Hari sudah malam, Alana baru saja menutup pintu kamar si kembar setelah dua buah hatinya terlelap. Ia berjalan menuruni anak tangga menuju ke lantai satu. Alana membuka sedikit pintu ruangan kerja Alex, nampak calon suaminya itu tengah sibuk dengan pekerjaannya dan juga telepon dengan seseorang. "Aku tidak bisa datang tepat waktu Ma, mungkin kalau Alana bisa. Biar besok dia datang dengan anak-anak, nanti aku bujuk dia. Mama jangan khawatir, istriku tidak akan menolak selagi Mama baik!" Alana mengerutkan keningnya bingung, ia tidak tahu apa yang Alex bahas dengan Mamanya di telepon. Setelah mengintip beberapa menit, barulah Alana membuka pintunya. Hal pertama yang menyambut Alana adalah senyuman laki-laki itu yang hangat."Sini Sayang," panggil Alex melambaikan tanganya. Alana berjalan mendekat, ia berdiri di belakang Alex dan melingkarkan kedua tangannya merangkul pundak Alex, juga menghadiahi kecupan di pipinya berkali-kali. "Masih lama? Beberapa hari ini kau terus menerus lemb
Menuruti apa yang diminta oleh calon suaminya, Alana siang ini datang ke acara makan siang bersama Mama mertua. Renata yang mengundang Alana untuk datang ke sebuah hotel megah di Barcelona. Bahkan saat ini cuaca hujan deras, Alana tetap berangkat. Ia tidak mau mengecewakan Alex bagaimanapun caranya. "Akhirnya kau datang juga, aku pikir kau tidak akan datang!" Suara dingin Renata sukses mengejutkan Alana. "Mana anak-anakmu?!" "Mereka tidak mau ikut Ma, di rumah ada temannya. Cuaca juga sedang hujan deras, jadi mereka di rumah sama Tery dan Rivaldo," jelasnya pada wanita itu. Alana mengikuti langkah Renata dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Ternyata di sana Renata mengundang banyak sekali teman-temannya. Mereka dari golongan wanita-wanita berkelas. Semua wanita yang ada di sana menatap ke arah Alana yang berdiri dengan balutan dress santin berwarna biru, rambut panjang hitam menggelombang yang tergerai indah. Dia sangat anggun dan cantik. "Oh, jadi ini calon menantumu, Ren?" tany
Sejak sampai di rumah, Alana ditemani dua anaknya yang cemas. Melihat mereka berdua yang khawatir padanya membuat Alana merasa bersalah.Alex juga terus memperhatikannya, melakukan apapun yang sekiranya membuat Alana nyaman."Mommy jangan sedih, Mommy kenapa? Siapa yang nakal sama Mommy?" Kenzo menatap sedih sang Mama yang duduk meringkuk di atas ranjang menatap mereka berdua yang juga duduk di hadapan Alana. "Mommy capek saja, tidak papa Sayang. Jangan sedih begini dong," hembus Alana pelan. Jemari tangannya hendak terulur menyentuh wajah Kenzo, namun urung dan Alana tarik kembali. "Kenapa Mom?" Kenzi menyadarinya, seperti biasa kalau anak itu jauh lebih peka. Kenzi meraih tangan Alana dan ia letakkan di pipinya. "Mommy bisa menyentuh kita kapan saja. Mommy... Mommy aneh. Akhir-akhir ini Mommy selalu menatap aneh pada kita. Kenapa? Apa Mommy tidak sayang lagi sama kita ya?" "Mulutmu!" pekik Kenzo langsung meninju pipi kembarannya. Jelas saja Kenzi tersungkur sampai nyaris jatuh
Alana mendekati dua anaknya yang tengah duduk di teras samping. Mereka berdua sejak tadi setia duduk di sana dan enggan disuruh masuk. Kedatangan Alana kini berada di tengah-tengah mereka. Kedua anak itu memeluknya dan menyandarkan tubuh mungil mereka pada sang Mama. "Kalian ini kenapa masih di sini? Dingin Sayang... Ayo masuk ke dalam. Nanti kalau Daddy kalian pulang, tahu kalian di luar sampai larut malam begini, Daddy akan marah," tutur Alana pada mereka berdua. "Aaa... Pokoknya tidak mau! Masih nunggu monster bulan yang Om Ben bilang Mom!" pekik Kenzi dengan ekspresi menanti-nanti. "Kalian hanya dibohongi sama Om Ben, mana mungkin ada monster, hem? Iya kalau di TV," ujar Alana mengusap pucuk kepala mereka berdua. Kenzo mendengkus pelan, sadar mungkin apa yang Mamanya katakan memang benar dan mereka sukses dibodohi Benigno. "Huh, awas saja besok Om Ben! Hajar pokoknya. Berani-beraninya bodohin kita," seru Kenzo cemberut. "Makanya, sekarang ayo masuk," ajak Alana berdiri meng
Alana diam di dalam kamar sendirian. Baru saja ia menerima sebuah paket yang dikirimkan seseorang khusus untuk Alana dan juga Alex. Sebuah paper bag besar yang kini ia letakkan di atas sofa kamarnya. Logo gambar dua burung merpati putih pada paper bag besar itu membuat Alana mudah menebak apa isinya. "Apa aku coba saja ya," lirih Alana pensaran dan ingin. "Sepertinya iya." Alana berjalan mendekati tas hitam di sofa, ia mengeluarkan box besar berwarna putih di dalamnya. Senyumannya pun mengembang saat melihat ukiran gambar dua merpati putih di atas box yang ia bawa. 'Wanita mana yang tidak ingin memakai gaun pernikahan yang cantik dan indah?' batin Alana tersenyum lebar. Perlahan ia membuka kotak itu dan menatap gaun pengantin berwarna putih berbahan tile gemerlap permata dan mutiara. "Cantik sekali," lirih Alana meraihnya dengan kedua mata berkaca-kaca. Alana memeluk gaun itu, ia melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Tanpa menunggu-nunggu segera melepaskan dress merah
Di hati libur, Alana menghabiskan waktunya untuk bermain dan menemani si kembar. Beberapa hari ini ia sering membuat anaknya sedih karena keresahan yang Alana rasakan. Dan kini Alana bersama mereka berada di taman. Mereka piknik berempat bersama dengan Alex juga. "Mom, lihat! Kenzi dapat capung!" pekik anak laki-laki itu berlari mendekati Alana dan menunjukkan seekor capung yang ia tangkap. "Heum! Apa hebatnya cuma capung! Lebah dong!" ledek Kenzo terkikik geli. Alana melambaikan tangannya hingga Kenzi berlari mendekatinya dan menunjukkan apa yang baru saja ia dapat. "Bawa pulang ya Mom, nanti dirawat baik-baik, kok," pintanya pada sang Mama. "Jangan Sayang. Kasihan, nanti kalau Mama capung nyari anaknya, gimana?" Alana mengusap pucuk kepala si kecil. Kenzi cemberut dan melepaskan lagi hewan itu hingga membuatnya kembali terbang bebas. "Daddy ke mana Mom?" tanya Kenzo mendongak menatap Alana. Anak itu duduk di sampingnya di atas alas kain yang mereka jabar di atas rumput hija
Semenjak pulang dari pusat perbelanjaan siang tadi, Alana malam ini tidak bisa tidur karena kepikiran dengan apa yang Merry katakan padanya tadi. Kini Alana memangku bantalnya dan memeluknya dengan erat. Kedua matanya perlahan melirik Alex yang tertidur pulas di sampingnya. "Alex," lirih Alana mengulurkan satu tangannya dan mengusap lembut kening laki-laki itu. Telapak tangan Alana yang dingin membuat Alex terbangun dan membuka kedua matanya. "Sayang, kenapa belum tidur, hah?" Alex beranjak, menatap Alana yang kini masih terjaga. "Ini sudah malam, Sayang." Alex duduk di samping Alana dan diam memperhatikan wajah Alana dalam gelap. Wajah yang selalu cantik, bersinar bagai rembulan yang terang. "Ada masalah, hem? Kenapa tidak membangunkanku?" Alex menangkup satu pipi Alana dan beringsut menarik selimut ia tutupkan pada tubuh Alana. Inilah yang membuat Alana dipenuhi banyak tanya. Perlakuan Alex, bagaimana bisa dia mau melakukan segala hal untuknya. Saat Alex hendak bangkit, Alan
"Apa maksud Pak Frans menyembunyikan Alana dari saya sejak lina tahun lalu?!" Alex menatap tegas penuh ancaman pada Frans yang kini duduk tertunduk di hadapannya.Perasaan marah dan emosi ini sudah berbulan-bulan sempat urung Alex ungkapkan, dan ia baru bisa meledakkan sekarang. "Pak Alex, saya...." "Kenapa kalian menutupi fakta ini dariku?! Kenapa kau tidak mengatakan hal yang jujur?! Kenapa kau memukuli Alana padahal kau sendiri tahu kalau anak-anak itu adalah anakku!" Teriakan Alex membuat Frans memejamkan kedua matanya dan tubuhnya pun tersentak. Tidak sabar-sabar Alex menghadapi laki-laki ini. Dia sudah terlalu jauh mempermainkannya, apa lagi kegeraman dan kemarahan di hatinya bertambah saat mendengar Alana dipukuli, si kembar dipanggil anak haram, Alex tidak terima sekalipun Frans adalah Papa kandung Alana. "Saya malu, Pak Alex. Saya... Saya takut kalau Alana sebenarnya tidak mengandung anak Pak Alex. Saya juga tidak bisa menanyakan pada Alana karena memorinya hilang," jel
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu