"Tidak usah repot-repot, Bu. Biar Zalia cari kerja saja dulu, Bu. Aku sadar ini semua salahku, Bu. Maafkan aku yang selama ini membantah dan mengabaikan nasehat Ibu." tolakku halus.Ibu kembali menghela napas. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu menarik napas panjang hari ini."Kamu jangan sungkan Zalia, Ibu tahu kamu membutuhkannya, lagi pula Ibu hanya meminjamkannya padamu. Bukan memberikannya. Kamu bisa mengembalikannya pada Ibu secara beransur-ansur. Hanya ini yang dapat Ibu lakukan padamu. Ibu tidak bisa memaksa Zahra mengembalikan uang itu, apa lagi mengambil alih toko itu kembali. Karena walau bagaimanapun, Zahra adalah anak tertua Ibu, ia juga yang menjaga dan merawat Ibu saat Ibu sakit dulu. Jadi ikhlas kan saja semuanya, yang penting bagianmu setiap bulan untuk kedepannya aman di tangan Ibu. Pakai lah tabungan Ibu untuk modal usahamu!" "Terima kasih, Bu." balasku. Ibu tersenyum.Jika Ibu sudah memaksa, maka tak ada yang dapat aku katakan lagi selain ucapan terima kasih. Bah
Mbak Zahra tersenyum mengejek. "Kamu memang wanita berwajah tebal, makanya tak tahu malu kalau orang-orang tahu jika kamu itu anak durhaka. Saat orang tua sakit jangankan merawat datang saja tidak, sekarang malah minta modal untuk buka toko! Sudah berapa banyak uang Ibu yang kamu habiskan untuk modal tokomu ini, hah!" bentak Mbak Zahra. "Jangan berkata sembarangan Mbak! Jika ucapan itu tidak benar, maka akan jadi fitnah!" sentakku. Aku tentu tak mau diam saja."Fitnah apa? Memang itu kenyataannya kan, kamu membuka toko ini dengan tabungan Ibuku!" sungut Mbak Zahra kembali. Sepertinya ia sengaja meninggikan intonasi suaranya agar orang-orang bisa mendengarnya. Aku mengerti sekarang, apa tujuan ia ke sini. Ia hanya ingin mempermalukan aku."Benar atau tidak benar, kamu tidak patut mengungkitnya di depan orang banyak seperti ini, Mbak! Walau bagaimanapun kita adalah saudara. Selesaikan semua ini secara baik-baik tanpa di dengar orang lain." tegurku. Tapi tampaknya Mbak Zahra tidak terim
FlashbackHujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi, aku turun dari taksi lalu berjalan tergepoh-gepoh menyusuri gang kecil yang terdapat banyak bedengan, dengan cepat aku berjalan ke pintu bedengan nomor empat dari gerbang.Di sekitar sini banyak kontrakan serta kost-kosan. Baik kost putri ataupun putra. Karena letaknya memang strategi, tidak jauh dari universitas juga tidak terlalu dekat.Tampilanku saat ini mungkin sudah seperti orang gila. Aku yang sedang tidur nyenyak harus terbangun dan terburu-buru ke sini, saat mendapatkan kabar dari Mbak Zahra beberapa jam yang lalu. Siapa yang tidak panik, saat Mbak ku menelepon dengan suara meringis menahan sakit, tapi saat di tanya dia kenapa? Ia justru tidak menjawab. Hanya mengatakan 'datang ke sini cepat, aku butuh bantuanmu! Jangan sampai Ayah dan Ibu tahu!'Untung saja, tadi pagi Ibu pergi ke Bandung, menjaga eyang putri yang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan Ayah, selama sebulan ini telah pergi tugas di luar kot
Kenapa bengong Zalia? Cepat bantu Mbak turun!" sentaknya padaku membuat aku tersadar."Ahh ... iya, Mbak. Maaf!" Aku bergerak dari dudukku dan langsung keluar dari dalam mobil. Memutari mobil dari belakang menuju pintu satu lagi, pintu dimana Mbak Zahra duduk. Baru saja aku membuka pintu mobil, aku langsung mencium aroma yang begitu asing menyeruak di hidungku, mataku menyipit melihat celana kain yang di gunakan mbak Zahra basah. Aku yang menghalangi cahaya lampu menggeser tubuhku sedikit, betapa terkejutnya aku melihat adanya genangan air di bawah kaki Mbak Zahra.Dengan mata yang melebar sempurna, aku kembali menatap ke arah perut Mbak Zahra. Berbagai spekulasi muncul di kepalaku."Cepat Zalia! Mbak sudah tak tahan lagi, apa kamu mau membunuh, Mbak!" bentaknya lagi padaku. Tak terhitung sudah berapa kali ia membentakku malam ini.Dengan hati-hati aku membantu Mbak Zahra keluar dari dalam mobil, membiarkan mobil itu pergi meninggalkan kami. Aku menarik napas panjang, udara pagi yang
"Tarik napas lagi, lalu hembuskan ... sedikit lagi! Dorong lagi," ujar wanita tua itu. Melihat dari caranya menangani. Sepertinya ia seorang dukun beranak. Hatiku mulai bertanya-tanya, dimana Mbak Zahra menemukan tempat terpencil ini."Sakit, Mbah!" teriak Mbak Zahra. Ia merintih dan menjerit, kedua tangannya menarik ujung kasur di sisi kiri dan kanannya dengan erat. Peluh serta air mata bercucuran menjadi satu.Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku hanya bisa berdiri tegak sambil melihat ke arah wanita tua itu dengan takut. Seumur hidupku, baru kali ini aku menghadapi prosesi melahirkan secara langsung."Ayo! Dikit lagi! Itu kepalanya sudah nampak!" ujar Wanita tua itu lagi. Mbak Zahra kembali mengejan, mengikuti perintah sang dukun beranak."Arhkkkk ...,"Oek ... Oek ... Oek ...Suara bayi menggema begitu nyaring di kamar ini, kamar yang kata Nenek tua itu bilang kedap suara. Bersamaan dengan bayi itu lahir, aku terjerembab ke lantai. Kakiku seolah tak kuat menopang tubuhku. Air ma
Kamu seperti wanita berhati iblis di mataku, kamu tidak seperti Mbak Zahra yang aku kenal! Aku tidak akan memberikan bayi ini pada kalian, jika kalian memaksa. Maka aku akan mati di sini bersama bayi ini, biar Ayah nanti mengusut kematianku dan menemukan kebenaran akan semua ini!" ancamku. Pria itu dan Mbah Dami terkejut dan terdiam, sedangkan Mbah Zahra wajahnya tampak ketakutan."Se-sekarang a-apa maumu, Zalia? Apa kamu mau kedua orang tua kita tahu, dan membuat a-ayah membunuhku?" ujar Mbah Zahra terbata dengan nada suara yang bergetar. Aku menutup mataku sejenak, bulir-bulir air mata kembali jatuh di pipiku. Membuka mataku, menatap wajah kecil yang begitu sembab. Suara kecilnya yang begitu nyaring kini sudah perlahan mereda. Tampaknya bayi ini sudah mulai kelelahan menangis. Bibir kecil itu mengemut punggung tangannya sendiri dengan lahap. Sengguh terenyuh hatiku melihatnya.Aku kembali menarik napas lelah sebelum kembali berucap pada Mbak Zahra.Kamu seperti wanita berhati iblis
Pov. Zahra"Kurang ajar Zalia. Berani-beraninya ia mengancamku dengan kejadian delapan tahun yang lalu. Sialan!" gerutuku.Aku mengemudikan mobil membelah keramaian, menuju ke rumah dengan rasa jengkel. Aku tak berhenti mengumpat dan memaki Zalia di dalam hati. Setelah sekian lama, baru kali ini wanita itu mengeluarkan kelemahanku. Mengingatkanku kembali, akan aib yang kututupi selama bertahun-tahun. Dari dulu, ya ... dari dulu aku memang tak pernah menyukai Zalia. Walau kami terlahir dari Ibu dan Bapak yang sama. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai adikku. Usiaku terpaut tiga tahun lebih tua darinya.Aku membenci perempuan itu, rasa benciku padanya mulai tumbuh saat ia mulai masuk taman kanak-kanak. Semua perhatian tertuju padanya. Ditambah semenjak Ibu yang sibuk mengelola toko serta Ayah yang sering dinas di luar kota. Membuat hari-hari kami lebih banyak pada pengasuh. Mbak Nana nama pengasuh kami itu. Saat itu umur Mbak Nana sekitar dua puluh tiga tahun, saat sudah menikah p
Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore, udara yang panas membuat komplek perumahan ini menjadi sepi. Mereka mungkin lebih memilih berdiam diri di dalam rumah dari pada beraktifitas di luaran.Para penghuni komplek ini kebanyakan adalah para pegawai dan pejabat. Komplek perumahan ini bukan lah komplek perumahan bersubsidi. Melainkan tanah kaplingan yang di jual secara cast, lalu di bangun sendiri oleh para pembeli. Sedangkan rumahku berdiri di atas dua kapling tanah, sehingga ukuran tanah rumahku lebih besar dari pada ukuran tanah yang lain."Assalamualaikum," ujar Mas Hadi suamiku. "Waalaikum salam," jawabku. Aku yang duduk di sofa yang berada di depan tv. Mengerutkan dahi menatapnya bingung. Tidak biasanya suamiku ini pulang lebih awal."Mas kok, sudah pulang? Toko siapa yang jaga?" tanyaku."Hari ini Mas capek banget, dek. Jadi toko Mas tutup cepat," jawabnya. Mas Hadi membanting tubuhnya yang penuh peluh di sebelahku. Aku langsung menggeser tubuhku, menjauh darinya. "Jorok bang
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud