"Mana Joko? Kamu pergi cari suamimu itu kan? Ko nggak sekalian ikut pulang?" cerocos ibu saat aku baru sampai dari rumah."Siapa yang habis cari Mas Joko? Aku itu habis beli mie ayam di warung mang Jejen," seloyorku di depan ibu."Mana? Ibu lihat," ucap ibu membuntutiku. Pasti dia ingin makan pula mie ini. Mengingat ibu yang sangat pelit buat membeli jajan semacam ini."Ibu Mau?" tawarku"Memang kamu beli berapa?""Mau nggak nih? Tapi ada syaratnya," ucapku. Kali ini aku biarkan ibu sedikit jengkel dulu agar ia mau aku beri syarat agar bisa makan mie ini."Kelamaan pake syarat, udah cepet bilang. Syarat apa?""Ibu mulai besok tidur di rumah Mas Ilham, gimana?" tawarku. Aku ingin lihat bagaimana respon anak-anaknya jika tahu aku melakukan ini semua. Siapa suruh, Mas Joko main-main sama aku. Dia main serong, aku main dorong!"Kamu usir Ibu?" sungut ibu tampak emosi."Nggak, tapi kalau Ibu merasa begitu, ya! Vita nggak keberatan. Lagian, siapa suruh anakmu itu main wanita. Udah enak nika
Aku mengeluarkan ponselku dan memutar video rekaman gombalan serta ajakan Mas Joko pada Ibu dan Mas Joko. Mereka berdua melongo melihat video yang kutunjukan ini."Ka_kamu bisa tahu dari mana, Dek?" ucapnya terbata. Mungkin dia grogi dan takut karena sudah ketahuan begini. "Vita tak perlu mengatakan, Vita tahu dari mana. Kalian sudah berapa lama menjalin hubungan?" tanyaku penuh selidik."Mana ada, kami hanya berteman," elaknya."Sudahlah, Mas. Jangan alasan! Cukup selama ini aku kenyang dengan sikap malasmu bekerja, baru beberapa minggu bekerja dan menghasilkan uang. Kamu sudah berulah! Ibu, ingat perjanjian kita? Silahkan kalian kemasi barang-barang kalian dan keluar dari rumah ini."Aku meninggalkan Mas Joko dan Ibu yang masih menatapku tak percaya, aku sudah terlanjur ilfeel dengan Mas Joko."Ibu ada perjanjian apa sama Vita?" kudengar Mas Joko penasaran dengan perkataanku tentang sebuah perjanjian."Alah, itu cuma akal-akalan Vita saja karena mau mengusir kita. Baik kita pulang
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuatku menepikan motorku, dari dalam sana kaca pintu mobilnya terbuka."Dek! Mau berangkat kerja?" Mas Joko dengan senyum bangganya menyapaku di pinggir jalan."Kamu kan lihat aku mau bekerja? Kenapa tanya? Aneh sekali," balasku malas."Nggak mau Mas anter naik mobil ini, Dek? Enak loh! Nggak kepanasan dan kehujanan.""Nggak!" tolakku spontan."Sombong sekali! Kamu akan menyesal sudah meminta berpisah dariku, Dek! Lihat, bahkan aku lebih keren sekarang dengan menaiki mobil ini. Sebentar lagi, aku akan memilikinya," ucap Mas Joko percaya diri.Kamu kira saya akan mengurungkan niatku meninggalkanmu, Mas? Naik Mobil bukan miliknya saja bangga, lebih baik aku langsung beranjak saja.Aku tak menanggapi ucapan Mas Joko dan kembali menstarter motorku menuju tempat kerja. Mas Joko mengikuti laju motorku dan ia dengan cepat menyusulku. Byur!Air kubangan lobang di jalan raya menciprat pada badanku akibat dilewati mobil yang ditumpangi Mas Joko. Pasti Mas Ilham
"Vit, Ren, aku mau ngomong!" ucap Anggi serius."Dari tadi juga kan kamu ngomong," ucapku."Serius ih!" balas Anggi. Rendi tampak sudah mengganti ekspresi bercandanya dengan wajah yang serius."Kenapa?" tanya Rendi."Maaf jika aku membuat kalian shock dan bersedih jika sudah mendengar berita ini," ucapnya bikin aku penasaran."Udah buru, nggak usah minta maaf!" desakku "Maaf, aku harus resign dari sini. Suamiku tak mengizinkan aku bekerja lagi," ucapnya sedih.Aku menatap Anggi sedih dan Rendi hanya memandangnya biasa. Ya, laki-laki memang begitu, mana bisa mereka baper dan sedih di muka umum."Kenapa?" ucapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Aku hamil! Dan aku dilarang bekerja karena sekarang suamiku sudah naik jabatan, jadi keuangan kami sudah lebih baik," jawabnya menatapku pilu.Aku memeluk Anggi dengan air mata yang tak bisa dibendung. Selama ini, dia bahkan aku anggap keluarga ketika di kantor. Setelah kepergiannya, aku pasti sangat kehilangan sosok sahabat yang menemaniku
Hari ini jadwalku servis motor. Walau usang, aku usahakan merawatnya agar tak rusak. Bukan hanya motor, suami pun jika ia tak rusak berat aku akan merawatnya. "Nggak ikut liburan, Mbak Vita?" tanya Mang Oding, tukang servis motor langgananku."Liburan kemana, Bang?" tanyaku sambil makan kuaci bersama Azka."Lho, nggak di ajak toh? Mertua kamu sama keluarga Yati pada pergi ke Monas loh. Yang saya dengar, di ajak sama janda kaya yang baru pulang dari luar negeri itu," ucap Mang Oding."Oh, saya nggak tahu! Biarin aja, Mang! Mereka kan belum pernah piknik, kalau saya mah, udah kenyang dari ABG!" dustaku. Sebenarnya perasaan ini juga penasaran, tapi aku malas menanyakannya. Nanti, jadi meluber kemana-mana."Tapi kan jahat banget, masa anak istri nggak di ajak. Kalau aku sih, pasti kalau kemana-mana pergi selalu ajak anak istri. Mereka itu kebahagiaan hidup saya, nggak lengkap rasanya pergi sendiri tanpa membawa keluarga.""Laik lubuk lain ikannya, lain orang lain pikirannya. Mang Oding m
Motor kulajukan menuju rumah Bang Radi, aku sengaja ke sana untuk sekalian menginap, karena mungkin butuh lama nanti kami bermusyawarah dan pasti akan kemalaman jika akan pulang ke rumah."Assalamualaikum," salamku ketika baru sampai di rumah Bang Radi. Kuputar gagang pintu dan menahan Dina dan Bang Radi yang sedang sibuk belajar. Ku ulangi salam yang tadi belum mereka dengar, dan mwreka menengokku serempak."Bude!" teriak Azka berlari ke arah Mbak Nuri yang sedang membawa cangkir berisi kopi."Eh, ponakan Bude yang comel datang! Kemana nih hari minggu ini, nggak ada yang inget Bude! Pasti jalan-jalan!" Mbak Nuri meletakkan kopi di depan Bang Radi dan menggendong Azka. "Lihat Nih, Bude! Aka punya lobot balu, Tante nggak oleh pinjem! Wee," ucap Azka menjulurkan lidahnya kepada Dina yang telah selesai belajar."Mana sini Tante pinjam." Dina menjahili Azka dengan mengambil robot yang tadi ia pamerkan, dan akhirnya tangis Azka mengisi rumah ini."Din!" ucap Mbak Nuri menghentikan kejahil
Kusiapkan langkah pagi ini, mengambil keputusan penting dalam hidupku. Berpisah dengan Mas Joko, sudah kumantapkan dalam hati. Bukan aku tak takut bergelar janda, aku lebih takut terkena dosa yang diakibatkan suamiku sendiri. Jika ia berusaha untuk meminta maaf dengan gigih, past hatiku akan luluh. Namun, ia bahkan tak menganggap aku dan Azka lagi."Sudah siap, Dek?" ucap Bang Radi mengagetkan lamunanku."E_eh, sudah! Ayo, Bang!" Aku melangkah keluar kamar, dan mencari keberadaan Azka. "Mam, Mamam mau kemana? Aka ikut ya?" rengeknya padaku."Azka kan biasa Mamam tinggal kalau lagi kerja. Kenapa sekarang minta ikut?" tanyaku yang tak tega melihat Azka menangisi kepergianku."Aka mau pelgi cama Mamam. Aka ikut ya!" Aku memandang Bang Radi, ia mengangguk dan aku menggendong Azka."Kalau Azka mau ikut Mamam, Azka jarus janji. Nggak boleh nakal kalau di sana!" ujarku."Janji, Mam!" sahut Azka memelukku erat. Sungguh hal yang berat, mengajak Azka ikut ke pengadilan dan harus membuat ia iku
Pagi ini, aku sudah akan berangkat kerja kembali setelah kemarin ambil libur untuk mengurus perceraianku dengan Mas Joko. Dengan memakai seragam kerjaku, aku berpamitan pada Mbak Nuri dan juga Azka untuk berangkat.Kulajukan motor lamaku, dan melenggang dengan pelan menuju tempat bekerja. Haro ini aku berangkat awal, karena aku tak harus repot masak dan beberes rumah. Aku memilih menginap di rumah Bang Radi sampai aku benar-benar berpisah. Rasanya malas jika meladeni keluarga menyebalkan itu seorang diri, bukan tak berani, lebih tepatnya menjaga diri. Siapa tahu mereka mau mencurangiku atau Azka! Waspada lebih baik daripada menyesal kemudian.Aku melewati rumah wanita bernama Arum. Terlihat mobil Mas Ilham bertengger di sana, mungkinkah mereka sudah pulang dari Jakarta? Ah! Bodo amat! Emang gue pikirin. Aku kembali menarik gas motorku melanjutkan perjalanan yang sempat mengganggu konsentrasiku.Aku sampai di kantor lebih awal, aku berjalan menuju loker dan meletakkan tasku di sana. Se
Malam ini, malam terakhir aku menjanda. Besok harinya aku sudah akan berganti status menjadi istri seorang Rendi Prayoga. "Sudah siap, Dek menjadi istri kembali?" ucap Bang Radi mengatakan dengan penuh kasih saat aku sedang menidurkan Azka di kamar."Abang belum tidur?" tanyaku."Mana bisa tidur kalau begini, Abang merasa sedang jadi orangtua yang akan menikahkan anaknya. Pusing mikirin acara besok," ucap Bang Radi."Apa sih yang dipikirkan? Sudah, istirahat saja. Kan ada WO yang mengurusi pernikahan Vita, Abang dan MBak Nuri hanya duduk manis dan melihat adiknya yang comel ini berbahagia. Orang Vita yang nikah aja biasa aja, kenapa Abang yang deg-degan. Aneh," ucapku."Namanya juga orang tua, Vit. Terlebih suamimu itu bukan orang sembarangan, Abang hanya sedikit minder saja.""Kok minder? Kaya dan miskin sama saja. Lagian, keluarga Rendi itu baik-baik. Bahkan, keluarga yang dari Jakarta juga sudah hadir tiga hari yang lalu," ucapku mengabarkan kehadiran keluarga besar Bella yang men
"Mam, kita mau kemana?" tanya Azka saat di sadar jika ini bukan arah ke rumah Mbak Nuri."Coba tanya Ayah, mau kemana?" ucapku melirik Rendi."Kemana, Yah?" "Kemana yah? Azka maunya kemana?" tanya Rendi sengaja membuat Azka penasaran."Kita mau ke butik, Sayang.""Butik itu apa, Mam?" "Tempat memilih baju-baju bagus, nanti Azka juga bisa milih baju di sana. Ya kan, Yah?" Rendi mengangguk dan ia tersenyum. Kedekatan kami bahkan sudah lama, tapi aku tak menyangka jika jodohku bisa berubah dalam jangka waktu yang singkat. Aku dan Mas Joko menikah enam tahun lamanya, dan baru tiga bulan menikah aku dianugerahi anak. Tadinya bahagia namun semakin ke sini semakin kacau rumah tanggaku akibat campur tangan ipar dan mertuaku.Kini aku sedikit prihatin dengan keadaan Mas Joko, bahkan tadi pagi saat bertemu dengannya wajahnya amatlah murung. Pernah bersama pasti tahu, baik dan buruknya lelaki itu. Cinta? Bukan masalah cinta yang aku bicarakan. Aku hanya kasihan dan sedikit bersimpati. Aku hany
Mobil yang ditumpangi melewati Mas Joko begitu saja. Rendi tampak melirikku seakan takut aku berpaling darinya."Habis bicara apa?" "Hah?" tanyaku kaget. "Kamu! Habis ngobrolin apa sama mantan suami kamu?" tanya Rendi lembut."Nggak terlalu penting, hanya seputar pernikahanku saja. Dia nggak percaya aku nikah lagi, dia malah curhat bininya lebih parah sekarang!" "Kenapa emang bininya?""Aib, nggak usah di umbar. Bikin dosa, aku menyela pembicaraannya dan akhirnya memilih mengundang dia ke acara resepsi pernikahan kita bersama Arum istrinya. Nggak apa kan?" "Terserah kamu, sudah hak kamu mengundang siapapun. Yang penting jangan bikin rusuh saja, dan mungkin nanti acaranya di gedung Alazka punya Omku."Aku kaget saat Rendi akan menggelar resepsi di gedung, tadinya aku pikir hanya akan ada hajatan kecil-kecilan di rumah."Kok nggak tanya sama Vita?" tanyaku."Mana aku tahu? Ini pembicaraan orangtua dan kakakmu, aku manut saja Yang penting bagiku sah denganmu. Wes, nggak usah pake em
"Vit, hari ini jadi imunisasi calon pengantin?" tanya Mbak Nuri padaku."Jadi Mbak, nanti jam delapan. Nunggu Rendi jemput Vita," sahutku dari dalam kamar. Aku sedang memakaikan seragam sekolah Azka. Ya, bulan ini Azka sudah aku masukkan TK. Ia meminta masuk tahun ini karena semua temannya sudah masuk dari tahun yang lalu. Menyedihkan memang, tapi sekarang aku sudah sedikit lebih baik setelah berpisah dari Joko."Anak Mamam udah ganteng, sekolahnya yang semangat ya!" "Siap, Ma!" Azka tersenyum penuh energik saat sudah aku siapkan keperluan dari tas, sepatu hingga alat tulis. Tentu saja, ia yang membelinya bersama Rendi bulan lalu saat ia mengajakku malam mingguan ke alun-alun. Tahun ini, Azka masuk tahun ajaran pertengahan karena jika menunggu tahun depan ia tak mau. Malu katanya semua temannya sudah masuk duluan. Jika di TK desaku, masuk tidak harus di awal ajaran baru. Masuk pertengahan pun tak apa. Entah sistemnya nitip atau gimana aku juga nggak begitu paham, yang jelas aku sena
"Mbak, bagaimana penampilanku?" tanyaku selepas berdandan untuk menyambut kedatangan Rendi."Cantik. Kamu bahkan tak terlihat sudah punya Anak, Rendi mau ke sini jam berapa katanya?" tanya Mbak Nuri."Sebentar lagi sampai, mobil sudah masuk depan gang." Aku bersiap menetralkan perasaan tegang saat hendak bertemu Rendi. Meski ini bukan pernikahan pertamaku tapi aku benar-benar gugup. Azka yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan dasi kupu-kupu di lehernya, tampak terlihat comel dan menggemaskan."Mam, Ayah mau datang ya?" Aku melipat keningku, mendengar Azka memanggil Ayah."Maksud Azka? Ayah?" tanyaku."Iya, Ayah Lendi. Kata Ayah balu Azka harus panggil Om Lendi, Ayah." Aku tersenyum mendengar panggilan lucu yang Rendi kenalkan untuk dirinya. Azka memang terlihat akrab akhir-akhir ini dengan Rendi, karena ia sering mampir ke rumahku hanya sekedar minum kopi dan mengajak Azka keluar.Tentu aku tak tahu jika itu caranya mendekatkan diri dengan Azka. Azka yang mulai terbiasa denga
"Vit, besok kamu berangkat ya! Aku udah bilang ada pak Direktur buat kamu kerja lagi di pabrik!" Rendi mengirimkanku pesan saat aku baru akan pulang dari PT penyalur tenaga kerja."Maaf, aku nggak bisa! Aku udah daftar kerja ke luar negeri. Dan besok rencananya sudah mulai masuk asrama. Maaf ya, Ren!" Sebenarnya aku juga sangat berat, meninggalkan Azka dan semua kenangan di tempat ini. Tapi aku harus bisa melanjutkan hidupku sebagai single parent, aku tak bisa mengandalkan kemampuanku yang hanya membuang bola sisa di pabrik."Bisa kita ketemu sekarang?" tanya Rendi. Aku melihat jam di pergelangan tangan menunjukan pukul jam tiga sore."Di mana?" tanyaku."Zero cafe!'"Baiklah, aku langsung menuju ke sana!" Aku sengaja langsung ke lokasi karena memang aku dekat dengan cafe yang Rendi sebutkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di Zero cafe. Tempat yang sudah lumayan ramai karena sudah menjelang sore. Banyak muda mudi berpasangan datang ke cafe ini sekedar membuang sebel atau berpa
"Mas Rendi, silahkan diminum tehnya. Maaf ya ada sedikit gangguan tadi di depan." Mbak Nuri menyuguhkan teh dan juga camilan di depan Rendi dan Anggi."Makasih, Mbak!" Mbak Nuri ke belakang meninggalkanku dengan Rendi dan Anggi."Vit, tadi mantan suamimu?" tanya Rendi penasaran."Iya!" jawabku tak enak."Masih berani dia bilang cinta padahal sudah menikah lagi, ngeri ya, Vit!" imbuh Anggi. Aku melirik Azka yang tampak asyik dengan ponsel milik Rendi."Azka, sama Mamam sini!" Ajakku pada Azka yang tampak nyaman di pangku Rendi. "Nggak apa, dia udah nyaman sama saya.""Nggi, kamu ke sini mendadak ada apa? Kenapa nggak kabarin aku?" tanyaku penasaran."Nggak apa! Kangen lama nggak ketemu kamu sama Rendi. Rendi bilang kalau kamu Resign, betul?" Aku melirik ke arah Rendi. Aku memang meminta libur berapa minggu padanya."Gini, Nggi! Vita ini meminta cuti. Ketika aku tanya alasannya, dia diem. Makanya aku bilang sama kamu kalau dia resign, ternyata dia sedang sedih. Maaf ya, Vit!" ucap Rend
Aku sedang menyirami bunga di depan rumah Bang Radi. Sekarang aku memilih tinggal di rumah abangku karena rumahku sudah aku jual seperti saran Bang Radi. Kulihat bunga yang bermekaran sangat indah, membuat suasana pagi ini juga indah."Mam, Aka mau itu siram bunga!" "Azka mau bunga?" Anakku mengangguk pertanda mengiyakan pertanyaanku."Oke, hati -hati ya! Awas bajunya basah.Saat sedang asik bermain air menyiram bunga, mobil fortuner putih berhenti di depanku. Tampak kaca jendela mobil terbuka, dan wajah Mas Joko menyembul dari dalam."Azka! Mau ikut Papap nggak?" ucap Mas Joko. Aku sengaja membiarkan Azka yang akan menjawabnya. Aku ingin tahu apakah anakku ini ingin dengan ayahnya atau tetap denganku."Nggak! Aka mau sama Mam ajah, Papap jahat."Mas Joko tampak melirik tajam dan menatap dengan tatapan yang menusuk. Mobil hitam lamborghini juga tampak berhenti di depan rumahku.Aku melihat Anggi dan suaminya serta Rendi yang datang ke rumahku. Tentu aku kaget bukan kepalang, mereka
Kupacu motor dengan pelan sambil berlinang air mata. Tangisku ini bukan karena ingin berpisah dengan Mas Joko, tapi lebih ke takut kehilangn Azka. Azka adalah hidupku, apapun ku pertaruhkan untuknya."Mam, Mamam kenapa? Jangan menangis, Mam! Fokus nyetirnya!" celetuk Azka."Siapa yang nangis, Mamam kena debu truk tadi. Azka sudah makan?" "Sudah, sama ayam goreng tadi. Tapi nggak Aka abisin, soalnya nggak ada Mamam nggak enak!"Aku tersenyum mendengar ucapan Azka, ia memang anak yang selalu ingat orang tuanya. Jika denganku pun ia juga teringat Mas Joko. Andai saja dia bisa sedikit berpikir waras, semua ini tak akan terjadi."Ude, assalamualaikum!" ucap Azka saat baru memasuki rumah Bang Radi."Waalaikumsalam, Azka! Gimana main sama Ayah? Senang?" tanya "Nggak, Mamam jadi angis. Aka nggak cuka sama nenek galak sama Papap." Bang Radi yang sedang menonton tv seketika menatapku penuh selidik."Azka main sama kak Dina ya!" ucap Mbak Nuri."Iya, Ude!" Azka masuk dengan Mbak Nuri menuju k