Emansipasi wanita, secuil aksara yang mengoyak abar-abar pewatas. Lihatlah, berapa banyak pekerjaan pria yang digeluti wanita. Agaknya, hampir semua perkerjaan bani Adam, para kaum Hawa berhasil menuntaskannya dengan baik, bahkan lebih sempurna. Bos perusahaan, Security, masinis kereta api sampai tukang aduk semen, wajah legit mereka meramaikan.
Sekelumit cerita tentang emansipasi wanita tersebut, tak urung menggedor nurani pelakon hikayat ini Sri. Wanita seperempat abad itu, terggeragap dari kehibukan berleha-leha yang menjadi habit. Alotnya kehidupan serta seretnya ekonomi keluarga, memaksanya berpikir keras mencari jalan keluar. Ribuan ide dipilah dari otak yang hanya tertempa ilmu seadanya. Sri tak tamat sekolah dasar. Namun, tak perlu mahir matematika untuk menghitung uang kembalian. Tak harus fasih aritmatika sosial untuk mengetahui untung dan rugi. Bagi Sri, tangan emasnya ini cukup ahli dalam meramu rasa yang mendatangkan rupiah.
Berpayung pana
Tiara menepi, bersama Alif. Adiknya itu menikmati kue tart, sembari sesekali melihat piala lomba cerdas cermat tingkat sekolah dasar se-kabupaten yang dia dapatkan. Kebahagiaannya jelas terlihat. Pun dengan kebahagiaan di wajah Sri. Berbinar. Penuh kepuasan. Betapa bahagiannya dia dapat mendidik kedua buah hatinya, hingga dapat berprestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sang Ibu itu mengamati dua buah hatinya dari balik pintu dapur rumah. Sedang Sapardi tengah menata masakan Sri ke meja makan."Makanannya siap," ujar Sapardi.Tiara dan Alif menghambur masuk. Bukan makananan spesial, hanya nasi dan ayam crispy. Akan tetapi kesederhanaan itu cukup membuat dua jagoannya merasa senang bukan kepalang. Bukan hanya Alif saja yang suka ayam crispy, Tiara pun begitu. Ayam crispy buatan Sri selalu menjadi favorit keluarga.Mereka duduk melingkar. Di tengah meja itu, kue tart yang baru terambil sedikit di letakkan. Kue tart rasa cokelat. Jika
B a y i B u n g k u s 37K e s u r u p a nPedagang kaki lima di wilayah Sri berjualan yang sebelumnya tak terlalu padat, lambat laun tempat-tempat kosong mulai terisi. Sepanjang jalan kian rapat dengan deretan gerobak berbagai macam jenis menu serta warna. Setiap kali melintasi daerah tersebut, cuping hidung rajin digelitik oleh aroma berbagai jenis masakan yang menggugah selera. Pun makanan di daerah tersebut bervariasi dan tak akan membuat mata serta lidah bosan. Es campur dan Tahu campur. Hanya Sapardi dan Srilah satu-satunya yang menggawangi menu tersebut. Pikir Sri atau pun Sapardi, tak akan mendapat pasar sendiri jika dia menjual menu yang sudah ada di tempat tersebut. Apalagi dipadu dengan kelihaian jari jemari Sri dalam meramu bumbu dan meracik makanan. Meskipun Sri bukan orang Lamon
Tiara suka membaca. Waktu senggang dia habiskan untuk bercengkrama dengan buku-buku. Ketika hanyut dalam cerita dari novel yang dia baca, teriakan kencang mengangetkannya. Bahkan membuat Tiara berjingkat. Detak jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Sial! Apa yang terjadi? Sri sudah beranjak lebih dulu dari tempat duduknya. Pun dengan semua pembeli Mia. Suara itu berasal dari Diah. Wanita itu menjerit histeris dalam dekapan Mia. Pergelangan tangannya mengepal kuat. Selain berteriak, dia mengeram. Matanya membeliak. Tiara yang ikut dalam kerumunan itu, tak hanya melihat Diah mengaum, berteriak, atau sesekali mencakar-cakar tak jelas. Dia melihat seekor harimau berukuran besar. Harimau kuning. Jenis harimau yang biasa dia lihat di televisi bahkan kebun binatang. Gradasi warna bulunya terang. Wajahnya kejam dan mengancam. Anehnya, tak seperti harimau kebanyakan, mata harimau tersebut berwarna merah menyala. Tiara sempat memekik dan terhuyung mundur. Ditarik-tariknya d
Proses penyembuhan berjalan lambat. Makhluk itu keluar masuk tubuh Diah. Seperti enggan untuk dikuarkan dalam tubuh wanita itu. Diah merintih menahan sakit saat Mbah Karjo meletakkan ujung jari telunjuknya di dahinya. Seolah dia merasakan sakit yang teramat. Mulut Mbah Karjo terus berkomat-kamit. Beberapa orang yang masih ditempat itu, termasuk Tiara, diminta membantu lewat doa. Doa apa saja yang bisa terbaca. Diah telentang. Peluhnya mengucur deras. Dilihat dari penampilan fisiknya---rambut acak-acakan, baju naik semua, sampai Mia harus menyelimutinya dengan selimu--- terlihat kalau dia sudah sangat kelelahan.Tiara mengamati wajah Diah. Bukan wajah wanita itu yang dia lihat. Wajah harimau ganas yang memandang ke arah Tiara dan Mbak Karjo bergantian. Seperti makhluk itu tahu jika Tiara dapat melihat wujudnya. Andai Tiara bisa membantu menyembuhkan Diah pasti kini dia sudah membantu Mbah Karjo. Sayangnya, Tiara tak tahu caranya. Kemampuan yang bersarang di tubuhny
B a y i B u n g k u sB a b 4 1P E N U T U P D A G A N G A N🔲🔳🔲🔳Setahun lebih tak ada yang aneh dengan dagangan Sri dan Sapardi. Ramai. Bahkan Sapardi berniat membuka cabang baru dagangan tahu campur dan es campurnya di tempat lain. Tiara kini telah masuk perguruan tinggi. Alhamdulillah, putrinya itu diterima di perguruang tinggi negeri di daerah Surabaya.Mereka pun telah berpindah rumah. Mencari ukuran yang lebih besar. Mengingat Alif dan Tiara sudah sama-sama dewasa. Tak mungkin tetap tidur bersama.Kegiatan pagi rutinan. Sapardi berangkat bekerja---beberapa bulan lalu Sapardi melamar pekerjaan menjadi petugas kebersihan di salah satu perumahan di daerah sekitar rumahnya. Syukurlah Sapardi diterima bekerja. Pu
Saat pertama kali menerima batu itu. Telapak tangannya seperti tersengat arus listrik. Aneh, memang, tetapi itulah yang dirasakan Tiara. Batu itu seperti memiliki penghuni. Bentuknya saja yang batu biasa, tetapi ada makhluk gaib yang mendiami batu itu. Jika menilik dari bentuknya, batu itu mirip sekali dengan batu sungai dari kedalaman. Halus. Hitam pekat. Bentuknya bulat sempurna.Tiara menggenggam batu tersebut. Sengatan listrik yang dihasilkan semakin kencang. Serta merta, dilepaskan batu itu, bahkan dilempar. Keringat yang sebelumnya telah mengering, kini mengucur kembali. Napasnya kembali memburu, kilatan masa lalu menerobos pikiran. Bagaimana batu itu diletakkan. Kapan waktunya. Hanya saja tak begitu jelas. Gambaran itu sepotong-potong dan loncat-loncat. Tiara melihat warung ibunya di malam hari. Gelap. Tak ada warung lain yang buka. Warung ibunya pun tak buka. Selanjutnya Tiara melihat tangan seseorang meletakkan batu itu ke rak atas etalase Sri.Sem
Beberapa hari setelah penemuan batu tersebut, Tiara jatuh sakit. Sri harus libur jualan untuk merawat putrinya itu. Tanda-tanda yang ditunjukkan penyakit Tiara mirip sekali dengan gejala tifus, tetapi saat diperiksa oleh dokter, buah hatinya itu tak sedang mengalami tifus. Anehnya lagi, setiap sehabis maghrib hingga menjelang adzan subuh datang, suhu tubuh Tiara meningkat. Dia mengigau. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Tiara pun tak betah tidur di satu tempat dalam kurun waktu lama. Paling lama dua jam, setelahnya dia mengeluh sesak napas. Ketika moving tempat, barulah sesak napas itu reda. Bukan hanya itu saja yang dikeluhkan. Sejak sakit, Tiara lebih banyak tidur. Bukan karena tubuhnya lemas. Akan tetapi, setiap kali dia membuka mata, tembok di sekelilingnya seperti bergerak maju dan hendak menghimpitnya. Suara ramai seperti orang berbicara timbul tenggelam di telinganya. Saat hendak tertidur, dia pasti tersentak lantas terbangun. Mimpi jatuh dari ketinggiaan itu berulang kali di
Azan maghrib berkumandang, Alif maupun Tiara tengah bersiap-siap menunaikan salat. Tiara yang merasa tubuhnya tiba-tiba lemas, setelah mengambil wudhu memutuskan untuk salat sembari duduk. Tiga Rakaat. Rakaat terakhir, sebelum kemudian ditutup salam."Mbak, aku ke Ibu dulu, ya?" Alif melongok dari celah pintu yang terbuka.Tiara tengah melipat mukenah. Dia tak sabar ingin membaringkan badan. Mendadak perutnya mual dan kepalanya pening. Ah, setiap malam datang, penyakit itupun ikut datang."Nggak ada titipan lain?" Alif masih di sana.Sadar Alif masih mengamatinya, buru-buru Tiara menyembunyikan wajah kesakitannya. Seulas senyum dia untai. Jangan sampai Alif curiga jika dia merasa kesakitan. Yang ada Alif akan melapor pada Sri, dan berujung penutupan toko, karena Sri pasti panik dan memilih pulang."Sama teh panas, ya," ujar Tiara.Alif mengudarakan ibu jari lantas bergegas pergi. Setelah Alif pergi, Tiara tak lagi berpura-p
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs