Apa ini, Mas?" tanyaku pada Mas Wahyu.
"Itu surat gugatan cerai kita, Fi," jawabnya datar dan langsung membuang wajah menatap pada jendela kamar.
Aku mengambil surat yang tadi tergeletak di pangkuanku. Membaca isinya, benar saja! Itu surat perceraian.
Aku menjalankan kursi rodaku, mensejajarkan badanku pada Mas Wahyu. Sama-sama menatap kedepan jendela.
"Kenapa, Mas?" Aku masih berusaha bertanya.
"Kenapa! Tentu kamu lebih tahu alasannya. Aku tak mau punya istri cacat seumur hidup!" Jawaban Mas Wahyu mampu meruntuhkan benteng didalam dadaku. Selama ini, aku cukup bersabar, sangat tahu semua yang ia lakukan di belakangku tapi ... Tak menyangka jika Mas Wahyu akhirnya mengugat perceraian.
"Hanya karena itu? Apa kamu ingin menikah dengan wanita lain?" tanyaku dengan nada bergetar.
"Ya, aku laki-laki normal, Fi. Tak mungkin terus terkungkung oleh ikatan yang ... Ah! Aku tak dapat menjelaskan!" Seru Mas Wahyu.
Aku bergeming, mungkin Mas Wahyu menginginkan gairah ranjang yang tak monoton. Sejak aku lumpuh, aku masih bisa memenuhi kebutuhan biologisnya, tapi tak mampu berbuat banyak. Hanya bisa berbaring dengan mengikuti Mas Wahyu hingga ia terpuaskan.
"Apa kamu sudah pikirkan semuanya, Mas? Sudah tak ada cinta kah padaku sedikit saja sebagai alasan untuk tetap bersama. Aku yakin, aku janji aku akan segera sembuh dan menjadi wanita normal."
Mas Wahyu berdecih, seolah apa yang aku ucapkan hanya omong kosong belaka.
"Kalau boleh tahu siapa wanita yang menggantikan posisiku di hatimu, Mas?" tanyaku kembali, aku memutar roda hingga mengambil jarak lebih dekat padanya.
Masih bergeming.
Mas Wahyu seolah ragu untuk mengatakan siapa wanita yang telah bisa merebut hatinya.
"Mas?!"
"Sebenarnya ... Sebenarnya aku sudah menjalin hubungan dengan Linda, maaf! Linda menginginkan aku menikahinya segera!"
Jederrrr
Linda?
Dia adalah sepupuku, sepupu yang selama ini aku biayai sekolahnya karena dia sudah jadi yatim sejak kecil. Dia ... Dia memang sekarang bekerja satu kantor dengan Mas Wahyu dan kutempatkan sebagai sekretarisnya.
Tak menyangka ia menikam aku dari belakang. Tak ada sedikitpun rasa iba kah dia? Setelah kecelakaan yang kualami satu tahun ini. Bukan simpatik mereka justru bermain hati.
Fix.
Aku mengusap air mata yang mulai jatuh. Tak akan kubiarkan ini mengalir dari mataku untuk laki-laki yang tak pernah setia.
"Baik, Mas. Aku akan kabulkan permintaanmu. Tapi, kamu tak lupa sesuatu kan?" tanyaku memastikan.
Mas Wahyu langsung menatapku tajam. Mencari jawaban atas apa yang telah aku pertanyakan.
"Apa?" Dia masih tak menemukan jawabannya.
Segera aku beranjak dari kursi roda, menuju nakas tempat aku meletakan ponselku. Sebelum aku menekan tombol telfon, kulirik Mas Wahyu yang sepertinya terperanjat melihatku sudah bisa berjalan.
"Hallo, Pak. Saya ingin memecat direktur utama di perusahaan AFI Mandiri. Segera lakukan perintah saya!" Aku kembali melirik pada Mas Wahyu yang masih mematung. Tentu dia shock akan apa yang baru terjadi.
"Satu lagi, Pak. Pecat juga sekretaris-nya tanpa hormat. Linda Merlia!"
Tutt!
Kulempar ponsel ketempat tidur dan berjalan menuju dimana Mas Wahyu berada. Dapat kulihat pias wajahnya tak secerah saat meletakan surat gugatan cerai seperti tadi.
"Kamu lupa, Mas. Kalau aku CEO di perusahaan?!"
Jlebbb!
Kamu lupa, Mas. Aku CEO di perusahaan?!" tatapku sinis.Tubuhku bergetar, sebenarnya aku belum bisa berjalan dengan sempurna. Masih satu langkah dua langkah. Namun, ternyata kekuatan hati yang tersakiti mampu bangkit hingga aku seolah telah bisa jalan sempurna.Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Aku tak boleh terlihat bahwa aku masih lemah. Kulirik Mas Wahyu yang masih mematung.Terlalu shock kah dia?"Fi ... Ta-tadi aku ngga serius loh! A-aku hanya bercanda dan kamu kasih kejutan ini. Alhamdulilah, akhirnya kamu bisa jalan lagi." Mas Wahyu mendekat padaku. Duduk tepat disebahku.Kenapa? Nyesel!"Iya, Mas. Seperti yang kamu lihat. Aku kembali bisa berjalan. Sayang kamu tahu dan terlambat!" "Ter-terlambat bagaimana, Fi? Ki-kita masih bisa bersama kan?" Mas Wahyu terlihat panik.Munafik!"Bersama?""Iya, bersama. I-ini aku batalkan!" Ia meraih kertas yang ia berikan tadi dan menyobeknya. "Semua akan kembali seperti dulu. Aku masih mencintaimu, Fi."Cuihhh!"Kamu pikir aku bodoh,
"Pergi! Pergi semua kalian dari sini!" Tubuhku benar-benar sudah bergetar hebat. Tak tahu lagi berapa lama aku bisa berdiri. Linda terlihat bingung, namun Mas Wahyu membawanya keluar segera dari sana. Aku bernafas lega. Menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Kupandangi kakiku yang terlihat gemetar hebat. Mungkin efek di paksakan."Asih!" Aku memanggil penjagaku yang selalu membantu aku kemanapun aku pergi. Dia akan stanby didepan pintu kamar saat aku didalam."Iya, Bu." Ia masuk dengan sedikit tergesa. Mungkin tadi mendengar keributan."Ibu, ngga papa?" tanyanya khawatir saat melihat aku yang tengah kelelahan.Dengan sigap ia mengambilkan air minum dan membantu menyodorkan gelas itu pada mulutku."Terima kasih, Sih. A-aku tadi terlalu memaksakan. Kakiku rasanya kaku kembali." Aku berbicara terus terang. Asih langsung mengangkat kakiku agar lurus dan sejajar.Dia memijit berlahan, aku kesakitan. Rasanya linu semua tulang kakiku."Lebih baik kita kembali kedokter saja, Bu!" Usulnya. Aku
Aku ingin sepertimu, Mbak. Punya segalanya! Bukan hanya penumpang atau mendapat belas kasihan. Selama ini aku selalu iri dengan apa yang kamu miliki!" Linda berkata tanpa tersendat. Seolah ia tengah meluapkan segala isi didada.Aku tertegun. Tak menyangka jika selama ini, Linda memiliki rasa iri yang luar biasa. Padahal ... Segala sesuatu aku bagi dengan adil, bahkan ayah saja memperlakukan dia tak berbeda denganku."Kamu, Mbak! Selalu jadi kebanggan Om Indra. Kamu selalu saja di agung-agungkan di depan semua orang. Bahkan nama kamu juga yang akhirnya di sematkan dalam nama perusahaan Om Indra. Sedangkan aku? Aku ... Aku selalu di kesampingkan. Seolah tak pernah terlihat oleh mereka, dalam hal apapun Om Indra tak pernah menyebut namaku."Aku menelan saliva, ternyata hal sepele seperti itu saja mampu membuat hati Linda iri. Ternyata semua yang di berikan Ayah untuk Linda, masih saja dianggap tak bermakna."Aku! Aku hanya anak dari Kakak Om Indra. Ayahku meninggal dan ...." Linda menjed
Kubuka pintu kamar ayah. Dia tengah terlelap dalam mimpi. Ayah terkena stroke sudah tiga tahun lamanya. Dia hanya bisa berbaring, bahkan untuk bicara saja aku harus memanggil ahli tercemah karena dia sering mengatakan hanya dengan sandi mata."Ayah!" Panggilku pelan. Kucium tangannya lembut. Ia membuka mata dan sedikit dapat kulihat ia tersenyum.Ingin aku tanyakan tentang apa yang tadi di ucapkan oleh Linda, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Terlebih tak ada Reno--penerjemah ayah-- dia sedang izin ada acara keluarga."Ayah tetap sehat ya, Afi akan meneruskan perjuangan ayah yang masih panjang. Afi janji tak akan ada yang bisa merebut apapun, apa yang telah ayah raih dengan meringat dan darahmu." Aku berkata dengan pelan. Namun, aku menangkap bola mata ayah yang berkaca-kaca."Ayah tak perlu khawatir. Afi sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maafkan Afi yang terpaksa akan mengusir Linda keluar dari rumah ini. Afi rasa Kita sudah cukup berbaik hati pada mereka. Biar
Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu."Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.Ia meremas wajahnya kasar."Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu."Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahka
Oh, jadi kamu itu sebenarnya kesayangan Pak Indra? Saya hanya rekan bisnisnya. Yang sebentar lagi perusahaan ini akan berpindah tangan. Saya yang akan menggantikan kepemilikan perusahaan." Aku sengaja berbohong. Aku ingin tahu kesetiaannya pada Ayahku."Oh, begitu, Bu." Dia tertunduk. Ada raut sedih tergambar jelas disana."Kenapa? Saya tak akan memperhentikan kamu kok, asal tetap bekerja sesuai prosedur.""Terima kasih, Bu. Saya hanya sedih. Semenjak Pak Indra terkena stroke. Saya belum pernah berjumpa. Ingin kerumahnya tapi ... Saya segan. Saya ini bukan siapa-siapa beliau." Katanya dengan jujur. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam padanya.Aku menatapnya ragu. Benarkah dia ingin bertemu dengan Ayahku?"Kalau saya kabulkan keinginanmu, apa kamu mau berjanji untuk bekerja lebih giat?" Dia langsung mengadah, menatapku dengan wajah berbinar."Ten-tentu, Bu. Saya berjanji, bahkan akan saya lakukan lebih baik. Saya sungguh hanya rindu beliau yang selama ini saya rasa sebagai panut
"Bu Bos, yakin mau salat disini?" Asih bertanya. Aku mengangguk. Kemudian menyuruh Asih untuk membawa aku menuju tempat wudhu.Setelah itu membawaku masuk kedalam masjid. Sayang saat masuk Adzan telah selesai hingga aku tak bisa tahu suara siapa tadi yang sangat indah itu.Suasana masjid saat salat dhuhur ternyata membuatku kagum. Dari sekian banyak karyawan hampir separuh lebih menunaikan kewajiban untuk salat terlebih dahulu sebelum istirahat. Benar-benar sebuah kejadian yang hampir langka di jaman sekarang.Seorang perempuan muda yang salat disebelahku. Dia dengan sigap membuka mukena saat telah selesai."Mbak, karyawan baru? Saya baru lihat." tanyanya padaku yang sama juga tengah melepas mukena. Asih yang berada di sisi kananku beranjak namun segera kusuruh duduk kembali dengan kode."Iya, kebetulan hari ini baru kekantor dan baru pertama kali salat disini."Dia tersenyum, "Ya beginilah keadaan kalau waktu salat. Semua ini berkat Pak Indra yang dulu mengharuskan untuk melaksanakan
"Maaf, ngga sengaja!" ucap Faizal yang langsung membereskan botol yang roboh. Aku yakin dia tadi itu ....Ah! Mungkin perasaanku saja. Sejenak semua yang hadir didalam ruangan meeting menatap Faizal. Setelah ia berlalu pergi, aku kembali fokus pada orang yang tadi mengejek."Salahnya? Seorang CEO harus lumpuh. Apa kerja CEO menggunakan tenaga? Apa kerja seorang CEO itu harus bisa berjalan dan berlari. Yang lebih di butuhkan untuk pemimpin itu ini!" Aku menunjuk kekepala.Sejenak ruangan hening."Apa kalian ragu untuk bekerja dengan saya?" Aku menatap satu persatu orang. Kebanyakan mereka tertunduk."Kalau CEO butuh turun lapangan dengan fisik yang kuat dan prima. Terus apa gunanya saya punya kalian?"Lagi!Masih hening."Ada yang masih meragukan kemampuan saya? Sekarang juga saya persilahkan keluar. Saya tak butuh karyawan yang masih meragukan atasannya. Walau seperti ini keadaan saya. Insya Allah saya bisa bekerja sesuai dan sejalan dengan Pak Indra!"Beberapa karyawan saling tatap.
"Soal Faizal ....""Aku siap kok, Om. Jika disuruh nikah sama dia sebagai syarat untuk mendapatkan perusahaan. Lagian aku sudah tahu jika Faizal itu laki-laki salehah. Itu yang penting, agar bisa membimbing kita sebagai istri kejalan yang benar." Ucapan Linda tentu membuat hatiku berdenyut nyeri. Rasa apa ini hingga aku seperti tak ikhlas mendengar apa yang baru disampaikan oleh Linda. Aku memajukan bibir.Ayah tersenyum. Apa benar ayah akan melakukan itu. Ia tak berkata namun mendekat pada kami berdua."Masalah yang satu ini kan berhubungan dengan perasaan Faizal. Jadi semuanya aku serahkan Padanya. Datanglah kekantor esok hari dan kamu akan mendengar keputusannya." Ayah berkata dengan tegas. Sambil melihat kearah aku dan juga Linda.Setelah kepergian Linda yang tadi sudah janji akan datang kekantor esok hari. Aku memasang wajah cemberut didepan Ayah."Kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" Ayah mendekat padaku."Ayah itu punya prinsip ngga sih? Pertama di jodohkan dengan Linda, ke
Aku tersenyum senang saat Faizal keluar dengan wajah sedikit bingung. Dia tentu kaget karena aku tak memberitahukan terlebih dahulu.Aku melihat dari CCTV yang sudah kupasang di ruang staf HDR. Kulihat Pak Samsul tengah menjelaskan apa yang harus dia kerjakan. Dengan segsama Faizal serius menyimak. Ayah memang tak salah memilih dia menjadi seperti sekarang."Eheem!" Asih yang berada diruanganku berdehem."Asih! Kapan kamu datang? Ngga ketok pintu dulu lagi!" Aku otomatis langsung menutup laptop. Tentu takut ketahuan jika aku tengah mengawasi Faizal."Kenapa di tutup? Lagi lihat film dewasalah?" ocehnya. Aku mendelik padanya."Emangnya otakku semesum itu!" gerutuku. "Ngomong-ngomong ada apa kamu nyusul?" Dia tak langsung menjawab. Justru menjatuhkan bobot pada sofa di samping ruangan."Aku cuma mau mengabari tentang Linda. Dia tinggal di kontrakan kecil di daerah Lebak bulus." ungkapnya.Aku mengangguk. "Apa kamu dapat nomor telfonnya?""Tentu, Asih kalau cari tahu ngga akan setengah-
Benarkah?Ayah menceritakan bagaimana dulu membiayai sekolah Faizal. Dari masuk ponpes hingga jadi hafidz dan kuliah yang memang ayah memilih jurusan sesuai yang dibutuhkan untuk mengelola pekerjaan."Tapi, Faizal pernah bilang jika dia hanya lulusan SMA hingga ia akhirnya hanya bisa bekerja sebagai OB. Dia bilang Ayah menawari kerjaan yang lebih layak karena kegigihnya." Aku mengingat itu, saat pertama masuk kekantor."Iya begitulah. Dia selalu tak mau menunjukan sekolah tingginya. Dia bilang masih tak pantas dirinya menerima gelar itu. Dia percaya jika nasib akan merubahnya tanpa harus menunjukan apa yang dia sendiri merasa begitu beruntung." Ayah menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Faizal memang laki-laki yang selalu bersikap rendah hati tapi ....Sebenarnya dulu memang ayah menginginkan dia untuk kamu, tapi tentu ayah tahu jika kamu sudah menentukan pilihannya pada laki-laki yang bernama Wahyu. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."Terus bagaimana ayah menjodohkan dia dengan Linda? Bahk
"Eh, Bu Bos!" Faizal langsung menurunkan ponselnya. Aku tak tahu sudah di matikan atau belum."Siapa yang sedang kamu telfon?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tentu aku tak mau kecolongan lagi. Sudah terlalu banyak kecolongan oleh Linda dan Mas Wahyu. Aku tak mau kecolongan dari orang lain. Apalagi dia bukan siapa-siapa."Bukan siapa-siapa kok, Bu Bos. Hanya teman biasa. Biasalah, bisnis kecil-kecilan." Dia membuka saku dan akan memasukan ponselnya."Tunggu! Aku mau lihat siapa yang kamu telfon. Bisa berikan ponselmu?" Aku langsung mengarahkan tangan.Dia terlihat bingung. Namun kemudian menarik tangannya."Sepertinya ada yang mulai cemburu, mungkin ia kira aku tak setia."Settt!Dia memang sekarang begitu PD! "Mana!" Aku kembali memajukan tangan."Kenapa si calon istriku ini? Cemburunya begitu amat sampai-sampai meminta ponselku. Duhh ... Tambah manis deh!" aku tahu, dia sedang membuat aku urung meminta ponselnya."Maaf, ya. Ini bukan urusan pribadi antara anda dan saya! Ini masal
PoV Faizal.Aku yatim sejak kecil. Saat itu, aku hanya mampu menangis melihat ku--Permadi-- terbujur kaku didepanku. Ibu tak kuasa menahan tangis terlebih saat itu, kami tak punya apapun untuk sekedar di makan."Bapak, pergi dulu. Siapa tahu dapat rejeki dan kita bisa beli makan. Setelah ini, Bapak pastikan hidup kalian tak akan kekurangan." Pamit Bapak saat itu. Ibu memelukku erat. Mengangguk dan melihat punggung Bapak Permadi sampai menghilang di lorong jalan.Namun, baru saja satu jam Bapak pergi, kami mendengar jika dia pergi untuk selamanya. Tentu, sakit dan kaget menyatu. "Permadi meninggal karena ditabrak sama mobil, Mbak! Sedangkan yang punya mobil juga meninggal karena tertabrak teronton." Tetangga mengabari. Aku sendiri bingung, bagaimana Bapak di tabrak dan yang menabrak ikut meninggal?Sampai akhirnya aku paham kronologinya. Tentu marah! Bagaimanapun dia telah membuat Bapak meninggal walau setimpal dia juga meninggal.Sebelum Bapak di kebumikan, ada beberapa orang yang da
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora
Aku tak percaya melihat penampakan mahluk didepanku. Bahkan sempat mengedipkan mata karena masih belum yakin dengan apa yang kulihat.Mimpi kah?Aku bergumam. Dengan pelan menyusuri anak tangga yang tinggal beberapa lagi. Pelan tapi pasti. Pandanganku tak teralihkan dari sosok pria didepan sana.Tersenyum. Bahkan sangat kentara lesung pipitnya. Baru kali pertama aku memperhatikan dengan segsama cekungan yang ada di pipinya saat tersenyum."Sudah siap?" tanyanya ketika kami tinggal berjarak beberapa langkah.Aku masih terpakau. Ah! Rasanya ini mustahil."Hello! Apa sudah siap berangkat?" tanyanya kemudian melambaikan tangan. Aku tersadar dari hipnotis-nya."Ka-kamu?" tanyaku terbata."Kenapa? Apa seorang OB tidak boleh tampil resmi saat Dinner dengan calon istri?" Ah! Bahkan aku sendiri memikirkan untuk berdandan sederhana. Mengikuti mode yang dia tampilkan selama ini. Nyatanya?Aku tersenyum malu. "Se-sebenarnya ...."Ingin rasanya aku katakan, jika aku ingin kembali kekamar dan Men
Gila! Bagaimana ayah begitu cepat memutuskan. Ah! Rasanya aku saja belum siap secara lahir maupun batin. Apalagi setelah kejadian Hisyam kemarin. Menambah rasa ragu untuk membuka hati.Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya lewat mata aku mengisyaratkan jika aku benar-benar belum siap.Kulangkahkan kaki dengan lemas. Menaiki tangga menuju kamar. Aku sudah pindah kembali kekamar atas. Tentu karena aku sudah kembali bisa berjalan.Saat bobot kujatuhkan pada ranjang. Aku meatap langit-langit kamar. Kenapa ayah bersikukuh untuk menikahkan Faizal dengan salah satu diantara kami. Bahkan kali ini cenderung memintaku.Sayup mata mulai terpejam. Saat ponselku berdering hingga aku terperanjat. Nomor luar negri?"Hallo, assalamualaikum, Mbak Afi." Dari sebrang sana terdengar lembut suara perempuan yang tak asing bagiku."Hallo, Waalaikumsalam,Tiara. Apa kabar? Bagaimana keadaanya. Betah juga tinggal di negara tirai bambu," ucapku padanya. Dia dulu tetanggaku disini. Rumahnya bersebelahan. Dia da
Setelah keluar dari kantor, aku bukan pergi ke restoran Nuansa hijau. Tapi, justru pergi ke rumah Faizal. Entah kenapa langkah ini yang membawa aku kesana. Padahal klien ini sangat penting. Duh ....Tiba di rumah duka, terlihat sudah banyak warga berkumpul. Tentu kedatanganku membuat beberapa pasang mata yang tengah melayat menatapku. Kikuk. Tapi, aku tak peduli."Assalamualaikum ...." Kuucapkan salam. Beberapa orang menjawab. Kulihat Faizal begitu tegar. Dia tengah mengaji di samping jenazah ibunya.Aku duduk diantara orang-orang. Mereka terlihat sedikit segan padaku, bahkan ada yang membawakan aku kursi untuk duduk. Tapi kutolak.Sedikit banyak ada yang berbisik. Bahkan aku mendengar ada beberapa yang menduga jika aku orang penting di kantor Faizal bekerja.Aku melihat orang yang sibuk merangkai bunga, mengiris daun pandan. Aku sampai bingung untuk membantu."Boleh saya bantu, Bu?" tanyaku pada Ibu separuh baya yang tengah memegang pisau memotong daun pandan."Bo-boleh, Mbak. Tapi .