Share

Rahasia Besar

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-03 20:13:18

“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan.

Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini.

Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput.

Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing.

“Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek.

“Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”

Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku harus segera kembali ke pondok supaya bisa ikut meramaikan. Dua tahun terakhir, aku selalu ditunjuk menjadi pembawa acara. Namun, tahun ini adalah acara perpisahanku. Aku tidak mungkin menjadi MC lagi.

“Kapan kamu balik ke pondok? Bilang saja sama Bude biar nanti kami yang mengantarkan,” tanya Pakde Irul.

“Lusa, Pakde. Fia mau beresin rumah dulu.”

Setidaknya aku kembali ke pondok jika rumahku sudah rapi. Tadi pagi Bude Yuli sudah mengecek barang di toko. Semuanya masih bagus dan belum kadaluwarsa.

Aku akan meminta Bude Yuli supaya membuka dan mengurus toko Ibu untuk sementara waktu agar tidak ada pelanggan yang kecewa. Toko Ibu sudah memiliki banyak pelanggan. Untung sedikit tidak apa-apa asalkan lancar dan bisa balik modal.

“Ini ATM dan tabungannya. Pinnya tanggal lahir kamu. Simpan dan gunakan sebaik mungkin. Uang itu bisa kamu gunakan untuk kuliah,” ucap Pakde Irul sambil menyerahkan sebuah kartu dan buku rekening berwarna biru.

Kemarin pakde membantuku mengurus santunan jasa raharja. Aku memiliki tabungan yang cukup banyak untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan kuliah. Lulus dari pesantren nanti, aku juga bisa melanjutkan berjualan di toko Ibu.

“Insya Allah, Pakde. Fia akan menggunakan uang ini sebaik mungkin.”

Pukul empat sore, mereka bersiap pulang ke rumah. Aku mengantar mereka hingga di teras rumah. Namun, belum sempat naik ke mobil, mereka dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil sport hitam keluaran terbaru.

Seorang lelaki paruh baya turun dari mobil tersebut. Sebuah kacamata hitam bertengger di hidung peseknya. Gayanya seperti OKB, orang kaya baru. Apakah ayah memiliki teman seperti itu? Sepertinya tidak.

“Assalamu’alaikum, Pak Mujib ada?” tanya lelaki tersebut dengan senyum ramah.

Dia berjalan mendekat membawa sebuah map yang entah apa isinya aku tidak tahu. Apakah dia tidak mendengar kabar jika ayahku sudah meninggal satu minggu yang lalu.

“Ada urusan apa dengan anak saya?” tanya Kakek.

“Jadi begini, Pak. Perkenalkan nama saya Rozaq, pemilik perkebunan kopi terluas seantero kota ini. Mujib pernah meminjam uang kepada saya untuk pengobatan istrinya. Dan bulan ini dia berjanji akan melunasinya. Sebagai jaminannya, dia bahkan memberikan sertifikat rumah ini kepada saya.”

Mendadak tubuh Kakek melemas. Dia memegang dada kirinya sambil mengucapkan istighfar.

“Berapa hutangnya Mujib?” tanya Pakde Irul.

“Lumayan, sih. Cuma 150 juta,” ucapnya sambil memperlihatkan bukti surat perjanjian hutang bermeterai.

“Jangan asal ngomong, Pak. Ayah saya tidak mungkin melakukan itu. Dan Ibu saya baik-baik saja. Ibu tidak pernah sakit.”

Toko sembako Ibu sangat ramai bahkan ayah bisa membeli mobil second dua bulan yang lalu. Tidak mungkin jika ayah sampai mengambil hutang.

“Fia, yang dia katakan memang benar. Ibu kamu sakit.” Nenek merangkulku dari belakang.

“Ibu tidak sakit, Nek. Ibu sehat, dia wanita yang kuat.”

“Ibu kamu sakit, Shafia. Tini memiliki kanker payudara. Berbagai pengobatan selalu dia jalani supaya bisa bertahan hidup. Ini semua dilakukan demi kamu.”

“Nenek pasti bohong. Mengapa semua orang membohongiku? Apa salahku, Nek? Apa aku ini bukan anak kandung Ayah dan Ibu?”

“Istighfar, Fia! Adikku adalah orang yang melahirkanmu. Aku sendiri yang menyaksikan. Perihal dia tidak bisa memberikanmu adik karena rahimnya sudah diangkat. Lima tahun setelah kelahiranmu, dia keguguran. Di saat itu pula dia harus merelakan rahimnya diangkat.” Bude Yuli angkat bicara.

Jadi, inikah hal yang selama ini disembunyikan Nenek? Begitu banyak rahasia yang sama sekali tidak aku ketahui.

“Jadi, Shafia ini anaknya Mujib?” tanya orang yang bernama Rozaq itu. “Aku akan membebaskanmu dari hutang ayahmu dengan satu syarat.”

Semua orang menatap ke arahnya. Aku sendiri bingung bagaimana cara melunasi hutang Ayah yang tidak sedikit itu. Aku tidak mau jika rumahku disita, apalagi dijual oleh lelaki tua itu.

“Apa syaratnya?” Aku memberanikan diri menatap lelaki bau tanah itu.

“Menikahlah denganku!”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Ternyata.....inilah rahasia besar itu....Ibunya Shafia terkena kanker payudara.....
goodnovel comment avatar
Yuli Hastutik
bagus bgt ceritanya
goodnovel comment avatar
Senja jingga
ceritanya bagus semangat thorrt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku Padamu, Gus!   Lelaki Bau Tanah

    “Menikahlah denganku!” ucap Pak Rozaq percaya diri. “Jangan mimpi! Anda bukan selera saya. Usia saya masih terlalu muda untuk menikah.” Lelaki itu bergeming. Apa kata dunia jika aku menikah dengan lelaki tua sepertinya? Mau dikemanakan Gus Anam?Cita-citaku masih tinggi. Aku tidak akan menikah muda, apalagi dengan tua bangka seperti itu. Masih banyak hal yang harus kuperjuangkan. Aku ingin menjadikan masa mudaku bermanfaat, tidak hanya untukku sendiri, tetapi juga untuk orang lain. “Aku akan menganggap lunas semua hutang ayahmu. Hidupmu akan terjamin. Aku akan membuatkan rumah untukmu jika mau menjadi istriku yang ketiga,” ucapnya sambil tersenyum meremehkan. Istri ketiga? Aku menggeleng. Bahkan menjadi istri pertamanya pun aku tak sudi. “Mujib pasti bangga memiliki anak yang berbakti sepertimu.” Dia berjalan mendekat dan hendak menyentuh daguku, tetapi aku lekas menghindar. Selama ini Ayah dan Ibu mendidik dan menjagaku dengan baik, bahkan sampai memasukkanku ke pesantren. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-03
  • Aku Padamu, Gus!   Kesepakatan

    “Saya minta sedikit waktu kelonggaran, insya Allah saya bisa melunasi semua hutang ayah.” Aku masih punya Allah. Hanya kepada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. “Fia!” Pakde dan bude menggeleng. “Satu minggu. Senin depan kamu harus datang ke rumah saya membawa uang atau memakai gaun pengantin yang sudah saya siapkan,” ujar Pak Rozaq.“Gila!” Pakde Irul menonjok muka Pak Rozaq. “Satu minggu lagi Fia masih di pondok. Beri kami waktu tiga bulan.”“Dua minggu.” Ucapan Pak Rozaq mendapat sebuah tonjokan lagi dari pakde. “Satu bulan!” ujar Pakde. Itu bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan kalimat perintah. “Satu lagi. Jangan pernah kembali ke sini! Kami yang akan datang ke rumahmu.”Lelaki tua itu mengangkat kedua tangannya. Menunjukkan bahwa dia sudah menyerah. Syukurlah Pakde Irul berhasil mengusir dan mengulur waktu kepada lelaki itu. Kami semua kembali masuk rumah. Bude, Pakde, Kakek, dan Nenek tidak jadi pulang sore ini. Hingga azan Magrib tiba, semuanya masih diam dalam

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-03
  • Aku Padamu, Gus!   Jalan Tikus

    Pagi ini kami sudah bersiap-siap menuju ke pondok pesantren. Pukul enam pagi Pakde Irul sudah memanaskan mobil. Aku sendiri sudah memakai tas ransel dan siap berangkat. “Cepetan, Fia! Kami semua sudah siap,” teriak Bude Yuli dari luar. “Iya, Bude. Tunggu sebentar,” teriakku sambil memakai sepatu. Setelah itu, aku harus memastikan jika semuanya sudah aman. Aku mengunci semua kamar dan menyembunyikan kunci di tempat yang aman. Sedangkan kunci rumah kubagi dua dengan Bude. Aku membawa satu kunci, dan satunya lagi dibawa Bude Yuli. Setelah keluar rumah, aku tidak lekas masuk mobil. Kupandangi rumah dengan satu lantai itu. Warna catnya sedikit memudar dan banyak sekali rumput yang mulai memanjang. Satu minggu tanpa Ibu, rumahku terlihat lusuh dan tidak terawat. “Fia! Ayo naik,” ajak Nenek. Aku mengangguk kemudian menatap ke arah langit. Air mataku sudah di pelupuk mata. Aku harus kuat dan tidak boleh menangis. Aku yakin semua ini sudah digariskan takdirnya oleh Allah. Perjalanan ke

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-03
  • Aku Padamu, Gus!   Kembali ke Pondok

    Sebuah mobil melaju kencang dan lampunya menyilaukan mata. Ingin aku berlari menghindar, tetapi kakiku seolah tidak bisa digerakkan. Aku menutup mata dengan kedua telapak tangan dan berteriak sekencang-kencangnya, tetapi hingga beberapa saat tidak terjadi apa pun kepadaku. Aku membuka mata dan merasa beruntung karena mobil berhenti tepat setengah meter dariku. Aku bernapas lega, tetapi mendadak lututku lemas. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu mobil dibuka dan langkah kaki seseorang mulai mendekat. “Kamu ngapain di sini?” Suara seorang laki-laki mengagetkanku. Suara ini tidak asing bagiku. Aku mendongak lalu menatapnya. “Gus Azam?”“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya. Dia terlihat khawatir.Aku menggelengkan kepala. Dari mana dia sepagi ini? Penampilannya tidak seperti biasanya. Lelaki ini sering memakai koko dan sarung. Namun, kali ini dia memakai kemeja dan celana. Aku belum pernah melihatnya berpakaian seperti ini. Kalau pun kuliah, dia juga tidak mungkin memakai pakai

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04
  • Aku Padamu, Gus!   Dia Datang

    "Aku ada uang santunan dari jasa raharja seratus juta. Masih kurang lima puluh juta lagi. Aku bingung bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan. Kalian tidak akan percaya jika aku ke sini naik bus. Kami awalnya naik mobil bersama, tetapi keadaan memaksaku untuk turun karena lelaki tua bangka itu mengejar kami.” Aku menceritakan semua hal yang kualami kepada dua sahabatku, Nadia dan Anin. “Jika uangmu digunakan untuk membayar hutang Ayah, bagaimana kuliahmu nanti, Fia?” tanya Anindya. Aku menggeleng pelan. “Sepertinya aku akan mengubur dalam cita-citaku. Mungkin memang beginilah takdirku. Bukankah manusia itu hanya merencanakan dan Allah lah yang menentukan?” Sebelumnya kami pernah saling berjanji akan kuliah di tempat yang sama meskipun berbeda jurusan. Nadia ingin masuk jurusan sastra, aku di jurusan pendidikan guru, dan Anindya ingin kuliah kedokteran. Anindya sebenarnya santri baru, tetapi dia dengan mudah bisa bergaul dengan siapa pun. Dia mondok di

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04
  • Aku Padamu, Gus!   Masalah Lagi

    Kami bertemu di sebuah ruangan yang masih satu rumah dengan rumah Abah. Di sinilah biasanya santri bisa bertemu dengan orang tua karena bisa meminta izin langsung kepada pengurus pondok. Di sebelah kanan rumah Abah adalah gedung kantor dan madrasah, sedangkan pondok berada di samping kiri rumah Abah. “Wa’alaikum salam.” Mereka bertiga menjawab salamku saat aku memasuki ruangan ini. Kulihat Nenek dan Kakek duduk berdua di sebuah kursi, berseberangan dengan lelaki tua bangka itu. Di tengahnya ada sebuah meja kecil yang terdapat beberapa bingkisan yang entah apa isinya. Untuk apa dia ke sini?Aku berjalan menuju tempat di mana Kakek dan nenekku duduk kemudian mencium tangan keduanya. Lelaki itu juga mengulurkan tangannya, tetapi kuabaikan. “Maaf, bukan mahram.”“Tenang aja, bentar lagi kita halal, Shafia.” Lelaki itu mengerlingkan matanya hingga membuatku bergidik ngeri. Rasanya aku ingin muntah melihat tingkahnya.“Tidak akan pernah. Aku akan melunasi semua hutang ayahku. Sekali pun

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04
  • Aku Padamu, Gus!   Naik Darah

    “Siapa kamu? Nguping, ya?” tanya Pak Rozaq. Gus Azam menegakkan kepalanya. “Maaf, saya mau ambil bolpoin saya yang jatuh.” Dia menunjuk ke arah lantai.Kami semua melihat ke bawah dan memang ada sebuah bolpoin di sana. Gus Azam berjongkok kemudian mengambil benda kecil berwarna hitam itu. “Maaf, Gus. Kami membuat keributan di sini. Saya akan segera kembali ke kelas.” Aku harus segera pergi sebelum lelaki tua bangka itu mengatakan hal yang tidak-tidak. Bisa malu jika Gus Azam mendengar aku akan menikah dengan lelaki tua bangka. Ish, amit-amit jabang bayi. “Tunggu, Shafia. Kita belum selesai ngomong.” Masih terdengar samar suaranya ketika aku berlari meninggalkan Pak Rozaq. Tidak kuhiraukan makanan yang dia bawakan. Aku akan meminta bantuan Anin dan Nadia untuk mengambilnya nanti setelah Pak Rozaq pergi. Mereka pasti tidak akan menolak jika berhubungan dengan makanan. Huft! Aku bernapas lega ketika sampai di madrasah. Tamu tidak diperkenankan ke masuk di area ini. Untuk sementar

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04
  • Aku Padamu, Gus!   Memakai Cadar

    Malam ini aku tidak bisa tidur, bayangan Gus Azam ketika sedang menungguku di aula tadi siang masih menari-nari di atas kepala. Aku bahkan tidak pernah memikirkan Gus Anam sampai sejauh ini. Gus Azam jarang pulang, entah ke mana kesehariannya tidak ada yang tahu. Aku mencoba memejamkan mata kembali, tetapi aku seolah melihat Gus Azam tersenyum kepadaku. Apakah aku terkena guna-guna? Aku mulai ragu tentang perasaanku. Aku sukanya sama adiknya, tetapi kenapa yang ada di pikiran malah kakaknya?Aku menggelengkan kepala dan melihat ke samping, ada Nadia yang sudah tertidur. Tadi siang kami memakan makanan yang dibawakan Pak Rozaq, bersyukur bukan dia yang menghantui pikiranku. Ternyata makanan yang dia bawa tidak ada guna-gunanya. Lalu apa yang terjadi sekarang? Mungkin aku harus banyak beristighfar. Hari berganti demi hari. Kini tiba saatnya acara muwadaah. Waktu dua minggu di pesantren tidak menghasilkan apa-apa. Aku masih belum punya cukup uang untuk melunasi hutang Ayah. Aku membuk

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04

Bab terbaru

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

DMCA.com Protection Status