Malam hari setelah pemakaman Freddy, di ruang kerjanya yang sekarang digunakan Gerry, dia mengumpulkan para wanita di keluarganya, termasuk ibunya, Luciana Natasha.
“Mama, dengarkan saya!” Katanya. “Ayah sudah mempercayakan kepadaku keluarga ini. Dan saya sudah berjanji kepadanya untuk melindungi apa yang ayah lindungi selama hidupnya, yaitu keluarganya.”
Para wanita itu tidak tahu apa yang akan Gerry bicarakan. Mereka hanya diam mendengarkan apa yang Gerry katakan.
“Dua tahun yang lalu ayah sudah mendeklarasikan perdamaian saat pertemuan tiga keluarga. Tapi saat ini ayah sudah meninggal, pasti keadaannya akan sangat berbeda. Dan sepertinya akan menjadi lebih buruk.” lanjut Gerry.
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan?” tanya Jenny. “Semuanya baik-baik saja sampai saat ini.”
“Sebelum ayah meninggal, dia sudah memperingatkanku kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Dia juga membicarakan tentang penghianat yang
Keesokan harinya, Gerry mengantar keluarganya ke pelabuhan seorang diri. Jenny menangis sepanjang perjalanan, dalam hatinya tidak bisa menerima keputusan suaminya. Dalam hatinya, Gerry juga merasa bersalah, karena bagaimanapun dia yang membawa Jenny masuk ke kehidupan keluarganya, namun dia sangat mencintai istri dan keluarganya. Saat sampai di pelabuhan, Jenny tiba-tiba berkata; “Gerry, aku tidak bisa menahan untuk tidak mengatakan ini,” kata Jenny yang masih menangis. “Aku mohon, izinkan aku tetap tinggal bersamamu.” Gerry menatap iba kepada istrinya. “Tidak Jen.” Kata Gerry. “Dengarkan aku, sayang! Aku harus memastikan kalian semua tetap aman. Dan ini hal terakhir yang bisa aku lakukan untuk melindungi kalian.” “Tidakkah kau mengerti perasaanku, Gerry?” ucap Jenny menatap Gerry dengan tajam. “Aku mengerti Jen. Aku pun berat jika harus berpisah denganmu.” Kata Gerry memalingkan mukanya. “Aku hanya tidak ingin terjadi se
Satu jam kemudian, Gerry dan Jenny sampai di rumah. Beni sedang duduk di salah satu bangku taman. Gerry melambaikan tangannya ke arah Beni sesaat sebelum masuk ke dalam rumah. Melihat itu, dia menyusulnya.Di dalam ruangannya, Gerry duduk di kursi kulitnya. Dia bersama dengan Beni yang duduk di seberang meja kerjanya, dia mengangkat sebotol anggur dan menuangkannya ke gelas masing-masing.“Dimana Tommy, paman?” tanya Gerry sambil menuangkan anggur ke gelas Beni. “Aku juga sudah memintanya kemari.”“Aku juga tidak tahu.” Jawab Beni. “Tapi kalau kau ingin, aku bisa meneleponnya.”“Tidak perlu, paman. Abaikan saja dia antuk saat ini.” Kata Gerry kepada Beni sambil menyandarkan tubuhnya. “Bagaimana rencana pertemuan dengan keluarga Franky paman?”“Oh, mengenai hal itu, mereka mengundangmu ke Helix Bar, milik Andrew.” Jawab Beni. &ldqu
Mendengar penjelasan Dedi dan Dodi, Beni tampak khawatir. “Dia tidak bisa melakukan itu,” katanya sambil menoleh ke arah Tommy. "Itu merusak semua yang sudah aku atur untuknya."Tiga pengawal lagi muncul entah dari mana dan berdiri di sekelilingnya. Lalu Tommy berkata dengan lembut, “Aku rasa Ketua bisa melakukannya, paman.”Beni segera memahami semuanya. Dia tahu bahwa dia akan mati karena mencoba mengkhianati Gerry. Dia memandang Tommy dengan sedih dan berkata, “Katakan pada Gerry itu semua hanya bisnis. Dan saya selalu menyukainya sebagai keponakanku.” "Dia pasti mengerti akan hal itu, Paman.” Kata Tommy mengangguk.Beni berhenti sejenak. Dia pria pemberani, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menunjukkan kelemahan manusiawi kepada Tommy. “Tom, bisakah kamu membantuku?” Dia bertanya. “Sebagai teman?”Tom menggelengkan kepalanya dan mem
Garry sangat merasa terkejut sekaligus penasaran pada saat yang bersamaan menerima kiriman amplop itu. Dia berpikir orang yang mengirimnya pasti sangat mengenalnya, karena bahkan dia tahu bahwa Gerry akan makan malam di restoran itu, sedangkan Gerry memesan tempat itu hanya beberapa saat sebelum dia dan Jenny meninggalkan rumah.Gerry menggelengkan kepala menatap amplop di tangannya. Dia tidak mau terlena dalam pikirannya untuk menduga-duga.Perlahan dia membuka amplop itu. Dengan hati-hati memasukan jari-jarinya ke dalam amplom, dan menarik keluar isinya, yang ternyata dua lembar foto.Gerry manatap foto pertama. Dia menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas foto yang terlihat sudah sangat kusam itu. Gambar dalam foto itu menampakan dua pria paruh baya yang sedang bersulang, dan lima pria muda berdiri di belakangnya. Meskipun Gerry memperhatikannya lebih lama, dua pria paruh baya itu tampak asing baginya, juga lima pria yang agak kab
Satu jam kemudian, Gerry sudah di ruangannya bersama Dedi dan Dodi. Dia menceritakan setiap detail kejadian dan rencananya kepada si kembar. Bukan tanpa alasan, untuk saat ini orang yang bisa Gerry percaya didalam bisnisnya hanya mereka berdua."Ya, aku paham dengan situasinya, Ger." kata Dedi. "Apa kau sudah tahu tempat apa yang berada di alamat itu?""Aku sudah menyelidiki alamat ini tadi bersama istriku." Kata Gerry. "Jika alamat yang orang ini maksudkan sesuai dengan yang tertulis, maka itu adalah sebuah panti asuhan.""Panti asuhan?""Ya, benar.""Itu bukan sebuah tempat yang akan aku perkirakan sebelumnya." kata Dodi."Akupun sama." jawab Gerry menatap kosong ke arah dinding. "Aku bahkan sama sekali tidak dapat menyimpulkan apapun untuk saat ini dan aku juga tidak mau berasumsi. Jadi aku hanya harus datang kesana untuk mengetahui apa sebenarnya yang dia inginkan.""Tidakkah itu san
Gerry berjalan mendekat dan duduk di kursi berhadapan dengan pria itu. Dia hanya memandangnya tanpa berucap sepatah kata pun. Yang sesungguhnya Gerry tidak tahu harus mengatakan apa untuk menyapa pria yang belum pernah dikenalnya itu."Akus sangat yakin, kau tidak datang jauh-jauh kesini hanya untuk memandangku." sindir pria itu. "Bertanyalah apapun yang ingin kau ketahui, dan aku bersedia menjawabnya apapun pertanyaan yang kau ajukan." katanya sambil menuangkan teh kemudian di berikan kepada Gerry.Gerry memalingkan pandangannya ke bawah. "Sejujurnya saya tidak tahu harus mulai bertanya dari mana." katanya. "Sebenarnya, siapakah Anda? Dan kenapa anda mengundang saya kemari?""Hahaha... Kau bilang tidak tau harus bertanya dari mana, tapi langsung mengajukan dua pertanyaan sekaligus." katanya sambil tertawa. "Siapa aku, itu bisa aku jawab nanti. Bagaimana kalau aku mulai dengan, bahwa aku adalah teman lama Freddy Kurniawan.""
Ceritanya di mulai dari lima puluh tahun yang lalu. Ada dua kelompok gangster yang kuat menguasai kota. Agustinus Darwin pemimpin selatan, menguasai enam puluh persen wilayah kota bagian selatan, sedangkan Hendrik Suryadi pemimpin utara menguasai empat puluh persen wilayah. Selama beberapa dekade mereka berdua terus bersaing dalam semua bisnis mengakibatkan peperangan dan pertumpahan darah antar kelompok. Mereka juga yang mengatur perputaran ekonomi kota. Hingga dua puluh tahun yang lalu, mereka mengadakan pertemuan dan mendeklarasikan perdamaian sekaligus sebagai ajang mereka mewariskan kepada penerusnya. Darwin mewariskan bisnis dan wilayahnya kepada tiga putranya, Hendrik mewariskan untuk dua putranya. Kemudian sejak saat itu, kelima pewaris mulai mengelola bisnis dan wilayahnya masing-masing. Tetapi karena sifat tamak dan serakah manusia, menyebabkan perselisihan kembali terjadi. Mereka berlima memulai lagi peperangan dan pembunuha
Gerry mulai memahami alur cerita Albert. Satu per satu pertanyaan yang berputar di otaknya mulai terjawab dengan sendirinya. Hanya tinggal sedikit lagi untuknya bisa menyatukan kepingan misteri tentang asal usul kehidupan keluarganya. “Saya mulai mengerti paman.” Kata Gerry. “Yang masih menjadi pertanyaan saya, kenapa Anda dan paman Johan memberikan begitu besar kepercayaan untuk ayahku? Bagaimanapun ayah saya adalah orang lain di dalam keluarga kalian.” “Kamu tidak mengetahui betapa kuat dan cerdasnya ayahmu. Johan yang paling kuat diantara pemimpin yang lain pun mengakui kecerdasannya, begitu juga para pimpinan yang lain, termasuk aku. Berkat Freddy, kekuasaan Johan hampir tidak tersentuh oleh kelicikan Franky dan Dicky.” Jawab Albert tersenyum sinis. “Dan itu terbukti, aku sampai saat ini masih hidup. Keluarga Johan juga hidup dengan damai. Bahkan Freddy bisa tetap memimpin organisasi yang kami berikan untuknya dengan sangat baik sampai dia menin
DING DING Ponsel Tommy di atas meja berbunyi, layarnya menyala menampilkan sebuah nama yang meneleponnya. “Jenny.” Gumam Tommy menatap layar ponselnya mengenali identitas si penelepon. Tommy mengangkat ponsel dan mendekatkan ke telinganya setelah menerima panggilan telepon itu. Dia mengangkat salah satu tangannya sebagai instruksi agar orang-orang di sekitarnya diam. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Meskipun berada di dalam area night club, ruang VIP itu hampir sepenuhnya terisolasi dari kebisingan luar karena diselimuti peredam suara. “Apa kabar, Jen?” sapa Tommy dengan lembut. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Helen, Tom?” tanya Jenny terdengar lirih dari ponsel Tommy. Tommy sejenak terdiam tanpa ekspresi mendengar pertanyaan Jenny yang tanpa basa-basi. “Jawab aku, Tom.” Jenny mendesak Tommy. “Kau sudah mengetahui beritanya, Jen?” Tommy balik bertanya. “Apa maksudmu berbalik menanyaiku?” Jenny mulai terdengar marah. “Semua saluran berita menyiarkan ke
Gatot sedang rebahan dia atas sofa panjang sambil menonton televisi di ruang keluarga rumahnya ketika hari menjelang gelap. Tiba-tiba dia terperanjat duduk. Matanya terbelalak menatap tajam ke arah televisi yang menayangkan siaran berita tentang kecelakaan. Tanpa dia sadari tubuhnya mulai bergetar saat matanya fokus memperhatikan dua gambar potret wajah orang yang sepertinya dia kenali. Itu adalah dua foto wajah Jordi dan Helen, keponakan Gatot. “Tidak mungkin.” Bisiknya lirih kepada dirinya sendiri seolah dia belum bisa menerima kebenaran dari kabar siaran berita yang ditontonnya. Beberapa saat Gatot terpaku menyaksikan siaran televisi dengan tidak percaya. “Kakak ipar!” teriak Gatot yang masih duduk tercengang menatap televisinya. “Kakak ipar! Kakak ipar!” Gatot terus berteriak memanggil Luciana dengan panik karena tidak segera mendapatkan respons. Luciana keluar dari dalam kamarnya yang tidak jauh dari tempat Gatot berada. “Ada apa, Gatot? Kau berisik sekali” kata Luciana
Jordi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang melaju di tengah padatnya jalanan. Di dalam mobil suasana tampak canggung. Jordi dan Helen tidak berbicara satu sama lain. Sunyi. Hanya terdengar deru suara mesin kendaraan yang melaju di jalanan. Helen diam bersandar pada jok dan menatap keluar melalui kaca jendela mobil. Banyak hal yang sedang dia pikirkan. Jordi fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah Helen. Dia masih menganalisis sikap istrinya itu yang berbeda setelah bertemu dengan Albert. Jordi merasa seolah tidak mengenal dengan sosok cantik yang duduk di sampingnya. Ding Ding Ponsel Jordi berbunyi memecah keheningan. Rangkaian nomor terpampang di layar. Itu sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenanya. Helen seketika melirik layar ponsel suaminya dengan ekspresi penuh selidik. “Kenapa tidak diterima?” tanya Helen saat melihat Jordi yang hanya menatap layar ponselnya. “Oh. Hanya sebuah nomor, aku tidak mengenalnya.” Jawab Jordi ragu-ragu. “Mungkin
Jordi dan Helen memasuki sebuah rumah mewah yang terletak di pusat kota ketika hari menjelang siang. Itu adalah rumah Albert. Albert yang sudah menunggu kedatangan mereka sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Beberapa pria berdiri di belakang Albert. Albert bangkit dan tersenyum menyambut Jordi dan Helen. Jordi membalas senyuman itu saat menjabat tangan Albert. Mereka terlihat sangat akrab. Sedangkan Helen tampak canggung melihat pemandangan itu. Dia awalnya merasa biasa saja, namun sekarang dia merasa ada yang aneh. Jordi sebelumnya bilang tidak mengenal pria paruh baya itu. Namun, ketika Helen memperhatikan lebih lama Jordi dan Albert, mereka tampak mirip. ‘Siapa pria ini?’ ‘Apa hubungan dia dengan Jordi?’ “Jadi kamu Helen?” pertanyaan Albert membuyarkan pikiran Helen. Helena memaksakan senyumnya. “Betul.” Jawabnya singkat. Mereka berjabat tangan sejenak. Albert menatap lekat mengenali Helen. Secara naluriah dia mengagumi sosok cantik dan tenang yang diperlihatkan oleh
Jam di pergelangan tangan Dedi menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima menit dini hari, ketika dia dan Dodi selesai mengemasi barang-barang bawaannya. Dedi dan Dodi sudah menggendong ransel masing-masing dan bersiap untuk pergi dari rumah Jhony. “Kami sudah siap berangkat, paman.” Kata Dedi hendak berpamitan kepada Jack. “Apakah Anda yakin akan tetap di sini?” Tanyanya untuk memastikan kembali keputusan Jack. “Pergilah! Jaga diri kalian baik-baik. Dan kalian tidak perlu mengkhawatirkanku.” Jawab Jack meyakinkan si kembar. “Baiklah, paman. Anda juga harus menjaga diri.” Kata Dodi tersenyum kepada Jack. “Jika terjadi sesuatu, Anda bisa menghubungi nomor saya, paman.” Kata Dedi mengingatkan Jack. “Kami akan segera membicarakannya dengan Gerry sesampainya di sana.” Jack tersenyum kepada si kembar. “Berhati-hatilah!” katanya dengan singkat sesaat sebelum akhirnya Dedi dan Dodi pergi menin
Setelah Tommy dan anak buahnya pergi, terlihat jelas sekali Jack menampilkan ekspresi wajah yang tidak senang. Dia merasa tidak puas atas perlakuan Tommy kepadanya. Begitu juga dengan Dedi dan Dodi. Namun, mereka tidak memikirkan tentang terbongkarnya persembunyiannya dari Tommy, melainkan mereka lebih memikirkan semua ucapan Tommy sebelum dia pergi. Untuk beberapa waktu mereka bertiga hanya duduk dalam keheningan di dalam ruangan itu. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, paman?” tanya Dedi yang memecah keheningan meminta pendapat dari Jack. Pertanyaan dari Dedi seketika menyadarkan Jack dari lamunannya. “Aku juga sedang memikirkannya.” Jawab Jack yang masih terlihat kebingungan. “Aku masih memikirkan perkataan Tommy. Entah kenapa aku merasa dia orang yang bersih.” Kata Dedi menyampaikan asumsinya. “Ya. Aku juga.” Dodi menimpali untuk mene
Jack tidak menjawab pertanyaan dari Tommy. Dia membiarkan Tommy meluapkan segala bentuk emosinya. Dia berpikir dengan cara itu mungkin Tommy akan dapat menenangkan dirinya sendiri. Jadi Jack hanya tetap diam. Namun, apa yang dilakukan Jack adalah sebuah kesalahan. Tommy terlalu sakit hati menerima kenyataan. Dan sakit hati yang dia rasakan tidak dapat terobati semudah yang dipikirkan oleh Jack. Bahkan tidak hanya hatinya, tapi egonya juga terluka. “Kenapa kau tidak menjawabku? Apa kau mencoba mempermainkanku?” Tommy terus berteriak kepada Jack berharap mendapatkan penjelasan untuk memberi makan emosinya. “Kau tahu? Aku semalaman berkendara mengelilingi kota sambil menangis saat mendapatkan kabar kematianmu.” Kata Tommy sambil menunjuk ke arah Jack. “Ternyata aku salah. Kau hanya menganggapku seperti orang bodoh.” Tommy semakin brutal. Setelah selesai mengucapkan kalimatnya, dia memukul Jack dengan sekuat tenaga tepat
Jack dan si kembar yang masih berbincang di dalam rumah Jhony tidak menyadari bahwa sekelompok orang sedang berjalan menghampiri mereka. Tommy menyadari ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah Jhony ketika dia mendapati pintu utama rumah itu dalam keadaan tidak terkunci. Perlahan Tommy membuka pintu rumah. Dia memicingkan kedua matanya menatap tajam ke arah dalam rumah. Tidak ada tanda-tanda aktivitas seorang pun, bahkan tidak ada suara yang terdengar dari dalam rumah. Suasana rumah itu begitu gelap dan hening. Namun itu tidak menyurutkan rasa kecurigaan Tommy. “Sepertinya apa yang kau katakan benar, Rey.” Kata Tommy berbisik-bisik. “Ada seseorang yang memasuki rumah ini.” “Apakah mungkin itu maling atau perampok, bos?” Tanya Rey berbisik kepada Tommy untuk memastikan dugaannya. Tommy menatap tajam ke arah Rey. “Sejak kapan kau menjadi bodoh, Rey?” Tanya Tommy dengan suara pelan namun teras
Jack menemui Dedi dan Dodi sesuai kesepakatan mereka. Sesaat sebelum tengah malam, Jack sudah memasuki rumah Jhony. Sebuah rumah mewah, namun tampak menyeramkan jika dilihat dari luar saat malam hari. Begitu gelap tanpa penerangan lampu, seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Disalah satu ruangan di dalam rumah itu, Jack bersama Dedi dan Dodi sedang bertemu. Mereka bertiga tengah duduk dan berbincang di ruangan bekas tempat kerja Jhony. “Hal penting apa yang ingin Anda bicarakan dengan kami, paman?” tanya Dodi tanpa berbasa-basi sesaat setelah mereka saling berbicara tentang kabar masing-masing. Jack tersenyum sebagai tanggapan atas pertanyaan Dodi. “Sebelum kita membicarakan hal itu, aku ingin mengetahui apa yang Gerry perintahkan kepada kalian?” kata Jack balik bertanya. Dodi mengalihkan tatapannya ke arah Dedi, sebagai tanda agar saudara kembarnya itu yang memberikan jawaban ata