"Me-mengejutkan sekali Ma-mami dan Papi da-datang ke si-sini!" Ayumi mematut pantulan dirinya di cermin. Saat ini gadis itu berada di dalam kamar kecil yang berada di lorong belakang rumah makan besar yang ia datangi malam ini. Usai mencuci tangan dan merapikan penampilannya, Ayumi berjalan membuka pintu dan melangkah keluar. "Sedang apa kau di sini, hah?! Aku sedang bertemu dengan keluarga Kenzo! Mau apa kau, Vin?!" Suara tak asing itu membuat langkah Ayumi terhenti di samping lorong. Ia memegangi dadanya dan mengintip di belakang sana. Ayumi syok saat melihat Laura bersama seorang laki-laki yang jelas-jelas bukan Kenzo. Laki-laki yang tengah memeluknya dan mengecupi wajah Laura. "Cepat pergi Vin! Aku tidak mau Kenzo dan keluarganya melihat kita!" pekik Laura mendorong laki-laki yang memeluknya tersebut. "Ck! Ayolah Lau! Kenapa kau terlalu serius dengan Kenzo hah?! Bukannya kau bilang padaku kalau kau hanya menginginkan uangnya saja?!" pekik laki-laki itu. "Bukan itu saja mas
"Dari mana kau?!" Suara dingin terlontar dari bibir Kenzo saat Laura keluar dari dalam mobilnya, seorang diri. Dia benar-benar pergi, tapi laki-laki seperti yang dikatakan Ayumi padanya tidak ada bersamanya "Ke-kenzo? Ke-kenapa kau ada di sini? Kenapa tidak menghubungiku dulu, atau-" "Kau dari mana, Laura?!" desis Kenzo dengan nada penuh penekanan. Laura tersenyum tipis. "Tidak ada, aku hanya dari butik saja." "Dari butik?" lirih Kenzo menukik tajam kedua alisnya. "Kau tidak pergi ke manapun selain ke butik?" Laura mendengus pelan, gadis itu mendekatinya dan menatap kesal. "Selama ini aku selalu jujur denganmu, Kenzo! Kenapa kau malah bertindak kalau kau sedang mencurigaiku, hah?! Kenapa?! Kau pikir aku pergi dengan laki-laki lain membawa mobilmu dan besenang-senang?!" Kenzo tidak menjawabnya, kali ini ia diam dan tidak menjawabnya. Mungkin memang karena ia tidak punya bukti dan tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. "Mana kunci mobilku," pinta Kenzo mengulurkan tangann
"Kemampuan melukis Ayumi sangat bagus, kenapa masih kursus? Ayumi bisa membuka galeri sendiri, kalau mau." Madam Kyle berdecak kagum menatap lukisan Ayumi, gadis itu melukis kota Paris saat malam hari. Sangat detail dan cantik."Emm... Tapi Ayumi, kalau Madam boleh tahu, dari mana sudut pemandangan kota ini Ayumi ambil?" tanya Madam Kyle menoleh pada Ayumi yang merapikan cat airnya. "Da-dari kamar," jawabnya tersenyum manis. "Ka-kamarnya Kak Kenzi." Madam Kyle terdiam sejenak dan meletakkan lukisan Ayumi di antara beberapa jajaran lukisan ternama di sana. "Madam dengar-dengar, Ayumi dan Dokter Kenzi mempunyai hubungan ya?" tanya wanita cantik itu berjalan di depan Ayumi. "I-iya Madam, ki-kita mau menikah su-suatu saat na-nanti." Ayumi menjawabnya jujur dan polos. "Ta-tapi Ayumi mau me-menjadi seniman du-dulu." Wanita itu tersenyum manis, ia menganggukkan kepalanya merangkul pundak Ayumi. "Madam!" pekik seorang pemuda berlari dari lorong mengejar Madam Kyle. Ayumi pun ikut meno
"Ayumi berani berangkat sendiri? Pasien Kakak hari ini banyak, kalau tidak berani nanti Kakak minta Yogas ke sini buat anterin Ayumi." Kenzi menangkup satu pipi Ayumi, laki-laki itu menatapnya dengan penuh pengertian. Setelah semalam terlambat menjemput Ayumi, pagi ini Ayumi bangun awal ingin pergi bersama ke Harvis, tapi Kenzi sudah mendapatkan telfon untuk pasien gawat darurat. Gadis itu tersenyum tipis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ti-tidak usah Kak. A-ayumi berani be-berangkat se-sendiri." "Tapi Sayang...." "Su-sudahlah, Kakak ce-cepat berangkat. Ka-kasihan pa-pasiennya," ujar gadis mengusap pundak Kenzi. Kenzi menatap sedih wajah Ayumi, laki-laki itu sebenarnya sangat tidak tega membiarkan Ayumi berangkat sendiri ke Harvis. Namun Ayumi berkata ia ingin mencoba berangkat dengan bus kota. Bagaimana pun juga gadis itu harus mencobanya. "Ya sudah, Ayumi jangan lupa sarapan, setelah itu kalau pergi hati-hati ya, Sayang," ujar Kenzi tersebyu hangat padanya. Ayumi tersen
"Ayo Ayumi, kau jangan berjalan di belakang, nanti kau hilang!" Seruan itu keluar begitu saja dari bibir Diego hingga beberapa senior lainnya tertawa saat mereka hendak menyebrang. Ayumi nampak mencengkeram kuat bagian belakang mantel tebal yang Diego pakai. Laki-laki itu pun menoleh ke belakang menatapnya. "Ayo," ajak Diego meraih tangan Ayumi dan menggandengnya. "Ayumi takut ya?" tanya Claudia, dia adalah seniornya yang berasal dari Swiss. "Ayumi kan bukan gadis kelayapan sepertimu, Clau," sindir Kenan, dia pria berkulit gelap yang selalu membakai topi di arahkan ke belakang. Ayumi pun hanya diam saja, mereka menyebrang bersama dan masuk ke dalam sebuah cafe. Madam Kyle mengajak mereka bersantai dan serius membahas proyek barunya.Diego menarikkan kursi untuk Ayumi, dari semua seniornya, hanya Ayumi yang terlihat sangat menonjol di sana. Cantik, berkulit putih bening, rambut cokelat terang, manik mata cokelat indah, dan bibir tipis merah muda yang selalu terkatup. "Ayumi ma
"Loh, Viola ke mana?!" Kenzi menatap Ayumi yang diam menundukkan kepalanya. Gadis itu langsung mendongak menatap Kenzi dan tersenyum manis. "Itu... Kak Vi-viola pamit pergi," jawab Ayumi. Kenzi mengerutkan keningnya. "Padahal di luar masih hujan." Ayumi hanya diam, ia memainkan jas putih milik Kenzi yang berada di atas pangkuannya. Terbesit satu hal yang kini benar-benar mengganggu pikiran Ayumi. Ia ingin bertanya langsung pada Kenzi, namun Ayumi sangat takut. "Ka-kak,"panggil Ayumi pada Kenzi yang tengah mengecek ponsel milik gadis itu. "Ya, Sayang?" Kenzi langsung menggeser duduknya dan tersenyum hangat pada Ayumi. "Ada apa, hem?" "I-itu, Ayumi...." "Kenapa, Ayumi?" Kenzi malah mendekatkan wajahnya hingga gadis itu benar-benar menjadi tersipu malu. Kanzi sangat menyukai Ayumi yang malu-malu, menyembunyikan wajahnya dan enggan menatap Kenzi. "Malah diam. Malah malu, Kakak kan tidak tahu apa yang ingin Ayumi katakan." "A-ayumi, ke depannya a-akan sibuk. A-ayumi ikut bergab
"Sayang, Ayumi tidak ikut makan malam bersama?" Alex membuka pintu kamar Ayumi yang baru, kini kamar gadis itu berada di antara kamar Kenzi dan kamar Alana. Gadis itu ternyata tengah menata beberapa peralatan lukisnya. Di sana Ayumi duduk di lantai dan tengah merapikan kanvas-kanvas miliknya. "Papa... I-ini, Ayumi si-sibuk Pa. Ka-kalian makan ma-malam saja du-duluan," ujar Ayumi menundukkan kepalanya. "Loh, ya jangan begitu Sayang..." Alex langsung mengulurkan tangannya pada Ayumi, sungguh ia memperlakukan Ayumi bagai putri kandungnya sendiri. "Ta-tapi Papa..." "Sudah, ayo makan bersama. Masak istrinya Kenzi saja yang tidak ada, Ayumi juga anak Papa Alex," ujar laki-laki itu tersenyum penuh perhatian pada Ayumi. Akhirnya gadis itu mau dan ikut bersama dengan Alex keluar kamar dan pergi di mana terdengar suara beberapa orang di sana. Di depan kamar, ternyata Kenzi berdiri di sana. Kenzi awalnya juga menolak, kalau Ayumi tidak makan, maka ia juga tidak akan makan. "Ayo, kalian
Ayumi saat ini benar-benar menjadi orang yang sibuk, dalam hidupnya ia tidak pernah menyangka akan mengenal banyak orang dan juga banyak teman. Mempunyai pekerjaan, sambil belajar, dan terus mendapatkan dukungan dari orang yang dicintainya. "Ayumi, setelah membuat sketsa ikut denganku beli minum di luar yuk, ada yang jualan teh susu di sana, mau ya?" ajak Claudia mendekati meja Ayumi. Ayumi pun menganggukkan kepalanya, gadis itu langsung berdiri dari duduknya. "Bo-boleh, ayo sekarang sa-saja, Kak," jawab Ayumi seraya meraih pita rambut dan mengikat helaian rambut panjangnya.Claudia pun tersenyum, Ayumi mengambil tas kecilnya dan tanpa sengaja ia menoleh ke arah Diego yang menatapnya tanpa berkedip. Di sana, Ayumi melambaikan tangannya pada Diego hingga Zian menepun pundak Diego. "Woy! Apa yang kau lihat hah? Sampai seperti ini senior kita melihat Ayumi yang rambutnya diikat, kenapa? Cantik sekali, ya?" goda laki-laki itu pada Diego. Ayumi yang sadar, ia langsung menyentuh kepa
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu