“Dharu, kamu tidak kenapa-napa?” Renata langsung mengecek tubuh Dharu untuk memastikan kalau putranya baik-baik saja.Dharu malah keheranan dengan sikap sang mama, hingga kemudian berkata, “Dharu baik-baik saja.”Renata bernapas lega melihat Dharu yang baik-baik saja. Hingga teringat Dhira.“Mana Dhira?” tanya Renata panik.Baru saja Dharu akan menjawab, terdengar suara Dhira yang berteriak dari dalam.“Dhira!” Renata panik dan langsung menyerobot masuk.Dharu terkejut dan geleng-geleng kepala, tampaknya paham kenapa sang mama sangat panik.Renata masuk dengan cepat mencari keberadaan Dhira, hingga dia melongo melihat Dhira dan Evan.Dhira dan Evan menatap bersamaan ke Renata yang baru saja datang, mereka juga bingung kenapa Renata memasang wajah panik.“Mama kenapa? Mau es krim?” tanya Dhira sambil menunjukkan es krim di tangan.Dhira berteriak karena diangkat Evan dan didudukkan di meja pantry. Evan sendiri sudah bisa menebak jika Renata pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak.“Mau
“Apa maksudmu tidak yakin dengan wanita itu?” tanya Max yang baru saja tiba dan langsung pergi ke apartemen Evan.Evan mendesau dan terlihat bingung, hingga dia mengguyar kasar rambut ke belakang.“Entahlah, aku juga tidak tahu.”Max mengerutkan alis mendengar ucapan Evan, bagaimana bisa tidak tahu, jika dia sendiri yang berkata bimbang.“Sejak kapan kamu jadi plin-plan?” tanya Max menatap Evan aneh.Evan mengusap kasar wajahnya, kemudian berkata, “Apa kamu tidak bisa, jika tidak bertanya? Setidaknya dengar dulu ceritaku.”Max langsung mencebik mendengar ucapan Evan, hingga akhirnya memilih diam sambil bersedekap dada dan menatap Evan.“Lanjutkan, aku akan mendengarkan,” ujar Max pada akhirnya. Dia mengambil jeruk, mengupas dan memakannya sambil mendengarkan Evan.Padahal Max bukan seorang psikiater, tapi demi sahabatnya dia harus mau mendengar keluh kesah Evan.“Entahlah, Max. Aku juga bingung. Aku mencoba untuk menerima, bahkan aku sudah memiliki anak, lalu kemari dan meyakinkan jik
“Akhirnya aku bertemu denganmu. Aku takut salah alamat.” Renata tergagap dan tidak bisa berkata-kata, bingung saat melihat pria yang menunggunya, bicara dan kini berjalan ke arahnya. “Re, kenapa kamu hanya diam?” tanya Stef menatap heran, seolah Renata tidak senang dengan kedatangannya di sana. “Stef, apa yang kamu lakukan di sini?” Bukannya menjawab pertanyaan Stef, Renata malah melontarkan pertanyaan lain. “Kamu tidak senang?” Stef melihat ekspresi keterkejutan berlebih di wajah Renata. Renata tersadar jika reaksinya berlebihan, hingga dia pun tersenyum dan mencoba bersikap biasa. “Bukan begitu, aku hanya terkejut kamu tiba-tiba di sini,” ujar Renata sedikit canggung. “Ayo duduk!” Renata akhirnya mengajak Stef duduk. Mereka pun duduk bersama, Renata benar-benar merasa canggung karena sekarang status mereka sudah berbeda. Stef memandang Renata yang memang berubah, tidak seperti dulu di mana Renata lebih banyak bicara. “Apa kamu ada urusan di kota ini?” tanya Renata untuk sek
Renata terkejut mendengar semua ucapan Stef, tapi kemudian tertawa seolah sedang menganggap apa yang dikatakan Stef hanyalah sebuah candaan semata.Stef pun bingung kenapa Renata malah tertawa, ditatapnya wanita yang disukainya sejak kuliah hingga sekarang itu masih tertawa.“Kenapa kamu tertawa, Re?” tanya Stef keheranan.Renata berusaha menghentikan tawa, hingga menatap Stef yang terlihat serius. Dia menyadari jika apa yang dikatakan oleh Stef bukanlah sebuah candaan, tapi Renata tidak mau menebaknya terlebih dulu.“Candaanmu tidak lucu, jangan bercanda lagi,” ucap Renata kemudian mengambil cangkir teh miliknya dan berusaha untuk menghindari tataoan Stef.“Aku tidak bercanda, Re. Aku menyukaimu sejak dulu, apa pun yang terjadi kepadamu dulu, aku tidak peduli, karena bagiku kamu masih Renata yang akan selalu mengisi hatiku.”Renata berhenti minum, ditatapnya Stef yang terlihat begitu serius. Renata pun meletakkan cangkir yang dipegang di meja, kemudian menatap Stef.“Stef, ini tidak
“Kenapa kamu di sini?” tanya Renata yang ingin mengambil Dhira dari gendongan Evan, tapi ternyata Dhira menolak.“Hanya kebetulan di sini,” jawab Evan masih menggendong Dhira, tapi tangan yang memegang hasil kesehatan Dharu, langsung terulur ke Max, agar sahabatnya itu mengambil amplop itu.Renata melihat logo rumah sakit di amplop yang diulurkan Evan ke Max, tapi hanya berpikir jika mungkin itu hasil tes kesehatan Evan.“Dhira, kita masuk dan lihat Dharu, yuk.” Renata hendak mengambil Dhira dari gendongan Evan.“Ga mau, Dhira mau sama Papa.” Dhira semakin mempererat rangkulan kedua tangan di leher Evan.Stef terkejut mendengar Dhira memanggil Evan dengan sebutan papa, hingga tatapannya kini penuh dengan tanda tanya akan hubungan di antara mereka.Renata malah bingung, kenapa Dhira lebih memilih Evan.“Kita masuk bersama,” ucap Evan saat melihat Renata yang bingung.Renata hanya mengangguk dan berjalan terlebih dahulu, sedangkan Evan sempat melirik Stef, sebelum kemudian berjalan meny
“Ap-apa maksudmu?” tanya Renata seolah tidak bisa menerima jika Evan mengaku sebagai ayah Dhira dan Dharu.Evan mengalihkan pandangan dari Renata, otaknya sedang menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Renata. Dia sudah terlanjur mengakui jika Dhira dan Dharu adalah anaknya, tidak mungkin Evan mengelaknya.“Aku adalah ayah biologis Dhira dan Dharu, Re.”Beberapa detik setelah kalimat pernyataan itu lolos dari bibir Evan, sebuah pukulan langsung mendarat di pipi pria itu. Stef tidak terima jika Evanlah yang menghancurkan hidup Renata, hingga secara impulsif memukul pipi Evan.Renata begitu syok, bagaimana mungkin Evan adalah pria yang menidurinya malam itu.“Bagaimana bisa kamu melakukan itu, hah?” Stef murka hingga kembali melayangkan pukulan ke pipi Evan, sampai pria itu terjatuh.Tentu saja hal itu membuat gaduh IGD dan beberapa perawat laki-laki datang untuk melerai.Evan tidak melakukan pembelaan, karena bicara dalam kondisi sekarang malah akan semakin membuat gaduh
Stef menatap benci ke Evan, baginya sepupunya itu sudah menghancurkan hidup Renata, membuat wanita itu menghilang dan kini memiliki beban.“Bagaimana bisa kamu melakukan itu?” Stef berdiri berseberangan dengan Evan. Dia melontarkan pertanyaan tanpa melihat situasi. Egois memang, tapi semua itu dikarenakan kekecewaannya terhadap Evan yang dianggapnya sangat baik dan berwibawa selama ini.Evan menatap tajam ke Stef, hingga kemudian berkata, “Apa kamu tidak tahu tempat untuk membahas hal seperti itu?”Evan kemudian melirik Dhira yang sejak tadi menggenggam tangannya karena takut Renata mengusir Evan.Stef membuang napas menggunakan mulut seolah mencibir Evan, bahkan tersenyum miring sambil menggelengkan kepala. Kesal karena Evan terlihat begitu baik selama ini, tapi semua pandangan itu sirna setelah mengetahui apa yang sudah Evan lakukan ke Renata.Pintu inap kamar Dharu terbuka, Renata keluar dari sana dengan tatapan sendu, hingga pandangan matanya langsung jatuh ke Evan dan mereka bert
“Aku tidak ingin membahas masa lalu untuk saat ini. Aku sadar jika salah sebab sudah menghancurkan hidupmu, tapi semua itu di luar kuasaku, sebab aku pun dijebak,” ujar Evan menjelaskan, ketika melihat amarah dalam tatapan Renata. Renata menghela napas kasar mendengar ucapan Evan, dia tersenyum getir karena tidak menyangka Evan juga sangat egois. “Jika kamu sadar, seharusnya kamu tahu kalau apa yang terjadi sekarang, akibat masa lalu. Apa sekarang kamu mau mengatakan kalau tidak perlu membahas masa lalu!” Renata emosi dan bicara dengan nada tinggi. Evan menatap Renata yang sudah terlampau emosi. Dia tidak membalas ucapan wanita itu sebab tidak ingin semakin membuat perselisihan di antara keduanya. “Meski kamu ayah biologis mereka, tapi mereka tidak tahu. Kumohon, anggap mereka tidak ada. Pergilah dari sini dan jangan pernah mengganggu kehidupan kami lagi. Kami sudah hidup tenang selama ini, meski tanpa tanggung jawabmu. Jadi kumohon, biarkan semua kembali seperti dulu,” ujar Renata
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan