“Malah hah! Kan kamu yang nabrak Mas Zildi, jadi kamu tanggungjawab ngurusin dia juga, dong!” sungut wanita itu.
Dia dengan sengaja mengibas rambutnya ke arahku. Menyebabkan wajah ini terasa perih berkat hempasan dari helaian surainya yang berwarna madu. Tidak cukup sampai di situ, dia juga menghentak tumit heels-nya yang seruncing jarum, mengakibatkan derak keras mengusik telinga.Kulirik Anggrek di atas brankar, gadis kecil itu menggeliat, terusik dengan apa yang dilakukan oleh ibunya. Sedangkan Mas Zildi yang baru saja terbangun segera meninabobokan putri mereka lagi.Entah sudah seperti apa zaman saat ini, suami bersikap dhalim terhadap istri, mertua membenci menantunya sendiri dan sekarang istri bersikap kasar pada suami. Edan! Aku tidak habis pikir kalau nasib bisa begitu sama antara aku, Mas Zildi dan juga Gagah. Anehnya, kami dipertemukan dalam satu kecelakaan.“Loh, Mba ....”“JanAku berhenti berjalan tepat di depan kamar beraroma lavender itu. Anha, kutemukan sedang berbaring di ranjang, memainkan gawai baru yang belum lama ini kubelikan demi menghibur hatinya yang remuk. Meski alasan sebenarnya, gawai gadis itu mengalami kerusakan usai insiden pengeroyokan.Anha yang menyadari kepulanganku segera beranjak bangun, ditinggalkannya benda pipih yang menyala itu di ranjang, lalu dia menyerbu ke arahku, memeluk erat seperti bayi pada ibunya. “Kok lama sekali, Gin? Aku takut di sini,” rengeknya percis anak kecil.“Jangan manja, An. Biasanya kamu juga senang aku tinggal di rumah. Enggak ada yang omelin kamu kalau rumah kotor dan bisa sepuas-puasnya malas-malasan,” ucapku seraya melepas pelukan gadis itu.Kuperhatikan wajah Anha, meski masih sedikit layu namun jadi lebih berwarna dibanding sebelumnya. “Urusan dengan emak-emak arogan itu sudah selesai. Mereka akan membayar ganti rugi untuk kamu, An
Aku terdiam cukup lama saat netra ini mengenali sosok yang berdiri di depanku. Wajahnya kian kurus dan pucat, cekungan pipinya semakin dalam dan tulang pipi mulai menonjol.Penampilannya sangat biasa, jauh berbeda dengan apa yang pernah kulihat terakhir kali saat di rumah Nita dulu. Wanita ini, rupanya sudah melahirkan anak pertamanya. Tapi, kenapa dia ada di sini? Di desa yang jauh dari rumah mereka?“Mbak Gina, kan?” panggilnya lagi.Aku bingung, harus mengiyakan atau memilih melarikan diri. Mantan madu yang merebut Bang Teguh dariku, kini berdiri dengan wajah terkejut. Dia batal meninabobokan anaknya yang merengek di ayunan dari sarung motif kotak-kotak— sudah lecek dan kusam, seperti kain lama yang digunakan.“Mbak Gina apa kabarnya? Makin cantik saja, ya? Badannya juga makin bagus, baju dan tasnya juga,” pujinya sembari melihat-lihat penampilanku.
Mas Zildi terdiam cukup lama setelah mendengar penuturanku. Dia menatap diri ini dari ujung kepala hingga kaki, lalu memalingkan wajahnya ke kanan, diam seribu bahasa.Kulihat tangannya terangkat pelan, ragu-ragu, sebelum kemudian mengusap wajahnya yang layu. Bisa kutebak, bagi Mas Zildi, ini adalah ide paling aneh di dunia.Siapapun juga akan merasakan hal yang sama. Aku hanyalah orang asing yang ditemuinya kemarin dan sangat tidak mungkin dia akan memberi izin untuk membawa Anggrek bersamaku, sesulit apapun keadaannya di sini.Sebab itulah, Mas Zildi tidak memberiku jawaban. Dia terus saja diam, memandangi dinding rumah sakit tempatnya dirawat.“Mas Zildi?” tuntutku.Setidaknya, dia harus memberiku balasan atas permintaan barusan. Walau pada akhirnya tetap berakhir dengan penolakan.Sejenak kuabaikan Mas Zildi yang mematung, lalu memandangi wajah Anggrek yang kusut bekas b
Aku membawa Anggrek kembali ke rumah sakit tempat Mas Zildi dirawat. Meski perasaanku terus bergejolak berkat pelecehan yang dilakukan Bang Teguh, tetapi kuteguhkan hati agar tidak berimbas pada sikap terhadap Mas Zildi dan Anggrek nantinya.Gadis kecil yang sedari tadi sibuk menangis ketakutan, kini terlihat lebih stabil dan tenang. Saat menaiki lift pun, Anggrek begitu santai. Dia hanya merapatkan bibir, sesekali menyentuh wajahnya yang kumal dengan tangan, menggaruk pelan meski berulangkali kularang.Kami tiba di depan pintu tempat dimana Mas Zildi dirawat. Anggrek gegas mendorong daun pintu setelah melihat celah kecil yang tercipta berkat gerakku. Anggrek menerobos cepat, mungkin tidak sabar untuk mandi dan berganti gaun baru yang kubelikan untuknya.Tak bisa kutahan, bibir ini membentuk lengkungan yang mengalirkan hangat hingga ke hati. Gelagat Anggrek yang begitu menggemaskan, serta sikapnya yang kadang bikin pusing tujuh keliling. Padaha
Seminggu berlalu begitu saja. Aku tak lagi bersedia menerima panggilan dari Gagah, atau sekadar menjenguk Mas Zildi dan Anggrek. Kabar keduanya hilang, ditelan waktu yang terus berjalan tanpa mau menunggu.Aku dan kegelisahan ini, berselimutkan rasa sepi. Selain Anha, hidupku hanya dipenuhi warna kelabu yang membosankan mata dan pikiran.Kegiatanku selama ini hanya berputar di dalam roda yang sama, pagi berangkat ke gudang, siang makan bersama Anha dan sorenya kembali pulang setelah memastikan segala urusan selesai. Begitu seterusnya, tidak ada lagi persimpangan yang membuat hidup ini kian berwarna.Hari ini misalkan, sudah jam sepuluh siang, dan aku masih di depan teras rumah sewa. Memandang ke jalanan yang sepi dan berpura-pura tak mendengar perdebatan dari rumah tetanggaku yang budiman.Sepertinya, Bang Teguh belum menyadari jika aku dan Anha tinggal tepat di sebelah mereka, karena itulah baik dia atau ibu mertua tidak pernah mu
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran