Setelah membicarakan semuanya pada Alana, Yasmin tetap pulang bersama Alana. Wanita itu teguh memeluk Yasmin dan ia tidak akan membiarkan Yasmin hidup sendirian dalam keadaan seperti ini. Dan Yasmin sudah berjam-jam memikirkan, menimbang-nimbang keputusannya. Ia tengah duduk di bangku teras taman bersama dengan Ayumi. "Kakak yakin mau pergi dan tinggal sendiri?" tanya Ayumi cemberut memegangi lengan Yasmin. "Yakin. Sebelumnya aku juga tinggal sendirian kok, jadi... Eumm, tidak perlu cemas, Ayumi!" Yasmin terkekeh melihat ekspresi sedih Ayumi. "Pasti gara-gara Kak Kenzo kan?" "Sampai kapanpun aku tidak mau banyak menyalahkan dia. Kesalahan ini diciptakan bersama-sama, aku tidak suka salah salahan," jawab Yasmin. "Kak Yasmin baik sekali sih..." Ayumi memeluk Yasmin. Selama di sini, Yasmin memang tidak pernah kesepian sama sekali. Adanya Ayumi yang menemaninya, Alana yang begitu perhatian, Alex yang sama perhatian, dan Kenzi yang selalu kontrol bertanya ini itu tentang hari-hari Y
Pagi-pagi sekali, Yasmin pulang ke rumahnya diantarkan oleh Kenzi dan juga Alana. Lantaran Alex semalam sudah pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Kenzi awalnya protes tidak mengizinkan saudari iparnya itu pulang dan tinggal sendirian. Lebih lagi setelah ia melihat kondisi tempat tinggal Yasmin saat ini. "Ka-kau serius akan tinggal sendirian di sini, Yas?!" pekik Kenzi menatap kedua mata Yasmin yang berkilatan. Yasmin mengangguk kecil. "Iya Kenzi, aku mau tinggal sendiri saja." Wajah Kenzi menjadi begitu sedih, laki-laki itu mencekal kedua pundak Yasmin dan dipeluknya. Bagaimanapun juga, Yasmin sudah seperti saudaranya sendiri. Di samping Yasmin, Alana diam sama sekali tidak mengatakan apapun lagi. Mungkin setelah ini akan marah pada anaknya, pada suaminya, dan Alana akan melampiaskan kekecewaan di hatinya pada siapapun di rumah. "Kalau ada apa-apa kau bisa menghubungiku, aku selalu ada dua puluh empat jam penuh untukmu!" seru Kenzi menangkup satu pipi Yasmin. "Aku akan serin
"Yasmin, ke mana saja kau tidak pernah terlihat, tahu-tahu kau sudah hamil dan menikah tidak mengundangku, begitu!"Seorang wanita berkacak pinggang menatap Yasmin dengan wajah kesal. Namun Yasmin menanggapinya dengan senyuman. Sudah biasa Liliana mengomeli Yasmin seperti ini. Sebagai teman dan sekaligus sudah Yasmin anggap sebagai Kakak, Liliana sejak dulu senang membantu Yasmin. "Emm... Itu rahasia Kak Liana," jawab Yasmin terkekeh. Helaan napas panjang terdengar dari Liana, dia menarik satu kursi dan membereskan banyak kertas di atas meja. Wanita itu memiliki sebuah usaha yang sudah maju, percetakan, dan juga galeri komik, novel, buku, dan banyak lagi. Dia tidak pernah cocok dengan banyaknya karyawan yang ingin bekerja dengannya, dia hanya suka dengan kinerja Yasmin. "Aku itu sejak dulu ingin menghubungimu, tapi aku tidak punya nomor kontakmu, sudah beberapa bulan kau hilang seperti ditelan bumi," ujar Liana duduk menyilangkan kakinya di hadapan Yasmin seraya menyangka teh. "
Hari berjalan dengan cepat, tak terasa sudah lima hari Yasmin tanpa Kenzo. Gadis itu tetap menekan kuat dirinya untuk bertahan sendiri, dan hidup dalam kesendirian. Pagi ini Yasmin hendak berangkat kerja, ia mampir membeli sebuah sarapan, hanya berupa wafle dan sebuah minuman hangat. Di sana, Yasmin harus mengantre lebih dulu. "Lama sekali," lirih Yasmin sembari berdiri membawa tasnya. "Yasmin..." Suara seorang laki-laki memanggilnya dengan pelan. Mendengar namanya disebut, Yasmin sontak menoleh ke belakang dengan cepat. Wajah gadis itu berubah cerah begitu ia tahu siapa yang memanggilnya."Mahesa... Sedang membeli makanan juga, ya?" tanya Yasmin menatap laki-laki itu. "Heem, kau ke sini dengan siapa? Mana Kenzo?" tanya laki-laki itu. Pertanyaan Mahesa membuat Yasmin diam dan gadis itu terkesan enggan menjawabnya. "Yas," lirih Mahesa. "Aku... Aku dan Kenzo tidak lagi tinggal bersama. Sekarang aku pulang ke rumahku sendiri, ada di sana!" Yasmin menunjuk ke arah sebuah jalan gan
Yasmin berjaga di bagian depan, gadis itu kini berjalan mengelilingi rak buku dan membersihkannya. Meskipun sangat sepele, pekerjaan ini sangat Yasmin sukai. Karena ia tidak ditempatkan di satu pekerjaan itu-itu saja, melainkan ia juga mengerjakan yang lainnya. Sesungguhnya Yasmin sangat berbakat. "Yasmin, aku pergi keluar beli makan siang dulu ya, aku tinggal sendirian tidak papa, kan?" Liana menatap Yasmin yang berdiri di dekat beberapa tak buku. "Iya Kak Li, tidak papa." Wanita itu mengangguk dan langsung berjalan keluar meninggalkan tokonya. Yasmin sendiri melangkah ke tempat kasir usai bersih-bersih, ia duduk diam di sana seraya mengawasi beberapa anak muda yang masuk ke dalam sana untuk membeli peralatan buku, komik, dan banyak lagi. Yasmin yang tengah asik memperhatikan, senyumannya tiba-tiba luntur saat ia melihat Kenzo dan Hauri berada di sebuah cafe yang bersebrangan dengan toko milik Liana. "Mereka," lirih Yasmin menatapnya. "Mereka mungkin membahas hal kerja, dan...
"Kau terlalu ikut campur, Mahesa!" Kenzo menyentak Mahesa dan mendorongnya hingga laki-laki itu nyaris saja terjatuh. Tiga orang di cafe yang tadinya menunggu Kenzo, mereka pun kini langsung menghampiri dengan cepat. Mereka melerai Kenzo dan menariknya untuk tidak memperpanjang masalah. "Pak Kenzo sudah, jangan ribut lagi," seru Hauri, gadis itu memeluk Kenzo di hadapan Yasmin yang menangis memeluk Liana. Di depannya, Mahesa lantas berbalik menatap Yasmin. "Yas, kau tidak papa? Tidak ada yang terluka, kan?" tanya laki-laki itu dengan wajahnya yang sangat cemas. Yasmin menggelengkan kepalanya pelan. Ia menatap Hauri yang masih setia memeluk Kenzo. Gadis itu menatap sengit pada Yasmin. "Bu Yasmin harusnya tidak seperti ini!" pekik Hauri menuding Yasmin. "Harusnya sebagai wanita yang baik Bu Yasmin bisa menghargai perasaan Pak Kenzo!" "Heh! Siapa kau hah?! Kau hanya asisten, kau hanya bawahan yang sangat rendah! Jaga mulutmu!" teriak Mahesa menuding balik Hauri. Saat itu juga, K
Rumah berlantai dua, megah, mewah, dan hidup dengan fasilitas yang lengkap tanpa harus Yasmin bekerja keras. Gadis itu diam memikirkannya, setelah Alana dan Alex pulang, Yasmin segera masuk ke dalam kamar duduk di depan jendela kamarnya sembari makan dan berpikir keras. 'Apa yang harus aku jawab?' batin gadis itu bingung. Yasmin menggembungkan pipinya yang penuh dengan makanan. Ia memang gampang sekali lapar, dan gadis itu mendadak merasa kenyang begitu pikirannya sedang bekerja keras. "Mungkin aku besok harus bilang pada Kak Liana, setidaknya aku tidak berhenti bekerja." Yasmin menatap seisi rumah kecilnya. Diam tatapannya jatuh pada sebuah cermin, diusapnya perut yang kini membuncit. "Bagaimanapun juga, aku pasti membutuhkan bantuan seseorang suatu hari nanti. Kalau aku sendirian begini, bagaimana? Siapa orang yang akan menolongku saat aku tiba-tiba akan melahirkan?" Kacau, pikiran Yasmin menjadi sangat berantakan. Gadis itu memukuli kepalanya dengan pelan dan mendengus kasar
"Kak Liana... Aku boleh bertanya tidak?" Yasmin duduk menatap Liana yang tengah mengepak beberapa komik di atas meja besar. Wanita berambut panjang itu menoleh dan mengangguk. "Boleh, ada apa Yas?" "Itu, semalam Mamanya Kenzo ke rumah." Kegiatan Liana langsung terhenti, wanita itu menatap Yasmin dengan tatapan lekat. "Lalu?" "Dia memintaku tinggal di tempatnya, Papanya akan membelikan aku rumah, memberikan aku pembantu dan sopir, setidaknya mereka tidak ingin aku tinggal di rumah. Tapi-""Tidak mungkin kalau Kenzo tidak tahu, lambat laun dia pasti akan tahu, Yas." Liana menjelaskan. Wajah Yasmin kembali sedih, ia meletakkan bolpoin yang ada di tangannya. "Lalu, aku harus bagaimana ya, Kak?" Decakan lidah sebal terdengar dari Liana. Baginya, Yasmin itu sangat bodoh dan polosnya keterlaluan. Sejak awal-awal Liana sudah memperingatkannya lebih baik untuk tinggal bersamanya saja di sana, tidak mungkin dan tidak akan sampai hati bagi Liana menyakiti Yasmin. "Berapa kali Kakak b
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu