"Jadi, apa yang hendak Anda bicarakan, Dok?" Yudha menatap lelaki itu. Ia nampak lebih tua dari terakhir Yudha bertemu dengan Rizal beberapa tahun yang lalu. Apakah stress memikirkan hatinya yang dicabik-cabik oleh sang istri? Ah ... Yudha lupa, bukan istri lagi, tapi sudah mantan istri. Rizal menghela napas panjang, wajahnya terangkat, menatap Yudha dengan saksama. Mata mereka bertemu, hingga di detik selanjutnya, Rizal mulai buka suara."Mengenai kejadian tadi, sungguh saya tidak pernah terpikirkan akan jadi seperti ini, Dokter." jelas suara itu lirih.Kejadian tadi? Tentu ini yang hendak Yudha pertanyakan, kenapa bisa terjadi?"Bisa Anda jelaskan, sebenarnya apa yang terjadi?"Rizal tersenyum, "Kelak, ketika ananda lahir dan Anda resmi menjadi bapak, Anda akan paham bagaimana rasanya. Anda akan mengerti, kenapa lantas saya melakukan semua ini." Rizal menghirup udara banyak-banyak. "Saya begitu rindu dengan anak-anak saya, Dokter. Sangat rindu karena selepas palu pengadilan diketuk
"Kita ngomong di luar ya, Sayang?" pinta Tasya lirih.Dinda nampak melirik Karina. Sebuah hal yang makin membuat hati Tasya makin pedih. Terlihat sangat bahwa Dinda ragu, padahal Tasya ini ibu kandungnya dan Tasya hanya ingin berbicara beberapa hal dengan anak kandungnya sendiri. Apakah ini sebuah kesalahan?"Bisa tunggu papa? Dinda udah janji sama papa buat tetap di sini sampai papa balik."Cless!Hati Tasya benar-benar sakit. Kini makin jelas terlihat jarak antara dia dan anak kandungnya sendiri. Sejak dulu Dinda memang seperti membuat sekat di antara mereka. Sebuah sekat yang berusaha Tasya runtuh kan ketika tiba di kota ini. Dan sekarang, semua itu sia-sia semua.Bisa Tasya lihat, Dinda begitu terluka dan tersakiti dengan fakta yang selama ini mati-matian Tasya sembunyikan dari Dinda dan Dinta. Hal yang sudah pasti akan menjauhkan Dinda dari Tasya."Oke, kita tunggu papamu balik." Tasya tersenyum getir, apakah setelah ini, Dinda masih mau menemui mamanya ini? Rizal memang berjanj
Yudha menghela napas panjang. Spontan nyengir sambil garuk-garuk kepala mendengar permintaan aneh sang istri. Minta gendong? Kenapa jadi macam Rara begini? Yudha kembali menghela napas, membalikkan badan lalu memposisikan dirinya. "Sini kalau gitu!" Titahnya sambil menyunggingkan senyum. Tidak perlu waktu lama, dua tangan itu melingkar di lehernya. Kepalanya bersandar di bahu dengan manja. Sebuah hal yang lantas membuat Yudha sadar bahwa Karina sekarang bahkan sedikit lebih berat bobotnya. "Pegangan!" Titahnya lagi lalu beranjak berdiri tegak. Jangankan minta gendong, Karina minta diajak berenang melintasi samudra Arktik pun akan Yudha lakukan. Namanya juga orang jatuh cinta, kan, ya?"Udah pegangan." Desisnya tanpa menyingkirkan kepalanya dari bahu Yudha. Berat! Sungguh Yudha baru sadar kalau istri mungilnya ini cukup berat! Besar harapan Yudha Karina tidak sering-sering minta gendong begini. Ia memang masih belum ada 40 tahun, tapi rasanya persendian Yudha macam orang 50 tahun!
Yudha melirik istrinya, wajah itu sudah tidak terlihat marah. Pembawaannya sudah tenang dan beberapa kali senyum itu terlihat di wajah istrinya, hal yang membuat Yudha lega luar biasa."Sayang ...."Karina menoleh, menatap Yudha dengan alis berkerut. "Kenapa, Mas?"Yudha menghela napas panjang, ia ingin membicarakan sesuatu. Tentang apa yang terjadi sebenarnya. Tentang masa lalunya dan apa hubungan antara dia dan Tasya serta Rizal."Aku pengen cerita sesuatu, Sayang. Boleh?" Yudha sebenarnya sedikit takut. Dia takut Karina tidak bisa menerima hubungan masa lalu Yudha dengan Tasya, tapi kalau Yudha hanya diam saja, agaknya itu juga tidak baik. Bagaimana kalau nanti Karina malah tahu dari orang lain? Bukankah dia malah bersahabat baik dengan anak Tasya, si Dinda itu?"Cerita aja kalau gitu, Sayang. Aku malah seneng kalau kamu terbuka dan cerita apa aja sama aku."Kembali Yudha tersenyum getir, ia harap-harap cemas. Apakah benar Karina akan senang dengan apa yang hendak dia ceritakan ini
Karina melangkah keluar dari kamar mandi. Rambutnya setengah basah, nampak Yudha bersandar di headbed sambil menatapnya lekat-lekat. Karina nampak acuh, ia lantas duduk di depan meja riasnya, melirik Yudha dari pantulan kaca yang ada di depan."Pengen makan apa, Sayang?" tanya Yudha ketika Karina masih diam tidak bersuara."Ah ... paling nanti kalau aku sebut pengen makan apa, sama Mas nanti nggak boleh." cibir Karina sambil mengerucutkan bibir."Nggak, Sayang. Kamu pengen apa, bilang aja. Bakalan Mas beliin." ujar Yudha serius.Mata Karina membulat, "Serius? Apa aja?" tampak sangat terlihat Karina begitu antusias."Iya, apa aja! Asal jangan minta suami baru aja!"Tawa Karina sontak pecah, ia terbahak-bahak sambil melirik sang suami dari pentulan cermin. Bisa dia lihat wajah Yudha berubah masam. Ditekuk dengan bibir mengerucut."Ah sayang sekali. Padahal aku pengen minta itu." goda Karina sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk."Sayang ... please jangan mulai, oke? Minta yang lai
Yudha menantikan panggilannya dijawab, dia tengah duduk di sofa ruang keluarga yang ada di lantai atas. Sementara Karina menempel di pelukan Yudha dengan remote TV tidak lepas dari tangan. Sejak tadi ia menggonta-ganti chanel TV, nampak belum menemukan acara yang cocok untuk dirinya. "Halo, Yud, ada apa?" Suara itu menyapa telinga Yudha begitu panggilannya diangkat. "Gimana kabar bapak sama Ibu? Semua baik, kan?" Tanya Yudha sambil harap-harap cemas. "Baik. Terakhir kali Ibu ingat tiap kali kamu nelpon dan tanya begini biasanya mau minta duit, Yud." Gumam Ningsih dari seberang yang langsung membuat Yudha melotot tajam. Astaga ibunya ini! Yudha mendesah panjang. Ingat saja dulu ketika pre-klinik dan koas, Yudha beberapa kali dalam sebulan telepon minta kiriman uang. "Ya itu kan dulu, Bu! Sekarang beda!" Yudha tidak hendak minta kiriman uang seperti dulu kok. Dia sudah punya penghasilan sendiri, oleh karena itu dia berani kawin, kan? "Lah terus? Kalian baik-baik saja, kan? Anak or
"Ayo cepet dikit, Mas!" Yudha pasrah tangannya ditarik-tarik sang istri. Mereka melangkah dengan sedikit tergesa menuju terminal keberangkatan. Ada yang hendak mereka temui di sana! Karina sedikit risau, terlihat sangat dia begitu takut kalau tidak bisa bertemu dengan seseorang itu. Orang yang beberapa hari yang lalu membuat mereka makin menyadari bahwa saling memliki satu sama lain adalah takdir dan hal paling indah dalam hidup Yudha dan Karina. "Nah itu mereka, Sayang!" Gumam Yudha ketika matanya menangkap visual empat orang yang tengah dia dan Karina cari. "Ah iya! Ayo Mas!" Karina makin mempercepat langkahnya, tanpa melepaskan tangan Yudha dia menuju ke tempat orang yang mereka cari-cari. Yudha tersenyum ketika Rizal melambaikan tangan dengan senyum manis tersungging di wajah. Bisa Yudha lihat, Dinda, gadis belia yang jadi teman baik istrinya pun melakukan hal yang sama. "Kakak!"Karina langsung melepaskan genggaman tangan Yudha, merentangkan kedua tangannya dan membiarkan D
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?