"Soal kehamilan Sasha, kalau boleh tahu, gimana pendapatmu Kian?" Kian menghela nafas kesal. Dia bingung dengan pemikiran dan kenyataan yang saling bertolak belakang. Mana yang benar dan mana yang salah, ia tidak mampu membedakan. Mau percaya ia tidak yakin. Tapi jika tidak yakin mengapa ia merasa ada yang mengganjal di hati. Hal klise ini sungguh memuakkan untuknya. "Aku nggak yakin itu anakku Nda." "Well. Seberapa sering kalian make love kalau boleh tahu?" Amanda bertanya cukup santai. Seperti janjinya di awal, dia tidak akan menghakimi Kian dan hanya akan menjadi pendengar setia. Kian berpikir sejenak tapi ragu menatap Amanda. "Dua kali." "Surely?" "Udah lah Nda. Aku nggak mau inget-inget lagi." Putusnya tidak mau didebat. Sungguh, Kian adalah pria dominan yang sangat bajingan! "Okay. Kalau boleh tahu, apa yang bikin dia spesial di mata seorang Paralio?" Kian meliriknya tajam dan tidak suka. "She is not really special for me. Kamu tahu siapa yang selalu menjadi pemilik hat
Amanda sengaja mengambil izin cuti selama satu minggu dari kantor tempatnya bekerja. Alasannya, tentu demi menemani Kian menjadi saksi di pengadilan dan 'merampungkan' urusannya dengan Sasha. Ia ingin menjadi saksi berakhirnya hubungan mantan suaminya dengan kekasihnya. Walau Sasha berkata ia tengah mengandung benih Kian, Amanda tidak peduli. "Pasti itu anaknya orang banyak. Gue heran kenapa Kian bisa kepincut gadis murahan itu. Paling dianya yang gatel. Tahu aja duda mapan, langsung digaet." "Gue mesti yakinin Kian biar nggak bimbang sama kehamilannya Sasha. Ngerusak rencana gue aja!" Sore harianya, Kian menjemput Amanda untuk kembali ke kota halaman. Mereka memiliki janji bertemu dokter yang menangani Rado. "Aku udah hubungin Rafael." Dokter Rafael adalah sahabat lama Amanda yang menjadi psikiater di salah satu rumah sakit jiwa. "Thanks Nda." "For you, I give everything." Kian tersenyum lega lalu mencium tangan Amanda sebelum melajukan mobilnya kembali. Setelah menempu
Tebakan Anjar tidak salah. Dia tahu kemana arah pikiranku saat ini. Memang, apa yang bisa dilakukan seorang perempuan single sedang hamil tanpa suami selain mencari ladang baru untuk tempat tinggalnya? Tetap di ladang yang lama hanya menimbulkan gunjingan dan hinaan. Walau semua orang berhak mendapat pengampunan dari kesalahan yang telah dilakukan, namun bukan berarti aku siap menerima hujatan tiada henti di tempat yang lama. Juga, berada di kota ini hanya membuatku teringat Kian terus menerus. Kebersamaan dan kegilaan kami di kota dan di kantor ini cukup banyak. Yeah, sangat banyak bahkan aku tidak lagi bisa menghitungnya. Aku mengangguk. "Iya Njar. Orang sekantor ngertinya kalau gue masih single tapi kenapa gue hamil. Padahal nggak ada undangan atau syukuran nikahan dari gue. Pasti gue bakal digunjing hamil diluar nikah. Gue nggak mau makin tertekan aja Njar. Makanya gue pergi ke tempat lain yang nggak ada yang kenal gue. Nanti gue bisa atur drama baru disana." Anjar menggeleng
Ibarat sepasang kekasih yang baru saja dimabuk asmara, Kian dan Amanda bergandengan tangan selepas menonton film bersama di sebuah bioskop. Senyum bahagia keduanya begitu sumringah seperti tidak ada beban yang melilit. Kian yang masa bodoh dengan kehamilan Sasha karena Amanda mendukung opininya yang meyakini bahwa janin yang dikandung adalah benih lelaki lain. Juga Amanda yang kembali ingin merebut hati mantan suaminya setelah perpisahan mereka yang tidak baik-baik kala itu. Kembali, Rado adalah faktor utamanya. "Aku bahagia Kian, berasa kayak kita masih kuliah tahu nggak sih." Ucap Amanda manja sambil mengeratkan tautan jemari mereka berdua. Ah... siapa saja yang melihat seakan iri dengan keromantisan di usia yang menginjak paripurna. "Aku juga bahagia." Kian menatapnya dengan senyum hangat. "Inget nggak dulu kita kalau pacaran tuh hampir tiap minggu mesti nonton film. Sampai petugas bioskopnya kenal sama kita." Kian tersenyum sembari mengingat masa-masa indahnya bersama A
Aku menatap Alfonso bingung karena ucapannya. "Maksudnya?" Alfonso tersenyum. "Lo pengen denger sesuatu? Rahasia gue tentang lo?" Aku menunjuk diri sendiri. "Gue? Emang gue kenapa?" "Tapi setelah denger cerita gue, lo jangan kaget. Dan kita tetap berteman. Oke?" "Oke." Alfonso menatapku lekat. "Pernah nggak lo ngerasa... gue suka sama lo?" "Heeh?!!! Mana mungkin?" Beoku tidak percaya. "Oke dari sini aja lo udah nggak nyangka. Gimana gue mau lanjutin?" "Emang apa yang lo lihat dari cewek kasta rendahan kayak gue Al? Lo ganteng, tajir, mobil lo mewah. Nah gue? Cuma naik motor Al. Lo pasti ngeprank gue deh. Asal lo tahu gue nggak GeEr." "Bagus kan kalo lo nggak GeEr. Itu artinya penyamaran gue sukses. Gue bisa mencintai lo dalam diam." Aku berpikir jika Alfonso salah makan. "Kenapa lo suka sama gue? Emang gue cantik? Enggak kan!?" "Waktu lo ditampar cowok di mall, gue inget banget gimana sedihnya lo. Tiba-tiba aja ada perasaan gue pengen ngelindungin lo." "Waktu gue ditampar
"Gendut? Nggak Al. Gue nggak ada niat cari cowok dalam waktu dekat kok. Jadi meski gue gendut nggak masalah. Yang penting sehat." "Lo cewek nyentrik yang sukses bikin gue nggak habis pikir Sha." "Lo nggak akan nemu yang nyentrik kayak gue Al. Jadi, selamat move on." "I will." Setelah menempuh perjalanan selama empat jam dengan jalur darat, akhirnya kami sampai juga. Maklum kemacetan dan lampu merah menjadi faktor penambahnya. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota yang tidak besar ini. Aku keluar mobil dan langsung menuju sebuah rumah kecil yang ada di perumahan sederhana. Aku menemukan iklan rumah itu disewakan dari situs online. "Lo yakin mau nyewa rumah ini Sha?" "Iya. Gue suka pohon ketapang kecil yang ada di depannya itu." Tunjukku. "Tapi kok kayak agak nggak kerawat ya Sha?" "Nggak apa-apa nanti gue bersihin. Tunggu bentar ya Al, yang punya rumah masih otewe kemari." Alfonso mengangguk sambil melihat-lihat keadaan depan rumah. "Taman ini perlu dihidupin Sha.
"Pak Lio, bisa bicara sebentar?" Pak Rudy menginterupsi saat Kian tengah berkutat dengan pekerjaannya. "Iya pak. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Rudy duduk di kursi yang berada di seberang meja Kian sambil membuka lembaran map kuning. "Ada tugas dari kantor untuk mengikuti pelatihan arsitek di Jepang. Bagaimana? Apa Pak Lio tertarik?" Kian merasa cukup senang dengan tawaran itu. Karena ia bisa lebih memperkaya ilmu. Pria itu, selain haus akan cinta, belaian, kekuasaan, juga haus ilmu pengetahuan. "Sebenarnya, pelatihan ini akan diberikan ke Pak Romi, tapi aku tahan dulu untuk Pak Lio." Kian, dia pandai mengambil hati atasannya, Pak Rudy. Hampir semua besteknya mendapat pujian dari customer dan Pak Rudy makin menyayanginya. "Kesempatan bagus loh." Kian langsung mengangguk setuju dan diproses oleh departemen human capital untuk dibuatkan surat tugas perjalanan dinas. Mungkin, secara materi dan karir Kian cukup cemerlang. Tapi tidak dengan urusan pribadi yang masih carut marut.
"Mama mau lakuin apa? Itu urusan mama." "Tolong jangan pisahin Amanda dariku ma." Kian mewanti-wanti. Ibunya tersenyum mengejek. "Lakukan apa yang menurutmu senang. Bukankah orang dimabuk cinta itu selalu merasa dunia milik berdua? Bahkan peringatan mama saja kamu abaikan." "Ma, aku tetap pada pendirian kalau Sasha itu nggak beres." "Oke, mama paham cara pikirmu. Sekarang mama tawarkan satu perjanjian denganmu Paralio Kian Mahardika." Baiklah, jika Nyonya Ratu telah memanggil Kian dengan nama lengkapnya berarti beliau sedang serius dan Kian mulai tidak bisa diatur demi kebaikan. "Mama mengajarkanmu bagaimana menjadi pria sejati, bukan pria suka main hati. Mama belum tahu siapa yang benar, kamu atau Sasha. Tapi mama akan berlaku adil, berdiri di tengah-tengah. Nggak peduli sekalipun kamu anak mama kalau salah mama nggak akan bela." "Jika Sasha terbukti mengandung anakmu maka biarkan Rado yang menggantikan posisimu kalau kamu enggan menerima anakmu sendiri. Mama akan berusaha s
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi