Part 11
Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah.
"Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.
Fani bergeming tak menjawab.
"Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas.
"Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de
Fani masih berdiri seperti patung. Tidak menyangka sama sekali, bila Ilma yang selama ini ia kenal sebagai gadis alim, menjelma menjadi seorang gadis yang tidak memiliki belas kasihan.Hanya karena seorang lelaki yang belum tentu menjadi jodoh siapa, dirinya tega menghancurkan jerih payah yang telah ia jalani selama berbulan-bulan.'Apakah benar dugaanku bila dia dalang dibalik dibatalkannya skripsi aku?' ragunya dalam hati.Ada sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi misteri. Bila iya, Ilma yang menyebabkan semua ini, bagaimana bisa dia melakukannya?Fani pulang dengan langkah gontai. Menapaki jalan yang tertutup paving dengan perasaan sedih.Sampai di tempat kost, dirinya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Setelahnya, membaringkan tubuh dan menarik selimut hi
"Mbak Nia, Fani sepertinya sedang merasa tertekan ini, Mbak," ujar Ilma lagi. "Tadi gak kenapa-kenapa ya, Mbak? Kenapa sekarang jadi nangis? Kamu kenapa, Fan?" Ilma heboh sendirian. Doni menangkap ada yang tidak beres dari gadis yang sedari tadi mendominasi pembicaraan.Pun dengan Dinda. Gadis itu menoleh dan menatap tajam pada Ilma."Mbak Nia, sepertinya Fani butuh ketenangan. Apa tidak sebaiknya tidak terlalu banyak orang di ruangan ini?" usul Dinda dengan terus menatap pada Ilma."Oh, iya, ayo, kita keluar. Biarkan Fani istirahat. Mbak Nia sama Ibu aja yang jagain. Kita semua keluar," ajak Ilma seolah dirinya memiliki kekuasaan untuk mengatur di sana."Kenapa kamu yang heboh sih?" tanya Dinda kesal."Aku hanya mengusulkan, supaya Fani bisa istirahat,""Tapi da
Ibu Nia memberi isyarat pada putri bungsunya untuk diam. Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada Umar yang komat-kamit dan mengangkat kedua tangan."Allahumma sholli 'ala sayyidina muhammadin tibbil qulubi waadawaiha waafiati abdaniwasyifaiha ...." Umar melantunkan sholawat tibbil qulub yang diketahui sholawat untuk mendoakan orang yang sakit dengan suara merdu.Seketika semuanya hanyut dalam lantunan suara Umar. Terasa menyejukkan hingga semua yang ada di dalam ruangan ikut bersholawat. Rasa benci pada sosok aneh yang berdiri dengan menengadahkan kedua tangan seketika sirna dalam hati Nia."Tolong semuanya diam tidak usah ikut-ikutan! Kalian ini jangan sembarangan mengamalkan suatu doa tanpa ijazah dari Kyai sepuh. Jatuhnya malah menjadi sebuah kutukan. Banyak orang yang kemudian gila karena mengamalkan ilmu yang belum mereka pelajari." Suara bariton Umar
POV YUDAGadis menyebalkan. Sukanya teriak-teriak. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Tapi, kenapa aku merasa kehilangan, bila dirinya tidak terlihat di dalam kelas?Saat di pagi hari tubuh ini melewati pintu ruangan tempat dimana kami menimba ilmu, ekor mata ini selalu menyapu seluruh sudut, mencari dia untuk membuat sedikit kegaduhan."Fan, kenapa pakai jilbab warna merah? Udah jelek, tambah jelek tahu? Kayak emak-emak mau beli ikan asin, tau?""Tau dong! Kan yang jadi kuli panggul ikan asinnya, kamu!" jawabnya enteng. Membuat aku selalu diam tak berkutik.Sepertinya sudah menjadi kewajiban saat berhadapan dengannya , mulut ini setiap hari harus melempar ejekan pada gadis minim adab itu.&
Aku biarkan Fani pulang. Menatap punggungnya yang semakin menjauh. Jilbab yang ia kenakan melambai-lambai diterpa angin. Ada rasa yang sulit untuk aku ungkapkan saat dekat dengannya. Meskipun hubungan kami seperti Tom dan Jerry. * Berita Fani yang sakit sudah terdengar di kelas. Aku merasa, dia tertekan dengan apa yang menimpanya yang disebabkan oleh Ilma. Oleh karenanya, aku berniat untuk mencari tahu, kenapa bisa Ilma berbuat sejauh itu. Dan ada sebuah nama yang sering mereka sebut. Doni! Siang itu, aku bertemu dengan Pak Arya di depan salah satu kelas. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan untuk mencari tahu perihal pembatalannya skripsi Fani.
Feeling Yuda tepat. Ada sesuatu yang dilakukan Ilma untuk bisa menjatuhkan Fani.Tak berapa lama, Alex datang. Dan kedua pemuda itu langsung meluncur pulang ke tempat kost.Malam harinya, Yuda diam. Alih-alih ingin berkonsentrasi melanjutkan mengerjakan skripsi, dirinya malah berpikir keras bagaimana caranya berbicara dengan Ilma perihal apa yang menimpa Fani."Yud! Mau nongkrong gak?" tanya Alex sambil menepuk bahu teman akrabnya keras."Gak! Lagi males!""Aku mau main ke tempat kost Si Putri. Di sana tuh, ceweknya cantik-cantik tahu!""Terus kalau ceweknya cantik, kamu mau apa? Dari dulu cari gebetan gak dapat-dapat juga!""Kamu kan tahu, Mamakku udah berpesan kalau aku tidak boleh pacaran. Ke sana sekadar cari vitamin. Yuk, a
Ketika keluar dari mushola, Yuda melihat Ilma di sana. Menenteng beberapa buku, khas mahasiswa pintar. "Il!" sapa Yuda. "Eh, Yuda," jawab Ilma dengan bibir tertarik membentuk seuntai senyum manis. "Lancar skripsinya?" tanya Yuda basa-basi. Baru kali ini dirinya mengajak gadis yang terkenal alim itu berbincang. "Alhamdulillah, doanya ya?" "Amin ... pembimbing skripnya Pak Juan ya?" Mendengar pertanyaan Yuda, Ilma menarik kembali senyumnya. "Bukan, kenapa?" "Gak papa! Kok kemarin sore ke rumah Pak Juan sendirian? Emang, boleh ya, wanita mengunjungi pria yang sendirian di rumah? Apalagi yang datang seorang Ilma, lho! Hanya berdua lagi dengan beliau! Bukankah bila seorang orang laki-laki dan perempuan bersama, yang ketiga ada
POV DONIIIlma, gadis cerdas dan manis yang sejak kecil aku kenal.Bapaknya, Haji Jamal, merupakan juragan beras di kampungku. Beberapa warga yang tidak merantau ke kota besar memilih untuk bekerja pada beliau. Pun dengan bapakku.Aku adalah sulung dari empat bersaudara. Dua adikku laki-laki sedangkan yang terakhir perempuan. Saat aku berusia sepuluh tahun, Si Bungsu baru berumur satu tahun.Seringkali bila libur sekolah, Bapak mengajakku membantu bekerja di toko Haji Jamal. Di sanalah kemudian, aku dan Ilma menjadi akrab. Dia tidak diperbolehkan bermain jauh. Sehingga boleh dikatakan, hampir tidak memiliki teman.Di sekolah, peringkat yang kudapatkan selalu berada dalam tiga besar. Dan itu sudah menjadi sebuah rahasia umum sampai Haji Jamal-pun tahu. Sehingga, saat melihatku membantu pekerjaan Bapak, beliau ma
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya