Pov Adam"Ada apa,Bi?" tanyanya masih bisa ku dengar dari teras.Sabar Dan, tunggu kejutan dari Abi agar kamu berhenti mendekati Aisyah. Dia itu milikku. Dan selamanya akan menjadi milikku. ha ha ha"Tolong jaga Aisyah Dan, jangan pernah sakiti hati dan perasaannya.Abi percaya kamu pasti bisa membahagiakan Aisyah dan cucu-cucu Abi."ucap abi walau sama-sama terdengar.Ya Allah, hatiku ambyar mendengar ucapan Abi untuk Daniel. Kenapa Abi justru mendukung Daniel bukan aku yang anak kandung Abi sendiri.Kesal dan kecewa, itu yang tengah ku rasakan. Aisyah kembalilah padaku!Ku acak rambut, frustasi.Kurebahkan tubuh di atas ranjang tepat disebelah Jesica yang tidur membelakangiku. Jesica memang selalu seperti itu tiap merajuk. Padahal dia tahu, aku hanya salah menyebut nama. Karena pikiranku saat itu hanya terisi Umi dan Aisyah. Harusnya dia tahu, aku sedang berkabung. Menghiburku kek, bukan justru merajuk seperti anak kecil begini.Kucoba pejamkan mata, namun bayang-bayang Aisyah bersama
Aku berhenti tepat di depan bangunan bernuansa klasik modern. Lalu aku melangkahkan kaki memasuki bangunan dengan nuansa indah itu."Assalamu'alaikum...," ucapku dan Daniel serentak."Waalaikumsalam," jawab Mbak Bella sambil berjalan ke arah kami."Si kembar bagaimana Mbak? Apakah merepotkan Mbak Bella?" tanyaku tak enak hati.Rasanya canggung jika harus meminta tolong Mbak Bella menjaga kedua putraku. Bukan hanya karena dia kakak Daniel tapi juga mantan atasanku. Rasanya tak sopan jika mantan bawahan meminta tolong kepada atasannya.Meski aku tahu Mbak Bella tak akan pernah mempermasalahkan. Karena kakak kandung Daniel ini sangat merindukan hadirnya tangis bayi, namun Allah belum memberikannya amanah."Mereka aman terkendali,Ais."ucapnya sambil tersenyum."Kalau begitu Aisyah pulang sekarang saja ya Mbak, takut kemalaman."berjalan menuju kamar si kembar di tidurkan."Kata siapa kamu boleh pulang?"Kusatukan kedua alis, tak mengerti maksud perkataan Mbak Bella. Kenapa aku tak boleh pu
Aku berjalan masuk ke dalam kerumunan. Mataku membulat saat melihat lelaki bersimbah darah tergeletak tak berdaya di depanku. Jantungku berdetak tak menentu. Tubuhku luruh di aspal. Bulir bening mengalir dari sudut netra tanpa bisa ku bendung.Ya Allah bagaimana ini?"Tolong dibawa ke rumah sakit Pak, dia ayah saya."ucapku dengan kaki gemetaran.Sontak semua mata tertuju padaku, ada pandangan penuh tanya ada pula yang merasa iba dan kasihan.Dua orang lelaki membopong tubuh besar Om Bram mendekati mobil putih tak jauh dari tempat kecelakaan. Aku duduk di belakang sambil memangku kepala Om Bram."Kenapa di masukkan ke dalam mobil ini Pak?" tanyaku ragu."Tadi saya lihat ayah anda keluar dari mobil ini Mbak." terang salah satu lelaki.Mobil yang sedari tadi mengawasiku adalah mobil Om Bram. Atau jangan-jangan Om Bram yang memata-matai diriku? Untuk apa dia seperti itu? Apa karena dia mencari cela menjauhkanku dengan Daniel?AstagfirullahKenapa berburuk sangka sih Aisyah?"Masa anaknya
Seorang suster datang menghampiriku. Pasti akan menanyakan pendonor darah. Atau aku saja yang menjadi pendonornya? Kebetulan golongan darah kami sama."Keluarga pasien atas nama Bram Dewantara?" tanya suster berhijab putih itu."Iya saya keluarganya.Bagaimana keadaan Om Bram ya sus?""Pasien membutuhkan segera transfusi darah. Apakah sudah mendapatkan darahnya Bu?"BismillahSemoga ini keputusan yang tepat. Dokter tidak melarang berarti aku masih bisa mendonorkan darahku untuk Om Bram."Saya yang akan mendonorkan darah,Sus." ucapku penuh keyakinan."Kalau begitu mari ikut saya Bu,agar bisa memeriksa kesehatan ibu. Semoga saja darah ibu cocok untuk pasien."Ku ikuti setiap langkah suster. Sebenarnya ada rasa khawatir karena aku masih memberi asi secara eksklusif. Semoga tidak ada efek samping untuk asiku.Kutidurkan tubuh di atas kasur khas rumah sakit. Dengan perlahan suster mengambil darah sesuai prosedur yang tepat. Ada rasa ngeri saat melihat peralatannya. Ku alihkan pandanganku ag
Aisyah duduk terdiam di kasur khas rumah sakit. Angannya berkelana memikirkan kedua buah hati yang kini jauh darinya. Apakah mereka rewel? Apakah mereka mau minum susu formula? Ya, karena asip telah habis. Itu yang selalu mengganggu pikiran wanita beranak dua ini. Apalagi si kembar tak pernah jauh dari ibunya.Aisyah tahu Mukhlas dan Mukhlis akan dijaga dengan baik oleh Bella. Tak bisa dipungkiri dalam lubuh hatinya sangat menghawatirkan kedua putranya.Seorang suster berseragam hijau berjalan mendekat. Mengeluarkan alat pengukur tekanan darah dan mulai mengukur tekanan darah Aisyah."Selamat siang Bu Aisyah. Saya ukur tekanan darahnya dulu ya." ucap suster itu ramah.Mengeluarkan sfigmomanometer atau lebih dikenal dengan istilah tensimeter. Segera mengukur tekanan darah Aisyah."Alhamdulillah tekanan darah ibu sudah normal."ucap suster dengan senyum tipis.Aisyah melengkungkan bibirnya hingga seperti bulan sabit. Ia yakin sebentar lagi bisa segera pulang. Karena kondisinya sudah memb
"Kapan kalian menikah?"Tiga kata yang tak pernah kusangka akan secepat ini keluar dari mulut Om Bram. Ini seperti mimpi. Ya Allah,terima kasih.Akan ada pelangi setelah hujan. Kata-kata bijak itu memang benar, setelah ujian bertubi-tubi akhirnya Allah memberikan kebahagian padaku. Menghapuskan setiap lara menggantinya dengan tawa bahagia."Aisyah..." panggilan Om Bram menyentakku dari lamunan."I-iya Om." jawabku tergagap."Jangan panggil Om, biasakan panggil papa, karena sebentar lagi kamu akan menjadi bagian keluarga Dewantara." ucapannya bagai angin surga untukku."Iya Om, eh Pa."Mereka tertawa melihat lidahku yang kaku saat memanggil kata papa."Nah gitu dong sayang, sekarang panggil mama ya bukan tante lagi." mama Daniel datang membawaku dalam pelukannya.Begitu hangat pelukan tante Maria, mengingatkanku kepada bunda dan Umi. Dua wanita yang telah berpulang. Semoga Allah menempatkan tempat terindah untuk mereka. Tanpa terasa bulir bening mengalir membasahi pipiku."Kenapa menan
Pov AdamDuduk di meja kerja dengan beberapa dokumen yang harus kuperiksa. Setelah kepergian Umi, banyak pekerjaan menumpuk dan harus segera aku kerjakan.Melelahkan, tapi tak semelelahkan menghadapai sikap Jesica yang kekanak-kanakan. Setiap bertengkar selalu besembunyi di ketiak papinya.Setelah kepergiannya dari rumah Abi tiga minggu yang lalu. Tak pernah ada lagi kabar darinya. Jesica seperti hilang di telan lautan. Sikapnya yang seperti ini membuatku semakin kesal padanya. Aku bahkan tak pernah memberi kabar atau bahkan mencarinya. Dia yang pergi, tak perlu lagi aku mencarinya. Karena bila aku melakukannya, Jesica akan semakin besar kepala.Tok ... Tok ... Tok.... Suara pintu diketuk dari luar."Masuk...!"Luna, sekertarisku berjalan perlahan masuk ke dalam. Ku perhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala penampilannya membuatku geleng-geleng kepala.Astagfirullah pakaian dengan bahan kurang kenapa dipakai di kantor."Selamat pagi Pak, saya hanya ingin mengingatkan bapak jika
"Sah..." ucap serempak saksi di dalam Masjid. Bulir bening mengalir dari sudut netra. Bahagia bercampur haru menjadi satu."Baarakallahu laka wabarakoa 'alaika wajma'a bainakumaa fii khoir." ucap Pak Penghulu.Tanganku menengadah, mengaminkan doa yang dipanjatkan penghulu kepada kami.Aku berjalan perlahan digandeng Mbak Bella masuk ke dalam masjid. Setiap satu langkah semakin jelas terdengar debaran jantung ini. Menikah dengan orang yang dicintai memang berbeda dibanding menikah karena terpaksa. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku.Duduk di samping Daniel, kucium punggung tangannya dengan khidmat. Daniel mencium keningku. Ada desiran hangat saat bibirnya menempel di dahiku. Membuat jantung seperti ingin lepas dari tempatnya.Daniel memegang pucuk kepala, membacakan doa dengan terbata.Aku tahu, dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Karena belajar ilmu agama tak semudah yang kita bayangkan. Banyak godaan yang akan mengiringi.Selesai menandatangani berkas-berkas dan buku nikah. Ka
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela