Bunyi bel rumah telah berdering beberapa menit lalu bersamaan dengan suara Kevin yang memanggil-manggil dari luar pintu. Sementara Jeceline bergegas kembali mendekati pintu dan menyambut kedatangan Kevin dengan senyuman melengkung indah di sudut bibirnya.
Begitu membuka pintu, Kevin segera menyapa dengan kecupan lembut di dahi Jeceline, “I miss you so much.” Seperti biasa setiap kali Kevin habis melakukan perjalanan jauh karena panggilan tugasnya sebagai seorang anggota dewan di daerah, Jeceline selalu mendapatkan kecupan dan rangkulan hangat begitu dekap yang memakan waktu sekitar dua menit. Kerinduan Jeceline terhadap Kevin selama hampir dua minggu telah menutupi kenyataan pahit yang dibawa Hillary. Saat ini dia lebih memilih membiarkan dirinya melepaskan kerinduan dengan sang suami sebelum mempertanyakan hubungan gelap yang disembunyikan darinya. Hangat pelukan, dan aroma tubuh Kevin membuat Jeceline menarik napas dalam, menikmati bau khas dari sang suami tercinta. “Maaf sudah membuatmu menunggu lama di rumah,” ucap Kevin melerai pelukannya. “Jangan bergerak!” sela Jeceline menghentikan gerakan tangan Kevin yang hendak melepas rangkulan dari tubuhnya. Jeceline menarik napas panjang bersamaan dengan dieratkan kedua tangan yang melingkar di tubuh Kevin, “biarkan aku memelukmu sedikit lebih lama lagi.” Jeceline memejamkan mata. Sapuan jemari tangan Kevin terasa lembut mengelus rambut panjang Jeceline yang mengurai ke bawah. Sentuhan itu benar-benar mendamaikan hati, tapi saat bayangan ingatan rekaman Kevin bersama Hillary muncul kembali dalam pikirannya, suasana hati Jeceline kembali menjadi kacau. Sejak tadi dia mencoba melupakan, tapi mungkin luka yang baru didapatkan sudah terlalu dalam. “Aku punya kejutan untukmu!” Mereka berdua berucap secara bersamaan dengan kalimat yang sama juga. Keduanya saling melerai pelukan dan menatap dalam tawa kecil sebab masing-masing telah menyiapkan kejutan. Namun tentu saja Jeceline lebih memilih untuk mengetahui kejutan apa yang akan diberikan Kevin terhadapnya. Jeceline masih menunggu kejutan dari Kevin, tapi yang dilihatnya bukanlah hadiah berupa bentuk barang melainkan masih dalam teka-teki. Kevin merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum, “di dalam sakuku ada dua hadiah yang jelas sangat kau inginkan, tapi hanya satu yang boleh kau pilih. Saku di sisi kiri atau saku di sisi kanan, tentukan sendiri pilihanmu.” Jeceline menarik napas panjang, “asal kau kembali dalam keadaan selamat, itu adalah hadiah terbaik bagiku. Jika harus memilih, aku akan memilih kamu dibandingkan dengan hal apa pun yang ada di dunia, bahkan jika hal itu adalah impian terbesarku!” “Baik! Karena kau sudah memilih aku, maka semua yang aku miliki adalah milikmu juga. Kau boleh mengambil kedua hadiah ini,” balas Kevin tersenyum lebar melirik ke arah saku setelan jas di samping kiri dan kanan. Jeceline menolak untuk menerima hadiah Kevin dengan memberikan alasan yang sama seperti di awal. Namun tangan Kevin malah memegang pergelangan tangannya dan memaksa masuk ke dalam saku setelan jas dari sisi ke kiri lalu ke sisi kanan. Di sisi kiri terdapat kalung berliontin mutiara berwarna biru. Sudut bibir Jeceline perlahan terangkat sebab perhatian Kevin tak pernah luntur padanya. Kevin begitu antusias melihat ekspresi Jeceline, dia dengan segera mengambil kalung dari tangan Jeceline dan mengalungkannya di leher. “Ini sangat cantik begitu mengalung di lehermu,” puji Kevin menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Kev, apa kau tak mau melihat kejutanku untukmu?” tanya Jeceline mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Tentu saja aku juga tak sabar melihat kejutanmu, tapi sebelumnya kau harus melihat kejutan di saku kananku.” Kevin sekali lagi menggenggam pergelangan Jeceline dan membawa jemari tangannya menerobos masuk ke dalam saku jas Kevin. Jeceline mencoba bersabar, dia membiarkan Kevin menunjukkan kejutan kedua yang ada di dalam saku kanan. Jemari tangannya meraba sesuatu benda berupa kertas di dalam sana. Dia bahkan berpikir mungkin saja itu hanya sejumlah uang dalam bentuk cek. Namun saat Kevin menarik tangannya keluar, manik hitam Jeceline memaku ke selembar kertas kecil yang bertuliskan Maldives. Pergi ke Maldives melihat indahnya lautan di malam hari yang memancarkan cahaya biru merupakan keinginan terbesar Jeceline. Namun di situasi seperti ini sepertinya dia tidak akan bisa memiliki kesempatan itu. Jeceline tertawa kecil dengan mengangkat satu sudut bibirnya ke atas, “sayang sekali, sepertinya kesempatan pergi ke sana tidak akan pernah terjadi.” Kevin menatapnya heran, “jangan khawatir, aku sudah meminta libur panjang agar bisa memiliki waktu berduaan denganmu.” Jeceline menggelengkan kepalanya lalu menyerahkan kembali lembaran kertas yang dia pegang ke tangan Kevin. “Sayang, ada apa?” Kevin menahan tangan Jeceline dan menatapnya kebingungan, “please tell me.” Manik mata Jeceline menatap lama Kevin, bibirnya terasa berat untuk berucap, bingung harus memulai dari mana. Sementara Kevin masih memasang wajah kebingungan seolah tak menyadari sesuatu akan perbuatan yang dia sembunyikan. “Kau akan tahu setelah melihat kejutanku.” Sayangnya perkataan Jeceline malah dimaksudkan lain oleh Kevin. Dia melebarkan senyuman, “apa sudah ada kabar baik?” Pertanyaan itu bersamaan dengan lirikkan mata Kevin yang perlahan turun ke bawah dan berhenti tepat ke bagian perut Jeceline.“Kau boleh keluar sekarang!” Ucapan Jeceline yang begitu kuat bersamaan dengan munculnya Hillary yang keluar dari balik dinding pemisah ruangan. Jeceline terdiam, memperhatikan bagaimana reaksi Kevin begitu melihat Hillary dalam keadaan perut mulai membesar. Manik hitam Kevin membesar dan terpaku melihat Hillary yang berjalan mendekatinya. Dia menelan saliva. Udara di dalam ruangan yang tadinya sejuk kini mulai memanas hingga membuat peluh keluar di dahi. “Kevin, kau ke mana saja? Kenapa kau menghindariku?” sapa Hillary begitu berdiri tepat di hadapan Kevin dan di samping Jeceline. “Hill, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin mengerutkan kedua alis keningnya. “Aku kemari untuk meminta tanggung jawabmu sebagai Ayah biologis dari bayi dalam kandunganku!” Mata Kevin melotot, “apa katamu? Bayiku?!” Kevin menggelengkan kepalanya bersamaan dengan jari telunjuk yang ikut digerakkan di depan wajahnya, “kita sudah lama tidak berhubungan, itu tidak mungkin
“Jadi kau ingin aku tinggal serumah dengan selingkuhanmu?!” Jeceline memelototi Kevin sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Hillary. “Bukan seperti itu, Selin. Aku hanya memikirkan calon anak yang ada di dalam rahimnya.” Hati Jeceline semakin sakit mendengar pernyataan Kevin yang memberikan kepastian kalau benih dalam kandungan Hillary benar-benar adalah milik sang suami. Sekarang dia tak tahu harus turut merasa senang atau kecewa karena anak pertama Kevin bukan dilahirkan olehnya. “Baik! Kalau begitu kau tinggal memilih, aku atau calon anakmu di dalam rahim wanita ini!” Pilihan yang diberikan Jeceline jelas membuat Kevin bingung sebab kedua hal ini sangat penting dan berarti bagi kehidupannya. Ada istri yang sangat dia cintai dan ada calon bayi yang selama ini dinanti-nantikannya. “Tak perlu aku jawab, kau pasti sudah tahu pilihanku. Tapi Selin, bagaimana pun anak yang akan lahir ini bukan hanya anakku melainkan anakmu juga—” “Aku tidak akan per
Keputusan Jeceline jelas ditolak oleh Kevin, sebab dia sangat mencintai sang istri. Masalah perselingkuhannya hanya kekhilafan dan sekedar rasa kekaguman akan sosok Hillary. Meski setelah mengetahui kehamilan itu ada sedikit rasa bahagia di hati Kevin, tapi dia jelas mengerti bagaimana perasaan Jeceline. “Aku tahu aku salah, Selin. Tapi jika kau meminta cerai, aku tidak akan menyetujuinya! Jadi, jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku begitu saja!” “Kau egois! Sejak dulu aku selalu mematuhi dan memaklumimu, rasa cintaku padamu begitu besar, tapi apa yang kau balas?!” bentak Jeceline dengan suara lantang. Dalam pikirannya mulai timbul bayangan-bayangan tentang kedekatan dan kemesraan Kevin bersama Hillary. Terasa nyeri di pelipisnya karena menahan rasa yang bercampur aduk di dalam hati. Bahkan mata kini mulai membengkak dan terasa panas ketika memikirkan hubungan Kevin dan Hillary sehingga bisa menghasilkan buah dari perselingkuhan mereka. Jeceline terduduk k
Kevin terbungkam sejenak, begitu merasakan telapak tangan menyentuh perut Hillary yang mulai membesar. Rasa kesal di dalam hati perlahan mulai luntur begitu mengingat kalau saat ini Hillary sedang mengandung anaknya sendiri. Meski dalam hati tak terima jika anak pertama harus dilahirkan oleh kekasih gelap, tapi kerinduan yang sudah begitu lama ditunggu berhasil menyingkirkan semua pemikirannya. Sudut bibir Kevin perlahan melengkung. Bahkan telapak tangannya juga merespon cepat dengan mengelus pelan perut Hillary. Suasana saat ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Terasa berbeda dengan tawaran kebahagiaan yang telah lama dinantikan. “Kev, maaf sudah merusak hubunganmu dengan Bu Selin. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud melakukannya, tapi karena kau kehilangan kontak dan tidak meladeniku jadi....” Hillary menghentikan perkataannya dengan memasang wajah bersalah lalu menundukkan kepala. Kevin masih terdiam, mengingat bagaimana dia berusaha menghindari Hillary bebe
Biip ... bip ... bip.... Bunyi alat elektrokardiograf mengisi keheningan ruangan kamar. Jeceline terbaring tak sadarkan diri dengan perban putih yang melingkar di dahinya. Beberapa jam lalu seorang lelaki datang membawa dia ke rumah sakit dengan kondisi kecelakaan ringan yang melukai dahi, lalu pergi setelah Jeceline mendapatkan perawatan. Di luar gedung rumah sakit Kevin berlari cepat ke tempat informasi untuk menanyakan dimana Jeceline dirawat. Pagi ini saat dia bangun, sepuluh panggilan tak terjawab terpampang di layar ponsel. Di waktu yang sama, Julius menghubunginya dan memberitahukan tentang kecelakaan Jeceline tadi malam. Tanpa menunggu lama, Kevin segera pergi dan meninggalkan Hillary yang masih tertidur. Setelah berhasil mengetahui ruang kamar rawat Jeceline dari petugas rumah sakit, Kevin segera pergi ke tempat tujuannya. Begitu membuka pintu, sorot matanya memaku pada Jeceline yang saat itu terbaring tak sadarkan diri. Langkah kaki Kevin menjadi kaku.
Sudut bibir Kevin melengkung cepat begitu melihat anggukkan kepala dari dokter di hadapannya. Kebahagiaan besar ini membuat manik Kevin sampai berkaca-kaca karena mengetahui sebentar lagi dia akan mendapatkan anak dari istri yang sangat dia cintai. Penantian mereka tidak sia-sia, dan tentu saja kabar baik ini pasti akan menghilangkan kemarahan Jeceline terhadapnya serta membuat perasaan masing-masing bahagia. “Pak Kevin, aku ingin meminta maaf. Kami para dokter spesialis sudah berusaha sebaik mungkin, bahkan melakukan segala upaya untuk menyelamatkan bayi dalam kandungan Bu Selin, tapi semuanya sia-sia. Janin di dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan.” Mata Kevin terpaku memelototi sang dokter. Lengkungan di sudut bibirnya perlahan mendatar. Kebahagiaan yang baru saja didengarkan hilang dalam beberapa menit. “Dok, a-aku akan membayar berapa pun biaya yang harus dikeluarkan untuk keselamatan janin dalam kandungan istriku,” ucap Kevin dengan wajah serius dan tatapan teg
“Katakan pada Ibu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua? Kenapa Selin seperti membencimu?” “Ibu, tidak ada masalah apa-apa, hanya kesalahpahaman saja.” Kevin terpasa menyembunyikan masalah penyebab pertengkaran dia dan Jeceline, sebab hal ini sama sekali tidak boleh diketahui Leanora karena pasti hanya akan membuat masalah lebih besar lagi bagi Jeceline. Leanora masih menatap Kevin, mencoba mencari celah kesalahan di manik hitam anaknya. “Ini sudah tujuh tahun Kevin, kalian belum memberikan Ibu seorang Cucu.” “Ibu! Bukan hanya Ibu yang menginginkannya, kami berdua justru lebih besar keinginan untuk memiliki seorang anak. Kalau Ibu kembali hanya untuk mempermasalahkan hal ini, lebih baik Ibu kembali saja!” “Kau juga tahu alasan Ibu begitu antusias ingin menimang Cucu.” Raut wajah Leanora berubah menjadi serius bercampur pasrah, “selain karena kerinduan, ada masa depan kalian berdua yang aku pikirkan!” Kevin yang hendak membantah kembali terdiam samb
“I-ini....” Julius menjeda perkataannya dengan menatap bingung ke arah Kevin setelah melihat buket bunga yang hancur, “apa yang harus aku lakukan dengan bunga yang hancur ini?” “Selidiki siapa pengirimnya! Lakukan secara diam-diam tanpa melibatkan banyak orang.” Dari ekspresi Kevin, Julius mengangguk serius. Dia melihat kembali nama toko bunga yang terpampang di kartu ucapan lalu pergi dari sana. *** Beberapa jam kemudian Kevin telah mendapatkan kabar dari Julius tentang identitas pengirim bunga. Meskipun sudah mengetahui melalui rekaman CCTV di rumah sakit bahwa pengirim bunga itu adalah seorang lelaki yang menolong dan membawa Jeceline ke rumah sakit, tapi Kevin belum bisa tenang sebelum bertemu langsung serta menanyakan maksud dari lelaki penolong itu. Kevin pergi dari rumah sakit saat Leanora tiba. Dia meminta Leanora untuk menemani Jeceline dan menghiburnya beberapa hari ini karena ada kegiatan penting yang harus dia hadiri. Dengan begini tak ada lagi r
Tangan Jeceline bergetar.Sayang sekali semua adegan itu hanya dalam pikiran. Hatinya tak cukup kuat untuk bertindak jahat.Selang beberapa jam bel rumah berbunyi.Ting!Tong!Bunyi bel yang tak berhenti membangunkan Jeceline yang saat itu tengah tertidur.Tak mau Hillary mendahuluinya membukakan pintu, ia pun bergegas keluar dari kamar.Klek!“Paket Makanannya, Bu.”Jeceline menatap bingung ke arah tas belanjaan yang dijinjing lelaki pengantar pesanan.“Maaf, Pak. Tapi aku tidak memesan apapun.”Lelaki yang berdiri di depan Jeceline kembali lagi mengecek nama pengirim di ponselnya lalu menunjukkan riwayat pemesanan.Jeceline akhirnya sadar. Ia menerima pesanan dan membayarnya.“Apa itu pesananku?”Baru saja berbalik, Hillary telah berdiri di depannya.“Kau membeli sebanyak ini, apa bisa dihabiskan?”Hillary tersenyum menantang sambil mengelus perutnya, “ini bukan keinginanku. Aku juga tak mengerti dengan perasaan ini.”“Aku harap, Bu Selin bisa memakluminya,” tambahnya lagi lalu mera
Rasanya seperti mimpi buruk yang berulang kali muncul dalam alam bawah sadar, seolah tak ingin membuatnya tersadar. Begitu masuk ke dalam rumah, bayangan seseorang yang dia kenali duduk bersandar di sofa tepat di ruang tamu. Rasa lelah bercampur dengan kekesalan mendesak langkah kaki Serafhine menuju ke ruang tamu. “Bagaimana kau bisa masuk?” Pertanyaan Jeceline tersela oleh suara yang sangat dikenali. Sontak dia menengok ke samping tepat dimana suara itu berasal. “Selin, kau sudah pulang? Maaf karena panik aku lupa memberitahukan hal ini padamu.” Lupa? Bagaimana mungkin hal sebesar ini bisa dilupakan. Pikiran Jeceline mulai mengada-ada dengan alasan yang kurang tepat dari Kevin. Bahkan ketika hendak berucap, kesabaran Jeceline diuji lagi sebab Kevin berjalan melewatinya dan justru memilih duduk di samping Hillary sambil memberikan segelas air minum. Berharap pemandangan yang ada di depan hanya mimpi. Kevin tidak mungkin
Bentakkan Leonora membuat semua terdiam. Kedua telapak tangannya yang masih menempel di meja kaca dikepalkan kuat bersamaan dengan tatapan kesal ke arah Bryan. “Lelaki tertua? Kau lupa perbuatan apa yang kau lakukan hingga membuat keluarga kita hancur!? Perlu aku mengingatkanmu lagi?!” Kedua lelaki yang tadinya begitu percaya diri kini memasang ekspresi berbeda. Bryan memilih diam dan pergi dari sana, sedangkan Kevin yang berusaha untuk menenangkan diri justru tak tahan dengan perkataan yang mengingatkan kembali tragedi yang terjadi pada ayahnya hingga dia terpaksa pergi meninggalkan Jeceline dan Leonora. Suasana makan malam yang dikira akan penuh dengan kehangatan, ternyata hanya membangkitkan dendam membara di masa lalu. Ditatapnya manik hitam milik dari wanita yang dikenal tegas dan tak pernah menunjukkan kelemahan. Kecanggungan Jeceline berubah saat melihat sepasang mata Leonora memerah. Meski sengaja disembunyikan, tapi sebagai seoran
Bryan melerai rangkulannya lalu tertawa kecil melihat Leanora, “apa Ibu sedang mengkhawatirkanku? Terima kasih! Aku sangat terharu. Kalau aku tidak di penjara hal semenarik ini tidak akan pernah aku nikmati.” “Apa maksudmu, Bryan? Kau adalah anakku juga—” “Sayang sekali,” sela Bryan memotong perkataan Leanora, “ucapanmu ini sedikit tak masuk akal. Diakui anak olehmu setelah keluar penjara membuatku merasa berada dalam mimpi.” “Tapi tak masalah, semua itu hanya masa lalu. Sekarang adalah lembaran baru bagiku, dan bagi keluarga besar kita, bukan?” “Baik! Kalau begitu lakukan saja sesukamu,” sambung Jeceline mengakhiri topik pembicaraan, “aku dan Ibu akan menyiapkan makan malam kita. Kevin, kau juga harus beristirahat.” Jeceline melirik Kevin sebelum menarik tangan Leanora untuk pergi meninggalkan mereka berdua. “Kau lihat, sikap anak itu sama sekali tidak berubah! Dia sama sekali tidak menghormatiku dan tidak mengan
“Lama tak jumpa, Selin. Bagaimana kabarmu?”!!! Mata Jeceline memaku melihat seorang pria yang tak asing berdiri di depan, menghalangi jalannya. “Bryan?—” “Sudah begitu lama, aku pikir kau telah melupakanku, Selin. Tak menyangka kau mengenaliku. Apa kau tak merindukanku?” Jeceline masih terpaku. Potongan rambut dan bentuk tubuh Bryan telah banyak berubah, tapi tetap saja cara berbicara dan tindakannya tidak berubah. “Berhenti di sana!” cegat Jeceline mengarahkan telapak tangannya ke depan hingga menghentikan langkah kaki Bryan yang sebentar lagi memposisikan begitu dekat jarak mereka berdua. “Kenapa? Apa Nyonya Andriko malu karena berbicara dengan seseorang sepertiku? Apa ini alasannya kalian tak menjemput kepulanganku?” “Bukan seperti itu, Bryan. Aku tak mau menimbulkan rumor buruk jika kita berdua bertemu di tempat umum seperti ini. Kevin dan Ibu baru-baru saja ke penjara tapi kau telah keluar sebelu
Leanora menundukkan wajahnya, “anggap saja Ibu tak pernah mengatakan hal ini. Dan tolong jangan memberitahukan pada Kevin kalau Ibu telah mengatakannya padamu. Dia akan marah besar pada Ibu.” ?? Apa hubungannya dengan dia? Rahasia keluarga apa lagi yang tersembunyi? “Aku justru akan mencari tahu lewat Kevin jika Ibu tidak mengatakannya dengan jelas.” Sorot mata Jeceline menjadi tegas. Diamnya mengartikan penantian penjelasan dari Leanora. Beberapa detik berlalu Leanora terlihat gelisah dengan tatapan Jeceline. Baru kali ini dia bimbang untuk mengatakan sesuatu. Biasanya dia tak pernah mementingkan perasaan orang lain dengan kata-kata menusuk, tapi sekarang seperti ada yang membungkam bibirnya agar tak berucap. “Karena Ibu sudah datang, apa salahnya jika memberitahukan semua padaku.” “Selin, sebenarnya….” Leanora menghentikan perkataannya, dia merogoh ke dalam tas lalu mengeluarkan map dan segera disodorkan ke arah Jeceline. Tanpa ragu-ragu, Jeceline yang ter
Jeceline mengangguk beberapa kali. Senyum muncul di wajahnya, “sangat puas dan sangat menikmatinya.” “Hmp!” dengus Kevin menyingkirkan tangan Jeceline yang masih merangkul tubuhnya, tapi tindakan itu tak berhasil sebab tangan Jeceline semakin erat. “Kevin, apa kau pikir kekhawatiranku terhadapnya karena alasan lain?” “Aku tahu, tapi tetap saja aku tak suka kau mengkhawatirkannya. Bagaimana pun kalian berdua pernah memiliki perasaan satu sama lain. Aku takut—” “Tidak lagi, Kev!” sela Jeceline meletakkan cepat jemari tangannya menempel di bibir Kevin. “Perasaanku terhadapnya telah menghilang sejak lama. Sejak aku memilihmu untuk menjadi pasangan hidupku.” Jeceline berucap pelan hingga terdengar suara serak lembutnya. “Aku mengkhawatirkannya karena aku takut dia melakukan kesalahan yang sama, mencelakaimu seperti dulu. Bagaimana pun aku masih mengingat apa yang dia katakan di saat terakhir, aku takut dia membalaskan semuanya pada kita.” Kira-kira hanya sep
“Ibu, cukup!” gertak Kevin dengan suara lantang. Aura di dalam ruangan semakin dingin. Kedua orang ini selalu tak pernah akur setiap kali bertemu. Untung saja mereka berada dalam ruang VIP, jadi tak akan ada yang melihat atau pun mendengar seperti apa konflik di antara ibu dan anak ini. Jeceline menenangkan Kevin dengan menyentuh pahanya, “tenanglah. Jangan bicara terlalu kasar pada Ibu.” Bagi Jeceline singgungan ini sudah menjadi makanan sehari-hari setiap kali bertemu dengan Leanora. Jadi telinganya sudah kebal, perkataan itu tak akan berpengaruh lagi. “Kalau kamu mendengarkan perkataan Ibu untuk mengikuti program bayi tabung, pasti sudah ada seorang anak dalam keluarga kita … kamu juga, Selin! Sama sekali tidak bertanggung jawab menjadi seorang Istri! Sudah tujuh tahun mengerami telur, tapi belum bisa menetaskannya!” Seakan menipis oksigen di dalam ruangan hingga membuat napas Jeceline terasa sesak ketika mendengar bentakkan Leanora. Kesabaran juga telah hab
“Meskipun begitu, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya menganggapmu sebagai mata pencariannya.” “Dia juga karena terpaksa, Selin,” protes Kevin menyela perkataan Jeceline. Tatapan tak senang itu muncul, “kalau aku tahu dia melakukan hal itu hanya demi mendapatkan uang untuk membiayai keluarga, tentu saja aku….” Kevin menjeda ucapannya, seolah tak ingin meneruskan pembicaraan. Jeceline masih memandang dalam diam, tapi saat dibantah emosinya memuncak lagi, “aku apa?” sorot mata tegas yang menyimpan kekecewaan tepat menuju ke manik Kevin. Jeceline masih menunggu jawaban, tapi bibir Kevin mengatup kaku. “Kau akan memberikannya uang yang sangat banyak begitu saja pada seorang gadis yang sama sekali tidak memberikan keuntungan terhadapmu? … atau kau akan menolak gadis secantik dia yang datang menjajahkan tubuhnya sendiri untuk kau nikmati?” lagi Jeceline melemparkan tumpukkan pertanyaan. Kevin menunduk penuh penyesalan. Dia menggelengkan kepala lalu meluruskan kembali w