di bawah sejak sebelum direnovasi menuturkan beberapa kali melihat penampakan yang tak semua orang melihatnya. Sosok besar berbulu kera
B a y i B u n g k u sBab 79Buang Air PanasTiara hendak memulai prosesi tidur setelah membantu Sri berjualan hingga tengah malam, ketika notif pesan Whatsappnya berdering. Bukan Basri, karena Basri beberapa saat lalu sudah pamit tidur. Malas, Tiara melihat pesan yang tertera dalam aplikasi chatting. Salah satu rekannya di sekolah. Ada hal penting apa sampai rekannya itu mengirim pesan di jam sebelas malam begini? pikir Tiara. Perasaannya mendadak cemas. Adakah tugas tambahan yang harus dikerjakannya di tengah malam, hari ini juga. Tidak! Rasanya mata sudah tak lagi memiliki daya untuk menatap sinar laptop. Pun kepala yang mulai berkunang karena mengantuk. Badan sudah pegal semua---setiap sendinya berteriak meminta direhatkan sejenak. Akan tetapi, mau tak mau Tiara harus membaca pesan itu. Berharap hanya pesan yang tak terlalu penting.
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs