Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 33
Acara lamaran Ratih masih berlangsung di ruang tamu. Aneka macam suguhan tertata rapi di atas karpet yang digelar memenuhi ruangan. Para tetua kampung sudah duduk memadati ruangan yang disediakan untuk menjamu para tamu.Ratih tampak cantik dengan kebaya marun dengan bawahan batik warna senada. Hijab yang menutupi dadanya membuat penampilannya tampak anggun. Wajah Ratih juga tampak berbeda dari biasanya, dengan make up natural membuatnya terlihat lebih segar. Ia berjalan dengan anggun dari kamarnya menuju ruang tamu tempat dimana Arya sudah menunggu untuk menyematkan cincin sebagai tanda ikatan antara mereka berdua.
Berbeda dengan Ratih, Ibu mengenakan gamis warna salem berbahan katun dengan kombinasi brokat di dadanya. Memakai hijab lebar menutupi sebagian dada, juga memberi sedikit sapuan bedak pada wajah tuanya yang membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya.
Berbeda dengan mer
Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 34"Dek, Mas kan sudah bilang, nggak usah terlalu ngoyo bantu ibu!" ucap Mas Yusuf menjelang tidur malam. Kami sudah naik ke atas tempat tidur, menemani Rumi yang sudah terlelap sejak tadi."Gimana mau ngga ngoyo, Mas. Lihat ibu begitu sama aku, mau makan aja disuruh blender bumbu dulu." Aku semakin merapatkan tubuh pada Mas Yusuf. Berbantal lengan kirinya agar tubuh kami makin erat.Ini adalah saat yang paling menyenangkan bagiku setelah ia kembali bekerja di pabrik, karena kami bebas mengeluarkan isi hati dan pikiran sebagai obrolan sebelum tidur. Kami bebas berdiskusi, untuk masa depan keluarga kecil ini nantinya.Setelah sekian tahun menikah, keadaan seperti ini baru aku lakukan setelah Mas Yusuf pulang dari rumah sakit kemarin. Saat dimana ia menyadari bagaimana sikap ibunya terhadap kami. Ketidakpe
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 35Pagi ini Mas Yusuf mengajakku melihat kondisi rumah yang akan kami sewa. Rumah minimalis dengan pagar setengah dada di depannya. Rumahnya sudah di renovasi sehingga tak nampak bentuk asli perumahannya. Bagus menurutku, tapi entah berapa harga sewanya, mungkin bisa sampai diatas lima juta per tahunnya.Sebenarnya aku ragu soal harga sewanya, takut jika keuangan kami tak menjangkau, namun Mas Yusuf berhasil meyakinkanku."Bagaimana Dek rumahnya? Kamu suka?" tanya Mas Yusuf meminta pendapatku.Sedangkan aku, sibuk mengamati setiap sisi rumah ini. Tampak bersih dan nyaman, hanya saja debu di atas lantainya lumayan tebal, mungkin karena lama tak dibersihkan oleh pemiliknya."Bagus sih Mas. Tapi, bagaimana harga sewanya? Kurasa harganya bisa sampai di atas lima juta pertahunnya. Sedang jika uangku kemarin untuk bayar sewa semuanya, hanya tersisa sedikit saja. Padahal kita masih harus beli
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 36"Masak gitu aja nangis, Mas?" tanyaku pada Mas Yusuf yang baru saja menceritakan sebab ibu menangis."Namanya juga orang tua Dek. Pasti punya kekhawatiran sendiri!" Jawabnya seraya merebahkan diri di sebelahku. Sedang aku masih sibuk dengan ponsel di tanganku."Khawatir gimana? Harusnya senang dong anaknya sudah bisa hidup mandiri? Meskipun masih ngontrak!" ucapku tak terima."Mungkin khawatir nggak ada yang bantu urus rumah kali!" imbuhku."Huss mulutnya!" Sahutnya sambil meletakkan jari telunjuk di tengah bibirnya."Ya apa lagi coba yang dipikirkan? Warung biasanya aku yang bantu beresin, rumah aku yang bersihin, bantu cuci gelas bekas kopi, kalau aku nggak ada? Capek dong ibu ngerjakan sendirian!" selaku tak mau berhenti. Takut bila Mas Yusuf s
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 37Malam ini tubuhku rasanya remuk sekali. Capek dengan segala rutinitas yang tak ada habisnya. Warung tutup, tetapi diganti dengan merawat ibu bergantian dengan Ratih. Tak lupa juga sambil sedikit-sedikit mengemasi barang-barang yang tak terpakai ke dalam kardus besar yang kemarin sudah dibeli Mas Yusuf untuk mengemasi barang sebelum pindahan.Rumi yang masih kecil juga turut menjaga neneknya. Ia senantiasa menunggui neneknya yang sedang terbaring lemah di ranjang kamarnya. Rumi dan Ratih duduk di bawah ranjang ibu sambil bermain ponsel, namun dengan sigap berdiri saat ibu butuh sesuatu.Malam ini giliran Mas Yusuf yang terjaga untuk merawat ibu, tidur di luar kamar ibu agar lebih cepat mendengar saat ibu memanggil.Setelah diperiksa oleh dokter tadi sore, ibu mengalami tekanan darah tinggi juga kelelahan ak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 38Malam kian larut, Mas Yusuf sudah terlelap dalam tidurnya. Sikapnya yang selalu siaga merawat ibu membuat tubuhnya terasa lelah. Sekuat apapun tubuh lelaki, masih lebih kuat tubuh wanita. Terbukti dengan kebiasaanku di rumah yang tak ada habisnya, namun aku masih sanggup terjaga untuk sesekali melihat keadaan ibu mertua.Sungguh tak ada dendam dalam hati meskipun ucapannya selalu meninggalkan bekas. Saat sedih, aku hanya mampu melupakannya dengan air mata, setelahnya perasaanku menjadi lebih baik.Ibuku selalu mengajari untuk tak meninggalkan dendam kepada orang yang sudah menyakiti kita. Sering sekali ibu memberikan nasehat itu untukku, namun baru kali ini kupraktekkan. Semakin aku dongkol dengan sikap ibu, semakin membuatku merasa terbebani.Sedikit demi sedikit, aku belajar menerima segala macam s
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 39"Maafkan Mas Yusuf ya Bu." Kupeluk tubuh rentanya agar ia merasa tak sendiri."Nggak apa-apa. Sekarang Yusuf sudah berani bentak-bentak ibu." Ibu terus menyusut air matanya yang kian deras mengalir."Bukan membentak Bu, hanya saja kami sayang dengan ibu. Nggak maja ibu terlalu capek dulu.""Ibu itu sudah terbiasa bekerja keras, nggak bisa kalau badan sehat tapi tiduran aja di rumah!" Suara isakan ibu masih terdengar di sela-sela ucapannya."Sementara saja, Bu. Besok insya Allah sudah boleh jualan lagi, biar besok Alina yang bicara sama Mas Yusuf. Kalau dulu ibu sudah bekerja keras untuk menghidupi putra putri ibu, izinkanlah sekarang kami yang membiayai kebutuhan ibu," ucapku mantap.Meskipun tak jarang aku sakit hati karena ucapannya, aku tetap berusaha untuk membantu Mas Yusuf m
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 40Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Setelah drama dengan mertua yang berat melepas putranya untuk hidup mandiri juga karena ibu yang mendadak sakit. Kini kami sudah berada di rumah ini bersama keluarga kecil kami.Tak bisa kugambarkan betapa bahagianya aku bisa lepas dari sangkar mertua. Meskipun kewajiban seorang anak laki-laki yang tetap harus berbakti pada ibunya, tak membuat kami lantas bertahan hidup bersamanya selamanya. Berbakti tidak harus tinggal bersama, tapi bagiku berbakti bisa berupa apa saja. Rasa sayang terhadap orang tua tetap bisa diberikan meskipun kami tinggal berjauhan. Jaman sudah canggih, yang jauh pun terasa dekat dengan adanya ponsel yang kekinian.Tak sia-sia aku bertahan beberapa tahun hidup bersamanya untuk mengambil hati mertua. Terbukti sekarang sikapnya sudah jauh lebih baik dari pada awal aku tinggal di rumahnya.
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!"Habisin makanannya, Kak.""Iya, Ma. Makanannya enak, Kakak suka," ucap Rumi, anakku yang usianya sudah menginjak tujuh tahun."Kamu juga makan dong, Sayang," sahut Mas Yusuf, suamiku. Suami yang sangat kucintai karena sikapnya yang penuh perhatian padaku."Nggak berani makan banyak, mungkin takut gendut!" sela ibu mertuaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya, sebab aku tahu sikapnya padaku memang begitu. Ketus, tapi bukan berarti tak suka, hanya saja mulutnya suka asal bila bicara. Namun sekarang aku tak pernah ambil hati, biarlah. Suka-suka mertua mau bilang bagaimana.Aku, Alina. Istri dari Yusuf Abdullah yang dulu hanya ibu rumah tangga sekarang menjelma menjadi wanita karir yang sukses. Meskipun hanya sukses mengelola sebuah butik, bagiku itu sebuah pencapaian yang baik.Berawal dari membantu keuangan Mas Yusuf untuk membayar uang kontrakan, aku bekerja keras agar keadaan ekon
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk