"Bu ...!" Nova terpekik sambil menangis mendekati ibunya yang nyaris pingsan. Syukurlah dia masih sadar biarpun sedikit. Kalau pingsan dan nggak bangun-bangun entar gimana? Siapa yang disalahkan? Aku menatap tajam ke arah Zaki yang mendadak bengong. Tak menyangka kedatangannya menuai bakal membuat keadaan jadi seheboh ini."Zak! Salah Gue apa, sih sama lu? Kenapa Elu jadi ngaco gini, ha?!" Suara Mas Hamid akhirnya terdengar meninggi juga. Zaki tak menjawab. Sementara Bu Ida terlihat sibuk memberi minum besannya yang berada dalam pangkuan Pak Danu. Di lain sisi, Nova gerak cepat mengangkat Meisha dari ayunan. Bayi gembul yang awalnya menjadi pencetus atas segala perkara, menangis karena kaget mendengar pekikan ibunya sendiri. Saat kondisi Bu Lena sudah agak mendingan, Pak Danu lantas menatap tajam padaku. Seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa.Ternyata mengerikan juga Pak tua botak ini."Kenapa kamu bersandiwara?" tanyanya dengan nada dan tatapan yang sama tajam saat menatap
"Oh ... jadi elu pura-pura jadi sepupu Hamid di depan orang tuanya Nova, buat ngulur waktu cerai sama Hamid, supaya dapat harta gono-gini, gitu? Kalo gue, sih, mau cerai ya cerai aja. Ngapain ngarep-ngarep harta lagi, harta gak seberapa juga," sambar Zaki kemudian. Terdengar meninggi dan sangat menyombongkan diri."Iya, tahu! Situ kaya mau apa aja gampang, tinggal gesek, beres! Beda lah sama aku. Nabung berbulan-bulan, bertahun-tahun malah, eh taunya dibegoin sama suami brengsek!" gerutuku tanpa sadar."Ya bukan begitu juga sih, maksud gue. Maksud gue tuh, ya, kalo mau cerai, ya cerai aja gak usah mikir harta. Cari kerja aja lagi," sahut Zaki ringan seperti sedang menggenggam sejumput garam."Lah, memangnya cari kerja bisa langsung dapat? Gak liat apa sekarang PHK dimana-mana? Di mana aku dapat duit buat gugat cerai coba? Belum lagi utang sama Evi," sungutku sambil mengurut dahi. Pertanda sedang berpikir keras sambil mencari solusi."Banyak utang? Wah ... wah ... wah! Kang utang terny
PoV HamidAku dan Nova sudah saling mengenal sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dari awal, entah karena alasan apa, Bu Lena tak pernah merestui hubungan kami.Mungkin karena faktor ekonomi, rasanya itu yang menjadi alasan.Aku dan Nova—yang ikut pindah ke Bandung mengikuti orang tuanya saat berusia 16 tahun, tetap terhubung melalui telepon dan SMS kala itu.Boleh dikata, hubungan kami tetap berjalan meski melalui hubungan jarak jauh. Bahkan, ketika Nova kuliah di Jogja selepas SMA pun, dia masih aktif menghubungiku. Dan akhirnya, saat Nova memiliki kesempatan bekerja di kawasan yang jaraknya tak begitu jauh dariku lebih dari setahun yang lalu, gadis itu meminta aku untuk menikahinya. Namun, malang, restu tak kudapatkan juga meski kami sama-sama telah dewasa.Bahkan, aku masih ingat betul kata-kata Bu Lena hari itu, saat keluargaku nekat melamar Nova ke Bandung."Cincin emas takkan tampan bermata kaca."Ya, katanya, Gadis yang elok dan hartawan takkan sejodoh dengan orang yang m
PoV Hamid "Bukan itu maksud saya, Bu Lena. Nova bahkan terlalu baik. Dia bukan hanya menurut pada Hamid, tapi juga pada saya. Demi Tuhan, Nova pun tak ada cacatnya sebagai istri dan menantu. Tapi tolonglah mengerti dengan keadaan Hamid dan posisi Lisa. Dia tak tahu apa-apa. Tolonglah, Bu, kita sama-sama perempuan," ucap Ibu lalu menangis tersedu seraya mengusap dadanya berulang kali. Aku tahu Ibu pun sedang terjebak dalam situasi yang membuatnya dilema. Sama seperti diriku."Baik. Kami akan bicara pada Nova sebentar," sambar Pak Danu sembari menegakkan badan. Bu Lena ikut berdiri dan mengikuti langkah Pak Danu masuk ke kamar anaknya.Biarlah mereka berunding tentang jalan terbaik. Tentang apa pun keputusan yang akan mereka ambil, aku siap menerima konsekuensinya."Bu, aku mau menyusul Lisa," ucapku saat menyadari Ibu sudah mulai tenang. "Nanti dulu, Mid. Kita tunggu dulu apa yang akan mertuamu lakukan setelah bicara dengan Nova."Baiklah!Kami sama-sama diam. Sejurus kemudian, panda
"Lis, kamu ini bicara apa?" Mas Hamid mendekat sambil menatapku tak percaya."Aku mau kita cerai! Aku mau rumah ini dijual, dan uangnya kita bagi dua. Apa masih kurang jelas?" ulangku dengan suara lantang dan emosi yang rasanya kian menanjak.Segala ucapan dan tingkah lakunya benar-benar telah menguji kesabaranku.Cih! Enteng sekali mulutnya saat mengatakan ingin menjadikan aku kelinci percobaan.Tak malukah dia karena telah berbohong dan menutup-nutupi status anak kandungnya sendiri? Ayah macam apa dia?"Sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikanmu, Lisa!" ucap Mas Hamid tak kalah lantang. "Kenapa enggak? Lagian percuma, Mas. Aku sudah nggak bisa nerima kamu lagi! Percuma!" tegasku seraya membuang muka dengan dada turun naik.Terdengar Mas Hamid menghentak napas kasar. Seperti tengah mencari solusi atas masalah yang membelit di antara kami."Lis, bagaimana kalau kita bicara bertiga sama Nova?"Aku sontak menoleh saat Mas Hamid mengajukan sebuah penawaran. Apakah dia ingin bernegos
Biarlah! Biar nanti setelah semuanya beres, aku akan berbicara pelan-pelan pada Ibu. Semoga beliau bisa mengerti dan paham jika anaknya ini tak mau dimadu.Di saat seperti ini, pikiranku gampang bercabang ke mana-mana.Tiba-tiba teringat pula akan pekerjaan.Hm, ke mana aku harus memulai petualangan mencari pekerjaan?Saat membaca-baca status teman saja, terlihat banyak yang resign dan banyak yang kena PHK. Membuat nyaliku sedikit ciut bahkan sebelum memulai berjuang.Lalu, bagaimana dengan aku ini? Bahkan sepeda motor saja aku tak punya. Kalau misalnya nanti benar-benar dapat pekerjaan, bukankah sedikit merepotkan jika tak memiliki kendaraan sendiri?Kalaupun harus menaiki bus jemputan pun, bukannya semudah itu. Aku harus datang lebih cepat ke lokasi penjemputan. Huft! Nasib lah, punya nasib seperti ini. Serba salah memang jadi orang tak punya. Semuanya serba susah."Hei! Gue ada pekerjaan yang cocok untuk cewek barbar kayak elu!" "Security!"Tiba-tiba ucapan Zaki tadi sore saat men
"Eh, banyak omong lu, Zak! Lisa ini masih bini gue! Jadi gue masih berhak ngatur hidup dia!" sambar Mas Hamid berapi-api. Zaki sendiri hanya tersenyum tipis mendengar ocehan lelaki yang berteman dengannya sejak SMA itu."Dan satu lagi, jangan pernah elu mikir, buat deketin dia!" Mas Hamid kembali mencengkeram kuat tanganku saat sepasang matanya menatap garang lelaki bertubuh tinggi itu.Zaki mendengkus kasar."Hmh, bentar lagi juga jadi mantan," cibirnya santai. Membuat Mas Hamid melepas cengkraman tangannya dariku. Ia lantas menarik langkah mendekat pada Zaki yang berdiri dengan jarak sekitar tiga meter di hadapannya."Sok tahu lu!" Dengan mata melotot dan gigi bergemeletuk Mas Hamid mendorong kedua bahu Zaki secara kasar.Aku yang berdiri dengan jarak tak begitu jauh, hanya menyimak. Sama seperti orang-orang di warung nasi bebek ini yang rasanya mulai tertarik saat memperhatikan keributan yang hampir terjadi tak lama lagi.Kalau aku sih, jujur berharap mereka tidak sampai adu fisik.
"Awas, ya, kalau lu sampai macam-macam. Lu bakal terima akibatnya."Akhirnya, Mas Hamid bersuara meski sedikit pelan. Mungkin, kepalanya mulai dingin sekarang. Atau … dia sudah takut duluan dengan kabar utangku yang sampai 20 juta?Mungkin saja."Iya … aman. Sana! Mending lu balik kerja, biar dua bini lu bisa dapat nafkah lahir yang sama besar! Oke!" Usir Zaki dengan suara pelan tapi terdengar tajam. Mas Hamid yang seperti sudah kehilangan daya akhirnya memilih pasrah dan pulang. "Ayo!" Melalui isyarat mata, Zaki memintaku berjalan menuju tempat di mana tadi ia mengambil tempat duduk."Heh! Kenapa kamu asal ngomong, aku ngutang sampai sebanyak itu, ha?" Aku memprotes dengan perasaan geram ketika mengikuti jejak langkahnya."Ya … itu cuma cara instan. Biar si Hamid yang kere dan gak tau diri itu cepet pulang aja. Karena gue yakin banget, dia nggak akan bisa bayar langsung hari ini," balas Zaki yakin."Yaa ... tapi bukan dengan fitnah aku punya utang sebanyak itu juga kali!" Aku mengge
"Mas, apa mereka sudah menikah?" tanyaku pelan saat langkah Zaki dan Evi semakin dekat.Mas Hamid tak menyahut, matanya terus dia fokuskan pada dua orang yang sempat mengukir sejarah dengan kenangan bertolak belakang dalam hidupku."Mas." Aku yang memang diliputi rasa penasaran, berusaha memaksa suamiku sekedar untuk memberi jawaban 'sudah' atau 'belum'. Namun, agaknya Mas Hamid masih belum tertarik membagi informasi yang belum aku ketahui tentang mereka."Nanti, kapan-kapan aku ceritain semua, ya, Sayang," balasnya dengan senyum terukir di bibir dan tanpa menatapku. Karena memang fokusnya terus ia arahkan ke arah sana, pasangan yang sepertinya sedang dimabuk asmara. Zaki Rafandra Zulfikar dan Selvi Adinara Putri.Mendadak, aku terjebak perasaan canggung saat Evi dan Zaki yang jalan beriringan mulai menaiki pelaminan.Tak cuma aku, rasanya … Evi pun tak kalah canggung kali ini. Terbukti, gadis manis itu buru-buru melepas genggaman tangan Zaki dengan sangat gugup beberapa saat sebelum
Aku menghapus air mata sambil mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Bu Ida padaku—tentang kesediaanku kembali menjadi menantunya."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena sudi memberi kesempatan pada Hamid sekali lagi." Dengan mata yang menunjukkan bias kaca, Bu Ida kembali memeluk diriku. Menyalurkan rasa yang mungkin sama dengan apa yang tengah aku rasakan sekarang. Haru dan bahagia yang membaur indah menjadi satu.Aku mengangguk dalam pelukannya. Ah, aku bahkan sampai kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan betapa bahagianya aku saat ini."Lisa, Nduk. Kalau begini ceritanya, apa iya kamu masih betah lama-lama di kamar? Ndak penasaran, toh sama wajah calon suamimu?" ledek Ibu ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Membuatku tersipu malu."Ayo, Nak." Dengan penuh kasih sayang, Bu Ida menggandeng tanganku dan menuntunku keluar kamar layaknya calon pengantin yang baru pertama kali bakal bertemu dengan orang yang melamarnya.Sumpah!Aku jadi deg-degan seka
"Aku yang seharusnya minta maaf," balas Mas Hamid sambil tersenyum tipis."Oh iya, gimana kabar Meisha?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baik. Alhamdulillah Nova sudah mendapatkan pria yang tepat, Lis, dan aku pun merasa sangat beruntung karena suaminya begitu menyayangi Meisha. Dan yang lebih penting, dia membebaskan bertemu dengan Meisha kapan pun aku mau, dia tak melarang," ungkap Mas Hamid panjang lebar."Oh … syukurlah," balasku penuh kelegaan.Hening menjeda sementara waktu."Semoga suatu saat, kamu juga bisa menemukan pasangan hidup yang baik, ya, Mas. Sebaik yang Nova dapatkan saat ini," ucapku dengan mata yang tiba-tiba mengembun.Mas Hamid menatap sendu padaku."Tidak adakah kesempatan untuk kita memperbaiki semuanya, Lis?"Aku mengangkat bahu. Tak ingin terburu-buru mengambil langkah seperti saat menerima Zaki kala itu.Jujur, aku masih trauma untuk kembali membina rumah tangga."Mas, tolong nanti antar aku sampai jalan depan rumah aja, ya, please, aku nggak pingi
"Lis." Evi menggenggam tanganku sambil tersenyum saat kami sama-sama menyaksikan dua sahabat yang selama ini dalam diam menyimpan dendam, masih berpelukan haru setelah Zaki mengeluarkan sebuah keputusan besar pagi ini."Sebentar lagi, kamu bisa balikan sama Mas Hamid," bisiknya pelan di telingaku.Deg!Aku membeliak.Balikan?Aku menoleh dan lantas menatap nanar pada Evi yang jelas ikut lega saat mengetahui hubunganku dan Zaki hampir berakhir dan hubungan baik dengan Mas Hamid kembali terjalin.Benarkah bisa semudah itu aku kembali membina rumah tangga setelah sebelumnya dua kali gagal?Hatiku berkecamuk tiba-tiba.Ya Allah, sungguh, aku takut tetanggaku di kampung mengecam aku sebagai wanita yang suka kawin cerai, jika memutuskan untuk secepatnya menikah lagi dengan Mas Hamid setelah surat ceraiku dan Zaki turun."Entahlah, Vi. Aku nggak tahu. Mungkin sendiri lebih baik," balasku yang sontak menarik perhatian Zaki dan Mas Hamid untuk menatapku."Maksud kamu, Lis?" tanya Mas Hamid den
Meski dengan langkah berat, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar dan menghampiri mereka."Kenapa harus minta maaf, Mas?"Jelas sekali pertanyaanku membuat Zaki dan sahabat baikku terkejut. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku, aku tak mengerti.Saat mungkin merasa risih karena aku mendekat, terlihat Evi melepas paksa cengkraman tangan Zaki."Ada apa sebenarnya, Vi?" tanyaku sambil menatap Evi tajam saat menuntut penjelasan."Tanyakan saja pada suamimu!"Evi berlari, seperti enggan berlama-lama bertatap muka dengan Zaki. Membuat kecurigaan dalam dada kian bertumpuk.Ya, kepergian Evi yang terkesan terburu-buru setelah kepulangan Zaki, memang meninggalkan sejuta tanya untukku.Kulihat wajah Zaki tampak dipenuhi perasaan bersalah saat menatap punggung Evi yang perlahan menghilang dari pandangan.Ada apa?"Apa yang kau lakukan pada Evi, Mas?" cecarku penasaran.Zaki diam."Jangan bilang kalau kamu udah bikin keluarga Evi celaka!"Zaki masih diam. Membuat kecurigaan dalam da
"Sini!" Malamnya, aku yang sedang asyik berselancar di dunia maya, dibuat terkejut saat Zaki merampas ponselku secara tiba-tiba."Apa, sih, Mas?" Aku yang semula berbaring di atas ranjang, bangkit dan berusaha merampas benda kesayanganku itu kembali. "Sebentar aja!" sahutnya ketus sambil mengusap layar ponselku dengan tangan kiri seperti mencari-cari sesuatu, lalu tangan kanannya juga memegang ponselnya. "Nih!"Zaki melempar ponselku kembali. "Nyari apa kamu, Mas?" Aku menyelidik curiga padanya yang tertunduk seraya mengotak-atik ponselnya."Nomor Evi," sahutnya singkat tanpa menatapku."Buat apa?" tanyaku panik. Jangan sampai dia menyakiti Evi karena membela Mas Hamid tadi. Dan jangan sampai juga dia berpikiran jika Evi adalah wanita murahan yang bisa semudah itu diajak berkencan.Aku tahu betul Evi tipe gadis yang seperti apa. Tiga tahun pernah bekerja satu shift dengannya membuatku mengenalnya cukup baik. Dia bukan gadis yang mudah jatuh cinta dan asal menerima siapa saja pria
"Dasar gila! Amit-amit kalau sampai punya suami modelan kayak kamu. Yang ada bisa mati berdiri aku!" Evi menatap Zaki dengan mata melotot dan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.Zaki berdecak lirih."Tidak usah bermulut besar! Kalau ternyata kita berjodoh bagaimana?""Heh!" Jelas sekali Evi makin kesal dengan ucapan Zaki yang terkesan mengada-ada."Jodoh tidak ada yang tahu, Evie Tamala," ucap Zaki lantas tertawa sumbang. Membuatku terkesiap. Benarkah Zaki serius ingin menjadikan Evie istri kedua? Ah, tidak. Tidak mungkin.Bukankah soal membual dan me-rosating orang adalah keahliannya?"Kalau sampai kamu macam dan main tangan sama Lisa. Aku pastikan kau akan menyesal, Tuan Zulfikar!" Evi menodongkan telunjuknya tepat di depan wajah lelaki angkuh tersebut."Apa kau pikir aku takut dengan ancamanmu, Cewek Songong?!" Dengan dada turun naik, Zaki mencengkram kuat pergelangan tangan Evi sambil menatapnya tajam, membuatku bergidik ngeri. Takut juga sahabatku itu menjadi korban kemarah
Kuremas dada yang kembali terasa nyeri saat mengingat betapa egois dan gegabahnya seorang Lisa di masa itu. Tiba-tiba saja, rindu akan rumah itu memenuhi dada. Jujur, bukan hanya rumahnya, tapi suasana di dalamnya dulu, sebelum badai menerpa kehidupan rumah tanggaku dan Mas Hamid.Menyadari ada kesempatan, aku bergegas memesan Go-Car, berniat mendatangi rumah penuh kenangan itu, sekedar untuk melepas rindu.Sampai di sana, aku melihat pasangan suami-istri sedang bercengkrama bersama seorang anak kecil di teras rumah.Aku yang semula berniat turun, mendadak seperti tak punya kekuatan walau sekedar untuk menjejakkan kaki di tanah."Jadi turun, Mbak?" Pertanyaan pengemudi Go-Car yang kutumpangi menyadarkanku dari lamunan.Dengan tatapan nanar aku menggeleng lemah pada sang pengemudi."Terus aja, Pak," ucapku seperti orang linglung. Meminta terus lurus padahal tak ada tujuan. Sampai di persimpangan, aku meminta sang pengemudi Go-Car putar haluan menuju ke rumah mantan mertua, Bu Ida. Ti
"Ja-jadi … jadi yang kamu bilang memperjuangkan cintamu waktu itu, maksudnya apa, Mas?" Di sela-sela isak tangis, aku bertanya dengan batin yang kian terasa pilu.Zaki mendengkus pelan."Apa kau pikir aku serius, Lisa?" Zaki yang masih berbaring dan berbagi selimut denganku, memiringkan badan dan menatapku dengan tatapan mengejek.Membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh yang pernah ada di muka bumi ini."Harus aku akui, kalau kau terlalu polos dan gampang percaya, Alisa Nurhafiza, dan itu sangat menguntungkan buatku." Zaki tertawa sumbang pasca menuntaskan dua kalimat yang bahkan terasa lebih tajam dari sembilu."Jadi … alasanmu menikah denganku karena apa?" tanyaku sambil menatapnya nanar."Hamid," balas suamiku singkat tapi sarat akan emosi. Aku menangkap ada aroma dendam yang menyelinap dari caranya berbicara dan berekspresi."Mas Hamid?" tanyaku berat."Aku cuma ingin dia merasakan patah hati yang pernah aku rasakan, itu saja." Zaki bangkit lantas menyambar handuk dan berlalu