Ch. 60
Thalita terdiam saat mendengar kalimat terakhir Benjamin. Perasaan kesal yang sedari tadi melanda hatinya kini menguap entah kemana. Kedua mata Thalita lantas menatap tidak percaya ke arah Benjamin. Thalita tidak percaya bahwa Benjamin akan mengangkat kembali kisah yang sudah terkubur lama di keluarga mereka.Sementara itu, Benjamin enggan menatap Thalita. Amarah yang tadi sempat menghinggapi hati Benjamin pun perlahan sirna, digantikan perasaan bersalah karena tadi sudah membentak ibunya. Tapi, Benjamin tidak ingin menarik kembali kata-katanya. Benjamin merasa kata-kata Ibunya sudah keterlaluan. Tidak hanya kemarin, tetapi hari ini juga, apalagi hari ini ibunya berbicara buruk tentang Adora di depan Adora langsung."Adora, kamu pulang saja sekarang, saya sudah tidak apa-apa. Saya akan kembali ke rumah saya sendiri. Jangan lupa hubungi saya kalau kamu sudah mendapatkan kabar dari kepolisian tentang mobil saya."Adora ya“ANTHONY MAGHANI!”Suara Sonny yang menggelegar untuk kesekian kalinya berhasil membuat Thalita segera menahan pergerakan lengan suaminya itu. Thalita takut apabila Sonny tidak ditahan maka suaminya itu akan kehilangan akal dan kendali sehingga berakhir menyakiti anak sulungnya lebih jauh lagi.Sementara itu, Anthony sang pemilik nama hanya menundukkan kepalanya di hadapan kedua orang tuanya. Anak muda itu mencoba untuk menyembunyikan wajahnya yang kini mengalami pembengkakan di rahang kiri akibat tinjuan dari sang ayah.Kondisi surai hitam Anthony yang basah senada dengan kondisi baju yang dikenakannya saat itu —semuanya basah kuyup. Entah apa yang dilakukan Anthony di luar sana. Tidak ada satupun orang yang tahu. Tiba-tiba saja dia pulang dalam keadaan seperti itu. Tetapi, saat Sonny melihat anaknya seperti itu, Sonny langsung naik pitam dan menghukum Anthony.“Berhenti membuat Papa malu, Anthony! Darimana saja
Keesokkan harinya, Saat jam makan siang, keluarga Maghani menikmati santapan mereka secara khidmat di ruang makan. Seluruh anggota inti keluarga Maghani ada di sana, kecuali anak sulung mereka, Anthony. Benjamin yang saat itu sedang menikmati udang rebus di piringnya tanpa sengaja mendengar percakapan ayah dan ibunya yang masih memperdebatkan masalah kemarin.“Pa, Papa tidak kasihan sama Anthony? Tidak mungkin Anthony yang masih kecil itu bisa bertahan hidup seorang diri di negara orang, Pa. Mama tidak bisa membayangkannya. Gimana kalau di sana Anthony sakit atau Anthony kelaparan, tapi tidak ada orang dewasa di sampingnya? Apa Papa tidak kasihan? Coba Papa pikirkan ulang rencana Papa mengirim Anthony ke luar negeri.”“Anthony bukan anak kecil lagi, Ma. Sekarang dia sudah berusia enam belas tahun, tahun depan dia juga akan menginjak usia dewasa. Dia bisa mencari pekerjaannya sendiri di sana. Papa hanya mewujudkan keinginannya yang ingin menjalani pilihan dan kehidupannya sendiri.”“P
Meski waktu memang sudah lama berlalu, Thalita sama sekali tidak bisa melepaskan Anthony dari kepalanya. Ingatan dan perasaan Thalita terhadap anak sulungnya itu memang telah menutup matanya terhadap Benjamin dari belasan hingga puluhan tahun lalu.Perasaan bersalah yang terus bersarang dalam hati Thalita setiap Thalita teringat Anthony membuat Thalita terobsesi dan berambisi untuk mewujudkan sosok Anthony yang selama ini ia idam-idamkan dalam diri Benjamin. Meski Thalita tahu Benjamin bukanlah Anthony ataupun sebaliknya, tetapi hati kecil Thalita menolak kenyataan itu dan masih berpegang pada obsesinya. Terlebih lagi, selama ini Benjamin tidak pernah mempermasalahkan keinginannya itu dan selalu menuruti semuanya.Thalita pikir semua baik-baik saja sampai pada akhirnya tadi malam Thalita menyadari satu fakta yang terjadi. Penderitaan Benjamin yang selama ini tak pernah dilihatnya. Menyadari hal itu, obsesi Thalita perlahan menyusut setiap Thalita memikirk
Keesokkan harinya,Sehari sudah berlalu, tapi kabar mengenai Moira sama sekali belum menemukan titik terang. Entah di mana keberadaan gadis itu saat ini, namun Thalita merasa kalut sendiri. Bagaimana kalau Moira tidak dapat ditemukan? Itu akan menjadi masalah nantinya.Meski begitu, Thalita dapat sedikit mengembuskan napas lega ketika dirinya melihat usaha Benjamin yang membantu Brandon dalam pencarian Moira. Dalam kondisi sakit, Benjamin bahkan ikut melapor ke kepolisian. Setidaknya dengan adanya kasus ini, Benjamin sedikit memperhatikan Moira, seperti yang diinginkan Thalita sedari dulu. Benjamin bersama dengan Moira seperti Anthony yang bersama dengan Lia.Setelah satu jam bergumul dengan pikirannya mengenai Moira, lamunan Thalita akhirnya terpecah kala asisten rumah tangganya datang dan berbicara kepadanya."Nyonya, ada tamu di depan. Katanya sekretaris Tuan Muda. Apa boleh diizinkan masuk ke dalam rumah, Nyonya?"Thalita melirikkan m
Adora sama sekali tidak menanggapi Thalita yang sedari tadi terus memanggil namanya. Fokus Adora hanya ke depan dan menghindari Thalita, sampai akhirnya tanpa sengaja Adora yang sedang terburu pun berpas-pasan dengan Benjamin yang baru saja masuk ke dalam rumah."Adora ..." Benjamin tampak sedikit terkejut ketika ia melihat penampilan Adora yang begitu berantakan. Mata Adora memerah dengan tatapan yang begitu tajam. Sontak Benjamin merasa khawatir saat melihatnya."Hei, ada apa? Kamu kenapa?"Pertanyaan Benjamin tidak dijawab oleh Adora. Tentu saja hal itu mengundang rasa penasaran Benjamin. Benjamin terus bertanya-tanya sampai akhirnya ia menemukan presensi Thalita yang berjalan, hendak menghampiri Adora. "Beri tahu aku. Apa Ibuku berbicara sesuatu kepadamu?"Adora diam, memalingkan wajahnya. "Maaf, Pak ... Saya permisi."Tanpa mengacuhkan Benjamin, Adora segera menyingkir. Akan tetapi, Benjamin dengan gesit mengejar Adora.
Sesuai saran dari dokter, Benjamin akhirnya kembali lagi ke rumah sakit setelah tiga hari memasang belat. Tentu saja Benjamin tidak datang seorang diri, melainkan ia bersama dengan Adora. Seperti perjanjian mereka kemarin, Adora akan membantu Benjamin menyelesaikan permasalahannya.Setelah dua puluh menit menunggu, Benjamin akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam ruang dokter ortopedi untuk memeriksa keadaannya, sementara Adora memilih untuk duduk di ruang tunggu sembari membuka macbooknya. Di sana Adora sengaja melihat laporan pekerjaan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang masih dalam jangkauannya.Fokusnya terhenti sampai ada suara lembut yang menyapa dan memanggil namanya."Kak Adora?"Adora lantas mendongakkan kepalanya dan dirinya sedikit terkejut ketika ia melihat perempuan bersurai ginger yang tampak tak asing baginya tengah berdiri di hadapannya. Adora pun segera berdiri dan berhadapan dengan Moira."Moira, kamu---" suara Adora
Setelah menghabiskan waktu tiga jam untuk mengurus kegiatan medis Benjamin dan keperluan untuk mencari Moira, Benjamin dan Adora akhirnya kembali lagi ke kediaman keluarga Maghani. Selama perjalanan pulang, Adora masih membungkam mulutnya perihal pertemuannya dengan Moira di rumah sakit tadi kepada Benjamin. Bukan apa-apa, Adora hanya memegang janji yang diucapkannya kepada Moira. Namun, tetap saja Adora merasa gelisah karena pertemuan itu tak lepas dari benaknya. Adora terus saja bertanya-tanya, bagaimana reaksi Benjamin kalau tahu yang sebenarnya terjadi? Moira sudah memiliki kekasih dan calon anak. Apa semua akan baik-baik saja?Lamunan Adora buyar saat mobil yang menghantarkan mereka sudah sampai di kediaman Keluarga Maghani."Baiklah, Adora. Terima kasih sudah membantuku. Aku akan menghubungimu lagi kalau aku membutuhkan sesuatu," ujar Benjamin."Baik, Pak."Adora menundukkan kepalanya dan berjalan meninggalkan Benjamin.
"Adora." Benjamin memanggil Adora setelah ia melihat Fara tampak tertidur pulas di atas pangkuan Adora. Keadaan cuaca siang itu juga sangat mendukung, angin sepoi-sepoi begitu menggoda, mereka bahkan kini membelai sisi kiri wajah cantik Adora, membuat Benjamin yang sedari tadi terduduk di samping Adora hanya dapat memandangi visual Adora yang diterpa angin. Sangat cantik, Benjamin bahkan melihat efek halo saat ini tengah mengelilingi Adora."Iya, Pak? Ada apa?"Benjamin tertegun sebentar, kemudian berdeham—hanya untuk menarik kesadarannya kembali. "Terima kasih.""Terima kasih untuk?""Terima kasih karena kamu sudah menghibur Fara," Benjamin menjeda ucapannya, "Kamu tahu—dari kemarin, Fara—dia sama sekali tidak ingin menyentuh makanannya dan terus saja menangis semenjak tahu Moira pergi dari rumah."Adora hanya terdiam, tangannya lantas mengusap pucuk kepala Fara yang ada di pangkuannya."Terima kasih karena kamu sudah ada di sisi Fara hari ini, Adora. Karenamu—Fara bisa kembali ters
Diari FaraHari ini Fara tahu akhir cerita dari Peri dalam kisah dongeng CinderellaMereka tidak menghilangMereka justru mendapatkan kebahagiaan milik merekaHari ini Peri Fara, Kak Fai-Rina, berbahagia dengan PapaFara senang sekali karena Kak Fai-Rina menjadi Mama Fara"Fara!!"Fara menutup buku diarinya saat mendengar Thalita memanggil namanya."Iya, Nek!""Sini, Sayang! Kita foto bersama!"Mendengar hal itu Fara membawa kaki kecilnya ke luar kamar, sedikit berlari ke arah Adora dan Benjamin yang berada di tengah kapal. Fara kemudian berdiri di antara Benjamin dan Adora.Fotografer yang ada tepat di hadapan Fara pun mengambil jepret gambar. Dalam hitungan ketiga, gambar-gambar terus diambil. Tak ada satupun momen yang terlewati.Setelah beberapa menit kemudian, para keluarga berhamburan. Fara dapat melihat Nenek Thalita dan Nenek Yuni sedang bercengkrama. Mereka terlihat bahagia ketika melemparkan tawa."Fara! Ayok, main!"Kak Nindy menepuk bahu Fara menyadarkan Fara dari lamunann
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, acara panggang dan makan bersama juga telah berakhir empat puluh menit lalu. Semua orang yang tadi berpartisipasi dalam acara tersebut juga sudah tertidur di kamar masing-masing dengan perut yang penuh dan perasaan gembira.Namun, hal itu justru berbeda dengan Benjamin dan Adora yang masih betah berada di luar. Keduanya duduk bersama di depan teras rumah Nenek Yuni, menikmati secangkir jahe panas untuk mengusir angin malam yang dingin.Benjamin lantas melirik ke arah Adora yang duduk di sebelahnya, tampak gadis itu sedang menikmati menyeruput jahe hangat yang ada di tangannya. Sesekali Benjamin juga mengedarkan matanya ke arah lain, memandangi langit malam yang kini berhamburan banyaknya bintang yang kelap-kelip, seakan mendukung keadaannya malam ini."Ini adalah malam terakhirku di sini," kata Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora.Adora memandang lirih ke arah Benjamin. Kedua tangannya menggenggam erat gelas, merasakan pa
Selama dua hari belakang ini, Jason baru merasa untuk pertama kalinya tidak aman di rumahnya sendiri. Bukan karena apa-apa, keberadaan Benjamin begitu mengintimidasinya. Benjamin kerap kali memandangi wajah Jason, bahkan juga tubuh ataupun otot lengan Jason. Jason pikir Jason salah mengira atau sudah melakukan kesalahan kepada Benjamin, maka dari itu Jason menegur Benjamin saat Benjamin sibuk memandanginya."Kenapa? Ada yang salah?"Benjamin hanya memalingkan wajahnya, bersikap seperti ia tidak pernah memandangi tubuh Jason, tetapi beberapa detik setelahnya Benjamin akan kembali sibuk memandangi Jason.Pertama, kedua, ketiga, masih oke. Tapi, kejadian itu terus berulang dalam rentan waktu yang sering, membuat Jason nyaris gila karenanya. Satu-satunya cara hanyalah Jason tidak mengacuhkan keberadaan Benjamin, tetapi Nenek Yuni yang mampir ke toko menegur menarik perhatian Benjamin."Nak Jason, apa boleh Nenek minta tolong untuk membawakan
Benjamin berjalan beriringan dengan Adora. Cuaca siang itu tidak begitu terik sebab pepohonan besar yang menjulang ada di sepanjang bahu jalan, dedaunan yang rimbun dari pohon-pohon itu tentu tidak memberikan celah untuk sinar mentari menembus kulit.Musim panas membiarkan semilir angin menerpa wajah Benjamin, terkadang juga memainkan surai panjang milik Adora, sehingga mereka berkibar di udara—menggoda Benjamin dengan aroma sampo yang digunakan Adora.Lamunan Benjamin buyar kala Adora menghentikan langkahnya di depan sebuah toko. Benjamin melirik sebentar ke arah toko itu. Sekilas toko itu memiliki penampilan toko yang sederhana, tetapi berhasil menciptakan kesan khas keluarga. Adora lantas masuk ke dalam toko bertuliskan Toko Keluarga Jun itu yang tentunya diikuti Benjamin di belakangnya."Permisi~~" Adora menyapa saat tidak ada seorang pun di balik meja kasir.Butuh beberapa menit bagi Benjamin dan Adora menunggu sampai akhirnya figure seorang
"Oh iya—" Nenek Yuni melirik ke arah Adora, berusaha mengamati reaksi Adora. Adora memiliki reaksi yang sebelas dua belas dengan milik Nenek Yuni. Keduanya sama-sama bingung ketika menemukan keberadaan Benjamin yang begitu tiba-tiba di hadapan mereka.Akan tetapi, Nenek Yuni menutupi kebingungannya dengan menyambut hangat kedatangan Benjamin."—silakan duduk, Nak Benjamin."Mendengar Nenek Yuni mempersilakannya, Benjamin kemudian menuntun Fara untuk duduk berdekatan dengan Jason yang juga berada di rumah Nenek Yuni. Semua orang di rumah Nenek Yuni menampakkan ekspresi bingung, kecuali Benjamin, Fara, dan Nindy.Adora yang merasa atmosfer canggung pun mendekat ke arah Nenek Yuni dan berbisik, "... Nek, Adora mau ngomong dulu bentar ya sama Pak Benjamin.""Iya."Adora segera berjalan mendekati Benjamin, kemudian melingkarkan tangannya ke lengan Benjamin. Benjamin tampak tersentak sejenak sebelum akhirnya ia menerima sentu
Keesokkan harinya,Setelah menempuh enam jam perjalanan, mobil yang kini membawa Benjamin sudah memasuki area pedesaan yang terasa asing bagi Benjamin dan Fara. Dari dalam mobil, Benjamin dapat melihat beberapa anak-anak yang sedang bermain di jalanan memutuskan untuk menepi kala mobil Benjamin menyusuri jalanan. Anak-anak itu memandang bingung saat melihat mobil Benjamin melintas melewati mereka.Fara yang duduk di sebelah Benjamin pun terpukau saat melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan desa. Kisaran usia anak-anak itu beragam, mulai dari remaja dewasa sampai juga seusia Fara. Mereka tampak senang bermain permainan sederhana. Pemandangan yang jauh berbeda dengan teman sebaya Fara di sekolah yang sibuk dengan gadget masing-masing ataupun berkutat dengan buku teks yang sangat tebal."Papa, lihat," tunjuk Fara. Benjamin mengikuti arah pandang Fara. "Fara nanti boleh main ya Pah?"Benjamin terdiam sebentar, menimang-nimang sebelum akhirnya
Irish sebenarnya malas sekali menghampiri meja Benjamin saat ini, tetapi mau bagaimana lagi, kalau tidak karena Benjamin kemarin, mungkin hubungan Irish dan Noah tidak akan membaik dengan cepat, ditambah karena jasa Benjamin juga lah Noah melamar Irish kemarin. Ya, Irish memang tidak bisa menyangkal adanya tangan Benjamin yang kemarin membantu kisah asmaranya. Jadi, sebagai balasan dari utang budinya, Irish bermaksud mengundang Benjamin ke pernikahannya, meski dalam hati Irish sudah dongkol setengah mati pada atasannya itu.Saat jam istirahat, dengan setengah terpaksa Irish mendekati meja tempat Benjamin makan siang. Benjamin yang menyadari keberadaan Irish pun mengangkat pandangannya, membuat Irish sedikit tersentak kala menemukan pandangan Benjamin begitu datar seakan tidak memiliki kehidupan."P-permisi, Pak—saya ingin memberikan ini," ujar Irish sembari mengulurkan undangan yang ada di tangannya ke Benjamin.Benjamin hanya melirik tanpa penuh
Dua minggu telah berlalu, tentunya banyak hal yang telah berubah seiring berjalannya waktu, tetapi Adora merasa dirinya masih tetap sama. Pikirannya masih jauh nan di sana, meski raganya berada di tempat lain. Adora terus memikirkan kejadian yang sudah lama berlalu. Kejadian yang membuatnya sedikit bingung harus membawa kemana hatinya pergi dan berlabuh."Adora."Di tengah lamunannya yang tak berujung, Adora tersadarkan oleh suara sang nenek yang memanggil namanya.Adora menoleh dan mengulas senyum tipis ke arah neneknya, "Iya, Nek."Nenek Yuni yang baru keluar dari ruang peristirahatannya pun ikut duduk bergabung dengan Adora di depan teras rumah. Sore hari kala itu Adora dan Neneknya memilih untuk menikmati waktu santainya dengan melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan. Anak-anak itu bercanda, berlari, dan berbagi tawa satu sama lain. Adora dapat melihat masa kecil yang indah tercetak jelas pada wajah anak-anak itu."Nenek perh
Malam harinya,Adora memandangi ponsel di tangannya dengan tatapan gelisah. Berjam-jam sudah berlalu dari kejadian siang tadi, tetapi belum ada satu pun panggilan yang datang dari Benjamin. Jangankan panggilan, pesan pun tidak ada. Hal ini tentu membuat Adora merasa tak karuan. Dadanya berdegup kencang hanya untuk menunggu Benjamin menghubunginya.Kriet ..."Ngapain lo?" Tanya Irish, menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Adora menoleh sebentar sebelum akhirnya melambaikan tangannya, mengusir keberadaan Irish dari kamarnya."Yeh, ya udah gua keluar dulu. Mau ngedate sama Noah. Hati-hati lho sendirian di apartemen, hiiihhh~~ ada hantuu, tatut!"Alih-alih ketakutan dengan jokes receh yang dilempar oleh Irish, Adora lebih memilih mengambil bantal dan melemparnya ke pintu.Duk!Bunyi bantal jatuh diiringi suara pintu ditutup kencang menyambut telinga Adora. Sudah tidak kena Irish, Adora juga harus memungut kembali bantalny