"Kenapa? Kamu penasaran? Apa pun yang aku bilang, pasti kamu gak akan percaya," jawabku sambil fokus memasukkan pakaian ke dalam koper. Setelah semuanya beres, aku beranjak ke tempat tidur dan duduk di tepi. Kulihat Dewa masih mengemasi barang-barangnya.Kemudian, Dewa menyusulku. Dia duduk tepat di samping dengan tatapan yang entah. Sepertinya dia masih memikirkan apa yang kukatakan barusan."Sejauh apa kamu tau soal Nindi?" Dewa sedikit merapatkan posisi duduknya.Aku tak menjawab pertanyaannya. Kejadian tadi masih membekas di ingatan. Semakin kuingat, semakin sakit yang kurasakan. Seketika penyesalan melintas di pikiran. Seandainya kutahu akan seperti ini, lebih baik tak melihatnya. Dadaku mendadak terasa sesak.Bayangan Mami dan Papi pun seketika menyeruak di benak. Aku tak bisa membayangkan jika hubunganku dengan Dewa harus berhenti di tengah jalan, tapi jika tetap kulanjutkan pernikahan ini, dirikulah yang semakin tersiksa. Ya Tuhan, kenapa jadi seruwet ini?"Jawab pertanyaanku,
Dewa masih memelototi ponsel dengan kata-kata yang tidak terlalu jelas kudengar. Ocehannya itu persis seperti orang yang sedang mengomel."Ayo, angkat teleponku Nindi! Kamu ke mana aja jam segini?" racaunya yang sempat terdengar di telingaku.Kemudian, Dewa melirik pada benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ah, mungkin dia udah tidur. Atau dia marah sama aku gara-gara kejadian tadi?" Spontan Dewa mengacak rambutnya sangat kasar.Setelah itu, aku menarik selimut dan berusaha memejamkan mata karena esok aku tak boleh terlambat bangun.***Setelah membereskan kamar, aku keluar membawa barang-barang. Kemudian, berpamitan pada owner juga karyawan resort. Mereka tampak heran dengan kepulangan kami yang terkesan mendadak. Ya, masa liburanku dengan Dewa seharusnya masih seminggu lagi. Namun, karena kejadian menjijikkan kemarin yang membuatku tak tahan berlama-lama di sini.""Maaf, Pak, kami mendadak ada urusan penting," ucapku beralasan."Benar tidak ada sesuatu, kan, Nyonya?" balas
Selepas Gali dan calon istrinya pergi, Dewa langsung mencecarku. "Kamu tadi nyindir aku, ya?" Dia spontan menghempaskan bokong di kursi ruang tunggu."Kamu tersinggung?" balasku seraya ikut duduk di sampingnya."Udahlah, gak usah berdebat. Gak enak diliat orang," lanjutku sambil memasang syal."Kamu itu emang nyebelin." Dewa justru menarik syalku dan mengikat ke leherku."Eh, eh. Kamu mau bunuh aku, ya?" Namun, dia justru terkekeh. Hatiku seketika merasakan debar yang tak biasa. Semenjak di resort kemarin, Dewa selalu ingin menghabiskan waktu dengan Nindi. Sekarang dia berada di dekatku dan sudah mau bercanda. Sayangnya, potongan adegan ketika bersama Nindi melintas di pikiran. Perasaanku seketika ambyar. Entah kenapa jika mengingat kejadian itu hatiku masih merasakan sakit, bahkan melupakannya saja sangat sulit."Kamu kenapa?" Dewa memandangku lekat.Aku menggeleng. "Kamu gak ngerasa curiga sama Nindi, ya?" Segera kualihkan obrolan."Emang kenapa?""Gak ada. Cuma aku ngerasa ada yan
"Astaga! Dewa harus tau masalah ini." Aku spontan bergegas pergi.Namun, Mami langsung mencekal tanganku. "Jangan kasih tau Dewa dulu.""Tapi, kenapa, Mi?" jawabku pelan sambil membalikkan badan.Mataku mengitari sekitar, ternyata Dewa sudah tidak ada, entah ke mana dia pergi. Sepertinya dia ke kamar karena sempat kulihat tadi Mang Dikin membawa masuk koper kami."Kenapa Dewa gak boleh tau soal ini, Mi?" Ulangku sekali lagi.Sejenak Mami tampak menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mami gak mau dia tersangkut masalah ini. Dia itu aparat yang instansinya punya aturan ketat. Kalau Dewa tau, pasti dia bakal cari tau dan Mami takut dia main hakim sendiri. Mami gak mau gara-gara kasus ini Dewa kena masalah. Jadi, biar orang-orang Papi yang selidiki."Aku seketika terdiam. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Mami, tapi sebagai anak Dewa harus mengetahui. Terlebih lagi jika semua ini ada kaitannya dengan wanita yang dicintainya."Please, jangan kasih tau Dewa." Kedua tangan Mami men
Aku tetap tak mau kalah. "Bisa aja, kan. Mereka sengaja sandiwara demi menguras hartamu. Cewek kayak Nindi mah yang ada di otaknya cuma duit aja. Gimana caranya dia bisa dapet duit banyak buat biaya perawatannya ke klinik kecantikan. Atau bisa juga Jems ada kepentingan lain yang memanfaatkan Nindi."Lelaki itu sejenak mengernyitkan kening. Kemudian, dia tampak menarik napas yang kuketahui dari dadanya yang mendadak bergerak naik turun."Aku udah tanyain, kok. Dia posting foto saudaranya yang tunangan, ya wajarlah sebagai ucapan selamat. Kamu aja yang kait-kaitkan sama Jems, mentang-mentang jamnya sama. Emang yang bisa beli jam kayak gitu cuma Jems? Jems itu jelas-jelas temen baiknya Nindi. Aku udah tau lama, kok. Mereka emang sering sama-sama, ya karena urusan job doang. Gak lebih." Derai tawa Dewa seketika menghiasi ruangan.Aku terdiam sejenak. Kemudian, kucerna baik-baik alasan Dewa. Jika masalah jam tangan memang masuk akal, bisa saja itu tangan lelaki lain. Tapi, yang jadi keganj
"Oh, biasa. Papi cuma kecapekan aja soalnya akhir-akhir ini sering banget lembur." Mami berusaha menjawab dengan tenang. Sepertinya agar Dewa tidak terlalu mengkhawatirkan Papi."Ya udah, Mami tunggu di ruang makan." Beliau pun membalikkan badan dan beranjak keluar kamar.Selepas Mami pergi, aku dan Dewa kembali berpandangan. Sontak lelaki di sampingku itu mendorong kakiku sangat kuat hingga aku meringis kesakitan."Sana, pergi. Jangan keenakan dipijitin. Ini cuma sandiwara!""Sakit tau!" Kumonyongkan bibir beberapa senti sembari mengelus betis kaki."Cengeng. Gitu aja masa sakit?" Dewa justru meledekku.Langsung kuambil kaki dan kulakukan hal yang serupa dengan apa yang Dewa lakukan padaku. Spontan dia nyengir kesakitan."Tuh, kan sakit?""Tadi aku gak terlalu keras dorongnya. Kamu sengaja pengen nyakitin aku, ya?" Dewa menatapku sinis sambil meringis memegangi kakinya.Aku sontak tertawa seraya meremehkannya. "Halah cemen. Tentara, kok, lemah."Dewa sontak berdiri dan berkacak pingg
"Menyenangkan, Pi," jawab Dewa sambil menatapku dengan senyuman.Aku pun kembali tersenyum. "Iya, Pi. Menyenangkan banget. Papi gak salah milih tempat.""Gak ada masalah, kan?" lanjut Papi seraya memasukkan makanan ke mulutnya.Lagi-lagi aku dan Dewa beradu pandang. Kami kompak menggeleng bersama. "Gak ada, Pi." Jawaban itu pun nyaris terlontar bersamaan dari mulut kami.Kemudian, kami melanjutkan makan bersama. Kehangatan keluarga ini begitu terasa. Terutama Mami dan Papi, beliau benar-benar menyayangiku melebihi anak kandungnya sendiri. Kasih sayang mereka bisa kurasakan sangat tulus.Usai makan, terdengar deringan ponsel Papi yang diletakkan di sampingnya. Begitu melihat benda tersebut berbunyi, wajahnya berubah seketika. Mami pun tampak memegangi tangan suaminya itu. Sepertinya ada sesuatu sehingga membuat mereka seperti itu."Papi duluan ke kamar. Mau istirahat dulu," ucap Papi sambil meninggalkan ponselnya tergeletak di atas meja.Kemudian, Mami yang mengambil benda tersebut dan
Aku kembali menuju ruang keluarga. Rumah mewah ini tampak sepi, hanya sesekali terdengar kicauan burung-burung mahal koleksi Papi. Kepalaku celingukan ke seisi ruangan, tak ada satu pun orang yang melintas. Bik Marni sepertinya sedang beristirahat di kamarnya. Akhirnya, aku ke dapur menyusul Dewa.Ketika tiba di sana, tampak suamiku itu sedang duduk di ruang makan sambil menikmati salad buah kesukaannya. Dia asyik menyendok salad, tapi tangan kirinya tak kalah asyik memainkan ponsel. Begitu mengetahui keberadaanku, Dewa menoleh sejenak. Kemudian, dia kembali mengarahkan pandangan pada benda yang berada di genggamannya.Aku masih mematung sambil memperhatikan Dewa. Ingin sekali kuceritakan perihal kasus Papi, tapi seketika teringat pesan Mami. Akhirnya, kuurungkan niatku itu."Kamu mau beliin tas buat Nindi? Kamu juga sering kirimin uang buat dia?" ucapku pelan sambil berjalan mendekati Dewa.Kepala Dewa mendongak dan menatapku tajam. "Kenapa? Kamu juga mau?"Spontan aku menggeleng. "A
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol