'Benturan keras di kepala Nona Alana memungkinkan ingatannya akan kembali seperi dulu. Jadi, pihak keluarga tolong berikan kesan yang hangat.' Alex mengusap wajahnya mengingat apa yang sepuluh menit yang lalu dokter katakan padanya. Ia diam duduk di bangku lorong rumah sakit seorang diri. Di dalam sebuah ruangan, Alana ditemani oleh kedua orang tuanya. Sementara Alex diam seorang diri menata pikirannya yang sangat berantakan, kacau, dan takut. "Kau baik-baik saja kan, Alex?" Tepukan pelan di pundak kiri Alex membuat laki-laki itu menoleh ke belakang di mana Stella kini beralih duduk di sampingnya. Alex tertunduk dengan perasaan tak menentu. "Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Nyonya Stella. Kalau Alana mengingat segalanya, dia akan sangat membenciku." "Tidak Alex, tidak mungkin Alana melakukan hal itu. Aku lebih mengenal siapa Alana dan dia tidak mungkin..." "Dia membenci orang yang merusak kehidupannya di awal, Nyonya Stella. Bukankah itu semua sudah jelas kalau Alana akan mem
Kedua mata Alana terasa berat. Kulitnya mampu merasakan udara hangat yang kini menyelimutinya rapat-rapat. Suara tabung oksigen terdengar jelas di indra pendengarannya. Kedua matanya terbuka perlahan meskipun tubuhnya terasa kaku membeku seperti kayu. 'Aku di mana? Ini di mana?' batin Alana menatap seisi ruangan yang masih terlihat buram dan serba putih. "Alana! Alana... Sayang, kau sudah bangun?!" Suara seorang wanita membuat Alana seperti terhenyak bangun dan matanya terbuka lebih lebar. Wajah yang pertama kali ia lihat adalah seorang wanita dan laki-laki yang menangis memeluknya. "Pa-papi," lirih Alana, mata sayunya menatap Frans yang menangis kuat-kuat. "Iya nak, ini Papi!" Frans memeluk Alana dengan erat.Sementara Stella berdiri kaku mendengar panggilan yang kaluar dari bibir putrinya. Papi, panggilan itu sering adalah panggilan yang Alana pada Frans dulu. "Panggil dokter Ma! Panggil dokter cepat!" pekik Frans menatap istrinya. "I-iya Pa!" Stella berjalan keluar, pasal
"Dad, Mommy di mana? Kenapa Mommy tidak pulang-pulang?!" Kenzo dan Kenzi memukuli lengan Alex yang kini tengah memeluknya. Kedua anak itu menangis dengan wajahnya yang sangat pilu. Alex tersenyum hangat pada mereka. "Kan sudah ada Daddy, Sayang. Nanti kita jengukin Mommy, ya?" bujuk Alex pada mereka berdua. "Kenzi kangen Mommy," ucap Kenzi memeluk leher Alex dan merengek. Kedua anak itu baru saja bangun dari tidurnya. Dua hari tanpa Alana, mereka tidak mau makan, selalu menangis dan enggan melakukan apapun. "Mommy... Kenzo mau Mommy," lirih Kenzo lemas. "Mommy sedang sakit, Sayang. Kita tidak bisa sembarangan menemui Mommy," ujar Alex mengusap pipi kedua anaknya. Anak-anak itu terisak seraya menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang Alex katakan padanya. "Daddy bohong. Pasti Mommy pergi karena kita nakal, kan?" seru Kenzo berdiri dengan kaki yang menghentak-hentak. Alex menundukkan kepalanya dan menjatuhkan air matanya menatap kedua anaknya. Kali ini ia bisa merasak
"Ayo lempar bolanya ke sini, Kenzi! Lempar yang kuat!" Teriakan dua bocah laki-laki di taman samping rumah terdengar sangat berisik dan ramai. Alana berdiri di balik jendela besar rumahnya dan menatap kedua anak yang tengah asik bermain di sana. Ia masih dipenuhi dengan banyak rasa tak percaya menyeruak pada dirinya saat ini.'Mereka, benar-benar anakku.' Alana mengusap perutnya dan menunduk dengan wajah murung sedih. Gadis itu membalikkan badannya menatap foto-foto keluarga bersama Mama dan Papanya. Foto di mana Alana tersenyum lebar yang tidak mungkin rasanya ia ulangi saat ini. "Mommy!" Suara Kenzo mengejutkan Alana, anak-anak itu berlari mendekatinya dan tersenyum hangat seperti biasa. "Mom, ayo bermain di taman. Mataharinya cerah, banyak kupu-kupu, ada capung. Nanti Kenzi carikan capung yang banyak!" seru anak itu memegang pergelangan tangan Alana. "Ayo Mom. Kenzo ambilkan jaket Mommy dulu ya," tawar Kenzo berbinar-binar menatap Alana yang masih diam tanpa ekspresi. Bibir
Hari sudah malam, Alana duduk di sofa tunggal yang barada di depan jendela besar. Ia menatap malam gelap dan hujan deras yang turun malam ini. Tidak ada Alex di rumahnya, Alana tidak perlu was-was mengunci dirinya di dalam kamar. Ia sibuk menatapi air hujan yang mengembun di kaca. Jemarinya mengikuti air yang mengalir. "Mommy kok belum tidur?"Suara mungil itu sukses membuat Alana terperanjat kaget. Ia menatap Kenzo yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya membawa botol minum. Kenzo tersenyum manis dan meletakkan botol yang dibawanya di atas meja. Anak itu duduk di ujung sofa, cukup berjarak dengan Alana. Mungkin dia takut membuat Alana tidak nyaman dengan kedatangannya tiba-tiba. "Di mana kembaranmu?" tanya Alana dengan sedikit dingin. Kenzo menoleh. "Adik sudah tidur. Kenzi demam, Mom. Tapi tadi Daddy sudah pasang plaster di keningnya, sudah dibawa ke dokter juga," jawab anak itu menjelaskan."Dia sakit?" Alana berucap pelan. Kenzi mengangguk. "Iya Mom. Kecapekan kata dokt
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Alana tidur sejak sore dan harus terbangun malam hari. Gadis itu beranjak turun dari atas ranjangnya. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Alana. Pelan ia mengucek kedua matanya dan terkejut saat menoleh ke samping. "Hah?!" pekik Alana tersentak mendapati Kenzo yang tertidur di sampingnya. "Anak ini, kenapa dia tidur di sini?" Diam beberapa detik Alana menatap wajah tenang Kenzo sebelum Alana menarik selimut dan menutupkan pada tubuh mungil anaknya. Lengkungan senyum membentuk di bibir Alana. "Dasar anak nakal, tidurlah," lirihnya. Alana pun beranjak dari dalam kamarnya. Ia berjalan di selasar lantai dua dan menuruni anak tangga. Perutnya sangat lapar, Alana ingin memakan sesuatu lebih dulu. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju dapur. "Kalau jam segini apa yang bisa aku makan?" lirih Alana.Namun saat kakinya menapaki lantai satu, di sana ia melihat sosok Alex berada di dapur dan terlihat tengah membuatkan sesuatu dalam botol milik si
"Bukannya sekarang semua sudah jelas?! Ingatan Alana sudah kembali dan bahkan dia tidak peduli padamu dan juga anakmu! Tinggalkan dia dan bawa di si kembar tinggal bersama kita!"Renata memarahi Alex, meminta padanya untuk meninggalkan Alana dan membawa Kenzi serta Kenzo tinggal dengannya. Nampak wajah Alex yang kini sangat kacau, tidak semudah itu baginya meninggalkan Alana, apalagi di saat kondisi Alana tengah seperti saat ini. "Tidak Ma, aku tetap tidak bisa. Tidak semudah itu aku bisa melepaskan Alana. Aku belum nenyerah!" seru Alex dengan sangat yakin. "Apanya yang perlu kau yakinkan, Alex! Jelas-jelas dia..." "Renata!" sentak Hans, ia menatap tajam menghunus padanya. "Jangan egois! Di sini kita hanya memberikan pendapat, bukan mengadili putra kita! Jangan lupakan posisimu sebagai orang tua, kau sama sekali tidak punya prinsip!" Renata mengepalkan kedua tangannya dan beranjak berdiri. Tatapan matanya berapi-api. "Aku tidak mau tahu, Pa. Aku tetap tidak terima kalau putraku
'Ingatan Alana sudah kembali, tolong hibur dia. Aku yakin kau pasti salah satu orang yang dia rindukan, kumohon.' Seorang gadis cantik berambut ikal berdiri di depan pintu kamar Alana setelah tadi siang Alex mendatanginya dan meminta tolong padanya untuk menemui Alana. Gladys, dia membuka pintu kamar Alana yang gelap. Gadis berkulit cokelat itu tersentak saat melihat Alana duduk di atas ranjang menekuk kedua lututnya dan menyembunyikan wajahnya dai lipatan tangannya. Jelas sekali dia tengah kacau dan takut. "Alana," panggil Gladys dengan nada lembut. Panggilan itu sukses membuat Alana mendongakkan kepalanya menatap siapa yang datang. Sontak Alana melebarkan kedua matanya dan ia langsung beranjak memeluk Gladys dengan cepat. Ia menangis. "Gladys," lirih Alana. Kedua mata Gladys berkaca-kaca, ternyata sahabatnya ini tidak melupakan dia. Alana masih mengingat Gladys dengan baik. Seketika Glad langsung duduk dan menarik Alana dari pelukannya. Mereka saling menatap dan menangis ber
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu