“Apes banget yang semalem.” Edo menyisir rambut yang sengaja ia cat pirang dengan santai. Matanya melirik beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka sambil menebar senyum andalannya.
Beberapa gadis tersenyum sambil melirik malu-malu saat ketiga pria itu memasuki lobi mall dengan langkah tegap. Edo sengaja menggulung lengan baju untuk memperlihatkan otot lengannya kepada gadis-gadis yang berpapasan dengan mereka di mall.
“Jangan dibahas lagi, Blok,” ujar Fadlan sambil memeriksa email di ponselnya.
“Hhh, emang cewek cantik dan baik itu udah mulai langka. Tapi gue nggak nyangka kalo dia bahkan udah beranak. Bodynya masih gadis banget, Bro!” keluh Edo sambil menebar senyum kepada beberapa siswi SMA yang cekikikan saat berpapasan dengan mereka.
“Masih ada, Do, yang cantik, sukses, baik, dan masih single.” Fadlan mensejajari langkah Edo di escalator.
Pria berkaos hitam itu menatap ragu.
“Si Putri? Kurang apa dia? Kaya tujuh turunan, cantik, bohay, dan masih single.”
“Anj*ng. Dia mah beda kelas, Blok. Salah-salah lo mati duluan sebelum deketin dia. Hahahaha,” tawa Edo, meski sama sekali tidak menampik apa yang disampaikan Fadlan.
Di belakang Edo dan Fadlan, Bara mengekor dengan wajah datar. Kedua tangannya tersemat di saku celana, sama sekali tidak bersemangat. Andai bukan karena undangan khusus dari Putri, adik Putra, mungkin ia akan memilih membenamkan diri di balik berkas-berkas kasus yang harus ia pelajari.
Namun hari ini, secara khusus Putri mengundang sahabat-sahabat kakaknya untuk datang ke acara soft opening restoran sushi miliknya.
Lagi-lagi Bara menghela napas berat, sambil menatap lurus ke depan. Namun, saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap bayangan seorang wanita di department store, langkah pria itu sempat terhenti beberapa detik.
“Lah, lo mau ke mana, Bar? Restonya di lantai 3!” tanya Fadlan saat melihat Bara malah berjalan ke arah berlainan.
“Kalian duluan aja, gue mau ke sana dulu,” ujar Bara menunjuk department store dengan pandangannya.
Edo dan Fadlan saling beradu pandang sejenak, sebelum menghilang di balik escalator menuju lantai 3.
***
“Ada yang ukuran XL?”
Bara benar-benar tidak mengerti apa yang tengah merasukinya hingga ia berada di dalam department store. Tempat yang hanya akan ia datangi ketika mengantar Cindy atau ibunya sendiri berbelanja. Terlebih, ia sampai menghampiri seorang karyawan department store untuk bertanya suatu barang, padahal biasanya ia hanya akan membeli apa yang ia lihat, tanpa repot-repot mencari yang tidak ada.
“Ya?”
Suaranya.
Suara itu seperti menghipnotis Bara.
Tidak salah lagi, wanita itu adalah wanita yang mereka lihat semalam. Namun, hari ini, ia tampak sedikit berbeda. Ia menggunakan seragam abu-abu berlogo merah, dengan wajah dirias sempurna, dan rambut tersanggul rapi.
“Ada yang bisa dibantu, Kak?” tanya wanita itu. Senyum professional, dan tatapan ramahnya membuat Bara harus berdeham beberapa kali sebelum kembali berbicara.
“Sa-saya, cari ini, ukuran XL.” Bara memaki dirinya sendiri yang terlihat konyol karena tergagap di hadapan wanita itu. Sekarang pasti wanita itu sudah menganggapnya bodoh.
“Maaf, Kak. Untuk model ini paling besar ukurannya L.”
Lagi-lagi suaranya membuat Bara terpesona.
“Tapi ini sepertinya cukup untuk Kakak,” tambahnya, tersenyum sopan.
Bara menelan ludah susah payah. Meski terlihat jauh lebih dewasa dengan seragamnya, tapi wanita itu tetap memiliki tatapan yang sama seperti semalam. Dan setelah berdiri berhadapan seperti ini, Bara baru menyadari betapa mungilnya wanita itu. Kedua manik matanya berwarna cokelat muda, dan pipinya bersemu setiap kali tersenyum.
“Kalau mau bisa dicoba dulu, Kak, kamar pasnya di sana.” Wanita itu menunjukkan bilik ganti di belakang punggungnya.
Bara menimbang sejenak. Jika ia pergi sekarang, bukan tidak mungkin ia akan kehilangan wanita itu.
“Hm, tapi saya masih bingung antara warna biru atau hitam,” ujar Bara.
“Mm, tapi warna coklat yang Kakak pegang juga sepertinya cocok.”
Glek.
Bara bahkan tidak sadar kalau dia mengambil kemeja warna coklat.
“Sebentar, saya ambilkan yang warna biru dan hitam.” Wanita itu berjalan ke rak di belakangnya, lalu mengambil dua model yang sama dengan dua warna berbeda.
Saat matanya serius menatap pakaian itu, Bara kembali terpaku. Bagaimana mungkin wanita itu terus bertambah cantik setiap detiknya?
“Ini, Kak, silakan,” ujar wanita itu, menyerahkan dua kemeja lainnya. Saat tangannya terulur, Bara sibuk memeriksa cincin yang mungkin tersemat di jari wanita itu.
Dan ketika ia tidak menemukan apa yang dicarinya, Bara mendesah lega. Namun, nama Leo yang ia dengar semalam masih terngiang-ngiang sangat jelas.
Anakku, kata wanita itu semalam.
Apa artinya dia sudah menikah dan memiliki anak?
“Kak?”
Bara terkesiap dari lamunannya.
“Ah, maaf Mbak, saya masih bingung dengan dasinya juga. Warna yang cocok buat ketiga kemeja ini.”
“Tiga-tiganya?” Bahkan tatapan kebingungan wanita itu mampu membuat Bara kembali tak berkutik.
“Ya, tiga-tiganya. Bisa bantu cari dasi yang cocok?”
Wanita itu tersenyum sopan. “Baik, Kak, sebentar saya carikan dulu. Silakan dicoba dulu kemejanya.”
Bara menatap punggung wanita yang menjauh itu dengan pandangan tidak rela. Ini benar-benar gila. Selama 6 tahun hubungannya dengan Cindy, tidak pernah sekali pun ia memiliki perasaan seperti itu.
Bara bahkan tidak percaya jika ia baru saja mengikuti jejak Edo si playboy dalam menggoda wanita, dan apa-apaan kemeja yang ada di tangannya itu? Untuk apa ia membeli kemeja dengan model yang sama sebanyak itu?
Namun, saat mengingat bagaimana tatapan serius wanita itu saat memilih kemejanya, Bara tidak bisa berhenti tersenyum sambil berjalan ke kamar pas, dan mencoba salah satu kemejanya.
“Kak, ini dasinya.”
Kening Bara berkerut saat mendapati karyawan lain yang mengantar dasi itu kepadanya.
“Lho, Mbak yang tadi mana?” tanya Bara dingin.
“Oh, itu Mbaknya—”
“Ini untuk warna kemeja yang lainnya, Kak,” ujar wanita mungil yang kembali muncul di balik rak-rak pakaian yang lain. Kedatangannya langsung mencairkan kegusaran Bara. Ia membawa dua dasi dengan warna berbeda ke hadapan Bara. “Makasih ya, Mel,” bisiknya kepada karyawan yang tadi mengantar dasi pertama kepada Bara.
“Oke, Mbak, aku ke sana dulu kalau begitu,” ujar Mel sambil sesekali melirik Bara. Ia hampir saja lari ketakutan karena sikap dingin Bara beberapa saat yang lalu.
“Bagaimana, Kak, kemejanya?”
Bara membaca name tag wanita itu secepat kilat. Nilam. Nama yang indah, secantik sosoknya.
“Oh, ini baru mau saya coba. Tapi Mbak tunggu dulu di sini, biar bisa cocokin dasinya.” Bara benar-benar muak kepada dirinya sendiri karena mengikuti cara menjijikan Edo, tapi entah mengapa ia benar-benar tidak ingin wanita itu pergi begitu saja.
“Baik, Kak,” jawab wanita bernama Nilam itu sopan.
Cepat-cepat Bara mengganti kemejanya dengan salah satu kemeja baru yang ia bawa, lalu keluar dari kamar pas. Nilam benar, kemeja itu sangat pas di tubuhnya, bahkan sekarang kemeja itu membuat otot-otot tubuhnya terlihat jelas, dan ia tidak sabar untuk menunjukkannya kepada Nilam. Tidak sia-sia ia berolah raga setiap hari.
“Gimana, Mbak, cocok?” tanya Bara di hadapan Nilam.
“Ya?” Nilam mengerjap bingung. Sangat jarang konsumen meminta pendapat mengenai pakaian yang sudah dicobanya di kamar pas.
“Mm, dasinya mana yang cocok?” ujar Bara menahan malu.
Bibir Nilam kembali melengkung tipis. Ia mengambil dasi berwarna biru lalu memberikannya kepada Bara.
“Ini bisa dicoba juga?” tanya Bara.
“Bisa, Kak.”
“Bisa tolong dibantu? Sa-saya masih belum ahli pakai dasi.” Itu adalah kebohongan yang gila dan menjijikan, tapi terlontar begitu saja dari mulutnya.
Meski sempat ragu selama beberapa saat, akhirnya Nilam mengangguk. “Baik, Kak.”
Setiap wanita itu mendekat, Bara bisa merasakan detak jantungnya kian berlompatan. Terlebih ketika ia bisa menghirup aroma lembut dari wanita itu.
“Maaf, Kak, bisa agak menunduk sedikit.”
“Oh, iya!” jawab Bara tanpa sengaja terdengar penuh semangat, dan itu membuat Nilam terkekeh pelan.
Bara berani bersumpah, jika itu adalah senyuman paling indah yang pernah ia lihat. Gerakan lembut Nilam saat memasangkan dasi, sentuhan ringan yang tanpa sengaja terasa, membuat Bara benar-benar semakin terpesona.
Ia harus menahan dirinya sendiri agar tidak menarik tubuh mungil Nilam ke dalam dekapannya saat itu juga.
“Nah.” Seperti gadis kecil yang baru saja membuat manusia salju dengan sempurna, wanita itu tersenyum puas melihat dasi yang terpasang sempurna. “Bagaimana, Kak?” tanyanya sopan.
“Ya, ya. Ini sempurna,” jawab Bara setelah membeku beberapa saat.
“Ada lagi yang dibutuhkan?”
“Kamu sudah menikah?”
“Ya?”
***
“ANJ*NG! ITU TELEPON CUMA PAJANGAN DOANG?!” teriak Edo saat Bara akhirnya muncul di restoran Putri.
Fadlan dan Putra ikut menatap kesal kepada pria itu.
“GILA EMANG!” Fadlan ikut memaki sambil menenggak habis colanya.
“Lo dari mana aja, Bar? Itu apaan lagi?” tanya Putra saat Bara duduk di sampingnya. Ia merebut plastik yang dibawa Bara, lalu mengeluarkan isinya. “Buset, lo beli apaan ini?!” tanya Putra saat melihat tiga kemeja dengan model sama dan warna berbeda, dan tiga dasi dengan warna senada.
“HEH? LO KESAMBET, BAR? APA MAU KOSIDAHAN BELI KEMEJA SERAGAM BEGINI?!” pekik Edo ngeri. Namun, Bara sama sekali tidak menjawabnya. Karena saat ini jiwa Bara tertinggal di sebuah titik di department store mall itu.
***
SH*T.Bisa-bisanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Nilam.“B*ngsat!” maki Bara kesal.Fadlan dan Edo saling beradu pandang. “Gue yakin gara-gara putus dari si Cindy dia jadi gila beneran,” desis Fadlan sambil memasukkan barang-barang aneh yang dibeli Bara ke dalam plastiknya.“Kayaknya gitu.” Edo mengangguk setuju. “Gue nggak nyangka dia secinta itu sama Cindy.”Putra tidak mampu berkomentar lagi. Ia sendiri menatap ngeri sosok sahabatnya yang sekarang benar-benar terlihat aneh.“Eh, Mas Bara sudah datang?!” Lengking suara Putri terdengar riang. Dengan gaun berwarna merah muda, dan rambut terurai sepunggung, gadis itu berjalan di antara meja-meja yang dipenuhi pengunjung restorannya.“Hhhh, kita dari tadi di sini nggak disambut begitu tuh! Memang keadilan hanya untuk yang good looking,” gerutu Fadlan yang hanya mendapat lirikan sekilas dari Putri.Tanpa diminta lagi, Putri langsung duduk di samping Bara, bergelayut manja seperti yang selama ini ia lakukan.“Hus! Dia lagi
“WOY, ANJ*NG GILA, HP LO BENERAN UDAH NGGAK GUNA, HAH?!” bentak Edo di telepon. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Bara, tapi hingga malam bergerak semakin larut, Bara belum juga megangkat telepon atau membalas pesannya. “LO JADI MAU KE SINI KAGA SIH SETAN?!” teriak Edo kesal. “Gue pass dulu malam ini,” jawab Bara lelah. “Lo lagi di mana sekarang? Lembur?” Bara tidak menjawab. Ia sudah keluar dari kantor sejak dua jam yang lalu. Dan saat ini tengah menepi bersama motornya di bawah bayangan pepohonan, lagi-lagi, secara diam-diam menatap Nilam dari kejauhan. Pukul 10 malam, Nilam akhirnya keluar mall sambil menggendong Leo yang terlelap. Itu bukan sebuah kebetulan, karena Bara sebelumnya memang menunggu Nilam di dalam mall, hingga security mengusirnya karena mall akan tutup. Bara tau ini adalah tindakan paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Namun, Bara masih ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah mundur. Ia ingin memastikan siapa yang menjemput Nilam da
Sabtu pagi.Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di D
“Bar, lo beneran nggak ikut?” tanya Putra di telepon.“Nggak. Kalian lanjut aja. Gue ada perlu.”Putra menghela napas panjang sambil menatap langit malam. Di kejauhan tiupan terompet tahun baru terdengar sayup-sayup, meskipun saat ini baru pukul 8 malam.Ia melempar kantong arang yang dibeli di warung depan gang sambil memijat pangkal hidungnya.Padahal mereka sudah merancanakan malam tahun baru itu sejak jauh-jauh hari, tapi bisa-bisanya Bara membatalkan rencana mereka di saat-saat terakhir.“Bener kan dia kaga bakal datang?” tanya Edo yang sudah siap dengan baskom berisi ayam dan gitar milik Fadlan.Bukannya menjawab, Putra malah merebahkan tubuh di atas kursi panjang depan kontrakan.“Udah gue bilang, dia mau ketemu sama si Cindy sekarang. Mungkin mau ngajak balikan lagi. Kan momennya pas tuh di malem tahun baru,” ujar Fadlan yang tengah sibuk membuat perapian sederhana dari tumpukan bata.“Iya, abis itu langsung k*nthu deh! Hahahaha.” Edo tertawa mesum.“K*nthu mata lo. Orang si C
Di tengah lusinan orang yang berlalu lalang di dalam mall untuk mengincar midnight sale malam tahun baru, Bara berdiri sambil menatap lurus ke department store. Kedua tangannya tersemat di saku celana, dan wajah tampannya tampak sangat serius.Beberapa gadis muda yang melihat sosok tampan Bara langsung saling berbisik. Dengan tubuh tegap, tinggi, dan wajah tampannya, mudah saja bagi Bara untuk menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Bahkan Edo pernah memintanya menjadi model pemotretan pertamanya dulu.Bara menghela napas panjang. Sesuai dugaannya, wanita itu masih bekerja di malam tahun baru, saat kebanyakan orang-orang berkumpul dengan keluarga mereka untuk merayakan malam pergantian tahun baru.Dengan perlahan, Bara mulai berjalan mendekati rak-rak pakaian tempat Nilam berada. Semakin dekat, Bara semakin menyadari jika wajah Nilam sedikit berbeda dari kemarin. Ia memang masih tersenyum ramah kepada semua pengunjung mall, tapi matanya
“Duh dokter Cindy… bisa-bisanya dokter tetap cantik pas kerja di malem tahun baru begini,” keluh Imel, perawat jaga di IGD, saat melihat Cindy berjalan ke meja perawat dengan status pasien yang baru.“Iya loh, aku juga bingung.” Yumi, yang sejak tadi sibuk membuat laporan, mengangkat wajahnya. “Dokter Cindy ini sudah cantik, dan bawaannya positive vibes gitu. Rahasianya apa sih, Dok?”“Nggak ada rahasia apa-apa, Sus. Saya kan cuma menunaikan tugas aja,” senyum Cindy ramah.“Kan, suaranya aja merdu banget. Pokoknya kalau ada Dokter Cindy, IGD jadi berasa lebih tenang walau pasiennya numpuk.”Yumi mengangguk setuju.“Tapi Dokter nggak ada acara apa-apa malam tahun baru ini sama sang pacar?” goda Imel.Semua orang di IGD sudah mengetahui jika Cindy memiliki kekasih super tampan, tapi sama sekali tidak tau jika hubungan mereka sudah kandas beberapa waktu yang
“Lo yakin nggak salah liat, Put?” tanya Edo sambil menepuk perutnya yang sedikit membesar karena terlalu banyak makan.Putra menatap ponsel, nomor Bara masih belum bisa dihubungi. Entah sedang apa pria itu sampai-sampai tidak mengangkat teleponnya sama sekali.“Lo kata gue rabun? Gue yakin itu Bara.”Edo melihat jam di ponselnya. Sudah satu jam berlalu. “Yah, tapi mungkin sekarang dia udah cabut ke rumah sakit,” ujar Edo asal. Ia menenggak habis minuman yang ada di atas meja.“Anj*ng, pesen lagi kek!” protes Putra kesal saat melihat gelasnya kosong.“Bara belum datang ke rumah sakit,” gumam Fadlan menengahi pertengkaran Putra dan Edo. “Nih, gue tanya ke si Riri.” Ia menunjukkan pesannya kepada Riri di ponsel.“Lah, kok lo nanya Riri, emang dia tau Bara mau ke RS?”“Tau, kan gue yang bilang,” jawab Fadlan polos.“H
“BARA B*NGS*T!!! GILA!”“Pak, dilarang melompati pagar!” teriak gadis penjaga Kidszone panik saat melihat seorang pria hendak melompat pagar pembatas.“Anj*ng! Berhenti, B*go!”Fadlan dan Putra yang baru separuh sadar dari keterkejutan mereka langsung menahan tubuh Edo yang menggila. Beberapa anak dan orang tua yang masih berada di Kidszone menatap bingung ketiganya.“Pak, dilarang buat keributan di sini, atau akan saya panggil security!” ancam gadis itu semakin panik.“SINI LO, GILA!” teriak Edo kesetanan.“BERHENTI, K*MPRET!” Wajah Edo mulai memerah karena menahan tubuh pria itu.“Maaf, Mbak, jangan panggil security,” ujar Putra sambil berusaha keras menarik mundur tangan Edo.Di dalam Kidszone, Bara ikut ternganga tidak percaya dengan apa yang ia lihat.“Om, Om kenapa? Om kenal orang-orang itu?” tanya Leo
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
“Apa kamu akan terus hidup begini?” Putra menghampiri Cindy yang berdiri di depan ruangan Bara.Cindy menegakkan punggungnya saat menyadari kedatangan pria itu. “Apa maksud kamu?” tanya Cindy defensif.“Apa kamu bisa hidup sama orang yang nggak cinta kamu? Kamu nggak bisa manfaatin Bara karena hutang di masa lalu, Cindy.”Cindy tersenyum sinis. “Memang apa bedanya? Toh, cinta nggak menjamin kamu nggak akan kehilangan orang yang kamu sayangi di masa depan. Jadi apa bedanya?” Cindy mengangkat bahu tak acuh. “Dan, ya. Aku memang manfaatin hutang itu. Kamu juga setuju kan kalau nyawa harus dibayar nyawa? Ibunya punya kesempatan hidup lebih lama karena ayahku, Putra. Apa salah kalau sekarang aku minta balasan atas itu? Aku nggak ngerti kenapa aku harus mundur demi kebahagiaan orang lain. Padahal, nggak ada satu orang pun yang peduli sama kebahagiaan aku.”Putra menatap pilu gadis itu. “Aku pedul
“Apa kamu benci saya?”Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Nilam. Padahal sudah lebih dari 4 jam pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Namun rasanya, ia terus berputar tanpa akhir.Bagaimana mungkin Nilam bisa membenci tunangan pria itu, saat ia lah yang berdiri di tempat yang salah.Ironisnya, kalau pun Nilam membenci Cindy karena telah merebut hati Bara kembali, ia sama sekali tidak mampu untuk membalikkan keadaan. Cindy memang sosok yang tepat untuk seorang Bara.“Karena rasanya, sekarang saya sangat membenci kamu.” Cindy kembali berbicara. Ia memang menunjukkan sisinya yang kuat, tapi Nilam bisa merasakan getar pahit dari suaranya.Mereka mungkin hanya terpaut 2 atau 3 tahun. Namun, tragedi pernikahan yang Nilam lewati membuatnya bisa berpikir lebih tenang. Ia tau jika cinta saja takkan bisa mempertahankan sebuah hubungan.“Apa Dokter menyesal menolong putra saya?” tanya Nilam, sebagai seorang ibu t
BUK!“B*ngsat!” Edo meninju dinding dengan tangan kosong. Gores bernoda marah di buku-buku jarinya mulai muncul setelah tinju yang keempat. Namun sengatan nyeri itu tidak membuat Edo berhenti. Ia terus melayangkan tinju sambil memaki. Kini noda darah di tangannya berpindah ke dinding.“Edo!” Putra mendesah lelah ketika melihat apa yang dilakukan Edo di area parkiran yang jarang dilewati orang. “Lo ngapain, hah?!” bentak Putra tak habis pikir. Masalah Bara saja belum selesai, apa sekarang pria itu harus menambah beban pikiran dengan kelakuan gila lainnya? Apa tidak bisa sehari saja ia bertingkah normal?“B*ngsat!”Putra menangkap lengan pria itu sebelum ia meremukkan jarinya sendiri ke dinding.“Lepas, s*alan!” teriak Edo frustasi. Wajahnya sekusut pikirannya saat ini. Ia menepis cengkraman Putra, lalu melayangkan tinju yang lain ke dinding yang membisu.“Lo mau m
I don't see you like I shouldYou look so misunderstoodAnd I wish I could help but its hard when I hate my selfPray to God with my arms openIf this is it, then I feel hopelessAnd I wish I could helpBut its hard when I hate myself. NF – Hate Myself***Apakah semuanya baik-baik saja? Apakah ia akan kehilangan orang yang dikasihinya sekali lagi?Pertanyaan itu terus terulang, padahal Cindy tau apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Namun, entah bagaimana ia sama sekali tidak ingin meyakini itu.Ia tidak bisa.“Keadaannya stabil, sekarang ditangani Dokter Andra langsung,” jelas Yumi, perawat yang menyambut Cindy saat ia sampai di rumah sakit.Mira, yang datang bersama Cindy dari asrama, menggenggam erat lengan gadis itu, khawatir gadis itu akan ambruk sewaktu-waktu.“Syukurlah,&rd
“Dokter!”Pintu ruang IGD terbuka, dan sebuah brankar didorong masuk.Andini, dokter jaga malam itu, langsung datang menghampiri bersama dua orang dokter koas yang baru saja masuk hari ini, dan seorang perawat. Keempatnya menyambut brankar.“Pasien ditemukan tidak sadar di depan rumah sakit, ada cedera kepala,” jelas seorang security yang ikut mendorong brankar. Itu sedikit menjelaskan asal darah yang membasahi pakaiannya.“Identitasnya?”“Tidak ada, Dok. Sepertinya dicuri.”“Astaga.”Sekilas Andini memeriksa kondisi fisik pasien. Tubuhnya sudah mulai membiru pucat, tidak bergerak sama sekali, dan jari-jari yang mulai dingin. “Pak, bisa dengar saya? Saya dokter Dini, anda sedang di rumah sakit sekarang. Pak?”Tak ada jawaban atau bahkan erangan yang terdengar. Andini melirik kedua dokter muda yang sudah panik di sampingnya. Ini bukan kasus yang mudah untuk
Tiga minggu yang lalu.“BARA KAMU DI MANA?!” “Aku di depan rumah sakit, Bu.”“LARI! CEPAT KE SINI!” Tak ada waktu. Ia berlari mengejar kesempatan setipis helaian rambut. Bara sudah berusaha berlari sekuat mungkin, mengabaikan teriakan seorang security yang memintanya berhenti, ia bahkan tidak kembali untuk meminta maaf kepada wanita yang ditabraknya tanpa sengaja. Bara terus berlari, menaiki tangga menuju ruang ICU, saat ia tak tahan lagi menanti angka lift berganti, dan ia tidak pernah bisa mengatakan apakah ia tepat waktu atau tidak. Karena rasanya, tidak ada hal yang tepat pada saat itu. “Bara di sini.” Sapaan lemah itu terdengar bersama sebuah senyuman lirih saat Bara sampai. Mata kabur Retno mulai berkabut. Ia menoleh pelahan kepada cucunya yang terus menangis ketakutan. itu pemandangan yang menyakitkan untuk wanita tua yang sudah hidup