AKU bisa mendengar bel masuk kelas berbunyi. Tapi, aku masih enggan beranjak dari tempatku duduk. Aku merasa diriku jatuh ke jurang tanpa dasar. Melayang-layang dalam kebingungan. Aku linglung. Jadi teringat video yang menampilkan orang-orang budak narkoba di pusat rehabilitasi narkoba, tempo hari.
Lantas ada aroma ketek yang terpapar bebas di udara, disusul telapak tangan yang menepuk pundakku dengan berat. Cuma ada satu orang yang bisa membebaskan gas beracun seperti itu. Dan hanya ada satu orang yang punya kekuatan berlebih untuk satu pekerjaan sepele. Aku pun menoleh.
“Mbolos ta?” ajak Mr. P.
“Gas!” sahut Mat Bagi.
Aku mengangguk setuju. Tapi, sejak kapan mereka berada di sebelahku? Pokoknya, sekarang ini aku mesti menyingkirkan dulu semangat belajarku. Setidaknya, ke luar kampus dengan suasana baru bareng Mr. P dan Mat Bagi. Mereka selalu bisa diandalkan untuk menghibur hari burukku.
Aku, Mr. P dan Mat Bagi menyusuri ja
SEPANJANG perjalanan pulang, aku dan Juleha tak saling berkata. Aku terus dibayang-bayangi Aisyah dan Farhan. Mereka seolah-olah sedang menertawakanku. Sementara Juleha, aku tidak tahu apa yang hinggap di benaknya. Mungkin, masih kecewa dengan sikapku di sekolah yang tak kunjung berubah.Sampailah di rumah Juleha. Dia lantas turun dari kendaraan, lalu menghadap ke arahku. Wajah Juleha tetap memerah. Aku bisa melihat dirinya masih menahan BAB, eh sori, menahan kekecewaan. Aku menunggu Juleha mengatakan sesuatu. Tapi dia diam saja. Semilir angin lantas berhembus menciptakan debu-debu yang berterbangan kayak di wild wild west.“Aku minta maaf,” tuturku lembut.Juleha masih membisu. Dia lagi-lagi menghela nafas. Aku bisa melihat dadanya membusung, lalu mengempis. Sepertinya Juleha merasakan sesuatu yang sebelumnya tertahan, telah menghambur keluar dari tubuhnya, tapi bukan kentut. Aku pun bisa merasakan kelegaan yang sama.“Ya sudah
KIRANA dan aku pun melintasi sebuah kolam renang besar, yang aku kira berbentuk sehelai daun mangga. Airnya jernih hingga memantulkan biru langit, kayak matanya si Kirana. Di sekelilingnya, pohon palem melambai-lambai tertiup angin. Terlihat pula beberapa pembantu rumah tangga sedang sibuk di bagian belakang rumah ini.Agak jauh lagi ke belakang, ada sebuah bangunan sebesar mini market franchise yang tampak anyar dibangun. Soalnya, aroma catnya masih kentara. Dari dekat, aku bisa mendengar pelan suara alat musik di dalamnya. Aku meyakini kalau bangunan ini studio musik pribadi.Ketika pintu ganda bangunan itu dibuka Kirana, terdengar bunyi-bunyian alat musik yang menggelegar. Mengetahui ada yang datang, bunyi-bunyian itu mendadak berhenti. Di dalamnya, sudah ada tiga anak muda yang sudah siap di posisinya masing-masing. Kirana pun memperkenalkan aku pada mereka.Mereka antara lain, si Catur penggebuk drum, Andi sebagai gitaris dan Vira sebagai keyboardis.
AKU bergegas membersihkan diri setelah pulang dari rumah Kirana tadi. Masih ada waktu satu jam sebelum pengajian di rumah Haji Abdul Rasyid dimulai. Aku pikir aku akan minum kopi dulu di warung Cak Lamis.Saat memilih busana yang akan aku kenakan untuk bertandang ke rumah, aku teringat kalau koleksi busana muslimku minim. Terpaksa, aku pakai saja baju koko kelir putih legan panjang dan celana kain hitam. Busana standar umat muslim. Oh iya, kalian udah tahu kan kalau baju koko itu sejatinya bajunya orang Cina?Setelah tubuh ini kusemprot minyak wangi tipis-tipis, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar. Di toko, aku melihat ibu sedang menonton televisi dengan serius. Aku pikir beliau sedang menonton sinetron favorit atau semacamnya. Baru saja hendak berpamitan, aku menyaksikan televisi sedang menayangkan program berita.Aku lantas penasaran dengan berita macam apa yang menarik perhatian ibu. Ternyata, ada berita tentang seorang gadis di bawah umur yang diperkosa
RUMAH Aisyah ini bak Istana Nurul Iman Kesultanan Brunei Darussalam. Berdiri kokoh dinding-dinding tinggi dengan sederet ventilasi terbuka. Selain bangunan utamanya yang menjulang, bagian halamannya juga luas sekali. Kira-kira satu lapangan sepak bola. Halaman itu sendiri ditanami pohon papirus dan pohon kurma. Pokoknya timur tengah banget.Di bagian halaman ini, terhampar karpet dan tenda-tenda raksasa. Berdiri pula kipas angin dan AC portabel yang mengisi setiap sudut halaman. Lautan manusia bergamis maupun berkerudung pun membanjiri hingga ke jalan depan rumah sampai ujung jalan. Padat sekali.Musik bernuansa Islami pun terdengar diputar dengan volume yang memekakkan telinga. Yaa toyyibah, yaa toyyibah ... dan seterusnya, dan seterusnya. Ditambah dengan sekelompok orang bersorban yang baru turun dari mobil pikap, lengkap sudah suasana khas pengajian ala Indonesia.Uniknya, orang-orang bersorban ini tidak hanya tiba dengan pikap, tapi ada juga yang turun dari
LALU, pembawa acara membacakan jadwal acara pengajian selanjutnya. Giliran seorang cendikiawan Muslim yang akan memberikan pidato. Aku kaget ketika nama Imam Syahrir dipanggil. Soalnya, aku tidak melihatnya di tenda manapun. Pakaian sorban dan cambang nan lebat, pastilah tidak sulit menemukannya.Imam Syahrir mengenakan busana yang sama dengan yang dia kenakan saat hadir di In-Depth with Aaliyah kemarin. Thawb dan guthrah. Saat dia berjalan menuju mimbar di atas panggung, teriakan Allahu Akbar berulang kali berkumandang.Aku jadi merinding sendiri mendengarnya.Sambil berdiri di mimbar, Imam Syahrir pun membalas teriakan itu dengan, “Allahu Akbar,” pula. Suasana di rumah Abah Rasyid semakin ramai. Ratusan orang dengan sorban tiba-tiba maju ke depan di hadapan Imam. Sepertinya mereka benar-benar bermaksud untuk menyimak petuah-petuahnya.Aku yakin mereka adalah massa Laskar Jihad Nusantara alias Lasjitara yang kesohor itu.Usai menyapa h
ALARM jam ponselku berdering. Aku pun terbangun dibuatnya. Jam setengah tujuh pagi. Seperti biasa, aku bergegas bangkit dan langsung membersihkan diri di kamar mandi. Setelah itu, aku olesi ketiakku dengan deodoran, tubuhku aku semprot dengan parfum. Lalu kukenakanlah seragam batik khas hari Jumat. Aku bersumpah, di kampus aku tidak akan menemui Aisyah lagi.Aku melangkah ke halaman dan kupanasilah motor matik kesayangan yang baru aku beli tiga bulan yang lalu. Tapi kok ya ada yang mengganjal. Biasanya, setiap hendak berangkat kampus, ibu sudah cerewet. Namun sekarang berbeda. Aku tengok ke arah toko. Aku melihat Yeyen sedang berjaga sambil mengetik di ponselnya. Dia tampak senyum-senyum sendiri.“Kowe gak ngampus ta?” tanyaku prihatin. (Kamu gak ke kampus?)“Gak,” jawabnya pendek sambil senyum-senyum. (Nggak)“Lha lapo?” aku penasaran. (Lha kenapa?)“Saiki tanggal abang, Mas,” tawa Yeyen meledak. (Se
Saat bungkusan paket itu terbuka paripurna, mendadak aku bisa melihat kedua bola matanya berbinar. Doi berusaha menutupi rasa gembiranya dengan membalikkan badan. Juleha lantas membeber gaun yang dia idamkan itu ke arah ventilasi. Kan lagi hujan, apanya yang mau diterawangi? Tapi, Juleha kelihatan bahagia hingga guling-guling di lantai.“Surprise!” kataku verbal dengan datar.Tapi tanpa alat bantu dengar, Juleha tak mendengarnya. Semoga dia membaca gerak bibirku.Di tengah Juleha mengagumi pakaian yang diinginkannya itu, aku bergeser duduk di kursi sofa butut di ruang tamu. Doi lantas menurunkan baju, berbalik badan lagi, lalu menatapku tajam.“Piroan?” tanyanya verbal. (Berapaan?)“Rong atus,” aku menjawab jujur dengan bahasa isyarat, lantas berhanduk. “Balekno lho yo?” (Dua ratus. Kembalikan, lho ya?)Aku sengaja ngomong begitu supaya Juleha merasa terikat denganku karena berhutang. Aku pun t
Aku penasaran.Baru saja hendak berjalan menuju rumah Juleha, ada suara seorang wanita memanggilku. Dari nadanya, aku bisa mengenali, itu suara ibuku. Dia sepertinya berjalan tergesa-gesa dari arah warung Cak Lamis. Ibuku sepertinya memegang map berkas."Lang!" Panggil ibuku."Ya," jawabku."Kamu ditunggu di Cak Lamis," kata ibuku sambil menjentikkan map berkas di udara dan melewatiku.Apa yang membuatnya terburu-buru? Mungkin dia lupa sesuatu saat bekerja di Mak Atik Catering. Tapi, file apa yang dia bawa? Sepertinya penting. Oke nanti. Sekarang, ada sesuatu yang lebih mendesak – ke rumah Juleha untuk meminta penjelasan."Galang, Nak!" panggil ibuku dari dalam toko."Ya," jawabku, menghentikan niatku untuk pergi ke rumah Juleha."Pinjam HP-mu," tanya ibuku. "Pulsa ibuk habis.""Oke," aku berjalan mendekat dan memberikan ponselku padanya.Aku tidak tahu siapa yang akan dia telepon. Tapi, ibuku keluar dari to
Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin
KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k
AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g
CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun
Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah
"UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."
KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t
“ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A
“AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua