“Tikta kemana?” Julie bertanya ketika Nina membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk, apartemen tampak hening dan tidak ada tanda-tanda orang selain Nina juga Ragnala yang kini mungkin tertidur di dalam kamarnya.“Tikta pergi ke apartemennya, gue cuma sama Aga.”Julie terdiam, di dalam pelukannya ada Kiran yang sudah tertidur. Dia kemudian meminta izin untuk menidurkan Kiran di dalam kamar Ragnala, Julie menutup pintu kamar Ragnala dengan perlahan dan melihat punggung Nina yang masih naik turun karena menangis.Di depannya ada amplop coklat yang Julie yakini sebagai ‘bukti’ yang Nina bicarakan di telepon tadi.“Nin..” Julie berjalan mendekat ke arah Nina, menepuk punggung sahabatnya.“Gue pengen penjelasan yang panjang, dan rinci..”Julie menghela napas dan mulai berbicara.“Gue tahu dari Catur kalau setiap lo mabok dia akan pakai lo, apapun alasannya gue rasa hal itu sudah gak benar. Catur sudah melewati batas, gue sempat bertemu dengan dia berdua saja waktu gue pertama kali tahu
“Gak ada Ta, gak ada yang bisa berhentiin aku untuk milikin kamu.” Gata berkata sambil menatap Tikta yang berada di depannya.Gata sudah menunggu Tikta datang ke apartemen itu. Apartemen yang dulu sekali pernah mereka tinggali bersama, tidak ada yang berubah, masih dengan nomor sandi yang sama. Selama di Indonesia, dia tinggal disana, berusaha menyembunyikan dirinya dari orang-orang suruhan ibu Gata.“Kali ini kamu sudah keterlaluan..” Kata Tikta dengan suara yang lirih, wajahnya yang sedari tadi mengeras menatap Gata kini mulai melunak.Pria itu menatap Gata dengan tatapan yang seolah memohon.Gata tidak menyukainya, tatapan itu terasa memuakkan. Seharusnya, Gata tidak memperlihatkan tatapan itu padanya. Mengapa dia harus ditatap seperti itu?“Aku sudah bilang, kamu hanya sedang bingung. Ta, Nina hanya sedang membuat kamu bingung. Kamu sekarang sedang tinggal bersama dengan khayalan semu rumah tangga yang bahkan kamu gak inginkan.”“Kamu tahu darimana aku gak menginginkan ini?”Gata
Gata mengingat apa yang terjadi ketika dia baru saja mengambil dua amplop dari reporter itu. Amplop yang tadinya akan dia jadikan senjata untuk menghancurkan SSK FOODS, dia berencana untuk memberikannya pada media.Namun, dia mengurungkan niatnya.Tidak ada, tidak ada sex tape di dalamnya. Dia hanya memberikannya pada Nina, tidak ada duplikatnya, di dalam amplop yang dia berikan kepada ayah Tikta hanyalah berisi foto-foto mesranya bersama Tikta saja dan juga sebuah surat berisi permohonan untuk membiarkan Tikta kembali padanya.“Aku harap kita bisa pisah secara baik-baik Ga.” Tikta kembali bersuara, wajahnya terlihat begitu sendu dan memelas membuat Gata seperti orang paling jahat.“Kamu sesayang itu sama Nina, Ta?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Gata, pertanyaan yang tidak mampu dia utarakan sebelumnya. Terlalu menyakitkan, dia tidak mampu mendengar Tikta menjawab pertanyaan itu.Tikta menatapnya, kini tatapan itu berubah jauh lebih lembut.“Sama seperti kamu dulu, aku
Nina menatap plafon kamarnya yang berwarna putih, samar-samar dari luar dia mendengar suara piring beradu, sebelumnya dia mendengar bunyi Vaccum Cleaner yang tengah menyedot debu.Menoleh, dia mendapati Ragnala tengah tertidur di dalam dekapannya.Dia menatap bayi itu, menyusuri setiap sudut wajah bayinya.Tampan.Ragnala begitu tampan, terlepas dari wajah itu begitu identik dengan Catur. Bayi laki-laki ini adalah anaknya, mau siapapun ayahnya Ragnala tetap miliknya.Dia mengambil ponsel yang berada diatas nakas, mengecek pesan, dia tidak mendapati adanya pesan dari Tikta. Pria itu begitu penurut, dia bahkan tidak berani menghubunginya lebih dulu.Sudah seminggu berlalu sejak apa yang terjadi malam itu, kedatangan Gata dan juga pengakuan Tikta terlebih lagi tambahan informasi dari Julie. Semuanya berkecamuk di kepala Nina sampai rasanya dia tidak sanggup menerima apa yang terjadi dalam kehidupannya.Dia sudah menyerahkan dirinya pada Tikta, berpikir kalau semuanya akan berjalan dengan
Catur memberikan tisu pada Nina yang kini sudah jauh lebih tenang. Dia menangis hampir satu jam dan Catur tidak dapat melakukan apapun, dia hanya duduk diam dan menunduk. Rasa bersalahnya begitu besar sehingga dia tidak mampu berpikir apa yang harus dilakukan.Dia mencintai Nina.Sampai sekarangpun masih mencintai wanita itu.Tidak ada yang berubah sedikitpun, dia masih berharap dan juga mencintai Nina seperti hari-hari dan masa-masa sebelumnya. Dia ingin memeluk wanita itu, menenangkannya.“Sudah mendingan?” Tanya Catur, mengalihkan semua pikiran yang mampir di kepalanya.Nina mengangguk perlahan, mengelap airmata di pipi dan hidungnya. Wajahnya terlihat begitu pucat dan kurus, Catur bertaruh dia tidak makan dengan teratur setelah apa yang terjadi.“Tikta sudah hubungi lo?”Nina menggeleng pelan, “Gue bilang tunggu sampai gue hubungi dia, dan dia nurut. Dia gak hubungi gue sama sekali.”Catu
Remo menatap pintu tinggi di depannya yang tertutup rapat. Beberapa hari lalu Tikta pulang ke rumah dengan hanya membawa tas kerja, tanpa berkata apapun anak semata wayangnya itu masuk ke dalam kamar dan dalam seminggu ini dia hanya baru dua kali melihat Tikta keluar dari dalam kamar.Dia bertanya pada Wisnu apa yang terjadi, sekretaris anaknya itu mengatakan kalau Nina sudah mengetahui hubungan masa lalunya dengan Gata.Amplop yang Gata berikan pada almarhum ayahnya juga dia berikan pada Nina.“Apa? Gata menyerahkannya sendiri pada Nina?” Remo hampir tersedak karena begitu terkejut menerima laporan Wisnu, dia tidak habis pikir orang itu dengan berani mendatangi apartemen menantunya dan memberikan bukti-bukti menjijikan itu.“Ya, malam itu nyonya meminta tuan untuk pergi dari apartemen. Dan malam itu juga saya pergi ke apartemen tuan berniat untuk mengecek keadaannya..”“Dan saat itulah kamu melih
Nina menatap Ragnala yang duduk di baby car seat, wajah bocah itu terlihat ceria, lesung pipi terlihat dari pipi sebelah kanannya, kedua tangan bocah itu menggenggam mainan dengan erat.“Aga, jangan rewel ya, Aga terpaksa ikut ibu soalnya mbak lagi pulang dulu ke kampung dan tiga hari lagi baru bisa kerja.” Ujar Nina pada bayinya, Ragnala menatapnya dengan kedua mata bulat dan menggemaskan.“Aduh, gemes banget sih anak ibu!” Pekik Nina sambil membereskan barang-barang yang akan dia bawa ke dalam kantor.Pagi ini dia dikejutkan oleh pesan dari mbak pengasuh Ragnala, mbak tidak bisa datang karena mendadak orangtuanya mengalami kecelakaan. Nina tidak bisa menitipkan Ragnala pada bibi di rumah karena bibi hanya bekerja sampai sore saja.Dia juga belum menghubungi Tikta setelah pertemuannya dengan Catur beberapa hari lalu, dan dia juga tidak bisa menghubungi Catur dalam keadaan begini.Entah kenapa hatinya ingin Tikta saja yang m
Nina menyilangkan kedua tangan di dadanya, menatap ke arah Tikta yang tengah sibuk mengecek perlengkapan Ragnala di dalam tas. Kemudian beralih pada Ragnala yang entah kenapa tiba-tiba terbangun ketika Tikta membuka pintu ruangan Nina.“Aga, kangen papa gak?” Tanya pada bayi itu yang sekarang sedang mengucek kedua matanya dengan tangan yang terkepal, dengan cekatan Tikta menggendong Ragnala masuk dalam dekapannya dan membantu anak itu mengelap matanya dengan tisu basah.Nina mengamati Tikta, pria itu tidak merawat dirinya dengan baik. Kumis dan jenggotnya tumbuh dengan sembarang tanpa dicukur, wajahnya terlihat lesu dan matanya begitu cekung.Tikta tampak seperti sudah tidak tidur berhari-hari.“Kenapa kamu gak nelpon aku? Kamu bisa titip Aga di aku..” Katanya sambil mengecek popok Ragnala, mengeluarkan popok baru dan menggelar alas untuk mengganti popok.Nina tidak langsung menjawab dan hanya mengamati apa yang Tikta lakukan. Pria itu mengajak bicara Ragnala sambil mengganti popoknya
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it