Part 1 - The Beast “I know I'm a monster, but even I have my limits!” I shout at him. He shouldn't have done that. “Wait, please, I- , let me explain. I'm sorry-“ “I should've known.” I say quietly as I turn around and leave. I will never trust him again. Not after this. She wanted to be left alone. He wanted to find his mate. She was a human. He was a wolf. Will she accept him? Or will someone try to ruin them? Part 2 - The Hybrid Hunter is the firstborn son of the infamous Beast, a hybrid of an Undead and a werewolf. the rightful heir to both the Pack and the Deads. But he doesn't want to take over the packs yet. He wants to meet his mate first. Hunter has been watching his parents' relationship all his life and at the age of 25 he's desperately craving a mate of his own. He yearns for what his parents have. But what will happen when his prayers are finally heard? What if the cost of getting a mate is losing his dear mother? Part 3 - The King After millenia spent alone, Lorenzo craves for his mate more than ever. He meets a woman that he'd like to make his, even though she's not his mate. He's desperate to meet his destined one, but it's not easy. But what will happen when he finally meets her? What will happen when he realizes she's not what he expected? Will he still accept her? Will she accept him?
View MoreBAKU HANTAM DENGAN MERTUA
Bab 1"Nih makan!""Kenapa gosong lagi sih nasi gorengnya?" desisku seusai membolak-balik gumpalan nasi goreng berwarna hitam kecokelatan yang barusan disodorkan ibu mertuaku."Makan aja apa yang ada! Nggak usah ngomel. Kamu aja bangunnya selalu siang, masih bersyukur Ibu masih sisihin nasi goreng buat kamu!" gertak ibu melemparkan tatapan mencemooh."Lah ... itu, nasi goreng Mbak Mira kenapa nggak gosong kayak punyaku?!" Kutatap lekat makanan yang tengah ditata ibu itu dalam wadah bekal."Punya Mira beda sama kamu. Mira kerja, sedangkan kamu cuma enak-enakan di rumah. Tiap hari kamu selalu ngurung diri di kamar, kadang Ibu panggil juga nggak nyahut," kata Ibu sibuk dengan benda-benda di depannya.Aku mendengus pelan. Dasar, mertua tak berperikemanusiaan. Masa sesama menantu harus dibedakan. Padahal, selama ini yang selalu mengurus pekerjaan rumah 'kan aku bukan dia. Siapa suruh dia masak nasi goreng ambaradul begini."Cepetan makan! Anggap aja nasi goreng yang agak kering kegosongan itu seperti kerak telor." Ia berlalu. Meninggalkanku yang masih sibuk merutuk dalam hati."Kenapa manyun aja kayak ikan dugong?" Ekor mataku melirik wanita yang barusan datang di hadapan. Syukurlah bukan ibu, tapi mbak Mira. Ia bergegas membawa bekal yang disiapkan ibu dan memasukannya ke dalam tas."Nggak, nggak pa-pa kok, Mbak." Kuulaskan senyum paksa."Pasti gara-gara Ibu ya?""Em, enggak kok.""Udahlah, sabar aja ya, Ibu emang gitu orangnya. Tapi aslinya dia baik kok. Mbak berangkat kerja dulu ya, kamu baik-baik di rumah." Mbak Mira berpamitan dan setelahnya ia pergi bekerja.Ibu baik? Baik apanya? Iya, kalau sama kamu baik, mbak. Tapi kalau sama aku udah kayak singa ketemu mangsa. Gumamku sembari menatap punggung mbak Mira yang makin menjauh.Kuberalih menatap makanan yang nyaris dingin di depanku. Ah, rasanya aku sudah tak berselera untuk menyantapnya. Terlebih lagi, memang ibu selalu memberiku nasi goreng gosong setiap harinya.Ada rasa yang mengganjal di benak. Apa ibu sengaja menggosongkan nasi itu hanya untukku? Ataukah memang ada hal lain yang membuat nasi itu menjadi gosong. Ish, kedua hal itu kalau dibolak-balik maknanya sama saja.Aku berdiri dan melangkah menuju wastafel. Di sana ada wajan dan sutil yang tengah direndam air.Pantas saja nasi goreng itu gosong. Jadi, yang bermasalah wajannya. Tapi, kenapa ibu selalu memarahi aku. Kenapa ibu tidak memarahi wajannya saja. Memang aneh sekali ibu mertuaku."Kamu ngapain di situ?!" Hampir saja jantungku melompat. Ibu tiba-tiba sudah berada di belakang saat aku tengah intens menatap wajan gosong yang sudah tak layak pakai."Enggak lagi ngapa-ngapain kok. Udahlah, aku mau ke kamar. God bye, Bu." ulasku lantas cepat-cepat melipir dari hadapan ibu. Karena aku tahu, ia pasti akan mengomel tak jelas layaknya orang kesurupan."Yeni! Mau ke mana kamu! Ibu belum selesai bicara ya! Dasar mantu nggak sopan. Main pergi gitu aja!" teriakan ibu menggema di ruangan yang memang sudah sempit.Tak kupedulikan dia dan cepat kututup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.Ting!Ponselku yang tergelak di atas ranjang berbunyi. Notifikasi yang tentunya penting. Karena aku sangat mewanti-wanti tanggal ini.Kubuka benda gepeng tersebut.Pesan dari aplikasi hijau di sebuah grub yang kuikuti ramai membahas perihal gaji yang mereka bilang akan segera di transfer.Aku bernapas lega. Dan berharap uang itu akan segera membungkam mulut ibu yang tiada hentinya melontarkan kata-kata kurang enak di dengar.Sembari menunggu gaji yang akan masuk ke rekeningku. Gegas, jemari ini bergerilya pada aplikasi belanja online yang iklannya Shopee COD ... Shopee COD ... bayar langsung di tempat. Duh, kenapa aku malah nyanyi itu sih. Ingat Yeni, kamu tidak di endorse untuk promosi.Kuklik barang yang kuinginkan. Setelahnya kuletakan kembali ponselku dan melenggang ke kamar mandi berniat untuk membersihkan diri.*Tok!Tok!"Paket ...." suara seseorang dari balik pintu mengalihkan pandanganku yang tengah sibuk menatap gawai di ruang tamu. Kebetulan di sini ada ibu. Biar jadi kejutan yang manis untuk dia."Yeni, sana buka pintu. Tumben sekali ada paket. Mungkin itu punya Mira." pinta ibu. Kedua matanya tak teralihkan dari layar televisi.Enak saja paket itu dibilang punya mbak Mira. Ya, meski itu hanya praduga ibu. Tetap saja membuatku sedikit kesal. Apa-apa selalu mbak Mira terus. Kalau ada hal buruk baru aku yang dipojokin.Selesai berurusan dengan kurir.Kubawa sekotak besar paket yang lumayan berat."Wah, paket apa sebesar itu?!" Mata ibu lantas berbinar menatap kotak yang kuletakan di atas meja."Buka aja, Bu. Ini semua buat Ibu, dan aku yang beli.""Halah, nggak mungkin kamu yang beli. Kamu mana ada uang buat beli beginian. Kalau pun iya, pasti belinya pakai uang anak Ibu." ujarnya, menatapku sekilas."Kalau nggak percaya lihat aja Bu, di situ kan ada nama sama jumlah harganya." Kudongakan dagu pada permukaan kotak tersebut.Ibu memperhatikannya sebentar. Namun ia tak berkomentar apa-apa malah sibuk membuka satu persatu pembungkusnya."Wah isinya wajan anti lengket." Ibu langsung sumringah ketika melihat isinya."Iya, biar nggak gosong lagi kalau masak nasi goreng.""Halah, itu mulu yang dibahas. Eh, betewe, ini belinya pakai uang apa?""Udahlah, Ibu nggak perlu mikir aku belinya pakai uang apa. Yang jelas, besok Ibu kalau masak nasi goreng lagi pakai wajan ini aja. Bisa masak nasi goreng tanpa nasi." ucapku menghela napas.Ibu nampak berpikir."Oh, baiklah. Besok akan Ibu bikinin nasi goreng tanpa nasi sesuai dengan yang kamu sebutin tadi," kata ibu tanpa ragu.Dahiku langsung mengernyit. Emangnya ada nasi goreng tanpa nasi? Tadi 'kan aku cuma asal ngejeplak aja. Tapi kenapa ibu nanggepinnya serius."Hah, mana ada Bu, nasi goreng tanpa nasi. Tadi aku tuh cuma--"Ucapanku dijeda oleh ibu."Ada lah, besok Ibu bikinin." Kini, posisi ibu lebih dekat lagi denganku. "eh, Yeni. Kalau wajan aja bisa bikin nasi goreng tanpa nasi. Yang beli ini bisa dong beliin Ibu perabotan rumah lagi." ujar ibu sesekali berbisik. Kedua netranya menunjuk pada wajan yang ia pegang.Hiks, pasti ngerayu deh nih orang. Dari bau-baunya dah tercium, kalau barusan ibu makan mie pakai lalapan pete. Sumpah deh, kalau dia bukan mertuaku. Udah kutendang jauh-jauh karena nggak tahan sama bau mulutnya yang nyaris bikin aku ingin menyaingi dengan bau kentutku.Sabar Yeni, lepaskan semua pusaran angin yang sudah mengobrak-abrik perutmu di dalam kamar nanti. Jaga harga diri di depan ibu. Masa manti secantik ini suka kentut sembarangan."Yeni, kamu kentut ya? Bau banget!" Ibu langsung mundur dan menutup hidungnya dengan satu tangan. Aku yang sedari tadi terdiam langsung terhenyak kaget."Siapa yang ketut sih, Bu! Enak aja, itu bau mulut Ibu kali. Tadi Ibu makan pete 'kan?" sanggahku mendelik tajam.Ibu meringis dan menjauhkan tangan yang tadi menutup area hidung peseknya."Iya, Yen. Maaf Ibu lupa."Aku tak menjawab. Dan hanya melemparkan tatapan malas pada ibu.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku ingin sekali belajar bahasa Jawa. Masa udah empat tahun tinggal di Jogja nggak bisa bahasa Jawa sama sekali. Terlebih lagi, mas Irfan--suamiku kepingin aku bisa bahasa jawa."Bu, Ibu mau aku beliin peralatan masak lagi?""Hah! Yang bener Yen?!" Napas ibu menyentak tepat di depan wajahku. Kebayangkan baunya seperti apa?"Biasa aja dong Bu, jawabnya!" Kukibaskan tanganku di udara. Untuk membuyarkan bau napas ibu yang mungkin kalau menggumpal di udara akan berwarna hijau, seperti di serial TV."Maaf, maaf, Ibu terlalu bersemangat." Ibu tersenyum lebar."Udah ah, nggak jadi," cetusku memonyongkan bibir."Lah, kenapa Yen?" Ibu meletakkan wajan yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja."Nggak pa-pa, Bu. Udah males duluan." Kusandarkan punggung di sofa dengan malas."Kamu marah sama Ibu, gegara bau napas Ibu yang abis makan pete ya?" tebaknya menatapku dalam."Nggak kok," kilahku, padahal iya."Tunggu ya, Ibu sikat gigi dulu." Ibu langsung melipir ke kamar mandi tanpa mendengar jawabanku terlebih dulu.Niat banget kan dia, kalau ada maunya ya, gitu. Batinku.Aku masih duduk di ruang tamu sambil menonton layar datar TV yang iklannya nggak kelar-kelar.Sejurus kemudian ibu datang."Yeni … Ibu udah selesai sikat gigi nih," teriaknya dari ketika sampai dan ia kembali duduk di sebelahku.Aku berpikir sejenak. Nanti akan memberi kejutan untuk mas Irfan ketika pulang kerja."Bu, ajarin aku bahasa Jawa dong.""Oh, tumben kamu pengen belajar bahasa Jawa?""Ya, pengen aja, Bu. Biar Mas Irfan makin klepek-klepek sama aku. Dari dulu, dia kan pengen aku piawai bahasa Jawa, akunya aja yang malas.""Iya, iya, kamu mau Ibu ngajarin kata apa?""Bahasa jawanya aku sayang kamu, apa Bu?" tanyaku. Karena memang rencananya nanti malam aku akan memberikan mas Irfan kado dan juga ucapan romantis pakai bahasa Jawa."Gampang itu, Yen. Bahasa Jawanya Aku koyo wedhus.""Oh, Aku koyo wedhus ya, Bu?""Iya, Yen. Ya udah ya, Ibu ke belakang dulu." pamit Ibu tak lupa membawa wajan yang kubelikan.Kuhafalkan kalimat bahasa jawa dikatakan ibu. Agar nanti tidak lupa saat menyatakannya pada mas Irfan.Aku koyo wedhus, mas. Mas irfan koyo wedhus nggak sama aku? Itulah sekelebat bayangan ketika nanti aku menyatakan dan menanyakan perihal sayang apa tidaknya mas Irfan padaku. Sangat romantis bukan?Tersenyum sendiri aku membayangkan.***NB: Aku koyo wedhus=Aku kayak kambing.Ivy It’s been a week since the battle against Cornelia, but we’re still dealing with its aftermath. Ren has been extremely busy managing the disappearances, having the biggest issue with none other than my ‘father’.I stayed right beside him as he talked to Cade about it.He told the warrior to fake a car accident in which my parents and I supposedly ‘died’. He said that since my ‘father’ was a public figure, his death had to be public, too. I wondered why I was supposed to die, too, but Ren said that it’s the safest way for me to stay with him without being bothered by paparazzi or anything. That way, no one will suspect anything about my immortality and I’ll be able to start my life with him and Wolfie.Cade contacted some man that specializes in special effect make-up for movies or something and said that he could make three mannequins to look
LorenzoAfter I took my sweet queen to our bedroom, we took a long shower together, washing away both the dirt we got on us and the worries that plagued our minds. The hot water helped my mate calm down and made her quite sleepy, which is why I wanted to put her to sleep.But all it got me was a harsh glare. Ivy did not like the idea of taking a nap. At all.It took all my willpower to not gather her in my arms and kissing her senseless at the sight of her adorable scowl. She’s so fucking cute when she’s angry!Since my sweet queen didn’t want to leave me, I’ve decided to take her with me to the clinic to check on the injured. It’s been an hour since they were brought to the infirmary and I’m worried about them.I’ve never seen Lia heal anyone, so who knows if she can save them…With Ivy’s hand in mine, I walk towards the clinic, throwing a furtive glance at The
IvyI stay in Ren’s arms as he hugs me on the roof, just taking in his soothing presence greedily. I had a suspicion that Cornelia could actually be my mother, but seeing it with my own eyes still hurt.Not to mention the Undead that kept a hold on me earlier.It was my dad.But he didn’t even acknowledge me as he held onto me.Neither of them did.Almost as if I was nothing but a speck of dust.On one hand I’m sad that I meant so little to them in the long run, but on the other… it gave me the closure I so desperately needed.Had my parents had any feelings for me, felt any remorse for trying to use me to bring Ren down, I would’ve thought about giving them a chance. But… since they didn’t do any of that, I don’t even feel bad about them dying.They deserved everything that happened to them.“My love, are you alright?” Re
Third Person POVChoose...Between Blake and Ivy.What kind of choice is that?“Come on, darling, don’t leave us hanging.” Cornelia taunts smugly, casually walking back and forth in front of her captives. As she passes by Blake, she gently caresses his face, making him recoil in disgust. “He’s handsome. It’s actually a pity to kill him…” She chuckles when Lia raises her gun again and points it at her.“Don’t you fucking put your hands on him.” The young human warns deadly, keeping her rifle pointed straight at the witch’s head.“Territorial, are we?”“Touch him again and you’ll see for yourself.”“Lia, calm down. It’s not just about Blake…” Lorenzo tries to pacify the young witch, absolutely terrified for his mate’s safety. One wrong move and his queen will die. Yet
Third Person POVThe King’s allies are waiting anxiously for their enemies to arrive. Aiden, Asher and their group of fifty warriors are in the back of the Alpha’s house, while Ivy, the Kingstons, the Deads and the remaining twenty warriors are in the front, right where an army of almost two hundred men is heading.The alliance has no idea what force they’re about to face, but they’re not worried. With four Undeads on their side, one of them being a hybrid, two snipers on the roof, one of them being a white witch that has acquired powers of her ancestor, and an immortal queen, they feel more powerful than a bunch of rogues and humans that are heading their way.Lia’s reveal about her identity has brought nothing but assurance for the wolves sent to aid the King in the war. They felt that the young girl was not an average human, but it was only after she informed them about her witch ancestry did they u
Third Person POV The war has officially begun when a rogue wolf attacked the house where the King and other alphas have been staying at. He stormed inside, intending to get to Lorenzo’s mate, but his ambush was quickly stopped when Thea got in his way.The Undead Luna immediately stopped the wolf and easily killed him, not even caring about getting any information from him.“Who the fuck was that?!” Lorenzo questions suspiciously, holding onto his mate in pure despair, shielding her from the scene in front of them.“A rogue. I heard him run here…” Thea snarls furiously, panting in anger as she stands over the dead body of the assailant.“Fuck!” The king yells, his voice mixing with his wolf’s as his blood boils in fury.“What’s going on?” The group is quickly joined by the human couple, both frantic with worry. Lia glances around the room
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments