Dentuman musik terdengar hingga ke seluruh pejuru ruangan. Club malam hari itu terlihat sangat ramai. Lautan manusia dengan pakaian terbuka asyik berjoget ria mengikuti alunan lagu. Pancaran sinar warna-warni dari lampu yang menyoroti lantai gensot membuat suasana menjadi semakin riuh. Nampaknya semua orang yang meliukkan tubuhnya di sana tidak peduli lagi dengan siapa mereka berdansa. Teman, pacar, orang asing, semuanya campur baur menjadi satu. Beberapa di antara mereka yang punya niat licik bahkan ikut menari-nari, mencuri kesempatan dalam situasi yang menguntungkan.
Sementara itu, di sudut ruangan terdapat seorang gadis berpakaian kemeja kotak-kotak hitam. Dengan wajah memerah dan mulut meracau tak jelas, ia berusaha meneguk anggur yang isinya tinggal beberapa tetes. Sembari meletakkan botol anggur yang kosong, telapak tangannya menggebrak meja cukup keras, seolah dirinya tengah melampiaskan emosi karena tak bisa lagi menikmati alkohol mampu mengendalikan nalurinya.
“Pelayan, tolong beri aku sebotol lagi,” ucap gadis itu mabuk. Belum ada hitungan menit, tubuhnya sudah tumbang dengan posisi terduduk dan kepala tenggelam di depan meja. Ia benar-benar semaput usai mengonsumsi anggur sebanyak dua botol.
“Ck, kenapa dia minum banyak hari ini?” temannya yang menyulut sebatang rokok bergumam. Mau tak mau ia harus membawa gadis itu pulang ke rumahnya malam ini. Ia sedikit kesal tidak bisa minum hingga mabuk hari ini. Tapi dirinya mengerti bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Terkena sial sekaligus dalam satu waktu bukanlah suatu hal yang bisa dianggap remeh. Satu momen apes saja bisa mematahkan semangat manusia dalam sekejap, apalagi jika momen buruk itu bercabang, dampaknya akan sangat buruk.
***
“Nirbita, bangun!”
Padahal bokongnya sudah ditepuk berulang kali, tapi gadis itu masih saja bergelayut manja di atas kasur, membuat temannya mendesah kasar.
“NIRBITA WANGBIT SUWIGYO!”
Nirbita—perempuan yang membungkus tubuh mungilnya dengan selimut itu mendadak terbangun setelah mendengar nama lengkapnya disebut. Ia melirik malas temannya yang berusaha menahan tawa.“Lo pasti ngira ketiduran di kampus, kan?”
“Sialan lo, Len. Lagian kenapa bangunin gue, sih?!” ujarnya sewot.
Helen membeliakkan matanya. Astaga! Mengapa ia bisa berteman dengan Nirbita yang selalu bersikap seenak jidatnya? Bodohnya, tanpa Helen sadari ia bahkan sudah terbiasa dengan perlakuan buruk Nirbita yang seperti itu.
“Lo tanya kenapa?! Astaga Nirbita! Denger ya, lo semalem mabuk berat, akhirnya gue bawa lo ke rumah. Semalem lo ngotot dan marah mau tidur di kasur sendiri, akhirnya gue ngalah tidur di sofa. Sekarang udah jam sembilan pagi, gue udah nyapu, ngepel, bahkan nyiapin sarapan, tapi lo masih belum bangun. Padahal ini rumah gue, tapi gue merasa lo majikan dan gue pembantunya,” celoteh Helen panjang-lebar, mengeluarkan unek-unek yang ia tahan sejak kemarin malam.
Alih-alih minta maaf sembari merayu Helen agar tidak marah, Nirbita malah mengacuhkan kicauan Helen. Yang diabaikan hanya bisa tersenyum paksa sembari mengelus dadanya perlahan. Helen sudah tak heran lagi mendapati reaksi cuek Nirbita.
“Cepet mandi, abis itu turun ke bawah buat sarapan.” Helen melempar handuk berwarna jingga hingga mengenai wajah Nirbita. Setelah itu ia menyeret tungkai kakinya keluar dari dalam kamar.
Sepeninggalan Helen, Nirbita melirik penampilannya dari pantulan cermin yang ada di sampingnya. Ia tertawa miris menyaksikan keadaannya yang mengenaskan. Rambut acak-acakan, muka teler, pun kemeja kotak-kotak hitamnya yang kini didominasi sengatan alkohol adalah bukti bahwa kemarin ia benar-benar butuh asupan alkohol untuk meringankan beban penderitaan yang dipikulnya.
***
Kepulan asap yang dihasilkan dari sup ayam sampai ke indra penciuman Nirbita. Perempuan itu lekas menuruni anak tangga dan menghampiri kursi meja makan. Ada Helen yang tengah sibuk meletakkan nasi beserta lauk pauk di sana. Ia menyodorkan sebuah piring bersih kepada Nirbita kala mengamati kedua bola mata gadis itu berbinar terang ketika melihat ada banyak makanan di atas meja.
Tak lama kemudian Helen ikut duduk, lalu menyendok makanan sesuai kebutuhannya. Bunyi denting logam yang saling beradu di meja makan memecahkan atmosfer sunyi di antara mereka.
“O, iya. Gue punya kabar baik buat lo.” Helen memulai topik pembicaraan.
“Apaan?” tanya Nirbita datar. Jujur saja, setelah banyak indisen buruk yang menimpanya kemarin, ia sama sekali tak tertarik untuk melakukan apa pun saat ini.
“Rey bilang sama gue kalo dia mau beli apartemen baru, soalnya apartemen yang sekarang terlalu jauh dari tempat magang. Nah, kebetulan apartemen lamanya belum ada yang minat, lo bisa tinggal di situ kalo mau. Khusus buat lo dia gak bakalan minta uang deposit, tapi syaratnya lo harus rajin bersihin tempat itu,” ujar Helen. Rey adalah kekasihnya, mereka sudah bersama selama dua tahun. Tadi pagi kedua insan itu sempat melakukan komunikasi lewat telepon, Rey bercerita bahwa ia berencana menyewakan apartemennya kepada orang lain sebab ia berniat mencari apartemen baru yang dekat tempat kerjanya. Helen yang kebetulan ingat bahwa Nirbita sedang kesusahan mencari tempat tinggal berusaha membujuk kekasihnya supaya meniadakan deposit jika Nirbita tertarik menempati apartemen itu.
“Se- serius? Gue gak perlu bayar deposit?” tanya Nirbita terbata.
“Hmmm. Emangnya lo mau bayar depositnya? Dengan keadaan kayak gini?” pertanyaan Helen lebih mirip sebuah penghinaan. Bukan bermaksud merendahkan, faktanya memang begitu.
Nirbita Wangbit Suwigyo. Gadis muda berumur 21 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa jurusan sastra Indonesia semester tiga. Mencari pekerjaan paruh waktu sembari berkuliah sudah menjadi kebiasaan baginya. Nirbita tumbuh dengan makanan sisa dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Seperti yang ia lakukan di rumah Helen saat ini.
Kedua orang tuanya telah tiada sejak Nirbita berumur sebelas tahun. Untungnya bibi Nagyo— satu-satunya kerabat yang Nirbita miliki bersedia mengasuh dirinya. Sayang, pada saat dirinya duduk di bangku kelas dua SMA, bibi Nagyo tewas karena kecelakaan mobil hingga harus merengut nyawanya. Semejak saat itu, Nirbita benar-benar harus menelan pahitnya kehidupan seorang diri. Ia selalu berusaha menghidupi dirinya dari gaji pekerja paruh waktu yang dihasilkan. Meski jumlahnya kadang tak seberapa, tapi itu selalu cukup untuk menolong dirinya sendiri. Mempunyai pekerja sampingan tak selalu buruk baginya. Kadang, jika nominal upah yang diberikan besar, ia akan meneraktir Helen makan atau mengajak teman baiknya itu pergi jalan-jalan.
Namun, Nirbita merasa akhir-akhir ini adalah masa tersulit baginya.
Pengeluaran uangnya sekarang sedang kritis. Tempo hari ia diusir oleh induk semang karena belum membayar uang sewa rumah. Tak hanya itu, saat mengikuti kelas mata kuliah siang ia lupa membawa tugas yang wajib dikumpulkan hari itu, alhasil Nirbita terkena omelan dari dosennya. Kesialannya semakin menjadi tatkala Nirbita memergoki pacarnya berselingkuh dengan kakak tingkatnya. Sungguh malang nasibnya. Nirbita bahkan bertanya-tanya mengapa momen itu harus terjadi di hari yang sama. Apakah dosanya sangat banyak sehingga Tuhan dan semesta bersekongkol untuk menguji dirinya?“Gue saranin, mendingan lo ambil apartemen itu. Suka atau enggak sama tempatnya urusan belakangan. Kapan lagi lo bisa sewa tempat tinggal yang bebas deposit? Nanti kalo pengeluaran lo udah membaik, lo bisa cari tempat tinggal yang lebih bagus lagi,” saran Helen sembari mengunyah potongan daging ayam.
Pergerakan rahang Nirbita yang mengunyah nasi terhenti. Apa yang dikatakan Helen ada benarnya. Ia hanya akan memperumit keadaan jika menolak tawaran sebagus ini.
“Iya, gue mau kok! Duh, pacar lo baik banget, sih.” Tanpa pikir panjang Nirbita langsung menerima tawaran itu. Ia mengacungkan jempolnya ke arah Helen, seakan memberi pujian pada sikap kekasih temannya yang murah hati.
“Untungnya lo sama Rey saling kenal, jadi gue gak terlalu susah buat bujuk dia.” Helen memutar bola matanya. Ia ingat betul bagaimana reaksi terkejut Rey di seberang telepon ketika dirinya menyebut nama Nirbita.
Jangan salah sangka, hubungan Nirbita dan Rey tidak seperti yang kalian pikirkan. Tidak ada dusta dan pengkhianatan di sini, apalagi kasus orang ketiga. Hubungan keduanya murni sebatas teman. Ada satu hari di mana Rey terlihat kesusahan sebab ia harus memilih roti Jepang. Lelaki itu mengucapkan sumpah serapah pada diri sendiri karena lupa bertanya pada Helen merek apa yang biasanya ia pakai. Nirbita yang kebetulan tak sengaja melintas sempat terdiam beberapa detik, ragu-ragu ia bertanya kepada Rey apakah lelaki itu kekasih temannya atau bukan, sebab Nirbita pikir wajah Rey sama persis dengan laki-laki yang pernah Helen kenalkan padanya lewat foto sebagai kekasih.
Nirbita seperti malaikat yang menyelamatkan Rey hari itu. Tanpa bantuannya lelaki itu mungkin akan semakin bingung memilih roti Jepang.
“Nanti biar gue bilangin ke Rey kalo lo minat tinggal di apartemennya,” kata Helen.
Mungkin sudah ada hitungan lima belas menit Nirbita mematung di tempat sambil mengamati padatnya kafe yang ada di hadapannya saat ini. Ia berniat mencari seniornya untuk menanyakan perihal lowongan kerja paruh waktu. Namun, melihat bagaimana sesaknya keadaan kafe membuat ia urung masuk ke dalam. Nirbita takut kehadirannya akan menyusahkan orang lain. Ia memaki diri sendiri yang telah berkunjung di jam kerja."Nirbita?"Panggilan itu membuat sang empunya terperanjat. Tiba-tiba saja orang yang ia cari sudah berdiri di depannya dengan apron hitam dan kedua lengan baju yang digulung hingga ke siku."Ah, Kak Arkan. Apa kabar?" Nirbita terdiam. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah basa-basi semata yang diucapkannya terdengar aneh atau tidak.Arkan mengembangkan senyumnya kepada Nirbita. "Baik. Ngomong-ngomong ...
Nirbita memegangi kedua lututnya. Dada gadis itu kembang kempis,berusaha mengatur deru napas yang tak teratur. Tungkai kakinya bergeser sedikit ke belakang hingga berhenti di depan sebuah kedai kecil yang tutup. Nirbita memukul kepalanya berkali-kali saat memutar memori tentang tindakan dungu yang ia lakukan. Demi apa pun! Nirbita bersumpah bahwa itu adalah tindakan paling bodoh yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Ia juga tak mengerti kenapa tubuhnya spontan bergerak ke meja seorang pria asing yang ada di depannya."Ah, sialan. Malu-maluin diri sendiri aja! Gue harap gak akan pernah ketemu lagi sama orang itu. Bahkan kalo misalnya papasan, gue harap dia gak inget sama gue," dengus Nirbita sebal. Rasanya ingin sekali ia menghantam otak lelaki asing itu dengan sebuah batu besar hingga menyebabkan amnesia agar harga dirinya tak rusak."Tenang, Nirbita. Dia cuma orang asing, gak
"Ah, sial. Gue bener-bener malu!" Nirbita membentrokkan dahi lebarnya ke meja. Ia telah menceritakan apa yang terjadi kepada Helen.Sekarang mereka berdua ada di perpustakaan kampus. Helen butuh beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah untuk mencari bahan referensi karena ia akan melakukan presentasi besok lusa. Sesekali gadis itu menyimak cerita Nirbita dengan iris mata fokus ke layar laptop."Lebih baik malu sama orang gak dikenal, daripada harus malu sama mantan. Menurut gue tindakan lo udah tepat, sih. Gue salut sama lo yang bisa ngambil tindakan gila secepat itu," ujar Helen dengan jari-jari tangan yang bergerak lincah di atas papan keyboard.Nirbita menggertakkan gigi. Bagaimana bisa reaksi Helen sesantai itu? Demi terlihat keren di depan mantan ia rela membuang harga diri pada orang yang tak dikenalnya tanpa berpikir panjang. Harusnya kemarin
Sinar matahari menyusup dari balik tirai kamar. Suara kicauan burung yang saling bersahutan seakan menyuruh orang-orang untuk segera bangun dari tidur nyenyaknya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Ferrel yang masih bergeming di atas kasur membuka kelopak matanya secara paksa kala bunyi alarm terus berdering. Lelaki itu menguap lebar usai mematikan alarm yang berada di atas meja dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi.Tidak butuh waktu lama bagi lelaki itu untuk bersiap pergi ke kantor. Ferrel selalu andal dalam mengatur waktunya. Kini ia tengah duduk manis di meja makan sembari mengunyah sepotong roti isi selai cokelat. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan melangkah keluar dari apartemennya. Begitu tiba di depan lobi, Aline membungkukkan badan sesaat padanya guna memberi hormat."Pagi, Bos," sapa Aline tegas. 
Riyan melepas jas putih yang melekat pada tubuhnya, lalu menyampirkannya di jemuran baju berukuran mini. Ia menghempaskan bokongnya di sofa, kemudian menjangkau sekaleng kopi dingin yang ada di nakas meja. Ini adalah kesempatannya untuk mengistirahatkan tubuh sejenak sambil menunggu para pelanggan tiba di kliniknya."Ferrel? Tumben banget dia ngirim pesan," gumam Riyan saat melihat nama Ferrel terpampang di layar utama ponselnya. Jemarinya mengetuk aplikasi WhatsApp untuk membaca pesan lelaki itu.Malem ini lo senggang gak? Kalo ada waktu gue mau ngajak lo nongkrong di kafe. Tenang aja, biaya makan dan minum gue yang nanggung.Tawaran itu membuat Riyan terbahak pelan. Apakah Ferrel sedang butuh teman ngobrol malam ini?"Gue rasa pergi ke club malam hari ini lebih bagus." Pikirnya rasional. Haru
Sepanjang perjalanan Nirbita tak berhenti mengembangkan senyumnya. Gadis itu bahkan merasa acuh ketika beberapa orang memandang dan berbisik-bisik tentangnya. Ia benar-benar tak peduli. Nirbita masih tak percaya mulai besok ia akan bekerja di kafe milik Arkan. Semoga pekerjaan paruh waktu kali ini bisa mengurangi beban yang ditanggungnya. Nirbita harap keuangannya bisa jauh lebih baik daripada sekarang."Kalo duit gue banyak, pasti sekarang gue udah traktir Helen makan dan ngajak dia jalan-jalan ke mall sebagai perayaan karena gue keterima kerja. Tapi ... sayangnya sekarang gue bener-bener miskin," gumam Nitbita lesu. Meski terlihat cuek, sejujurnya ia sangat peduli terhadap Helen. Hanya saja Nirbita memang tak pandai menunjukkan sikap lembutnya.Niatnya ia ingin berbagi kesenangan dengan Helen hari ini, tetapi Nirbita bingung bagaimana cara melakukannya dengan kondisi kantong kering
Ferrel tahu dirinya tak bisa terus-terusan bersembunyi seperti ini. Cepat atau lambat mamanya pasti akan jengkel dan menggunakan cara lain untuk menjodohkannya. Laki-laki itu tak bisa menjamin alibinya akan selalu berhasil. Ferrel harus bisa bertindak cerdik sebelum terlambat. Tapi, bagaimana caranya? Apa yang harus ia lakukan agar mamanya berhenti mendesak perihal pernikahan?Ferrel iseng membuka laci meja kantornya. Tak sengaja ia melihat sebuah kotak tua berwarna cokelat yang berada di antara tumpukan berkas-berkas kantor. Perlahan tangannya meraih kotak itu dan meletakkannya di meja.Bahkan setelah kejadian itu, Ferrel benar-benar tidak bisa melupakannya. Akan selalu ada momen di mana ingatan menyakitkan itu muncul, terlebih lagi jika ia sedang tidak melakukan kegiatan apa pun, seperti sekarang.Sebenarnya Ferrel ingin membuka kotak yang ada di had
Tidak butuh waktu berjam-jam lamanya, sedikit basa-basi dan beberapa topik obrolan mengenai apartemen unit 131 menjadi pembukaan sebelum proses transaksi berlangsung. Riyan meletakkan sebuah box hitam berukuran sedang di atas meja, di mana terdapat tumpukan uang yang memang telah Ferrel persiapkan untuk membeli apartemen.Begitu Ferrel dan pemilik apartemen menandatangai surat pindahan kepemilikan dan menempelkan stempel, mereka pun saling berjabat tangan sebagai bukti bahwa transaksi berjalan dengan mulus. Kini apartemen unit 131 resmi menjadi milik Ferrel sepenuhnya."Ah, mohon maaf, Pak. Tapi ... apa boleh saya minta waktu sehari lagi untuk tetap di sini? Ada banyak barang yang harus saya kemas untuk pindahan," pinta mantan pemilik apartemen.Ferrel terdiam sesaat, tak lama kemudian ia mengangguk. Toh, lagi pula sebenarnya ia tidak in
"Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma." Nyaris seluruh percakapan yang dibicarakan Ferrel dengan orang di seberang yang tak lain adalah mamanya ikut disimak oleh Nirbita. Gadis itu tersenyum licik usai mendapatkan ide cermelang. Ia tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dirinya dari takdir sengsara ini. Nirbita lekas mundur dari tempat persembunyiannya menguping menuju sofa semula. Begitu Ferrel menutup balkon dan hendak berjalan menuju kamarnya, barulah ia muncul di hadapan lelaki itu. "Paman!" panggil Nirbita tanpa melunturkan senyum yang terpasang di raut wajahnya. "Hmm?" "Ayo kita nikah!" ucapnya mantap, tanpa ada keraguan ataupun perasaan malu yang terselip di setiap perkataannya. Tubuh Ferrel sempat terpaku selama beberapa detik. Ponsel yang ada dalam genggaman tangannya bahkan tak lagi menarik perhatiannya. Ia menatap dalam gadis yang berdiri di depannya tanpa mengeluarkan sepatah ka
Bulir-bulir air hujan yang keruh menyerap sepatu tali Nirbita saat gadis itu tak sengaja menginjak sebuah lubang datar yang digenangi air hujan. Kali ini Nirbita mencoba berjalan lebih waspada dan teliti. Dengan ponsel yang ada di genggaman tangannya, mata gadis itu tak berhenti menatap sekeliling, seakan tengah menyari sesuatu. "Ck! Sebenernya tempatnya ada di mana, sih? Kok kayaknya jauh banget, ya." Nirbita bermonolog. Gadis itu ingin melihat sebuah apartemen yang ia temukan di salah satu situs internet. Dari beberapa foto dan nominal biaya sewa yang dicantumkan membuat Nirbita berpikir matang-matang dan memutuskan untuk melihatnya secara langsung. Ia rasa ini adalah tempat yang cocok untuknya. Semoga saja sesuai dengan ekspetasi. Sayangnya, tanpa disadari ada seseorang yang mengekori langkah Nirbita sejak tadi. Tubuh orang itu cukup tinggi dengan jaket hitam yang dikenakannya. Aksesoris seperti kacamata hitam dan juga masker seolah memang sengaja di
Pagi harinya Ferrel baru menyadari jika ada yang berbeda dari apartemennya. Tumpukan kardus yang belum dirapikannya kini tak lagi terlihat. Ruangan menjadi lebih leluasa dan nyaman dipandang mata. Tapi ... siapa yang telah menyentuh barang-barang miliknya tanpa izin?Pikiran Ferrel langsung tertuju pada Nirbita. Jika bukan gadis itu siapa lagi? Tidak mungkin Riyan rajin berkunjung lantas membenahkan barang-barang miliknya, bukan? Lagi pula hanya gadis itu satu-satunya orang yang tahu kata sandi apartemennya.Haruskah ia mengucapkan terima kasih jika bertemu dengan Nirbita? Tapi ... Ferrel rasa mungkin tak perlu. Lagian ... ia tak tahu alasan gadis itu memindahkan barang-barang miliknya. Apakah niat Nirbita murni karena ingin menolong atau ... ada maksud tertentu yang membuatnya bersikap baik kepada Ferrel?"Hmmm ... hmmm ... hmmm...."
Sejak berkumpul Noel tak berhenti dibuat heran dengan sikap Helen. Perempuan itu tak mau berhenti menangis sedari tadi. Entah apa sebabnya. Noel yang tadinya berniat menjahili pun menjadi urung karena merasa tak enak."Len, udah dong, nangisnya," pinta Noel hati-hati. Ia melirik untaian tisu yang berserakan di depannya. Astaga! Sungguh, Noel tak ingin memungut barang seperti itu. Membayangkan betapa lengket dan kentalnya lendir hidung Helen yang menempel di tisu dan bersentuhan dengan jemarinya membuat ia bergedik ngeri. Namun, jika tidak diambil, cepat atau lambat petugas kebersihan yang lewat pasti akan mengomelinya.Noel celingukan, menunggu kehadiran Nirbita yang sempat izin untuk membeli camilan. Kenapa gadis itu belum juga kembali?Pasrah, Noel memutuskan untuk duduk diam sembari memerhatikan Helen yang menyembunyikan wajah dengan kedua telapak t
Nirbita berkacak pinggang mengamati keadaannya saat ini. Lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri demi bisa mendapatkan persetujuan untuk tinggal di apartemen milik Ferrel selama tiga hari. Nirbita pun tak habis pikit mengapa ia mengambil solusi seperti ini. Tapi ... gadis itu benar-benar bingung dan tak tahu harus bagaimana sekarang. Jika ia kembali pada Helen, temannya itu pasti akan curiga dan tahu dirinya telah ditipu oleh Rey. Meski sadar jika kepribadiannya cukup menyebalkan, Nirbita tak ingin merepotkan Helen terus-terusan. Yang terbesit di otaknya hanya memohon pada Ferrel untuk menempati apartemennya selama tiga hari. Dalam waktu singkat itu pula, Nirbita bertekad mencari pinjaman uang dan menyewa sebuah apartemen dengan anggaran deposit rendah. Semoga saja ia bisa menemukan tempat tinggal yang ramah biaya.Ada 2 tempat yang bisa dijadikan kamar dalam apartemen ini. Kamar milik Ferrel berada di bagian ujung, letaknya deka
Waktu seakan berhenti ketika manik mata mereka saling tatap. Untuk pertama kalinya, Ferrel dan Nirbita berinteraksi cukup lama meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Keduanya terasa canggung berada di situasi seperti ini."Ekhem! Kamu..." Ferrel berdekhem. Tadinya ia ingin mengajukan pertanyaan, nahas, mendadak isi kepalanya kosong."Ah, permisi, Pak. Maaf, tapi ... apakah Rey ada di rumah?" tanya Nirbita gusar. Kalau boleh memilih, ia ingin kabur segera dari lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Sungguh, Nirbita tak bisa melupakan kejadian di mana dirinya melakukan hal gila sewaktu di kafe. Meski tak mengenalnya, tetap saja gadis itu merasa malu."Rey? Maksud kamu pemilik apartemen sebelumnya?" tanya Ferrel.Dahi Bitna membentuk garis samar. Entah kenapa mendadak perasaannya tidak
Tidak butuh waktu berjam-jam lamanya, sedikit basa-basi dan beberapa topik obrolan mengenai apartemen unit 131 menjadi pembukaan sebelum proses transaksi berlangsung. Riyan meletakkan sebuah box hitam berukuran sedang di atas meja, di mana terdapat tumpukan uang yang memang telah Ferrel persiapkan untuk membeli apartemen.Begitu Ferrel dan pemilik apartemen menandatangai surat pindahan kepemilikan dan menempelkan stempel, mereka pun saling berjabat tangan sebagai bukti bahwa transaksi berjalan dengan mulus. Kini apartemen unit 131 resmi menjadi milik Ferrel sepenuhnya."Ah, mohon maaf, Pak. Tapi ... apa boleh saya minta waktu sehari lagi untuk tetap di sini? Ada banyak barang yang harus saya kemas untuk pindahan," pinta mantan pemilik apartemen.Ferrel terdiam sesaat, tak lama kemudian ia mengangguk. Toh, lagi pula sebenarnya ia tidak in
Ferrel tahu dirinya tak bisa terus-terusan bersembunyi seperti ini. Cepat atau lambat mamanya pasti akan jengkel dan menggunakan cara lain untuk menjodohkannya. Laki-laki itu tak bisa menjamin alibinya akan selalu berhasil. Ferrel harus bisa bertindak cerdik sebelum terlambat. Tapi, bagaimana caranya? Apa yang harus ia lakukan agar mamanya berhenti mendesak perihal pernikahan?Ferrel iseng membuka laci meja kantornya. Tak sengaja ia melihat sebuah kotak tua berwarna cokelat yang berada di antara tumpukan berkas-berkas kantor. Perlahan tangannya meraih kotak itu dan meletakkannya di meja.Bahkan setelah kejadian itu, Ferrel benar-benar tidak bisa melupakannya. Akan selalu ada momen di mana ingatan menyakitkan itu muncul, terlebih lagi jika ia sedang tidak melakukan kegiatan apa pun, seperti sekarang.Sebenarnya Ferrel ingin membuka kotak yang ada di had
Sepanjang perjalanan Nirbita tak berhenti mengembangkan senyumnya. Gadis itu bahkan merasa acuh ketika beberapa orang memandang dan berbisik-bisik tentangnya. Ia benar-benar tak peduli. Nirbita masih tak percaya mulai besok ia akan bekerja di kafe milik Arkan. Semoga pekerjaan paruh waktu kali ini bisa mengurangi beban yang ditanggungnya. Nirbita harap keuangannya bisa jauh lebih baik daripada sekarang."Kalo duit gue banyak, pasti sekarang gue udah traktir Helen makan dan ngajak dia jalan-jalan ke mall sebagai perayaan karena gue keterima kerja. Tapi ... sayangnya sekarang gue bener-bener miskin," gumam Nitbita lesu. Meski terlihat cuek, sejujurnya ia sangat peduli terhadap Helen. Hanya saja Nirbita memang tak pandai menunjukkan sikap lembutnya.Niatnya ia ingin berbagi kesenangan dengan Helen hari ini, tetapi Nirbita bingung bagaimana cara melakukannya dengan kondisi kantong kering