“Jadi, kau juga menyadarinya, Mel? Sebenarnya, sudah lama aku merasakan hal serupa. Bahkan, sampai tak bisa tidur memikirkannya. Pertama kali aku naik gojek Kakek Mul, saat pulang dari pasar di awal bulan puasa. Ia tersenyum dan aku seolah melihat senyumku sendiri di wajahnya. Saat dekat dengannya, aku seperti merasakan detak jantung yang sama. Sejak saat itu, aku selalu memesan gojeknya. Aku yakin, Mel. Kakek Mul adalah ayahku.”Aku mematikan televisi demi bicara ini pada Meli. Butuh ketetapan hati untuk mengatakannya. Masih kuingat jelas bagaimana hatiku terpaut pada Kakek Mul, saat pertama bertemu. Ia mengantarku pulang ke rumah.“Ini, Kek.” Aku menyerahkan selembar uang dua puluh ribu padanya sebagi pengganti jasa“Terlalu besar, Bu. Tarifnya lima ribu.” Hanya karena aku memakai seragam dinas, Kakek Mul memanggilku ‘Bu’.“Tidak apa-apa. Selebihnya untuk Kakek,” ucapku.“Kalau tidak ada uang kecil, lain kali saja bayarnya,” balas Kakek Mul.Ia kemudian cepat-cepat pergi tanpa mene
“Itu Kakek Mul, Hay!” seruku pada Haykal saat ia menunjuk Kakek Mul di antara kumpulan supir ojeg.“Kakek Mul?” Haykal mengernyit, aku baru sadar kalau ia belum tahu nama supir ojeg yang kumaksud.“Iya, yang kamu tunjuk itu namanya Kakek Mulyadi. Aku biasa memanggilnya Kakek Mul. Dia ojeg langgananku.”Haykal memandangku heran, “namanya Hendra, Fai. Bukan Mulyadi!” ucap Haykal.Seperti ada yang mengunci tubuhku. Haykal menyebut nama Hendra. Aku perlu memastikan sekali lagi bahwa aku tak salah dengar.“Siapa, Hay?” tanyaku.“Hendra. Yang pakai jaket kulit warna hitam itu namanya Hendra. Dia ayahku, yang memberikan alamat rumahmu sebagai alamat rumahnya. Itu artinya, dia juga ayahmu, Fai!” jawab Haykal.“Be—berarti, dia ayahku?” Aku terbata. “Nama ayahku juga Hendra.”Meli merangkulku, ia tahu aku hampir saja pingsan. “Ayo duduk dulu di sebelah sini, Fai. Kau perlu menenangkan diri. Biar Haykal yang menghampiri ayahmu,” ucapnya sambil menuntunku duduk di depan warung kopi. Meli memesan
Bukan kepalang terkejutnya diriku saat Ayah selesai bercerita. Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Rasanya duniaku berhenti berputar. Terngiang kembali ucapan Ibu. “Fai, ada satu kesalahan Ibu yang akan membuatmu tak bisa memaafkanku. Namun, Ibu tak akan menceritakannya padamu. Andai kau masih punya waktu, dan meski rasanya mustahil, carilah ayahmu. Ibu yakin, dia akan menceritakannya. Biar nanti kau dengar sendiri darinya, apa kesalahanku itu.” Inikah yang dimaksud Ibu? Masa laluku yang pahit itu sungguh sangat kubenci. Jika ada satu-satunya hal yang kusesali di dunia ini, adalah pernah bertemu orang yang mencekikku waktu itu. Tapi, apakah harus Ibu orangnya? Mengapa Alloh memberiku kenyataan ini? Jika pelakunya adalah Ibu, aku lebih baik tak pernah mengetahuinya. Meli mengetahui aku memiliki luka itu, ia pun tampak terkejut dan langsung diam terpaku. Aku yakin Meli tak bisamenerima kentyataan, sama sepertiku. Haykal yang tak tahu apa-apa, melihatku sambil berkata, “ke
Aku merasa Haykal kurang sopan terhadapku. Dia terlalu egois untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi Ayah. Tak lama kemudian, Meli datang dari kamarnya, ia meletakkan sebuah kotak persegi panjang di atas meja. “Ini barang yang kumaksud, Fai. Waktu itu Ibu menitipkannya padaku. Katanya, ia tak punya nyali memberikan ini padamu,” katanya sambil duduk di tempatnya semula. Dengan cepat aku meraih kotak dan melihat isinya. Sebuah surat dalam secarik kertas yang cukup panjang. Memegangnya saja membuatku gemetar. Aku melirik Ayah, Haykal, dan Meli. Mereka terlihat ingin tahu apa isi surat ini. Atun, anakku. Apa kau masih ingat, kami selalu memanggilmu Atun saat kamu masih kecil sekali, bahkan mungkin waktu itu kamu belum bisa mengingat. Namamu sebenarnya adalah Uswatun. Kami selalu memanggilmu Atun. Suatu hari, saat hidupmu sangat nyaman dalam buaian ibu kandungmu. Aku bertemu ayahmu di Pantai Batukaras. Waktu itu, baik aku maupun ayahmu masih muda. Ketika aku mendengar bahwa a
“Bisakah kau diam dulu?” Meli mulai kesal pada Haykal. “Anak dan ayah ini baru bertemu setelah puluhan tahu berpisah. Sebaiknya kau bisa menahan mulutmu sebentar saja.”Aku memberi kode pada Meli agar ia pun mau menahan diri. Meli gampang terpancing emosi. Dan aku tak mau itu terjadi di momen kebhagaiaanku bersama Ayah.“Hay, bukankah kau bilang sedang mencari pekerjaan juga di sini? Kenapa buru-buru balik ke Jakarta?” tanyaku pada Haykal.“Ayah sudah ketemu. Jadi aku akan pulang. Niat mencari kerja di sini kuurungkan,” jawabnya.Aku mengambilkan tissue untuk Ayah, sambil tetap bercakap dengan Haykal.“Aku tidak akan mengizinkanmu membawa Ayah,” kataku tegas.“Fai … dia juga ayahku.” Haykal memelas.“Memangnya kau mau apa di Jakarta? Bukankah tidak ada pekerjaan?” tanyaku lagi.“Di sana kan tempat kelahiranku,” jawabnya.“Kalau kau mau tetap bersama Ayah, tinggallah di kampung ini. Kau bisa mencari pekerjaan di sini. Karena aku tak akan mengizinkan Ayah kemana-mana lagi. Akulah yang a
“E—eh?” Haykal mendadak salah tingkah. Ia membuang muka untuk menghindar dari tatapan Meli yang menudingnya. Aku pun penasaran, apakah tudingan Meli itu benar? Jika diingat, waktu di Pantai Batukaras, Haykal memang mengaku pernah melihat Meli di video.“Kenapa kamu salah tingkah begitu?” cecar Meli pada Haykal. “Kamu ‘merasa’, iya kan? Aku gak lagi nuduh kok. Nih lihat seniri, akun ini atas nama kamu, dan fotonya juga fotomu!” lanjutnya sambil menyodorkan ponselnya pada Haykal. Namun Haykal menolak untuk menerimanya.Aku pun meminta ponsel itu. “Coba kulihat,” kataku.[Halo, Kau dari Indonesia? Bisakah kita bertemu saat kau kembali ke sini, aku akan membayarmu dengan layak]Itu adalah isi DM Haykal pada Meli yang barusan kubaca. Cukup ambigu memang. Di sini Haykal bicara tentang ‘membayar’ Meli. Inilah yang membuat Meli tersinggung.“Mel, jangan langsung marah begitu. Tanyakan dulu pada Haykal, apa maksudnya,” kataku.Haykal angkat bicara. “Maksudku, aku ingin kau jadi modelku dan ak
“Kalau kau masih ragu tentang perasaanmu, cobalah untuk menerima kenyataan. Bahwa masa lalu Dian tak seindah harapanmu, dan bahwa karakter Dian tak semulia yang kau pikirkan.” Meli menambahkan ucapannya yang tadi, sambil memberikan bumbu yang sudah diblender padaku. “Tak semudah mengucapkannya, Mel,” balasku seraya memanaskan bumbu di wajan. Menu buka puasa hari ini adalah capcay kuah dan capcay kering. Aku memasaknya berbeda karena selera kami berbeda. Jika Meli suka dengan capcay kuah, maka kesukaanku adalah capcay kering. Terpikir olehku andai Ayah ada di sini bersama kami. Mungkin salah satu sisi dari hatiku yang kering ini dapat kembali segar dan ditumbuhi semangat hidup yang lengkap. Sejak kepergian Ibu dan sejak terungkapnya masa lalu Dian, sebagian semangat hidupku menghilang. Fokus dan tujuan hidupku tak jelas. Aku hanya mengandalkan kata hati menjalani hari demi hari. Berharap mendapat percikan hikmah dari kenyataan pahit yang harus kuterima ini. Namun, sampai detik ini
“Sakit apa, Pak?” Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. “Sudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,” jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. “Cepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.” “Cepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.” Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid
Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla
“Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i
“Siapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, “ jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. “Kalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. “ Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. “Gak suka, ah. Geli, “ balas Meli. “Ayo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.” Ayah membujuk
“Ya, itu buktinya,” ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya ‘simeut’. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. “Dari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?” tanyaku. “Tadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!” jawab Meli dengan raut wajah gembira. “Katanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.” Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. “Oh ya, aku sama sekal
“Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan
“Kena AC mobil,” jawabku. Akhirnya, mau tak mau aku harus menatapnya juga. Dian tersenyum tipis dan sikapnya masih canggung. Mengetahui kedatanganku dan Linda untuk menjenguk Bu Mardiyah, Dian langsung mempersilakan kami masuk. Hampir tak ada perabot yang mengisi rumahnya. Hanya TV yang terpajang di atas rak dan lemari kaca kosong di sebelah pinggir. Ditambah satu set sofa lengkap dengan meja tamu di dekat pintu masuk. Setelah puluhan tahun, ini baru pertama kalinya aku masuk lagi ke rumah Dian. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Keadaan yang jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat keluarga Bu Mardiyah masih berjaya. Perabotan rumahnya lengkap dan mahal. Bahkan, terkadang ia menyombongkan barang-barang yang dimilikinya. Ternyata seperti inilah gambaran hidup, tak selamanya yang kita miliki kekal dalam genggaman, kalau tidak bijak menggunakan harta maka bisa lenyap kapan saja. Dan melihat kondisi rumah ini sekarang, aku jadi percaya bahwa keuangan Dian sedang tidak baik-
Tiba-tiba seseorang menggandeng tanganku di tengah kerumunan, membuatku tersadar. Ternyata Linda. Ia menarikku ke depan toko kue.“Kamu bikin kaget aja. Kukira orang iseng,” kataku.Linda mengernyit dan terlihat khawatir. “Habisnya kamu melamun dan diem di tempat, di tengah-tengah jalan lagi. Gimana kalau kesenggol orang? Aku merhatiin kamu lho, dari tadi aku di sini dan langsung kutarik aja tanganmu. Kamu mikirin apa sih Fai, sampai kayak orang linglung begitu?”Aku mengerjap, pikiranku masih terpaut pada Dian. Aku dan Linda janjian di toko kue yang letaknya di dalam pusat perbelanjaan ini. Hanya saja karena pikiranku tak fokus, aku jadi banyak melamun dan kakiku seakan terkunci.“Kamu mikirin apa?” ulang Linda sambil memilih kue. “Eum, apa soal pernikahanmu yang gagal ya?” Aku mengangguk.“Kalau kamu butuh teman curhat, ngomong aja ke aku. Gak apa-apa kok, sesekali kan kamu perlu sharing, jangan nyimpan semuanya sendiri. Gak baik buat kesehatan mentalmu,” lanjut Linda.Aku pun men
“Sakit apa, Pak?” Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. “Sudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,” jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. “Cepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.” “Cepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.” Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid