Pria itu terpana. Senyum Titian makin manis saja di matanya. Namun, pria itu segera sadar. Titian terlalu tinggi untuk dia jangkau. Titian seorang calon sarjana, cantik tak hanya wajah, tapi juga hati dan jiwa. Beranikah dia berharap pelabuhan hati Titian sedia menerima cinta seorang duda beranak dua untuk berlabuh di sana? Tidak! Tidak mungkin! Pria itu melambaikan tangan, ucap selamat tinggal kepada Titian, selamanya … ya, selamanya! Sakit karena pengkhianatan Rosa masih belum kering jua, tak akan hendak dia menoreh luka baru di atasnya. Luka karena kecewa. Seperti pungguk merindukan bulan. Hanya akan ada luka karena kecewa. Lebih baik lupakan saja! Begitu batinya berucap bijaksana. Namun tidak untuk Titian. Satu harapan baru terbit di hati, seolah menemukan matahari kala gelap tengah melanda. Saat Alva benar-benar telah hilang dari jangkauan. Tak masalah kalaupun Arfan bukan seorang sarjana. Tak apa meski dia seorang duda beranak dua. Titian hanya fokus pada hati, karena leta
Elma masih tak percaya dengan situasi ini. Begitu tenangnya keluarga Riris meminta izinnya untuk menikahkan Binsar dengan putri mereka. Seolah hal itu sangat wajar. Tak ada riak penyesalan atau kekecewaan sedikitpun di wajah-wajah mereka. Padahal jelas mereka sudah tahu kalau Binsar dan Riris telah berselingkuh selama ini. Masa iya, mereka tak memikirkan sedikitpun perasaan Elma? “Kau dengar nya itu, Elma? Si Binsar harus kawin lagi dengan si Riris!” Risda menegaskan. Elma masih membisu. “Tentu kau tidak ingin dimadu, iya, kan? Kami ada penawaran, kalau kau setuju?” sambung Risda lagi. “Ini, kami bawa pengacara. Biar dia yang menjelaskan pada kau! Biar jelas sama kau semuanya!” ucapnya seraya menunjuk seorang pria berdasi yang ikut di dalam rombongan itu. Pria yang ditunjuk mengangguk, senyum licik terbit di sudut bibirnya yang mungkin karena kebanyakan merokok. “Ibu saja dulu yang menawarkan, ini kertas untuk membuat surat perjanjiannya sudah saya sediakan” paparnya seraya meny
“Kau! Siapa kau tanpa izin masuk ke dalam rumahku? Keluar!” teriak Binsar bangkit dari duduknya, lalu berjalan garang menghampiri Alva. “Siapa yang memberimu izin, masuk, hah! Preman jalanan! Keluar kau sekarang juga atau aku akan meneriaki kau maling! Kau tidak takut badanmu bonyok di hajar warga? Keluar!” teriaknya lagi sembari mencengkram pergelangan tangan Alva, lalu sekuat tenaga berusaha menyeret Alva menuju pintu utama. Namun, tenaga Binsar tak ada apa-apanya bagi Alva. Jangankan bergerak menuju pintu, tubuh Alva bergeser pun tidak dari posisinya semula. Itu membuat Binsar murka. Menyadari pasti bakal terjadi kekacauan, Yogi segera menghubungi Anto, pegawai toko kepercayaan Elma. Yogi meminta agar Anto segera melapor kepada Pak RT setempat. Sementara di dalam rumah suasana kian tegang. “Maaf, Pak Binsar! Saya pengawal Bu Elma, jadi, sangat wajar jika saya ada di manapun Bu Elma berada. Tak perlu saya minta izin Anda, karena yang menggaji saya adalah Bu Elma bukan
“Hey hey hey! Ini fitnah ini! Siapa yang bilang kami telah menyuap pegawai lab, hah!” Abang Riris dan pengacara Binsar meronta-ronta saat polisi menggelandang mereka.“Apa ini! Jangan bawa anak-anak kami Polisi pek*k!” Papa Binsar dan Ayah Riris berteriak.“Maf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu juga terpaksa kami bawa semua, karena menurut laporan Pak RT, kalian telah membuat keributan di rumah Bu Elma.”Kedua pria paruh baya itu terkejut. Namun tak berani meronta saat polisi mengawal mereka masuk ke mobil.“Elma, kamu baik-baik saja?” Anyelir menghampiri Elma.“Kamu pasti kaget banget, kok bisa suamimu dibebaskan, iya, kan? Maaf, ya! Aku sempat kecolongan! Pengacara yang disewa Binsar curang. Dia bahkan berhasil membebaskan suamimu dan perempuan itu dari tuduhan. Untung anak buahku sigap. Kita dapat info kalau mereka menyuap pegawai lab,” ucap pengacar wanita itu lagi merasa bersalah.“Iya, sih, An. Aku sempat kaget. Tapi, syukurlah sekarang mereka sudah ditangkap lagi. Terima kasih, ya
Kenapa Alva malah menjawab dengan ucapan terima kasih. Kenapa tak ada kalimat bantahan sedikit saja, meski itu hanay basa basi. Agar kecewa ini tak terasa mencekik. Sakit!Tetapi, kenapa pula Elma mesti merasa sakit? Alva pria lajang dan bukan siapa siapanya. Mereka juga tak pernah ada hubungan apa-apa. Alva bukan kekasih, Alva hanya seseorang yang kebetulan bertemu, lalu mencipta sesuatu yang baru, lalu tinggalkan perih yang mengharu biru. “Ini, Buk, handuk kecil dan air hangatnya!” Bik Darmi meletakkan baskom berukuran sedang berisi air hangat di atas meja, lalu menyerahkan handuk kecil kepada Elma.“Terima kasih, Bik!” ucap Elma mulai mencelupkan handuk ke dalam baskom.“Saya ke belakang dulu, ya, Buk. Mau menyiapkan kerjaan!” Pamit Bik Darmi kemudian.Elma mengangguk.“Maf, Pak Alva. Luka di bibir dan di dekat mata Bapak agak bengkak. Saya bersihkan dulu lukanya, ya!” kata Elma yang sebenarnya merasa sangat sungkan.“Maaf, aku ngerepotin Bu Elma!”“Tidak apa-apa. Maaf, aga
“Bapak tidak boleh mengecewakan keluarga besar Bapak! Nayra pasti gadis yang baik. Dia juga calon dokter, bukan? Gadis yang berpendidikan. Pariban kandung Bapak lagi,” ucapnya menahan rasa perih.“Ya, pariban kandung. Ayahnya adalah adik kandung Mama. Harusnya dialah pemegang perusahan sekarang. Tetapi, usianya tidak panjang. Dia meninggal karena kecelakaan saat Nayra masih berusia dua tahun. Itu sebab pilihan kakek jatuh ke aku. Dan Nayra harus kunikahi. Andai saja Bik Ranita berterus terang siapa sebenarnya pria yang menghamilinya, mungkin Bang Andre akan dipilih kakek dan seluruh keluarga besar.”“Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah. Tidak ada hal apapun yang di luar ketentuannya. Bapak harus bisa menerima hal ini. Seperti halnya Pak Andre. Bapak lihat dia, kan? Sedikitpun tak terlihat keluh apalagi penyesalan di wajahnya. Dia begitu tulus, ihklas, dan bijak dalam mejalani takdirnya. Kalau dia bukan orang yang baik, mungkin dia sudah protes. Secara, dia a
“Kalau begitu saya yang minta maaf,” lanjut Elma berusaha mengalah.“Maaf kenapa?” tanya Alva dengan nada malas.“Maafkan sikap saya tadi.”“Sikap yang mana?”Elma mengehela napas panjang, lalu mengembuskannnya perlahan. Sabar! Sabar El! Yang kau hadapi ini adalah seorang anak mami! Seorang bayi besar yang sedang merajuk.“Saya minta maaf karena telah memuji-muji Pak Andre di depan Anda, Pak Alva. Saya sungguh-sungguh minta maaf!” ucap Elma akhirnya.“Bang Andre memang baik! Dia laki-laki istimewa. Papa bahkan selalu menomorsatukan dia dalam segala hal. Keluarga besar selalu meminta pendapatnya dalam segala urusan. Bang Andre itu seperti malaikat. Kalau ada dia semua beres. Tak ada yang tak bisa baginya. Sedang aku? Aku ini hanya anak pajangan! Dibutuhkan hanya saat hendak dipamerkan!”“Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan antara Pak Alva dengan Pak Andre,” sanggah Elma lembut, namun mulai sedikit tegas.“Tidak membandingkan? Jelas jelas tadi Ibu memuji-muji dia di hadapanku
Seminggu sudah Riani, Mama Alva keluar dari rumah sakit. Lusa adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Alva . Hari pernikahan telah dipersiapkan dengan begitu sempurna. Semua keluarga bersuka cita. Sang kakek bahkan tiba-tiba terlihat jauh lebih muda. Seolah-olah anak laki-lakinya telah kembali ke dunia. Alva adalah penggantinya. Pemegang tampuk pimpinan perusahaan yang telah dia bangun dan perjuangkan dulu.“Cucu Kakek! Kebanggaan kakek! Mau ke mana pagi-pagi begini? Calon pengantin baru tak boleh keluar rumah lagi menjelang hari ha! Kalau ada apa-apa, biar Andre yang urus!” Sang Kakek mencegat Alva saat sudah menaiki motornya.“Bentar, Kek!” sahut Alva menstater motor, lalu melajukan meski sang Kakek berteriak menghalangi.“Andreeee …!” teriaknya panik.“Ya, Kek!” Andre berlari menghampiri.“Ikuti Alva! Cepat!”Andre segera mematuhi perintah. Tergesa masuk ke dalam mobil.“Aku ikut!”Nayra tiba-tiba menerobos masuk. Wajahnya ditekuk dengan bibir manyun sepa
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca