Lisa menelan ludah. Air matanya mengambang. Oh, Didit… Demi apa hingga ia sendiri tanpa disadari larut dalam kesedihan dan luka lelaki itu?
"Bagaimana dengan Mama Gita?" Didit menghela nafas,”Sejak rumor itu beredar, Mama Gita tak ingin menemuiku lagi. Aku tak bisa menghubunginya dan Gita. Terakhir kudengar beliau pindah ke Australia." "Aku merasa Gita adalah cinta pertamamu." Didit tersenyum tipis sambil menggeleng. "Gita adalah gadis pertama yang menciumku. Waktu itu kami hanya berdua di ruang rawat, saling berpegangan tangan erat. Dia mengatakan sangat takut. Aku mencoba menenangkan dan entah angin apa yang menuntunku untuk menciumnya. Gita menangis, mengucapkan terima kasih. Aku ikut menangis entah untuk apa. Sayangnya, Gita bukan cinta pertamaku. Mungkin terdengar gilaHey readers, apa kamu sudah tekan love dan vote? ❤ Ri
Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang
'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit
Sayup-sayup lagu You mengalun di dalam kafe. Didit menggenggam tangan Lisa, melewati kursi-kursi yang telah penuh oleh pengunjung, berjalan ke arah meja barista menuju pintu yang didesain seperti tembok. Begitu masuk, yang pertama kali terlihat adalah ruang kantor dengan luas sekitar tiga kali tiga meter berjendela kaca hingga ruangan tersebut bisa terlihat dari luar. Di sisi kanan, Lisa melihat dapur yang kelihatannya kecil tapi memiliki peralatan masak lengkap. Paling pojok terdapat meja makan untuk dua orang. Seorang barista sedang memasak sesuatu. Sepertinya disinilah mereka bisa beristirahat dan memasak makanan sendiri. Begitu melihat Didit, ia tersenyum dan menyapa. Didit membalas dengan menepuk pundaknya, lalu berjalan menuju lemari pendingin. "Kita akan masak apa, Lisa?" Tanya Didit seraya membuka lemari pendingin, melihat-lihat sebentar, lalu pandangannya beralih ke arah Lisa. "Ehm, n
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit
Sayup-sayup lagu You mengalun di dalam kafe. Didit menggenggam tangan Lisa, melewati kursi-kursi yang telah penuh oleh pengunjung, berjalan ke arah meja barista menuju pintu yang didesain seperti tembok. Begitu masuk, yang pertama kali terlihat adalah ruang kantor dengan luas sekitar tiga kali tiga meter berjendela kaca hingga ruangan tersebut bisa terlihat dari luar. Di sisi kanan, Lisa melihat dapur yang kelihatannya kecil tapi memiliki peralatan masak lengkap. Paling pojok terdapat meja makan untuk dua orang. Seorang barista sedang memasak sesuatu. Sepertinya disinilah mereka bisa beristirahat dan memasak makanan sendiri. Begitu melihat Didit, ia tersenyum dan menyapa. Didit membalas dengan menepuk pundaknya, lalu berjalan menuju lemari pendingin. "Kita akan masak apa, Lisa?" Tanya Didit seraya membuka lemari pendingin, melihat-lihat sebentar, lalu pandangannya beralih ke arah Lisa. "Ehm, n
'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit
Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang