Kieran mengangguk, membenarkan apa yang Ayyara katakan barusan. Wajar jika Ardi selaku manager di sana juga tak berani mengambil tindakan atas Ayyara, karena perempuan itu adalah istrinya. Mungkin orang-orang di sana berpikir jika mengusik Ayyara, pasti juga akan berurusan dengan Kieran.
"Aku tahu itu. Kamu menggunakanku agar tetap bisa berada di sana? Sedangkan kamu bertahan untuk tetap berada di sana hanya demi melihat Bagas, bukan untuk bekerja. Jadi, apa aku harus membantumu untuk mempertahankan pekerjaanmu itu?"Ayyara diam, hanya melempari sang suami sorot kesal."Lebih baik, aku memberikan peluang untuk orang yang tepat. Perusahaan membutuhkan karyawan yang sungguh-sungguh saat bekerja, bukan untuk orang yang sekedar ingin berselingkuh dengan teman kerjanya."Kieran berdiri. Lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan Ayyara.Tentu Ayyara tak mau tinggal diam. Dia tak mau kehilangan pekerjaan itu. Bekerja di tempat itu adalahBerjalan mengendap-endap memasuki ruangan kerja orang lain, Ayyara menghampiri seorang laki-laki tengah duduk di kursi kerjanya yang belum menyadari keberadaan Ayyara di sana. Ayyara berniat untuk memberi kejutan.Perempuan itu kemudian menutup mata Bagas dari belakang. Membuat Bagas yang tadinya melamun seketika tertegun."Ayyara?"Setelah tangan perempuan itu tak menutup matanya lagi Bagas langsung menoleh, menatap perempuan yang kini sudah berdiri di depannya. Ayyara mengukir senyum bahagia."Wah hebat sekali, kamu langsung bisa menebak jika ini aku," takjub Ayyara. Bagas berdiri, lalu menatap Ayyara dari ujung kaki sampai ujung kepala perempuan itu dengan seksama. Memastikan jika yang ada di hadapannya ini memang Ayyara. Sudah seminggu dia tak melihat Ayyara di tempat kerja, dan hari ini perempuan itu berdiri di hadapannya."Aku hanya hafal wangi parfummu, jadi aku tahu jika ini kamu."Ayyara mengangguk paham. Dia k
"Itu salahmu sendiri, kenapa kamu harus menyerahkan tubuhmu padaku -"PLAKSebuah tamparan mendarat di pipi kiri Bagas, membuat laki-laki itu seketika terdiam. Mata Ayyara mulai memerah, menatap Bagas dengan tajam."Seharusnya kamu berpikir dulu sebelum berbicara. Aku mengizinkanmu menyentuhku itu untuk apa? Agar kamu memaafkanku, dan hubungan kita kembali membaik. Tapi sekarang kamu justru mengatakan semua ini salahku, dan kita harus melupakan semuanya. Bagas, kenapa kamu menjadi laki-laki sialan seperti ini? Dimana Bagas yang dulu? Apa yang telah menjadikanmu seperti ini?"Bagas menunduk, merasa bersalah. Di sisi lain dia sangat takut kehilangan pekerjaannya, namun di satu sisi lagi dia juga tidak tega mengkhianati Ayyara seperti ini. "Maaf Ayyara, ini bukan kemauanku. Tapi sepertinya takdir memang mengharuskan kita untuk seperti ini. Sejak awal kita memang tidak diizinkan bersama. Hubungan yang kita lakukan ini tidak benar. Kamu sudah
Pukul empat dini hari, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada pandangannya. Salah satu tangannya kini meraba ke samping, mencari sesuatu.Mata Kieran seketika terbuka lebar saat menyadari sesuatu. Dia kemudian menoleh dan langsung terduduk, menatap ke sekitarnya. Kemana Ayyara?Kieran kemudian meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurnya untuk melihat jam di sana. Dia kemudian menghela nafas pelan. "Sudah jam segini, pasti Ayyara sudah bangun lebih dulu."Mendadak sebuah notifikasi panggilan memenuhi layar ponsel yang dia pegang tersebut. Kieran mengernyit bingung saat melihat nama sang papa ada di sana. Tumben sekali Raymond menelponnya sepagi ini. Kieran kemudian langsung menjawabnya. "Halo pa."'Halo Ran. Apa kamu sudah bangun?'"Iya pa. Baru saja Kieran bangun tidur. Memangnya ada apa pa?"'Oh iya, papa hanya ingi
Kieran mengernyit, menatap Ayyara dengan sorot tidak suka. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Pasti kamu akan sembuh. Lagi pula mungkin ini hanya masuk angin, atau asam lambung. Jadi kamu harus istirahat dan makan tepat waktu agar cepat sembuh.""Tapi aku tidak pernah masuk angin. Aku juga tidak punya penyakit asam lambung. Aku tidak pernah seperti ini. Ini rasanya seperti keracunan.""Sudahlah Ayyara, jangan bicara aneh-aneh. Sekarang ayo kembali ke kamar, dan akan aku belikan bubur untukmu."Tak perlu menunggu jawaban sang istri, Kieran langsung menuntunnya menuju kamar. Namun belum sempat melangkah, perut Ayyara justru kembali mual. Perempuan itu kembali berbungkuk ke depan wastafel. Memuntahkan seluruh isi perutnya, walau hasilnya tidak ada. Hanya ludah yang dia buang ke dalam wastafel itu.Kieran mengikat rambut panjang sang istri dengan salah satu tangannya agar tak ikut masuk ke dalam wastafel. Dia lalu memijat pelan belakang leher sang istri
Setelah menghabiskan bubur yang baru saja di belikan Kieran. Ayyara tidak lagi merasa mual. Dia jadi bingung, entah karena makan bubur tersebut atau karena apa dia tak kembali mual. "Apa benar kata Kieran, aku mual karena asam lambung. Dan jika aku makan, maka mualnya akan berhenti?"Entahlah, Ayyara juga tak mau terlalu memikirkan itu. Yang terpenting saat ini dia sudah kembali sehat lagi, dan aktivitasnya jadi tak terganggu. Kieran sudah berangkat kerja. Tadinya suaminya itu ingin berangkat kerja saat keadaan Ayyara sudah membaik. Namun Ayyara marah, dan meminta Kieran untuk berangkat saja tanpa mempedulikan keadaannya. Ayyara tak mau hanya karena dirinya, pekerjaan Kieran jadi tertunda. Itu akan membuatnya merasa berhutang budi pada laki-laki itu, karena sudah mau merawatnya dengan baik saat dirinya sakit. "Sekarang aku sudah tidak merasa mual lagi. Tapi entah kenapa tubuhku masih sedikit lemas, dan malas untuk bergerak. Padahal aku sangat i
"Kenapa aku bisa hamil?" Pertanyaan sama yang terus Ayyara lontarkan berulang kali setelah mengetahui hasil pemeriksaannya tadi. Firasatnya sudah buruk setelah dia mengatakan keluhannya pada perawat, dan perawat itu justru membawanya kepada dokter kandungan. Awalnya Ayyara tak percaya, saat dokter yang memeriksanya tadi mengatakan jika dirinya telah hamil. Ayyara selalu mengelak pernyataan yang dokter berikan. Hingga akhirnya dokter memintanya untuk melakukan test pack, dan Ayyara akhirnya tak bisa mengelak lagi saat mengetahui hasilnya ternyata memang benar ada dua garis merah di alat itu setelah dia pakai.Matanya kembali terbuka, menatap benda kecil yang masih dia bawa. Hatinya selalu menjerit tak terima saat melihat dua garis merah pada benda itu. "Aku tidak mencintainya. Aku ingin bercerai dengannya. Aku tidak mau mengandung darah dagingnya. Tapi kenapa kamu justru ada di sini?" Ayyara menatap perutnya yang masih rata itu dengan
Bagas tertegun. Dia menoleh menatap Ayyara kembali dengan sorot bingung. "Apa maksudmu?"Ayyara tersenyum. Dia mengambil sesuatu di dalam tasnya, dan menunjukan sesuatu pada Bagas. Mata Bagas semakin melebar saat melihat benda yang ditunjukan Ayyara padanya itu. Namun Bagas tak mau salah mengartikan. "Lalu untuk apa kau memberitahuku jika kau hamil? Apa itu penting untukku?"Senyum Ayyara lagi-lagi harus pudar, saat laki-laki di hadapannya itu menjawabnya dengan begitu sinis. Seakan tak ada kesenangan di wajah Bagas setelah mengetahui kabar bahagia ini. "Kamu bertanya apa ini penting untukmu?" tanya Ayyara tak habis pikir. "Apa kehamilanku ini tidak penting untukmu?""Tentu saja tidak. Tidak ada hubungannya denganku. Jika kau hamil, katakan saja pada pak Kieran. Dia suamimu, bukan aku!" Bagas berbalik, berniat untuk melanjutkan langkahnya dan tak mau berbicara lagi dengan Ayyara karena itu hanya akan membua
"Berhentilah berbohong padaku Ayyara. Aku sudah tahu semuanya. Berhentilah berusaha untuk membuat hubungan kita kembali seperti dulu, karena keputusanku tak mungkin bisa dirubah. Aku sudah tidak mau lagi menjalin hubungan apapun denganmu!"Perlahan air mata mulai menggenang di kelopak mata perempuan itu. Hati Ayyara begitu perih mendengar kalimat Bagas. Kenapa Bagas jadi seperti ini? "Kamu benar-benar sudah berubah Bagas? Kamu tidak mau mempertahankan hubungan kita lagi? Setelah aku memberikan tubuhku padamu, kamu benar-benar membuangku begitu saja? Bahkan tak mau untuk mengakui jika anak dalam kandunganku ini adalah anakmu?""Aku akan mengakuinya jika anak itu benar-benar anakku. Tapi aku yakin, itu adalah anak pak Kieran. Berhentilah berbicara padaku jika kamu hanya ingin mengatakan hal tidak penting ini. Pulanglah dan bicarakan ini pada suamimu saja!" Bagas melenggang pergi begitu saja meninggalkan Ayyara. Kali ini Ayyara tak menahannya.
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.