Di dalam Mobil. Dari balik kaca spion samping, Jeceline memperhatikan kendaraan roda empat berwarna silver semakin mendekat. Hanya menunggu beberapa detik hingga mobil itu berhenti tepat di sisi mobilnya. Seseorang keluar dari dalam sana. Kaca mobil Jeceline diturunkan setengah begitu melihat seorang lelaki yang menggunakan celana sobek dipadukan dengan kaos dan jaket jins yang dipakainya. Sebuah map coklat di tangan sang lelaki disodorkan melalui celah kaca mobil. “Kau yakin informasi ini akurat?” tanya Jeceline, memastikan kembali begitu map coklat telah diambilnya. “Aku bisa menjaminnya! Kalau Nyonya masih ragu, biarkan aku menyelidiki hal ini sampai tuntas.” Lelaki yang tadinya berdiri tegak di samping mobil, kini menunduk, mencoba meneroboskan pandangan ke dalam mobil. Jeceline membuang pandangan ke arah lain, menghindari tatapan dari sang lelaki. Tangannya meraih tas yang ada di kursi samping, merogoh ke dalam sana hingga berhasil mengeluarkan amplop coklat te
Jeceline mengakhiri pembicaraan di ponsel begitu Kevin menyetujui ajakkannya bahkan meminta mereka bertemu di lokasi yang sudah dia kirimkan. Tak lama mengendarai, di sekitar taman kota terlihat mobil Kevin terparkir di pinggiran jalan. Sosok Kevin keluar dari dalam mobil dan memperhatikan ke arahnya. Jeceline segera menepi dan berhenti tepat di belakang mobil Kevin. Dia keluar dan menghampiri Kevin, “kita makan di mana?” “Di sini!” Kevin menoleh ke kanan, menunjukkan tempat yang dia maksudkan.???!! Mata Jeceline memaku sejenak tanpa berkedip begitu melihat restoran, tidak! Bukan restoran, tapi rumah makan sederhana yang dari penampilan luarnya sama sekali tidak berkelas. Bahkan kepulan asap yang tertiup angin terlihat jelas di sana. “Di sini? Kau yakin?” Jeceline mengangkat kedua alis keningnya, memastikan kembali pendengarannya tak salah. “Kenapa? Kau tak mau? Bukankah kau pernah mengatakan padaku kalau kepulan asap pembakaran ikan memiliki aroma yang s
Hari ini Jeceline kembali lagi ke desa Hillary. Dia tak akan menyerah sebelum bertemu dengan kedua anak kecil itu, karena hanya dari mereka baru bisa mendapatkan informasi mengenai keberadaan ibunya Hillary tanpa menimbulkan kecurigaan orang dewasa. Namun sudah sampai sore, belum juga terlihat kedua anak, bahkan bayangan seseorang yang keluar dari pintu rumah.Tok … tok … tok…. Sontak Jeceline terkejut mendengar ketukan di jendela kaca mobil. Karena terlalu tegang hingga tanpa sadar sudah ada seorang lelaki yang berdiri di samping. Mengenal lelaki yang berdiri di luar mobil adalah lelaki yang saat itu berada di rumah Hillary, Jeceline cepat-cepat memakai masker, kacamata, dan menutupi kepalanya dengan syal menyerupai kerudung untuk menyembunyikan wajah aslinya. Dia menurunkan sedikit kaca mobil. “Ini bukan tempat parkir, Bu! Silakan cari tempat parkir lain!” Jeceline sontak mengangguk. Nada kasar dari lelaki itu menggerakkan jari tangan dan pergelangan kakinya untu
Bayangan Hillary di depan pintu menghilang begitu saja, meninggalkan Jeceline yang masih diam setelah mendapatkan kejutan. Ternyata Hillary telah mengetahui kedatangannya di desa waktu itu, tapi bagaimana bisa? Apa ayah Hillary yang memberitahu?Mobil itu!! Tiba-tiba Jeceline teringat tentang mobil yang sempat berpapasan saat berada di desa. Mungkin saja diam-diam Hillary telah mengawasinya. Dan kalau pun hal itu benar, berarti wanita yang dia hadapi tidak boleh diremehkan.*** “Seharian ini, kau sibuk ke mana saja? Kenapa sejak pagi nomor ponselmu susah untuk dihubungi?” Jemari tangan Jeceline yang mengetik keyboard laptop terhenti begitu mendengarkan pertanyaan yang tak pernah dia duga dari Kevin. Biasanya tidak seperti ini. Jeceline masih diam memperhatikan Kevin yang sibuk melepaskan jam tangan, dasi, serta setelan jasnya. Namun sorot mata penuh tanya tak lepas dari pandangan, menunggu jawaban dari Jeceline. “Um….” Jeceline berdiri dari kursi, “hari ini ada
“Sudahlah, lupakan saja,” tepis Jeceline memutar posisi tubuhnya, menghadap lurus ke plafon kamar. “Lupakan, katamu?!” Dalam sedetik posisi tubuh Kevin telah berada tepat di atas Jeceline. Tidak menindihnya, tapi justru memberikan kehangatan dan sentuhan isyarat di bawah sana yang mulai menegang. Di posisi ini, Jeceline sudah tahu apa yang sudah seharusnya dia lakukan. Bahkan tanpa Kevin bersuara, respon anggota tubuhnya juga sangat cepat. Tentu saja dia bukanlah seperti gadis di malam pertama. Dia jauh lebih berpengalaman. Apalagi setiap sentuhan jemari tangan Kevin semakin membangkitkan keinginan liar yang terpendam di saat-saat seperti ini. Kevin benar-benar hebat dalam hal ranjang. Dia sangat tahu persis di mana letak kelemahan Jeceline, dan titik kesenangan yang bisa membuatnya mengerang tertahan. Bahkan sampai menggeliat tak berdaya di atas ranjang. Permainan itu belum berakhir. Sebab Kevin belum membenamkan keperkasaannya di dalam sana. Dia masih sibuk m
Malam yang luar biasa membawa suasana hati sampai terbangun di pagi hari. Pemandangan pertama ketika Jeceline membuka mata, ada bidang datar polos yang begitu dekat. Pantas saja tubuhnya tetap terasa hangat, ternyata dia berada dalam rangkulan lengan berotot. Rahang tegas. Bibir membentuk sempurna dan tebal. Garis kening hitam menggaris melengkung, begitu rapih. Bahkan tidur saja tidak menghilangkan pesonanya. Perlahan tangan Jeceline mencoba keluar dari impitan kedua tubuh mereka yang melekat dalam rangkulan. Jari telunjuknya mendekat ke ujung hidung, hingga tanpa sengaja tersentuh dan membuat Kevin mengerutkan alis kening seolah merasakan ada yang mengusik tidur nyenyaknya. Jeceline menarik cepat tangannya, berpura-pura masih tertidur. Namun begitu sentuhan lembut terasa di bibir, sontak telah menggagalkan sandiwaranya. Mata Jeceline terbuka, menatap dekat dan sangat jelas manik hitam itu. “Hari ini banyak kegiatan, kau jangan keluar rumah dulu. Kalau ada sesuatu
“Meskipun begitu, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya menganggapmu sebagai mata pencariannya.” “Dia juga karena terpaksa, Selin,” protes Kevin menyela perkataan Jeceline. Tatapan tak senang itu muncul, “kalau aku tahu dia melakukan hal itu hanya demi mendapatkan uang untuk membiayai keluarga, tentu saja aku….” Kevin menjeda ucapannya, seolah tak ingin meneruskan pembicaraan. Jeceline masih memandang dalam diam, tapi saat dibantah emosinya memuncak lagi, “aku apa?” sorot mata tegas yang menyimpan kekecewaan tepat menuju ke manik Kevin. Jeceline masih menunggu jawaban, tapi bibir Kevin mengatup kaku. “Kau akan memberikannya uang yang sangat banyak begitu saja pada seorang gadis yang sama sekali tidak memberikan keuntungan terhadapmu? … atau kau akan menolak gadis secantik dia yang datang menjajahkan tubuhnya sendiri untuk kau nikmati?” lagi Jeceline melemparkan tumpukkan pertanyaan. Kevin menunduk penuh penyesalan. Dia menggelengkan kepala lalu meluruskan kembali w
“Ibu, cukup!” gertak Kevin dengan suara lantang. Aura di dalam ruangan semakin dingin. Kedua orang ini selalu tak pernah akur setiap kali bertemu. Untung saja mereka berada dalam ruang VIP, jadi tak akan ada yang melihat atau pun mendengar seperti apa konflik di antara ibu dan anak ini. Jeceline menenangkan Kevin dengan menyentuh pahanya, “tenanglah. Jangan bicara terlalu kasar pada Ibu.” Bagi Jeceline singgungan ini sudah menjadi makanan sehari-hari setiap kali bertemu dengan Leanora. Jadi telinganya sudah kebal, perkataan itu tak akan berpengaruh lagi. “Kalau kamu mendengarkan perkataan Ibu untuk mengikuti program bayi tabung, pasti sudah ada seorang anak dalam keluarga kita … kamu juga, Selin! Sama sekali tidak bertanggung jawab menjadi seorang Istri! Sudah tujuh tahun mengerami telur, tapi belum bisa menetaskannya!” Seakan menipis oksigen di dalam ruangan hingga membuat napas Jeceline terasa sesak ketika mendengar bentakkan Leanora. Kesabaran juga telah hab