“Bukan untuk saya tonton. Tapi untuk barang bukti, dasar saya menggugat cerai suami saya.”“Oh, Ibu akan segera bercerai?”“Ya.”“Syukurlah!”“Bapak senang saya bercerai?”Saya akan mendukung apapun yang terbaik buat Ibu.”“Terima kasih, Pak!”“Ya, Bu! Tapi, Ibu tak perlu menunggu Bang Arfan. Saya akan kirim video itu ke nomor Ibu.”“Bapak masih menyimpannya?” Bola mata Elma menukik tajam di manik mata Alva. “Buat apa Bapak simpan video itu? Pria single tak baik menonton adegan menjijikkan seperti itu! Kalau Bapak terangs*ng bagaimana? Istri belum punya? Gimana, coba?” Elma terlihat kecewa.“Bu Elma, saya hanya merekam, lalu menyimpan. Sama sekali tidak saya tonton. Sengaja belum saya hapus, untuk jaga-jaga, siapa tahu kelak dibutuhkan. Kalau di ponsel Bang Arfan terhapus, kita akan kehilangan barang bukti itu, iya, kan?”“Janji, Bapak tidak akan menontonnya?” tuntut Elma.“Janji! Sumpah bila perlu. Lagi pula aku juga jijik melihat video itu. Apa yang menarik di situ coba? Mau li
“Astaga, segitu bejatnya, suami kamu, El?” Anyelir terenyuh.“Hem, dan yang paling mengejutkanku, dia bahkan tega menghancurkan rumah tangga abang aku, An. Kamu ingat abang aku, kan? Bang Arfan?”“Tentu. Saat kita kelas satu SMA dulu, dia udah kelas tiga. Cewek-cewek suka banget godain dia karena pendiam, alim, dan terkenal takut sama cewek, iya, kan?”“Iya, benar. Abang aku baik banget, kan, An? Tapi sayang nasibnya kurang beruntung. Dia nikah dengan perempuan matre, juga tukang selingkuh.”“Jangan bilang kalau kakak ipar kamu selingkuh juga dengan suamimu!”“Nyatanya begitu.”“Astaga! Sempurna banget hidupmu!”“Itu sebabnya sekarang aku udah sangat yakin untuk menggugat cerai suamiku. Tapi aku tak tahu apa-apa untuk urusan ini. Kata mertua dan suamiku, aku gak akan bisa menggugat pisah. Aku terikat pernikahan dengannya tidak hanya secara hukum dan agama. Tetapi aku juga terikat secara adat. Aku gak paham, An. Itu sebabnya aku telpon kamu! Aku ingat, dari informasi terakhir y
“Duh, aku sangat bersyukur, El! Terima kasih, ya!”“Aku tidak berbuat apa-apa, An. Aku hanya memberi kepercayaan padanya. Dan dia merasa menjadi orang yang berguna karena itu.”“Ya, aku akan dekati Mama dan Papa agar mau mnegalah saja pada Alva. Tetapi tentang Nayra, Alva tidak bisa menolak. Nayra adalah pariban kandungnya. Perusahaan itu adalah milik keluarga besar. Alva harus menikahi Nayra, agar tak timbul sengketa di keluarga besar.”“Hem aku paham.”Nyes!Perih!Entah kenapa hati Elma begitu perih mendengar kenyataan itu. Demi keluarga besar. Agar tak terjadi sengketa di keluarga besar. Alva harus menikahi Nayra.Kenapa Elma sedih?**Risda bangun lebih awal pagi ini. Hampir sepanjang malam tadi dia tak bisa tidur. Pikirannya begitu kalut dengan semua yang tengah terjadi. Prahara yang melanda rumah tangga putranya teramat pelik. Ancaman Arfan sangat menakutinya. Hari ini mereka harus meninggalkan rumah ini. Kalau dia dan Binsar pergi, artinya dia telah gagal.Tak pernah
Bab 71. Ranjang Mesum di Kamar Elma“Padiku nya, Kak, bukan burungku yang mau kujaga. Biarlah, hari ini berpesta burung itu makan padiku. Daripada permainku jadi janda. Tak selamat dunia akhiratku karena disumpahi abang tuaku, Kak.”“Ya, sudah! Cepatlah kau datang!”“Iya, Kak, datangpun aku.”(Permain = sebutan untuk anak keponakan perempuan, anak dari abang)*Rencana D sedang berjalan, mudah-mudahan sukses. Tapi, Risda harus mencari uang pegangan. Perutnya mulai lapar.‘Aku harus mencari uang lagi. Mengharapkan Binsar dan Riris tak mungkin. Apa lagi yang bisa kujual sekarang?’ Risda berpikir keras.Wanita itu lalu beringsut turun dari kasur, berjingkat menuju ruang tamu. Dia ingat di sana ada sebuah lemari hias. Di dalamnya dipajang banyak porselen mewah. Satu set piring antik Chinoiseries menjadi sasarannya.Dia tahu harga satu set hiasan antik itu bisa mencapai jutaan. Bila dia jual separuh harga saja, maka dia sudah untung besar. Tak peduli Elma akan mengamuk karena kehilan
Bab 72. Racun Mematikan Buat Elma“Kau bilang apapun boleh kujual kalau tak punya uang! Lapar aku, Binsar! Kau tak mampu menyediakan makanan buat mamamu ini, iya, kan?” Risda tersinggung dengan tatapan tajam dari putranya.“Aku tidak marah Mama jual apapun di rumah ini! Tapi setidaknya bilang dulu sama aku, Ma! Berapa uang nya tadi, semua?” Binsar terpaksa mengalah.“Sejuta!”“Hem pas kalilah, aku butuh delapan ratus ribu! Aku pakai dulu, ya, Ma! Ini selembar buat beli nasi padang Mama.”Binsar menyerahkan seratus ribu buat ibunya, lalu gegas masuk ke dalam kamar. Menguncinya dari dalam. Masih terdengar ibunya mengomel panjang pendek, namun Binsar tak menghiraukan.“Cepat Ris! Kita bergerak! Uangnya sudah ada! Nanti saja dilanjutkan yang tadi! teriaknya bersemangat.*Sepasang durjana turun dari sebuah angkutan umum di depan gerbang rumah sakit Matern*. Sesuatu disembunyikan di dalam tas sandang si wanita. Melangkah dengan pasti menuju ruang perawatan Elma. Tak ada perawat jaga
Bab 73. Detik-detik Kematian Elma“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkaun, cobalah beberapa saat lagi!” Itu jawaban yang dia terima. “Alva! Kamu di mana, sih! Mama sekarat lagi, Al! Tolong angkat! Tolong aktifkan ponselmu, Dek!” pinta Anyelir memelas.“Percuma menelpon Alma juga. Alva tak ada di sana. Alva kau di mana, sih!” desah wanita itu lagi, seraya bersender di jok taksi.**Sementara di ruangan Elma, wanita itu tengah berbincang dengan seorang perawat jaga.“Hasil tensinya bagus, Bu. Suhu tubuh juga sudah normal. Kalau kondisi Ibu terus membaik, saya yakin besok sudah bisa pulang,” kata sang perawat sambil menyuntikkan obat melalui selang infus. Aliran cairan dari botol infus dihentikan untuk sesaat agar obat bisa masuk ke tubuhnya.“Terima kasih, Suster. Semoga besok sudah bisa pulang,” ucap Elma sedikit meringis. Ada sedikit perih di pergelangan tangannya saat obat yang disuntikkan mulai mengalir di urat nadinya.“Iya, Bu, sama-sama. Sudah, ya,
Bab 74. Selamat Dari Kematian“Suster …! Security …!” Alva berteriak sembari menekan tombol pemanggil di atas kepala Elma.“Kau!” Bisar ikut berteriak tak percaya. Pria itu segera menyambar jarum suntik berisi racun yang sempat tercampak di bagian kepala ranjang.Namun, gerakannya kalah cepat dari Alva. Benda mematikan itu kini berada di dalam genggaman Alva.“Kembalikan! Jarum suntik itu hanya berisi vitamin! Biar Elma cepat pulih!” Binsar berusaha merebut benda itu dari tangan Alva. “Riris, bantu aku merebutnya! Cepat!” teriaknya kepada Riris yang masih mengembus-embus tanganya yang memerah bengkak karena terjangan kaki Alva. Wanita itu mencoba membantu sang kekasih.Alva berusah mati-matian mempertahankan benda yang akan dia jadikan sebagai alat bukti itu. Berkali-kali pukulan dan terjangan dari Binsar mendarat di tubuhnya, dia tahankan demi benda itu tetap berada di dalam pegangannya.“Ada apa ini, Pak Alva? Bang Binsar! Riris!” Elma terjaga dari tidurnya. Wanita itu mneguc
“Iya, Mama. Tante Titian cantik, baik, sayang sama kita. Apalagi sama Adek Tampan. Tadi malam adek Tampan bobok dipeluk sama Tante Tian. Lucu, deh, Ma! Adek Tampan minta nenen sama Tante Tian, hihihi … Enggak ada air susunya, Tampan! Kata Tante Tian, gitu, hihihi ….” Vita tertawa, terdengar begitu bahagia.Elma ikut tertawa, meski hatinya masih dilanda resah. Entah kenapa dia merasa resah, setelah mengetahui kalau ternyata Alva sudah punya pacar. Bahkan sang pacar dia tunjuk sebagai kasir di tokonya.“Mama … suruh Om Alva ke sini, ya! Jemput kita. Kita kangen sama Mama! Cepetan!”“I-iya, Sayang! Om Alva akan segera ke sana! Sabar, ya!”“Dadah, Mama! Emmmmuaach!”“Emmmuach, Sayang!”Elma mengakhiri panggilan, lalu menyodorkan ponsel itu kepada Alva. “Pergilah! Mereka menunggu!” ucapnya dengan bada datar. Sedatar wajahnya saat ini.“Ya, tapi, ada yang mau aku jelasin.” Alva menatapnya serius.“Tentang?” tanya Elma balas menatap.“Titian.”“Hem, aku sudah tahu. Vita barusan jelasin, b
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca