George berjalan mondar-mandir di ruangan Dyandta. Sendirian. Dyandta masih belum kembali sejak 20 menit yang lalu. George masih menerka-nerka maksud dari pertanyaan Dyandta. Apa yang sudah terjadi? Apa yang telah George lewatkan?George berusaha mengingat hal apa yang berkaitan dengan pertanyaan itu. Sampai dimana ia menemukan jawaban yang tepat."Ah, apa mungkin Dyandta tahu tentang kebohongan Damien?" gumam George sambil mengusap dagu lancipnya. Ia masih tetap mondar-mandir untuk memastikan apakah benar dugaannya itu."Kalau memang Dyandta tahu, harusnya dia sudah melihat surat perjanjian itu."George mengitari sekeliling ruangan. Pandangannya langsung mengarah ke tumpukan berkas yang ada di atas meja kerja Dyandta. Muncul dalam benaknya untuk memeriksa berkas itu satu per satu. Berharap ia menemukan apa yang sedang ia cari.Tapi sayang, dalam tumpukan berkas itu, George tidak menemukan apapun. Ia duduk lemas di kursi sambil tetap mengitari setiap sudut ruangan. Tak lama, ia menemuk
Damien kembali ke kantor dengan langkah tergesa-gesa. Ia terus memikirkan ucapan George mengenai surat perjanjian itu. Damien masih berharap, Dyandta tidak tahu tentang itu dan berharap itu hanya dugaan George saja.Pria itu membuka pintu ruangannya, kemudian mengambil tas kerja yang ia letakkan di atas meja. Dibukanya tas itu dengan terburu-buru. Setelah terbuka, mata Damien melebar sempurna. Seketika wajahnya pucat karena surat perjanjian itu tidak ada di tas kerjanya.Pikiran buruk mulai menghantuinya. Mungkinkah surat itu memang ada pada Dyandta? Pikir Damien cemas."Ini gawat," gumamnya panik.Dengan cepat ia menghubungi George. Menunggu beberapa saat sampai pria yang ia hubungi menjawab panggilannya."Halo, Damien." Suara George pun mulai terdengar.Damien duduk dengan gusar. "Halo, George. Ini gawat!""Gawat?""Iya. Surat itu, George," ujar Damien semakin panik. "Surat itu tidak ada di tasku.""Apa? Kau sudah mencari di tempat lain?" tanya George suaranya juga terdengar panik.
"Aku membencimu, Damien! Aku membencimu!"Teriakan Dyandta membuat Damien terkejut setengah mati. Untuk pertama kalinya ia melihat Dyandta seperti itu padanya. Biasanya Dyandta akan bersikap tenang jika Damien membuat kesalahan. Damien lebih sering melihat Dyandta menangis saat mereka sedang bertengkar kecil. Tapi tidak untuk kali ini. Dyandta justru menangis sambil berteriak pada Damien.Damien masih diam mematung. Menatap Dyandta dengan tatapan terkejutnya. Sementara Dyandta menatap tajam ke arah Damien. Dalam dan begitu menusuk. Air mata masih terus mengalir di kedua pipi Dyandta."Kau sudah lupa dengan janjimu, hah?! Kau berjanji untuk tidak berbohong lagi padaku! Tapi apa ini?! Kau mengulangi kesalahan yang sama!" lanjut Dyandta dengan suara lantang. Tak peduli jika nanti ada yang mendengar suaranya.Dyandta berjalan ke arah meja kerja, kemudian mengambil map berisi surat perjanjian itu. Ia mendekati Damien lagi lalu melemparkan map itu dengan kasar. "Itu! Semua kebohonganmu ada
Damien tiba di kantor dengan wajah yang kusut. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semua masalah ini pada orang tuanya. Bahkan saat ia berjalan di lobi, sapaan beberapa staf diabaikan begitu saja. Pikirannya benar-benar kacau. Semua masalah ini membuatnya berada di posisi terendah. Tidak tahu akan seperti apa nantinya."Tuan, ada apa?" tanya Pablo saat menghampiri Damien yang hendak masuk ke dalam ruangan.Lagi dan lagi, Damien mengabaikan setiap orang. Bahkan Pablo pun juga diabaikan. Damien melenggang masuk ke ruangannya begitu saja dan membiarkan Pablo yang masih menunggu jawaban darinya.Pablo mengikuti langkah Damien. Pablo khawatir pada pria itu. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seolah Pablo bisa merasakan, Damien sedang banyak masalah."Tuan, jika ada masalah, ceritakan pada saya. Jangan memendamnya sendirian. Sejak tadi anda mengabaikan banyak orang," ucap Pablo khawatir.Damien pun menanggapi ucapan Pablo, "Tidak ada apa-apa, Pablo. Tinggalkan saya sendiri. T
Pukul tujuh malam, George dan Cacha baru tiba di depan rumah sakit tempat Dyandta praktek. Sebelumnya, mereka bercerita cukup lama di kafe. Dan akhirnya di jam tujuh malam ini, barulah mereka menemui Dyandta terlebih dulu.Cacha berjalan mengikuti langkah George. Ia berada di samping kanan George. Wajahnya tetap terlihat tenang meskipun menyimpan banyak ketakutan. Ia takut Dyandta tidak akan memaafkannya.Hingga akhirnya, sampailah mereka di depan pintu ruangan Dyandta. Sebelum mengetuk pintu, George sempat bertanya, "Apa kau siap?""Hhh!" Cacha menghela napas pelan sambil mengangguk. "Aku siap, George," lanjutnya."Baiklah."George mulai mengetuk pintu dan terdengarlah suara Dyandta dari dalam ruangan. Setelah dipersilahkan masuk, George membuka pintu tersebut secara perlahan."Dyandta," panggil George dengan setengah badan berada di dalam dan setengahnya lagi masih berada di luar.Dyandta menatap ke arah pintu. "Oh, kau ternyata. Ayo, silahkan masuk.""Baiklah. Tapi aku tidak sendir
Cacha mencoba mengingat memori indahnya dengan Damien dulu. Ia pun tersenyum, kemudian menjawab, "Damien itu sosok suami yang baik, pengertian dan tulus. Saat masih dengannya, aku tidak pernah mendapatkan kekerasan sama sekali. Bahkan jika kami bertengkar, dia lebih memilih menyakiti dirinya sendiri.""Menyakiti diri sendiri?""Iya.""Contohnya?""Ehm, waktu itu Damien pernah membenturkan kepalanya ke tembok kamar saat kami sedang bertengkar. Tapi itu tidak berlangsung lama karena aku merasa kasihan padanya. Kami hanya bertengkar sebentar saja," ujar Cacha menjelaskan. "Tapi ada satu hal yang selalu dia lakukan sejak kami menikah."Dyandta semakin penasaran dengan cerita masa lalu Cacha dengan Damien. "Dia selalu berbohong jika ada masalah. Terutama yang menyangkut tentang aku. Aku pernah mendapat ancaman dari salah satu kolega Damien karena saat itu, Damien mengalahkan mereka dalam persaingan bisnis. Dan mereka memberi ancaman padaku melalui Damien. Mereia memaksa Damien untuk menyer
"Berani sekali kau membuat perjanjian bodoh seperti itu!"Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Damien. Bailey tampak emosi sekali. Dadanya naik turun karena amarah yang meluap karena kesalahan Damien. "Kau kembali mengecewakan Ayah! Dan kau juga sudah mengecewakan istrimu sendiri!"Damien terdiam dan tertunduk untuk pertama kalinya saat Bailey marah. Ia hanya bisa diam saja. Jika berusaha membela diri, Bailey akan semakin marah dan mengusirnya. Jadi, lebih baik Damien diam."Apa yang ada dipikiranmu saat itu, hah?! Kenapa kau mengambil keputusan sepihak, tanpa kompromi dengan keluargamu?!" bentak Bailey untuk kesekian kalinya. "JAWAB!"Dengan menguatkan tekad, Damien pun mengangkat kepalanya dan menatap mata Bailey yang sudah merah karena marah. Ia pun menjawab sejujur-jujurnya, "Saat itu, pikiranku sedang kacau. Itu sebabnya aku mengambil keputusan itu, Yah. Aku melakukan ini demi Dyandta. Nyawanya dalam bahaya jika aku tidak memenuhi permintaan wanita itu.""Ayah tidak
Di rumah sakit, Dyandta baru saja selesai memeriksa kondisi Marco yang jauh lebih tenang malam ini. Tidak ada teriakan seperti sebelumnya. Kemungkinan besar, Marco sudah sedikit nyaman berada di tempat tersebut."Tolong tetap jaga Tuan Marco. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi saya," ucap Dyandta pada kedua perawat pria yang bertugas menjaga di depan kamar rawat Marco."Baik, Dok."Dyandta pun bergegas kembali ke ruangannya. Tak lupa ia mencuci tangan dan menggunakan hand sanitizer yang sengaja ia letakkan di dalam ruangannya. Ia berniat mencatat hasil pemeriksaannya terhadap Marco. Tapi sebuah ketukan pintu langsung mengurungkan niat Dyandta tadi.Saat menoleh ke arah pintu, Dyandta terkejut melihat kedatangan Velice. Dyandta langsung teringat dengan ancaman wanita itu yang tertulis jelas dalam surat perjanjian."Mau apa kau datang ke sini, Velice?" tanya Dyandta sambil menatap Velice dengan tajam."Aku datang ke sini hanya untuk memintamu menjauh dari Damien-ku. Kau tidak pantas m
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka