Halo semua, siapa pun yang membaca novel aku ini, aku ucapkan sangat terima kasih. Cita-cita seorang novelis itu, tulisannya dibaca oleh orang lain. Jadi jika kalian tidak sengaja membaca novel ku sampai bab 20 ini, tiada salahnya kalian tinggalkan komen feedback untuk aku. Aku akan sangat senang! Byeee
Putus asa, jalan buntu dan harapan yang menjadi angan-angan saja, mengantarkan Sri menuju tiang jagal. Hatinya retak, celah-celahnya kentara, lukanya dalam dan bernanah. Jiwanya tidak mau menahan borok luka hati yang dia pendam. Salah siapa lagi jika bukan kita, si pelaku atau si orang yang acuh. Semua darah ada di tangan kita semua. “Sejak kejadian kemarin, dia tidak keluar dari ruang UKS. Kami sudah berusaha membujuknya untuk membuka pintu, setidaknya dia butuh makan. Tapi kami tidak mendapatkan jawaban dari dalam” Kemala menjelaskan apa yang terjadi pasca Sri menembaki kepala teman-teman kami. Kami mendapati Sri tergantung di tiang ring basket. Kepalanya menunduk ke bawah, padahal pagi ini mataharinya begitu cerah. Dia menggantung dengan seutas tali yang melingkar di lehernya, padahal berat kehiduapannya masih ada. Kaki, tangan bahkan tubuhnya membiru, menjuntai begitu saja, seirama dengan angin hutan. Semua dari kami, sisa dari pertarungan kemarin, mematung mengantarkan nyawa S
“Dasar gadis pincang! Cepat kemasi barang-barangmu, lalu pergi dari rumah ini!” dalam pengaruh alkohol seseorang yang berwibawa seketika berubah menjadi si dungu yang tidak pernah bersekolah. Ayah tengah berada di titik rendahnya. Setengah jiwanya menyebar racun ke seluruh sudut tubuh miliknya. Kini dia tidak lagi mengenal mana pagi dan mana malam. Mana daratan mana lautan. Mana buah kuldi yang mengantarkan Adam ke bumi dan mana buah hati. Semua dia ludahi. Hina rasanya. Mimpi buruk ini berawal dari kecurigaanku terhadap hubungan mamah dan ajudan baru kami, om Prima. Tentu kecurigaanku berlandaskan sesuatu, bukan hanya lamunan sang pujangga pengangguran di siang bolong. Sekali aku memergoki mamah dan om Prima berpelukan di mobil sebelum masuk ke rumah. Aku melihatnya dari siluet yang menembus jendela mobil. Mereka mungkin tidak menyadari keberadaanku dari dalam rumah. Mereka pikir rumah kosong. Memang seharusnya di jam segitu aku masih berada di sekolah, namun aku pulang lebih cep
Rumah gelap gulita. Gelita malam menyeruak, menemani aku yang terbaring kelaparan. Kamarku hening, ayah mendengkur di tengah rumah dikelilingi botol wiskinya. Listrik di rumahku mati, ayah tidak sama sekali mengurusi rumah apa lagi dirinya. Dia seperti seonggok daging yang menunggu, menanti ajalnya saja. Aku bukan tidak berani protes, lelah rasanya untuk mengulang-ulang kembali kalimat ayah ayo makan, atau ayah cukup jangan minum lagi . Semua percuma dibuat olehnnya. Seperti apa yang aku bilang, ayah tidak mengurusi rumah lagi. Selama ini aku menjalani kehidupanku sendiri, bermodalkan dengan tabunganku dan barang-barang berhargaku yang aku jual. Aku tidak bisa berkerja, aku masih di bawah umur. Kadang Apollo memberiku beberapa rupiah yang ditransfer ke rekeningku. Dia tahu keadaan rumah dan aku. Apollo bilang, ayo kita pergi saja dari sini, tidak bersama ayah atau pun mamah, hanya kita berdua. Terdengar seperti kehidupan yang indah bagi kita berdua. Akan tetapi, Apollo memang tumbuh
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini Pak Darma datang langsung ke kelas bersama Kronos dan Kyos. Biasanya jika permainan itu digelar di dalam kelas, dia lebih memilih berinteraksi dengan kami melalui layar laptop. Entah apa alasannya, barangkali jeritan kami akan memantul dan bergema di ruangan sehingga dapat melukai gendang telinganya. Barangkali dia tidak suka suara bising. Tapi lihat lah sekarang, tidak banyak yang tersisa dari kami. Mungkin teriakkan dari segelintir orang tidak akan melukai telinganya. Yang hadir di kelas hanya 7 orang. Setelah kejadian tadi pagi, Melodi lebih memilih mengurung dirinya di UKS. Aku bilang aku tidak apa-apa, tetapi dia tidak menganggapnya. Sering kali ketika orang merasa bersalah, mereka akan menghindar jauh-jauh. Sayangnya di sekolah yang berjeruji ini mirip penjara, jarak sejauh apa pun yang kau inginkan, kau akan bersenggolan kembali ketika waktunya bersih-bersih di toilet. Tapi mungkin saja dia mengurung diri bukan karena merasa bersa
Bolehkah aku bertepuk tangan kegirangan, menari di antara debu kelas di celah-celah sinar matahari dengan tawa menggelitik? Bolehkah? Kami girang karena bahagia. Banyak yang membuat kami bahagia, pertama Eden memenangkan permainan kedua tidak ada yang mati hari ini. Hanya dua poin, tetapi lebih dari satu sudah terbilang banyak. Aku lihat dari jendela kelas, matahari pun mendukung kebahagiaan kami. Ia bersinar dengan segenap hatinya, menghangatkan sampai ke tulang rusuk yang ada di Bumi. “Aku serahkan pada kalian, Aditya, Julian.” Ternyata, kebahagiaan ini terletak bukan di akhir cerita, melainkan di tengah rudal susulan yang segera diluncurkan oleh pihak lawan. Tepuk tangan perlahan menjadi bela sungkawa. Tarian kegirangan menjadi tarian selamat jalan. Kesalahan kami terlena pada kebahagiaan, yang seharusnya kami lebih berharap pada akhir dari peperangan. “Siapa Aditya dan Julian?” terpaksa ceria Kemala terbang, dia pun bertanya. Kronos dan Kyos menoleh kepada satu sama lain. M
“Kau yakin ini akan berhasil?”“Kita tidak pernah tahu sebelum mencobanya.” aku menepis kekhawatiran Kemala. Hanya ada satu pemuda yang ikut bersama kami, para gadis, aku, Innana, Melodi dan Kemala. Bara mendadak ikut hadir karena Innana bilang dia lah satu-satunya yang pernah melihat di mana letak gerbang sekolah ini. Di hari di mana Jessica menangis di kubangan darah yang dia buat sendiri, beberapa anak laki-laki berlari tunggang langgang ke dalam hutan. Bara adalah salah satunya. Sebelum mereka menemukan ujung dari hutan, mereka mendapatkan gerbang besar nan tinggi, terbuat dari besi tempa. Gerbangnya kokoh dan tinggi, dua orang dari mereka, Michael dan Daru, tanpa ragu memanjat gerbang itu. Niat hati ingin segera pergi dari sekolah gila ini, tapi ternyata si senjata laser itu juga terpasang di sisi kiri dan kanan gerbang yang mengakibatkan mereka harus jatuh seperti dedaunan kering yang sudah tidak bernyawa. “Kita membutuhkan denah yang lengkap sekolah ini. Lihat kemarin Kemala
Hujan deras menunda permainan terakhir kami. Permainan yang aku harapkan bisa mengantarkan pulang. Walau entah aku masih punya rumah atau tidak, yang jelas teman-temanku layak untuk meneruskan kehidupan mereka. Aku tidak menyangka bisa memanggil mereka sebagai teman, canggung sekaligus hangat rasanya. Hujan deras berserta petir yang menyambar di setiap menit. Pak Darma dengan dibantu oleh Melodi, memasang beberapa peralatan mengitari lapangan basket. Dia memasang senjata laser otomatis, sama seperti yang terpasang di kelas, di keempat sisi lapangan. Pak Darma menyadari hanya ada mereka berdua yang akan melawan kami. Dan Melodi? Dia baru saja kemarin bergabung menjadi kacung, aku rasa Pak Darma tidak yakin Melodi mampu membidik kening kami dengan tepat. Aku perhatikan air hujan yang terus saja mengguyur, membasahi sekujur tubuh Pak Darma. Dia tidak terganggu dengan air hujan yang sewaktu-waktu membuat kelopak matanya berat dan bolamatanya perdas. Teringat dengan perkataan Deon kemar
Matahari sudah terbenam. Dinginnya sehabis senja sudah berkenalan dengan tengkung setiap anak yang bersembunyi di balik pohon. Hutan begitu lembab, basah, becek, licin dan aroma daun melapuk menyebar semerbak. Tumpukkan daun menyamarkan kubangan air bekas hujan tadi pagi. Sepatu, seragam, telapak tangan, rambut, wajah, belakang telinga, semua penuh lumpur dan tanah. Kegelitaan mulai mengisi setiap sudut di dalam hutan. Jarak pandangku pendek, bagaimana tidak, kabut mulai ikut serta, sumber cahaya hanya dari lampu lapangan dan tentu rembulan. Beruntung masih ada rembulan malam ini. Beruntung langit tidak sedang mendung, beruntung langit tidak pelit akan cahaya bintang, beruntung pula langit tidak sedang merundung kami yang sial. Bara yang berjaga sejak permainan dimulai. Sesuai dengan rencana, dia menjadi orang pertama yang berjaga. Tubuhnya yang atletis, matanya yang jeli dan mentalnya yang kuat menjadikan dia garda terdepan. Dengan dia, kami memulai permainan malam ini. Sesuai denga
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,
Bunga lili air yang mekar di malam hari. Dinikmati keindahannya, bunga lili air bermahkotakan sinar rembulan dan gemerlap sejuta bintang, semerbak aroma terselimuti udara dingin tengah malam. Dia mekar di hadapanku, maksud hati ingin aku tetap di sisinya, menemani di dalam kastil sunyi, beraroma amis darah, tulang belulang melapuk di bawah tanah. Bunga lili air begitu menawan jika ditangkap oleh dua pasang mata berserta hati. Menawan, siapa pun yang akan pergi meninggalkannya, berpikir dua kali. Harus kah aku pergi? Haruskah aku meninggalkannya? Apa yang akan terjadi jika aku meninggalkannya di sini? Kedua pasang mata berserta hatinya, terhipnotis, larut dalam pelukan dingin bunga lili air. Pertimbangan demi pertimbangan. Pikiran yang berjajar menunggu untuk diuji kelayakkannya untuk dipertimbangkan. Semuanya seakan mengeroyok, membebani langkah ini yang seharusnya menuntun aku ke udara bebas, di luar istanahnya. Bisakah aku mengakhiri semua seperti ini? Akhirnya kita bisa berkum
“Bayu..bayuski bayu.. don’t lie by the corner… or a grey wolf will come.. and grab you by your side…” Pak Darma mulai kehilangan akal sehat, dia bersenandung di tengah lingkaran penjara kami. Dia menyadari tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia telah terjebak di dalam perangkap buatan kami. Peraturan permainan tidak boleh dilanggar. Menara genteng yang menumpuk harus terus menjulang, syarat untuk Pak Darma keluar dari lingkarannya. Bara menjalankan tugasnya dengan baik. Si penjaga itu lumpuh di dalam lingkaran, menara genteng yang dia tumpuk seratus kali, seratus kali pun runtuh tertimpa lemparan Bara yang mematikan. Bongkahan genteng hancur berkeping-keping, hingga mustahil bagi si penjaga menumpuknya kembali. “He will grab you by the side…and drag you to the forest…drag you to the forest…to the broom bush..do not come to us, wolf … do not wake up our Masha Bayu bayushki bayu…” Mengapa aku bilang lingkaran itu adalah jebakan yang sempurna bagi Pak Darma. Janji adalah janji. Monster
Jika kau jadi Pak Darma, di mana kau akan bersembunyi? Ayo Athena berpikir! Berpikir! Entah datang dari mana, sekelebat memori bermain petak umpet bersama ayah terulang di dalam benak. Kala itu hari terakhir jatah Ayah pulang ke rumah. Kami menghabiskan waktu tidak di mana-mana melainkan di halaman belakang. Apollo dan aku selalu kebosanan jika harus bermain petak umpet hanya berdua. Namun di hari itu tidak lagi, ayah bergabung sebagai yang ketiga. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutku yang dikuncir dua bak boneka Dakocan. Jemari kaki kecil menapak rumput hijau, sebagian aku injak, sebagian yang lainnya lolos dan berdiri, menggelitik sela-sela jari kaki. Ada pohon mangga di halaman belakang, dan batangnya biasa menjadi bagian permainan petak umpet. Apollo kedapatan berjaga pertama, dia pun menghitung dari satu sampai sepuluh. Dia bilang angka sepuluh sudah banyak karena sepuluh lebih dari satu. Seketika Apollo menutup mata dan di hitungan satu, kaki mungilku berhamburan mencari t