Aku menutup kitab suci yang baru saja kubaca dan merapikannya ke tempat semula. Gus Azam sedari tadi sibuk dengan kitabnya. Entah apa yang dia cari hingga mejanya berantakan. “Mas cari apa?” “Buku Mas hilang, lupa naruhnya di mana,” jawabnya tanpa melihatku. Dia masih sibuk membolak-balik kitab yang ada di meja. “Buku apa, Mas? Aku bantu cari, deh.” Setelah merapikan mukena yang kupakai selepas salat Maghrib, aku membantu mencari buku suamiku.“Buku catatan, sampulnya warna biru,” jawabannya kemudian duduk di kursi. “Buku warna biru? Sepertinya aku pernah melihatnya.”Suamiku mengerutkan dahi. “Lihat di mana?” tanyanya sembari mengerser posisi duduknya saat aku mendekat.“Di meja, kemarin aku letakkan di dekat novelnya Anin.”Sudah tiga hari aku membaca novel yang kupinjam dari Anin, tetapi belum hatam. Gus Azam selalu menegurku jika terlalu lama membaca novel. “Mending baca Al-Qur’an daripada baca novel. Atau baca kitab uqudullujain lalu sekalian praktek sama aku.”Huft! Kitab
Aku segera mengambil jilbab dan memakainya kemudian keluar. Di ruang tamu sudah ada Nenek dan Kakek serta Pakde irul dan Bude Yuli. Mereka membawa beberapa hasil panen dari desa. Aku mencium tangan mereka bergantian, begitu juga dengan Gus Azam. Dia tidak sungkan untuk mencium tangan keluargaku. “Bagaimana kabarmu, Fia? Nenek kangen banget.” Nenek memelukku erat ketika aku sudah duduk di sampingnya. “Alhamdulillah kabar baik, Nek. Nenek juga sehat, ‘kan?”“Alhamdulillah Nenek dan Kakek sehat semua. Mereka semua terlihat senang melihatku dalam keadaan sehat. Begitu juga suamiku sudah sembuh setelah penusukan yang dilakukan Pak Rozaq. Beberapa saat kemudian Umi datang bersama Mbak Nur membawa beberapa minuman dan nasi. “Kita makan dulu, ya, Nek. Kebetulan hari ini Mbak Nur masak banyak.”“Tidak perlu repot-repot, Umi.”Aku pun berinisiatif untuk membantu Mbak Nur dan Umi menyiapkan makan malam. Entah di mana Abah, aku belum melihatnya usai Asar. Hanya Mbak Nur dan Umi yang ada di
Pagi ini aku terbangun kala mendengar suara kokok ayam saling bersahutan. Tubuhku urung menggeliat kala melihat sosok lelaki yang kini telah menjadi suamiku masih terlelap di bawah alam sadar. Aku tidak menyangka jika kami telah melakukannya semalam setelah gagal dengab beberapa kali percobaan. Perlahan aku menyingkirkan tangan Gus Azam dari perutku. Aku harus segera mandi sebelum orang rumah bangun. Di sini hanya ada sebuah kamar mandi, jadi kami harus bergantian. Namun, suamiku sepertinya terusik. Dia menggeliat dan mengerjapkan mata. “Kamu sudah bangun, Sayang?” tanyanya kemudian beranjak duduk. “Sudah, Mas.”“Mau kubantu ke kamar mandi? Ada yang sakit, nggak?” tanyanya sambil menguap. Aku malu menjawabnya. Ini adalah pengalaman pertamaku dan mungkin suamiku sudah tahu jawabannya. “Aku bisa sendiri, Mas.”Meski beberapa bagian tubuhku terasa nyeri, tetapi aku masih bisa jika hanya untuk sekadar ke kamar mandi. Kulangkahkan kaki dengan pelan hingga sampai di kamar mandi dengan
“Mbak Nur enggak usah khawatir sama aku. Hanya pegal-pegal saja, nanti setelah istirahat juga baikan.”“Aku ada kegiatan di pondok. Kamu enggak apa-apa kutinggal sendirian? Nanti telepon saja kalau butuh sesuatu.”Selepas kepergian Mbak Nur, aku mengambil sebuah novel yang beberapa hari ini kubaca. Lebih baik aku mencari kegiatan supaya tidak mengantuk. Aku membaca buku dan sesekali memasukkan sebuah keripik jagung ke mulut. Umi tadi datang membawakan camilan untukku, tetapi air putihku sudah habis. Aku tidak mungkin meminta Mbak Nur hanya untuk mengambil air putih. Kurasa aku masih bisa berjalan.Dengan sedikit tertatih, akhirnya aku sampai di dapur. Tidak ada siapa pun di sini, sepi. Aku ingin menghubungi suamiku, tetapi kutahan. Rasanya ingin segera bertemu. Padahal kami baru berpisah selama tiga jam. Oh, rindu ... kau membuatku tersiksa. Setiap detik aku selalu ingin bersama suamiku. Aku bahkan sampai menyemprotkan parfumnya supaya bisa menghirup aromanya, tetapi rasanya berbe
Aku segera duduk dan melepaskan diri dari adik iparku, tidak mau jika suamiku berpikiran yang iya-iya. Gus Azam berlari ke arah kami kemudian melepas tas dan meletakkannya asal di sembarang tempat. Gus Anam mundur ketika suamiku datang dan berlutut di hadapanku. “Kamu kenapa, Fia? Ada yang sakit?” tanyanya cemas sambil memegang kedua jemari tanganku. Aku menggeleng. Sejenak kemudian Gus Azam menatap adiknya. “Apa yang terjadi dengan Shafia, Nam?”“Dia jatuh,” jawab Gus Anam cuek. “Aku haus, Mas. Tadi bajuku tersangkut di kaki meja hingga membuatku terjatuh. Gus Anam hanya membantuku, aku tidak melakukan apa-apa dengannya.” Kulihat suamiku melirik ke arah adiknya, tetapi Gus Anam tidak menanggapi. Dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun. “Makasih, Nam,” ucap suamiku ketika adiknya sudah membuka pintu kamar. “Sama-sama,” balasnya kemudian masuk dan menutup pintu.“Kenapa kamu nggak minta tolong sama Mbak Nur aja?”“Mbak Nur ada kegiatan di pondok, Mas. Kupikir tidak apa-apa
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Gus Azam semakin membaik, tetapi ada yang berbeda dengan Gus Anam. Selama beberapa hari ini dia seolah menghindar dariku. Bahkan aku sering kali urung menegur atau menyapanya karena dia berlalu begitu saja setiap bertemu denganku. Hingga akhirnya hari ini kami akan berada dalam satu mobil. Suamiku meminta tolong kepada adiknya untuk berangkat kuliah denganku. “Tolong, ya, Nam. Aku belum bisa mengantarkan Shafia untuk beberapa hari ini. Lagian kampus kalian sama,” ujar Gus Azam ketika kami usai sarapan. “Enggak bisa gitu, Mas, nanti fansku pada menjauh kalau tahu aku berangkat sama cewek,” tolak Gus Anam.“Dih, fans apaan? Tuh di pondok banyak. Minggu ini saja, minggu depan aku usahakan mengantar Shafia sendiri.”“Tapi, Mas, enggak baik berduaan dengan yang bukan mahram dalam satu mobil.”“Shafia duduk di belakang, aku yakin kamu nggak akan macam-macam.”“Udah, Nam. Benar apa yang dikatakan Azam. Kasihan Shafia kalau harus berangkat pagi-pagi
Kami semua menoleh ke asal suara. Seorang lelaki berkacamata menegur laki-laki di depanku. Dalam sekejap dia melepaskanku, tetapi tiba-tiba kepalaku pusing. Bayangan Pak Rozaq kembali menghantui.“Tolong jangan sakiti saya, kumohon jangan mendekat!” Aku berteriak dan menutup kedua telingaku. Bisikan yang menjijikkan itu kembali hadir, menggema di seluruh indra pendengaranku. “Apa yang kalian lakukan padanya?” Laki-laki yang baru saja datang menolong mendekatiku, tetapi aku beringsut mundur. “Pergi! Aku benci kalian.” Di saat seperti ini aku butuh suamiku untuk sekadar menangis dan melampiaskan ketakutanku. Hanya dia yang bisa menenangkanku. Namun, aku tidak bisa mengganggunya sekarang. Dia sedang mengajar, tidak mungkin dia meninggalkan kewajibannya sebagai Ustaz. “Fia, dia itu dosen. Dia yang menolongmu, kamu tidak perlu takut.” Tiba-tiba Gus Anam sudah ada di sampingku. Dia tidak menjadikanku tenang, tetapi malah membuatku semakin takut. Dia memperlakukan wanita sesuka hatinya.
“Lepas, Gus! Ini tempat umum.”Perlahan dia melepas pelukannya. “Maaf!”“Aku ini kakak iparmu! Jangan sentuh aku sembarangan, Gus!”“Maaf, Mbak Nilam. Pacar saya memang galak!” ucapnya sambil mengacak kepalaku. Entah setan apa yang merasukinya. Sejenak kemudian pegawai perpustakaan yang bernama Nilam itu tersenyum. “Owalah, pantas saja enggak mau sama cewek lain, wong pacarnya cantik banget kayak gini,” puji Mbak Nilam. Gus Anam menarik tanganku kasar dan membawaku keluar dari perpustakaan. “Lepasin tanganku, Gus! Aku bisa jalan sendiri. Kenapa Gus Anam berbuat sesuka hati terhadapku? Aku bisa mengatakannya kepada kakakmu.”“Katakan saja padanya. Aku tidak takut.”Dia mengabaikan perkataanku dan membawaku duduk di sebuah bangku panjang. Di sekelilingnya banyak mahasiswa sedang menikmati makanan yang tersaji di depannya. Ini adalah ruang terbuka, tetapi penampilannya sudah seperti kafe, sepertinya ini adalah kantin. “Tunggu di sini dan jangan pergi ke mana-mana!”Aku menurut karena
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat