*** "Assalamualaikum, Bu," ujarku setelah ibu mengangkat panggilan dariku. "Waalaikumsalam. Bagaimana ujian sidangnya kemarin?" "Alhamdulillah aku lulus, Bu. Semua dosen penguji memuji tulisanku. Insya Allah aku bisa ikut wisuda dua bulan depan. Ini mau siap-siap ke kampus untuk yudisium." "Masya Allah, Nak. Alhamdulillah kamu sudah selesai. Ayah! Ayah!" Terdengar suara ibu memanggil ayah. Mungkin ayah baru saja pulang dari pasar, membawa hasil panen. Suara ibu terdengar bahagia. Aku ikut bangga karena bisa membuat ayah dan ibu bahagia atas kelulusanku. "Sudah dulu ya, Bu. Kami diminta untuk datang satu jam sebelum yudisium di mulai." "Iya, Nak. Kamu hati-hati di jalan ya. Jangan lupa berdoa sebelum keluar rumah." Percakapan aku dan ibu berakhir. Setelah bercermin dan memastikan jika aku sudah siap, aku pun melangkah meninggalkan kosan. Untung saja kos aku sekarang tidak terlalu jauh dari kampus. Dapat di tempuh hanya dengan berjalan kaki. Setelah tiba di kampus, ternyata s
Namaku kembali di panggil untuk maju ke depan. Aku berdiri dan tersenyum bahagia. Rasanya seperti mimpi saat namaku disebut sebagai lulusan terbaik. Aku menghampiri Pak Fauzar - Dekan Fakultas, yang sedang memegang piagam. Pihak fakultas biasanya akan memberikan piagam kepada mahasiswa yang memiliki IPK tertinggi disetiap jurusan. Jadi bukan hanya aku saja yang dipanggil, tetapi ada teman-teman yang lain. Hanya saja, namaku yang pertama disebut karena aku memiliki nilai yang lebih tinggi dari mereka. "Terimakasih, Pak," ujarku pada Dekan Fakultas sambil tersenyum dan menunduk hormat tanpa bersalaman. Mataku bertemu dengan mata Pak Firman. Dia tersenyum padaku. Aku pun menunduk hormat padanya. Saat ingin duduk, aku dikagetkan dengan sorakan tiba-tiba dari penghuni ruangan. Aku langsung melihat ke depan, penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Mataku membola ketika melihat di depan layar, fotoku bersama dua orang berbeda terpampang jelas. Di sebelah kiri, foto aku sedang bersam
"Del, kamu belum mau pulang?" tanya Eka. Kini ruangan Auditorium Fakultas sudah sepi. Tersisa beberapa lagi mahasiswa, para staf dan petugas kebersihan yang sedang merapikan ruangan. "Aku masih ada urusan. Kamu boleh pulang duluan kalau ada agenda lain," ujarku sambil tersenyum. "Kalau begitu aku duluan ya. Aku ambil shift siang soalnya." Aku tersenyum dan mengangguk. Eka pun melangkah, menjauh dariku. Kini tersisa aku sendiri mahasiswa yang masih berada di ruangan. Saat melihat Pak Jamal - Staf jurusanku keluar dari ruangan, aku langsung berdiri dan berjalan di belakangnya. Semoga saja keinginanku yang tidak mau ikut wisuda di perbolehkan oleh pihak jurusan. Pak Jamal sudah masuk ke dalam ruangannya. Aku berdiri sejenak di depan pintu sebelum mengetuk. Tok! Tok! "Masuk!" Tersedengar suara dari dalam ruangan. Aku pun membuka pintu. Bibir tersenyum dan kepala menunduk sejenak pertanda hormat. "Maaf, Pak. Ada yang ingin aku tanyakan." "Ada apa, Delisia? Silahkan duduk!" A
Saat baru saja tiba di kosan, handphoneku bergetar. Ternyata pesan dari Pak Jamal - Staf Jurusan. Aku langsung membuka. 'Ketua Jurusan mengizinkan untuk tidak mengikuti wisuda.' "Alhamdulillah Ya Allah," lirihku dengan raut wajah bahagia melihat pesan dari Pak Jamal. Tanpa menunggu lama, aku pun membereskan kamar kos untuk pulang kampung. Ya, aku ingin pulang besok. Semua barang akan aku bawa karena tidak akan kembali lagi di Kosan ini. Nanti kalau aku datang untuk mengambil ijazah, akan menginap di tempat penginapan. Tidak perlu kembali ke sini. Karena selama masih ada barang yang tersimpan di dalam kos, aku masih tetap akan membayar. Keesokan harinya, tepat pukul sembilan lewat lima belas menit, aku keluar dari kos. Aku sengaja memesan travel yang bisa menjemput depan kos, agar tidak lagi ke Terminal. Aku membawa dua koper dan dua tas yang berisi pakaian dan buku-buku. Rasanya tidak mungkin kalau menenteng sendiri. Beberapa jam perjalanan, akhirnya aku tiba di Desa Toura. Sep
Aku meneteskan air mata. Belum ingin beranjak. Dalam waktu beberapa detik, aku tak mendengar sepatah kata pun yang keluar dari bibir ayah, ibu, dan Pak Candra. "Mungkin hanya itu, Pak Rusdin dan Ibu, yang ingin aku bicarakan. Jika bapak dan ibu berkenan, aku harap tidak ada permusuhan diantara kita karena masalah ini. Aku pulang dulu." Aku kembali mendengar suara Pak Candra. Ada rasa penasaran dalam benak, apa yang membuat Pak Candra rela datang ke sini. Apa hanya karena sebuah perasaan bersalah? Atau Pak Candra memiliki niat lain. Hingga Pak Candra meminta izin untuk pulang, aku belum juga mendapatkan alasan yang bisa menjawab penasaran dalam benak. Aku pun keluar dari kamar, setelah memastikan jika Pak Candra sudah pergi. "Ayah, Ibu, apa yang sebenarnya terjadi?" tuturku yang masih berdiri di pintu kamar. Ibu dan Ayah berbalik bersamaan, melihatku. Mereka berdua masih berdiri di depan pintu utama. Mungkin melihat mobil pak Candra yang perlahan-lahan menjauh. "Pak Candra tad
"Ayah, ibu, maafkan aku! Rencananya aku tidak akan mengikuti wisuda." Aku berkata sambil melihat ayah dan ibu bergantian. "Loh, kenapa bisa begitu, Nak? Padahal kami sudah sangat ingin hadir di acara wisudamu. Coba cerita baik-baik ke ibu dan ayah." Ibu nampak kaget mendengar perkataanku. Aku memang semalam sudah menceritakan ke ayah dan ibu jika menjadi wisudawan terbaik. Tetapi aku belum bercerita tentang tidak ingin ikut wisuda. Berbicara terpisah jarak, sangat rawan. Belum tentu ibu dan ayah memahami yang aku maksud. Aku kembali menatap wajah ayah dan ibu bergantian. Wajah mereka sangat teduh. Ada setitik rasa ingin membuat wajah itu bahagia saat melihat aku berdiri di atas podium. Namun ada pula rasa takut. Aku takut mereka akan melihat kejutan dari niat buruk orang lain di hari itu. Ya, bisa saja ada orang iseng yang mencelakaiku tepat di hari wisuda. "Kenapa hanya diam dan melihat-lihat kami, Nak. Apa alasannya kamu tidak ingin ikut wisuda? Padahal baru semalam kamu berceri
*** "Aku minta maaf, Tam. Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini," ujarku sambil menatap mata Utami. Utami membelalakan mata. Aktifitasnya yang sedang mengirim pesan pada seseorang terhenti. Aku tidak tahu dia sedang membalas pesan dari siapa. Sejak tiba di Kafe, dia sudah sibuk dengan handphonenya. Saat ini aku dan Utami sedang berada di Kafe tempat kami sering bertemu. Aku sengaja mengajaknya ke sini untuk berbicara hal penting, karena di jam begini Kafe tidak terlalu ramai. "Apa? ... Maksud kamu apa, sayang? Jangan bercanda deh. Tidak baik loh, menjadikan perpisahan sebagai bahan candaan. Aku tidak suka kamu bercandanya begitu. Setelah wisuda kita akan menikah. Jadi jangan sembarangan bicara." Utami berkata dengan pelan. Namun aku masih dapat mendengarnya. "Aku serius, Tam! Aku ingin mengakhiri hubungan ini!" Tatapan mataku masih tertuju pada mata Utami dengan kedua tangan terlipat di atas meja. "Jangan gila. Hubungan kita sudah diketahui oleh orang tuaku. Kita sudah b
"Aku tidak mau kita putus! Aku bisa membuat kamu kembali mencintaiku seperti dulu!" Utami berkata setelah menghapus air mata di wajahnya. Aku menggelengkan kepala. "Maaf, Utami! Mari berdamai dengan keadaan. Aku yakin kamu akan menemukan lelaki yang lebih baik dari pada aku." Aku ingin pergi dari sini. Tetapi, tidak mungkin meninggalkan Utami sendiri dalam kondisi begini. Walau bagaimanapun aku tidak ingin menjadi lelaki jahat yang pergi begitu saja. Aku memulai hubungan bersama Utami dengan baik-baik. Jadi hubungan ini juga harus berakhir baik-baik. Utami menarik napas. Dia lalu kembali bersuara. "Apa karena kamu telah mencintainya?" Utami menatapku dengan mata yang masih menangis. Aku terdiam. Tidak perlu menjawab pertanyaan Utami. Apapun alasannya, dia tidak perlu tahu. Jika aku berkata sejujurnya, itu hanya akan lebih menyakitinya. Meskipun aku tak menjawab, Utami mungkin saja sudah bisa menebak alasan aku memutuskannya. "Kamu dulu membencinya, Aksa! Bahkan kamu sering meng
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau