"Udah tiga tahun aja umur ini bayi," ujar Rubi sambil memangku anak perempuan Inggit. "Kay, Excel nya jangan di tangisin dong." Rubi mengingatkan Qiara agar tak mengganggu bayi berumur enam bulan yang berada di dalam stroller. "Carissa main sama Kakak Qia ya, tuh di taman belakang." Rubi menurunkan Carissa dari pangkuannya dan meminta salah satu pegawainya untuk menemani dua bocah itu bermain di taman belakang resto miliknya. "Mungkin Excel mau tidur Nggit, apa kita ngobrol di ruang kantor aja, biar kamu bisa sekalian kasih ASI," tawar Rubi.Ya, setelah menikah dan memiliki Carissa, Inggit kemudian hamil kembali setelah Carissa berusia dua tahun lebih. Dan Inggit memutuskan berhenti bekerja untuk fokus pada kedua anaknya."Gimana, nganggur enakkan?" ledek Rubi pada mantan wanita karier itu."Enak nggak enak, Bi ... enak karena nggak under pressure lagi sama kerjaan tapi kadang kangen pake sepatu heels, baju rapih, make up setiap pagi. Ah, ngangenin pokoknya. Tapi seneng juga di rumah
Perkataan adalah doa, dan Regantara berhasil membawa Rubi dalam kenikmatan malam ini. Bukan Regantara namanya jika tak berhasil membuat sang istri jatuh ke dalam pelukannya.Rubi masih berada di atas tubuh Regantara, bergerak lembut maju dan mundur. Bibir bawah nan merah tergigit merasakan rematan tangan Regantara di kedua buah dadanya. Tangan Rubi berada di samping kanan kiri tubuhnya, semakin cepat dia bergerak saat Regantara memberikan tanda jika buncahan rasa itu akan segra mendesak keluar."Mas ...," desah Rubi mengeratkan cengkraman tangannya di lengan kekar Regantara.Keduanya mencapai titik puncak kenikmatan secara bersamaan, deru napas kelelahan saling bersahutan. Detak jantung mereka pun bertalu kencang menormalkan kembali degub serta aliran darah yang terpacu sesaat tadi."Huft ...."Rubi merasakan kelelahan, dia melepaskan penyatuan tubuhnya dengan Regantara. Rubi merebahkan dirinya di sisi Regantara, suaminya itu masih berpeluh keringat. Bahkan ruangan sedingin ini pun te
"Mas," sapa Rubi siang itu yang datang bersama Qiara ke kantor Regantara. "Hei, anak Papa," ujar Regantara merentangkan tangannya menyambut Qiara yang berlari ke arahnya. "Papa ...." "Muaach, dari mana?" Regantara menyematkan ciuman lama di pipi sang putri. "Dari tempat kerja Om Bono," jawab Qiara. "Dari kantin, aku sekalian nge cek gimana keadaannya," ujar Rubi mencium pipi Regantara. "Kemarin Bono aku panggil kemari," kata Regantara menutup laptopnya, lalu menggendong Qiara membawanya duduk di sofa. "Qiara bawa apa buat Papa?" "Burger sama kentang goreng terus ... apa ini Bunda namanya?" tanya gadis kecil yang semakin hari semakin cerewet itu. "Kopi luwak," jawab Rubi. "Kopi tuwak," ujar Qiara. "Luwak, Sayang ... kalo tuwak nanti Papa mabuk," kekeh Regantara. "Mabuk itu apa?" "Pusing ... kepalanya muter-muter," jawab Regantara asal sambil tertawa. "Kalian ini ...." Rubi pun ikut tertawa. "Oh ya, Mas ... terus tadi cerita si Bono gimana?" "Oh iya, tapi aku sambil makan
"Hei," sapa gadis cantik yang datang dari belakang Tama. "Sudah lama?" "Sudah dua jam ...," kekeh Tama yang menepuk bangku kantin di sebelahnya agar gadis bernama Casey itu duduk di sampingnya."Boong banget," ujar Casey."Mau pulang sekarang atau nanti?" "Kalo pulang sekarang nggak bisa lama-lama dong sama kamu." Casey menyeruput es teh Tama dengan santainya. "Kamu besok jadi ke Jakarta?" "Iya, sekalian mau ziarah ke makam mama Debby.""Oh mama nya adik tiri kamu itu," ujar Casey lalu merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan paper bag berwarna biru. "Buat kamu." Casey menyodorkan paper bag itu."Buat aku?""Iya, biar nggak kedinginan di perjalanan. Di pake dong.""Biar kangen terus pasti kan?" goda Tama yang membuat pipi Casey merona."Jangan lama-lama di Jakarta, kan sebentar lagi ujian ... apalagi—""Apa?""Ada adik kamu di sana," ucap Casey dengan mimik wajah cemberut."Kayma? Ya ampun, Kayma adik aku.""Iya, tapi kan bukan kandung," ujar Casey lagi dengan wajah yang dia palingka
"Uti di bawa ke rumah sakit aja, Sayang," kata Regantara pagi itu saat Rubi keluar dari kamar mandi."Sudah aku ajak tadi, Mas ... tapi Uti nggak mau. Katanya biasa cuma masuk angin.""Tapi tadi aku ketemu di ruang makan, wajah Uti pucat. Coba kamu bujuk lagi, nanti biar sama aku ke dokternya. Aku kok khawatir ya.""Iya nanti aku bujuk lagi, tapi kita antar Qiara ke sekolah barunya dulu, ya.""Kayma juga menolak aku antar, katanya sama Tama aja. Sedangka Tama bawa motor, terus wajah Tama jadi bete gitu saat Kayma bilang mau ikut dia aja," ujar Regantara."Tuh kan berarti bener, Tama udah ada pacar Mas ... terus karena sekarang Kayma satu sekolah sama dia otomatis dia dan pacarnya jadi keganggu karena di ganggu Kayma." Rubi pun tertawa sambil melepas handuk yang dia kenakan di depan lemari baju."Oh iya, bisa jadi ... tapi biar aja lah, lagian Tama tau sendiri adiknya itu manja mana mau ada saingan." Regantara beranjak melangkah mendekati Rubi. "Kalo pagi-pagi begini, udah rapih boleh
Rubi duduk dengan tangan terpaut di depan dadanya, sementara kepalanya berada di pundak Regantara. Regantara mengusap-usap pundak istrinya memberikan kenyamanan untuk Rubi yang khawatir akan keadaan sang Ibu."Salah aku ini, Mas." Mata Rubi masih sembab karena menangis sedari tadi."Bukan salah kamu, kita nggak pernah tau apa yang bakal terjadi," kata Regantara berusaha meyakinkan Rubi."Coba tadi kita antar Qia sekalian sama Ibu, lalu langsung bawa Ibu ke rumah sakit nggak harus mondar-mandir kayak tadi," isak Rubi. "Mungkin Ibu nggak bakal jatuh di kamar mandi.""Sayang, please jangan salahin diri kamu, sebaiknya kita pokus dengan kesembuhan Ibu." Regantara mengeratkan pelukannya pada tubuh Rubi."Bunda ...." Kayma berjalan cepat diikuti Tama yang berlari kecil. "Bunda, gimana Uti?" Kayma setengah berjongkok di hadapan Rubi."Masih di dalam, masih di observasi. Uti jatuh di kamar mandi," ucap Rubi lirih."Ya ampun, Bunda tenang ya ... semoga Uti nggak kenapa-kenapa," kata Kayma samb
Dokter baru saja keluar dari ruang ICU, ini hari kedua Ibu Widya berada di rumah sakit. Meski keadaannya sudah stabil tetapi Ibu Widya belum di bolehkan untuk di pindah ke kamar rawat biasa. "Dokter bilang apa, Mas?" tanya Rubi yang baru saja datang dengan membawa satu paper bag berisi makanan dan satu tas berisi baju ganti Ibu Widya. "Ibu baru bisa di pindahkan ke kamar rawat nanti malam, sekarang baru dimasukkan obat untuk pengencer darahnya kalo nggak salah tadi dokter bilang begitu." "Oh, syukurlah." Rubi bisa bernapas lega sekarang setelah dari kemarin dia khawatir dengan keadaan sang Ibu. "Kamar rawat ibu sudah di siapkan, sebaiknya barang-barang aku bawa kesana." Regantara meraih tas yang Rubi letakkan tadi di atas kursi tunggu kemudian mereka meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kamar rawat inap. "Nanti malam biar aku yang jaga ibu, Mas. Kamu jaga anak-anak, ya," kata Rubi sambil membereskan barang bawaannya. "Iya, tapi kamu janji jangan terlalu capek. Kalo waktuny
"Ayo dimakan lagi, Bu. Satu suap aja ya ...." Rubi menyendokkan kembali bubur dengan topping ayam untuk Ibu Widya. "Ibu ini ndak sakit loh, Bi ... kamu memperlakukan Ibu seperti Ibu nggak bisa makan sendiri aja." "Nanti Ibu makan sendiri, sekarang habiskan dulunya," ujar Rubi lagi. "Mulai besok terapis Ibu datang ke rumah, biar tangan Ibu yang sebelah kiri pelan-pelan bergerak lagi." "Kalo terapis yang kemarin Ibu nggak mau ah, Bi. Kok Ibu ngerasa dia kasar sekali," kata Ibu Widya. "Iya, sudah Rubi ganti mudah-mudahan yang ini cocok ya," ujar Rubi lembut. "Teh hangatnya di minum dulu." "Nak Regan pasti beberapa hari ini sibuk sekali ngurus anak-anak selama kamu urus ibu di rumah sakit." "Iya, tapi nggak apa-apa Bu toh itu juga demi anak-anak biar lebih mandiri. Oh iya, siang ini Rubi mau cek catering di kantor Mas Regan, Ibu Rubi tinggal sebentar nggak apa-apa, toh?" "Iya, nggak apa-apa kan ibu nanti di temani anak-anak." Setelah anak-anaknya berada di rumah, dan memastikan jik
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H