Andi, Rani, dan Mira terus berjalan dengan tubuh gemetar dan napas tersengal-sengal. Mereka sudah jauh meninggalkan desa itu, tetapi perasaan aneh seakan terus membuntuti mereka. Udara terasa semakin dingin, dan malam terasa jauh lebih gelap dari sebelumnya. Setiap kali mereka mencoba menenangkan diri, perasaan bahwa mereka masih diawasi semakin kuat."Apa kalian mendengar itu?" bisik Mira dengan suara serak, berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.Andi menggeleng, mencoba menyangkal. "Tidak. Jangan berpikir macam-macam. Kita harus fokus, terus jalan."Namun, Rani menatap Andi dengan cemas. "Tapi aku juga merasakannya, Andi. Seolah... ada sesuatu yang mengikuti kita. Seperti bayangan yang berusaha mendekat setiap kali kita berpaling."Andi menelan ludah dan mempercepat langkahnya, mencoba mengabaikan apa pun yang mungkin masih ada di balik pepohonan. "Tidak ada apa-apa. Kita harus keluar dari tempat ini. Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya."Baru saja ia mengucapkan itu, ti
Malam itu, ketika mereka berpikir telah berhasil melarikan diri, udara sekitar terasa dingin tak biasa. Meskipun mereka sudah berada di luar hutan, rasa takut masih menghantui. Setiap helaan napas mereka terasa berat, dan samar-samar, angin membawa bisikan asing yang merayap di telinga.Andi, Rani, dan Mira berdiri di bawah cahaya bulan yang tampak suram, menatap ke arah hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Semua tampak tenang, tetapi ada perasaan yang seakan-akan menghimpit dada mereka.“Kita... benar-benar sudah keluar, kan?” Mira berbisik dengan nada gemetar, seolah-olah enggan mendengar jawaban.Andi mencoba menenangkan dirinya dan teman-temannya, namun dalam hatinya, dia sendiri merasa belum aman. “Ya. Kita sudah keluar. Hutan itu… tidak akan bisa menggapai kita di sini.”Namun, baru saja Andi selesai berbicara, Rani melihat sesuatu yang membuatnya menahan napas. Di antara pepohonan, terlihat bayangan-bayangan hitam berkerumun, berdiri diam, menatap mereka dari kejauhan. Tatap
Andi, Rani, dan Mira saling berpandangan dengan ketakutan yang terpatri di wajah masing-masing. Kegelapan kini benar-benar melingkupi mereka; cahaya dari lilin yang tadi menerangi ritual sudah sepenuhnya padam, meninggalkan hanya sedikit penerangan dari bulan yang tergantung pucat di langit. Bayangan-bayangan hitam yang tadi hanya mengintai dari luar kini bergerak mendekat, mengepung mereka dari segala arah.“Andi, kita harus keluar dari sini! Kita harus keluar sekarang juga!” Rani hampir berteriak, tangannya mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Aku tahu! Tapi... ke mana kita harus pergi?” Andi menjawab, mencoba menenangkan Rani meski dalam hatinya ia merasakan ketakutan yang sama. “Kalau kita lari ke arah hutan, mereka bisa saja mengikuti kita lagi.”Mira melangkah mundur, matanya terus memandangi bayangan-bayangan yang mulai merapat. “Kita tidak bisa tetap di sini! Ini bukan hanya bayangan biasa, Andi. Lihat! Mereka bergerak mendekat!”Bayangan-bayangan itu mulai membentuk sosok y
Langkah mereka terasa semakin berat. Hawa dingin menjalari tubuh, seolah-olah ada sesuatu yang terus menarik mereka kembali ke tengah hutan. Angin malam berembus, membawa bisikan-bisikan yang tidak bisa mereka pahami, namun mengisi pikiran mereka dengan perasaan takut yang tidak tertahankan.“Andi, kau yakin kita tidak salah jalan?” Mira bertanya dengan suara bergetar, pandangannya mengedar ke sekeliling, mencari tanda-tanda yang bisa menuntun mereka ke jalan keluar.Andi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu… Aku benar-benar merasa kita sudah berputar-putar di tempat yang sama.”Rani merapatkan pelukannya ke tubuhnya sendiri, mencoba mengusir dingin yang menggigit. “Tapi kita tidak bisa berhenti di sini. Kalau kita diam, mereka pasti akan datang lagi… Aku tidak tahan lagi.”Suara tawa kecil tiba-tiba terdengar dari kegelapan, membuat mereka semua terkejut. Mereka langsung memandang ke arah suara itu, mata mereka terbelalak melihat sosok kecil yang berdiri di ujung pepohonan.“Siapa itu?”
Suasana semakin mencekam. Bayangan hitam semakin rapat mengepung mereka, menekan dari segala sisi. Mereka bisa merasakan hawa dingin yang mengiris sampai ke tulang, seolah-olah mereka sedang berada di ambang kematian. Rasa takut begitu pekat, mencengkeram setiap napas mereka.Andi, Mira, dan Rani berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa di hadapan sosok perempuan yang menatap mereka dengan mata yang seperti kosong namun memancarkan kekuatan mengerikan."Aku tidak akan memberikan apa pun padamu!" Rani berteriak, suaranya bergetar namun penuh tekad.Perempuan itu tertawa pelan, sinis. "Kau kira punya pilihan? Kalian sudah melanggar batas. Hanya ada satu jalan keluar… dengan mengorbankan salah satu dari kalian."Mira menatap Andi dan Rani dengan mata yang membelalak, air mata menggenang. "Tidak… tidak mungkin. Kita harus bersama keluar dari sini!"Namun Andi, yang mulai kehilangan akal, menatap Rani penuh ketakutan. "Tapi… kalau tidak ada cara lain… mungkin… mungkin kita harus memilih
Andi dan Mira berdiri kaku di tempat mereka, memandang tanah di mana Rani menghilang. Tak ada bekas, tak ada jejak. Seolah-olah Rani tak pernah ada di sana. Rasa bersalah dan takut mencekam mereka, membuat napas terasa berat."Andi... kita... kita harus pergi dari sini," bisik Mira, suaranya bergetar. Tubuhnya menggigil, entah karena dingin atau ketakutan yang menguasai.Andi, yang biasanya terlihat berani, kini tak mampu berkata apa-apa. Raut wajahnya pucat, bibirnya bergetar, dan sorot matanya kosong. "Bagaimana... bagaimana kita bisa pergi, Mira? Rani... Rani sudah... dia sudah..." kata Andi, suaranya serak menahan emosi."Tapi kita tidak bisa diam di sini!" Mira mengguncang bahu Andi, berusaha menyadarkannya. "Kalau kita tetap di sini, kita mungkin akan mengalami hal yang sama seperti Rani!"Andi hanya menatap Mira dengan tatapan hampa, seolah sudah kehilangan harapan. "Mira... kita tidak tahu ke mana harus pergi. Setiap langkah yang kita ambil selalu membawa kita kembali ke sini.
Andi dan Mira, masih terengah-engah, bersandar di sebatang pohon besar di tepi danau. Tubuh mereka basah kuyup dan menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga ketakutan yang mencengkram mereka."Apa yang terjadi tadi, Mira? Apa sebenarnya tempat ini?" Andi akhirnya membuka suara, meski suaranya parau dan hampir tak terdengar. Mira menggeleng perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku juga nggak tahu, Andi. Semua ini nggak masuk akal. Kita berenang ke tengah danau, tapi malah muncul makhluk-makhluk itu." "Makhluk? Mereka... mereka seperti mayat hidup." Andi memejamkan matanya sejenak, berusaha menghapus bayangan tangan-tangan dingin yang mencengkeramnya di dalam air. Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara tawa pelan mulai terdengar di kejauhan. Tawa itu rendah, teredam, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Andi langsung berdiri, menarik Mira ke sampingnya. "Kau dengar itu, kan?" Mira mengangguk, wajahnya semakin tegang. "Tawa... tawa siapa
Keheningan melingkupi gubuk kecil itu. Andi dan Mira hanya saling menatap dengan napas yang masih tersengal, mencoba mencerna ucapan pria tua di hadapan mereka. Pria itu tidak banyak bergerak, hanya memandangi keduanya dengan mata tajam yang terasa seperti menembus jiwa mereka. "Menyerahkan sesuatu yang paling berharga? Apa maksud Anda?" suara Mira terdengar lirih, nyaris berbisik. Pria tua itu memejamkan matanya sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Hutan ini adalah batas antara dunia hidup dan mati. Siapa pun yang masuk tanpa izin harus membayar harga. Dan harga itu tidak murah." Andi bangkit dari duduknya, wajahnya merah penuh amarah. "Kami tidak pernah minta datang ke sini! Kami tersesat! Bagaimana bisa kami disuruh membayar sesuatu yang bahkan tidak kami pahami?!" Pria tua itu tetap tenang. Ia menunjuk Andi dengan tongkat kayunya. "Marah tidak akan mengubah takdirmu, Nak. Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kini pilihan kalian hanya dua: menyerahkan se
Malam itu, setelah peristiwa di perpustakaan, Andi dan Mira memutuskan untuk kembali ke apartemen Andi. Mereka merasa buku yang baru ditemukan itu mungkin adalah kunci untuk mengakhiri teror yang mereka alami. Namun, atmosfer di apartemen terasa semakin berat, seakan-akan mereka telah membawa sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya. “Andi, kita nggak bisa terus-terusan begini,” ujar Mira dengan suara serak. Ia duduk di sofa dengan tubuh gemetar, matanya terus mengawasi pintu depan. “Aku tahu, Mir. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak mencari tahu lebih banyak, mereka nggak akan pernah berhenti.” Andi meletakkan buku tua itu di meja, membukanya perlahan-lahan. Buku itu dipenuhi simbol-simbol dan tulisan yang hampir tidak terbaca. Beberapa halaman bahkan terlihat seperti terbakar di tepinya. Mira menatap halaman itu dengan ngeri. “Kamu yakin ini bakal membantu kita? Gimana kalau malah memperburuk keadaan?” Andi menghela napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa, s
Setelah satu bulan berlalu sejak peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka, Andi dan Mira akhirnya merasa lega. Kehidupan mereka perlahan kembali normal, meskipun bayangan malam itu masih sesekali menghantui pikiran mereka. Buku hitam yang menjadi pusat dari semua masalah itu telah mereka kubur di tempat yang jauh dari pemukiman. Namun, ada rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.Hari ini, adalah hari pertama semester baru di universitas. Andi duduk di kursi kantin kampus, menyesap kopi sambil membaca catatan kuliahnya. Mira duduk di hadapannya, sibuk menulis sesuatu di buku jurnal kecilnya.“Kamu nggak merasa aneh?” tanya Mira tiba-tiba, memutus keheningan di antara mereka. “Aneh gimana?” balas Andi, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan. “Kayak... semuanya terlalu tenang. Setelah apa yang kita alami, aku merasa seharusnya hidup kita nggak akan pernah normal lagi.” Andi mendesah, meletakkan catatannya di meja. “Mungkin ini pertanda baik. Kita berha
Suara tawa anak kecil yang menggema di sekitar rumah kayu tua itu membuat bulu kuduk Andi dan Mira berdiri. Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, membuat napas mereka mengembun. Andi mencoba berpikir jernih, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah oleh suara-suara aneh yang datang dari dinding dan lantai. “Dia masih di sini, Andi,” bisik Mira sambil bergetar, matanya terus memandang ke arah jendela. “Apa pun itu, dia nggak akan biarin kita pergi.”Andi menatap simbol-simbol bercahaya di dinding yang perlahan mulai redup. "Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan. Buku ini..." Ia membuka kembali buku hitam itu dan membalik halamannya dengan cepat, berharap menemukan jawaban.Mira menggenggam lengan Andi, suaranya penuh kepanikan. “Andi, kita nggak punya waktu! Lihat itu!” Dari luar jendela, sosok anak kecil itu berubah. Tubuhnya mulai memanjang, kulitnya merekah, memperlihatkan jaringan berdarah di bawahnya. Matanya menyala putih, sementara giginya yang tajam semakin
Andi dan Mira berjalan dengan langkah berat, menggenggam satu sama lain seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka tetap hidup. Hutan di sekitar mereka berubah semakin aneh—pohon-pohon seakan bergerak, bayangan gelap melintas di sudut mata mereka, dan suara langkah-langkah berat terdengar mengikuti mereka dari kejauhan.“Andi, apa ini akan pernah berakhir?” suara Mira bergetar. “Aku nggak yakin kita bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Andi menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menguasainya. “Kita harus bisa, Mira. Aku nggak akan biarin sesuatu menyakitimu. Kita sudah sejauh ini, dan kita nggak boleh berhenti.”Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba saat sebuah suara mendesing keras memenuhi udara. Suara itu menyerupai jeritan manusia, tetapi terlalu melengking untuk dianggap normal. Dari balik kabut, sesosok makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan wajah memanjang muncul perlahan. Matanya menyala merah, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak
Andi dan Mira mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya, meskipun hati mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara keheningan hutan, dan hanya sesekali terdengar suara lonceng kecil yang menggantung di tongkat wanita tersebut.“Andi,” bisik Mira, menatap punggung wanita tua di depan mereka. “Kita yakin mau ikut dia? Gimana kalau dia juga bagian dari semua ini?”Andi menoleh, berbisik pelan. “Kita nggak punya pilihan, Mira. Kalau kita tetap di sini tanpa petunjuk, kita pasti mati.”Mira tidak menjawab, hanya menggenggam lengan Andi lebih erat. Langkah mereka terus maju, melewati akar-akar pohon yang melilit seperti tangan yang ingin menjangkau mereka. Kabut di sekitar mulai menipis, tetapi itu justru membuat suasana semakin mencekam. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang menyerupai tangan mencakar langit berdiri angkuh di sekitar mereka.Wanita tua itu tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kita berhenti
Andi dan Mira berjalan perlahan di tengah kabut yang semakin pekat. Hawa dingin menyelimut, dan suara-suara aneh terus terdengar di sekitar mereka. Langkah kaki mereka terasa berat, seolah tanah tempat mereka berpijak menyedot energi mereka. Suara geraman halus mulai terdengar dari kejauhan, membuat mereka berdua saling pandang dengan ketakutan.“Andi... aku nggak bisa. Rasanya... rasanya kakiku berat banget,” ujar Mira, tubuhnya gemetar hebat.Andi berhenti dan menoleh ke Mira. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, mereka akan menemukan kita.”Tiba-tiba terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil yang sedang bermain. Suara itu bergema, datang dari berbagai arah. Mira langsung mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Andi... itu suara apa?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.Andi memandangi sekeliling, berusaha mencari asal suara. Namun, kabut terlalu tebal. “Aku nggak tahu, tapi kita nggak boleh berhenti. Ayo, Mira. Berdiri. Kita harus
Angin malam semakin menusuk tulang. Andi dan Mira masih duduk di bawah pohon besar, tubuh mereka gemetar. Kejadian barusan masih membekas di pikiran mereka, seolah bayangan makhluk tanpa wajah dan suara raungannya terus menggema di udara. Pria tua itu berdiri tak jauh dari mereka, diam dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam.“Aku sudah bilang, kalian harus segera membuat keputusan,” kata pria tua itu pelan, tetapi nadanya penuh tekanan. “Semakin lama kalian menunda, semakin banyak arwah yang datang.”Mira memeluk lututnya, air matanya tak terbendung. “Aku nggak bisa, Andi. Aku nggak sanggup. Aku nggak mau mati di sini...”Andi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya meskipun rasa takut terus menghantui. “Kita pasti bisa menemukan jalan lain. Aku nggak percaya bahwa pengorbanan itu satu-satunya cara. Pasti ada celah di semua ini.”Pria tua itu mendengus pelan, lalu mengetukkan tongkat kayunya ke tanah. “Kalian masih belum mengerti. Hutan ini adalah
Keheningan melingkupi gubuk kecil itu. Andi dan Mira hanya saling menatap dengan napas yang masih tersengal, mencoba mencerna ucapan pria tua di hadapan mereka. Pria itu tidak banyak bergerak, hanya memandangi keduanya dengan mata tajam yang terasa seperti menembus jiwa mereka. "Menyerahkan sesuatu yang paling berharga? Apa maksud Anda?" suara Mira terdengar lirih, nyaris berbisik. Pria tua itu memejamkan matanya sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Hutan ini adalah batas antara dunia hidup dan mati. Siapa pun yang masuk tanpa izin harus membayar harga. Dan harga itu tidak murah." Andi bangkit dari duduknya, wajahnya merah penuh amarah. "Kami tidak pernah minta datang ke sini! Kami tersesat! Bagaimana bisa kami disuruh membayar sesuatu yang bahkan tidak kami pahami?!" Pria tua itu tetap tenang. Ia menunjuk Andi dengan tongkat kayunya. "Marah tidak akan mengubah takdirmu, Nak. Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kini pilihan kalian hanya dua: menyerahkan se
Andi dan Mira, masih terengah-engah, bersandar di sebatang pohon besar di tepi danau. Tubuh mereka basah kuyup dan menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga ketakutan yang mencengkram mereka."Apa yang terjadi tadi, Mira? Apa sebenarnya tempat ini?" Andi akhirnya membuka suara, meski suaranya parau dan hampir tak terdengar. Mira menggeleng perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku juga nggak tahu, Andi. Semua ini nggak masuk akal. Kita berenang ke tengah danau, tapi malah muncul makhluk-makhluk itu." "Makhluk? Mereka... mereka seperti mayat hidup." Andi memejamkan matanya sejenak, berusaha menghapus bayangan tangan-tangan dingin yang mencengkeramnya di dalam air. Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara tawa pelan mulai terdengar di kejauhan. Tawa itu rendah, teredam, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Andi langsung berdiri, menarik Mira ke sampingnya. "Kau dengar itu, kan?" Mira mengangguk, wajahnya semakin tegang. "Tawa... tawa siapa