Part 5
"Gak apa-apa mas, insyaallah nanti ada rezeki yang lain..." jawabku kemudian.Mas Aris mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah, kalau kamu bisa mengaturnya, Dek. Mas percayakan padamu. Tapi insyaallah semoga walaupun cuma sisa sedikit, kita bisa lewati semua ini dengan baik ya.""Iya, Mas. Asalkan kita tetap bersama-sama berpegangan tangan, pasti bisa melewati hari hari ke depan dengan baik, meski harus puasa lebih sering."Mendengar jawabanku, Mas Aris tertawa. Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Kepala yang hanya ditutupi oleh jilbab dengan warna yang sudah usang."Ya sudah, kalau gitu, kalian tunggu disini, mas mau pinjam motor pak mandor dulu ya buat pulang ke rumah. Sayang kan kalo harus naik angkot dua kali," ucap Mas Aris kembali. Lelaki yang penuh kesabaran, panutanku, imam dalam hidupku."Iya, mas."Setelah kepergiannya, aku mengamati keadaan sekitar. Sanggupkah aku memulai hidup disini dari 0? Bahkan kami tak mempunyai tabungan sepeserpun. Tak ada barang apapun di sini, sementara di rumah pun aku hanya punya baju baju yang sudah lama. Kami bahkan tak pernah membeli baju hingga baju baju kami terlihat kusam saking seringnya dipakai."Assalamualaikum..." suara salam sapa dari luar menghenyakkanku."Waalaikum salam..."Aku beranjak keluar, ternyata pak haji Herman, pemilik kontrakan yang datang sambil membawa ember gayung, alat kebersihan dan kasur lantai. Lelaki yang sudah sepuh itu tersenyum"Ini neng, bapak cuma bisa fasilitasi ini saja. Semoga betah ya tinggal disini," ucapnya sambil memberi barang-barang itu padaku. Alhamdulillah, dalam hati aku bersyukur, setidaknya ada sedikit perabotan yang bisa kugunakan di sini bukan kamar kosong tanpa apapun."Terima kasih, pak. Terima kasih banyak," jawabku sambil tersenyum."Iya neng, sama-sama. Kalau ada apa-apa, hubungi bapak saja, neng. Bapak selalu ada 24 jam di rumah." lanjutnya, kemudian pak haji pergi. Aku mengangguk lagi, syukurlah pemilik kontrakan begitu ramah pada kami. Diberi barang seperti itu aku sudah sangat bersyukur. Sambil menunggu suamiku datang, aku membersihkan rumah kontrakan yang akan aku tinggali, sedangkan Aryan dia sedang bermain sendiri di teras luar, sepertinya anak itu mudah sekali beradaptasi. Dan Reza, dia masih terlelap dalam tidurnya. Setelah meminum obat tadi Reza bisa tidur dengan nyenyak.Deru suara motor terdengar memasuki halaman. Rupanya Mas Aris sudah kembali. Dia tersenyum padaku. Dia turun dari motor dan menghampiriku."Wah, dek... Dapat ini dari mana?" tanyanya dengan wajah yang cukup sumringah."Tadi pak haji yang kasih mas," jawabku. Aku menceritakan perihal pemberian pak haji ini."Alhamdulillah... syukurlah kalau begini ya, Dek.""Iya Mas, ini juga rezeki.""Iya. Yuk, kita pulang ke rumah ibu. Tadi mas udah sekalian izin sama pak mandor, untuk pulang lebih dulu."Aku mengangguk. Aku kembali menggendong Reza, sementara Aryan duduk di depan bapaknya. Tak lupa mengunci pintu kontrakan lebih dulu.Bismillahirrahmanirrahim, semoga ini keputusan yang tepat dan tidak membuatku menyesal di kemudian hari.Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Mas Aris, dia tampak fokus menghadap ke depan jalan. Sesekali suara Aryan bernyanyi yang memecah keheningan. Akupun tertawa mendengar suaranya yang lucu itu.Cukup lama kami berada di satas motor. Mas Aris mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan kota kecil di tempat ini. Kondisi jalan cukup ramai oleh kendaraan motor yang lainnya, yang punya tujuan masing-masing.Sesampainya di rumah ibu...Tak terasa waktu sudah menunjukkan angka 4 sore. Dari sejak makan siang aku meninggalkan rumah."Assalamualaikum," ucapku sambil memasuki rumah."Waalaikum salam. Habis dari mana kamu, Wi? Jam segini baru pulang?" tanya ibu penuh selidik. Dia berkacak pinggang menyambutku. Tak ada kata ramah sama sekali, semuanya ketus."Assalamualaikum, Bu," Mas Aris menyusulku masuk ke dalam. Dia menyalami ibu, ibu menyambutnya walau dengan terpaksa. Dengan raut wajah yang begitu masam."Kalian kok bisa datang bersama? Kamu pergi ke tempat suamimu? Emangnya punya uang? Kemarin katanya uangmu habis?" ibu mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Ah itu...." Ucapanku mengambang di udara, tak mungkin aku bilang kalau aku dapat uang dari Mas Bagas."Maaf bu, kami mau bicara sesuatu sama ibu." Mas Aris menyela kami.Kening ibu mengkerut, menampakan garis garis jelas di dahinya."Ya, katakan saja! Ada apa?" jawab ibu masih dengan nada ketus."Begini bu, kami mau mengontrak..." ucap Mas Aris pelan. Ia harus mengatakan hal itu dengan nada lembut agar ibu tak tersinggung dengan ucapan kami."Apaaa...? Hahahah...." Ibu malah tertawa. Entah apa yang ditertawakan, sepertinya tidak ada yang lucu.Aku dan Mas Aris saling berpandangan melihat reaksi ibu. Aneh."Kalian sudah punya uang? Gayanya mau ngontrak rumah, buat makan aja gak cukup!" sambung ibu lagi seakan mengejek kami.Astaghfirullah ibu! Lagi lagi ibu mengejek kami yang rendahan dan juva miskin. Padahal setiap rezeki sudah Allah jamin."Iya bu, kami mau mandiri," jawabku. Terserah apa reaksi ibu. Yang jelas aku ingin cepat cepat keluar dari rumah ini."Oh ya baguslah. Kalau mau pergi, pergi aja! Dari pada disini jadi parasit!" Ibu bicara dengan nada membentak. Aku dan Mas Aris cukup tersentak mendengarnya.Deg! ucapan ibu sungguh menyakiti hatiku. Jadi selama ini kami hanya menjadi parasit? Parasit, parasit, kalian tahu kan apa itu parasit? Jadi selama ini yang kulakukan tak pernah dianggapnya. Baiklah ibu... Maafkan anakmu yang tidak tahu diri ini. "Baik, Bu. Maafkan kami, kalau selama ini kami hanya merepotkan ibu," sahut mas Aris sambil memegang tanganku. Dia tahu aku sudah meleleh dalam tangisan. Ya, air mata ini tak bisa kutahan lagi mendengar ucapan pedas ibuku sendiri."Iya, ajak istrimu pergi. Ibu juga sudah bosan melihatnya nangis terus. Kurang uanglah, anak sakitlah, begini, begitu... Makanya, kamu jadi suami cari kerjaan yang benar! Lihat tuh kakak iparmu si Bagas, sekarang sudah jadi manager, punya banyak uang, hidup istri dan anaknya terjamin. Gak kayak kamu, miskin!!"Ibu masih meracau tak jelas, menggerutu seolah keberatan tapi jatuhnya mengejek kami dengan keterlaluan.Mas Aris hanya menunduk, dia sudah kebal dimaki-maki seperti itu. Entah hatinya terbuat dari apa dia masih bisa sabar, tidak ada dendam sedikitpun pada ibu."Tapi ingat pesan ibu ya, sekalinya kalian pergi dari rumah ini, kalian tidak boleh kembali lagi. Pergiiii....!!!" seketika ibu menjadi marah.Deg! Jantungku berpacu kencang, dadaku bergemuruh hebat, hatiku sangat remuk. Ya Allah, apa benar aku anak ibu? Sebeginikah kecewanya ibu terhadap kami? Hingga tak ada sedikitpun belas kasihnya? Mungkin kata-kata ibu benar, kami hanyalah parasit, orang miskin yang belum bisa hidup mandiri. Ibu, maafkan kami kalau selalu merepotkanmu.Part 6"Pergiiii...!!"Aku terhenyak mendengar teriakan ibu. Si kecil Rezapun kaget, dan menangis karenanya."Baik, Bu. Kami beres-beres dulu," jawab mas Aris lagi. Kami langsung masuk ke kamar karena tak ingin mendengar teriakan ibu. Sementara ibu masih duduk mematung di tempatnya, memijat pelipisnya sendiriz entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Apakah dia akan kembali berpikir kalau kami anak-anak yang durhaka? ***Di dalam kamar, situsasi udah tidak karuan.Aku membereskan baju-baju kami semua, Mas Aris dengan cekatan membantuku, memasukkannya ke dalam tas ransel. Kembali meneliti supaya tak ada satupun barang yang tertinggal."Kamu lihat sendiri kan mas? Sikap ibu? Dia setiap hari seperti itu padaku. Aku tak pernah dianggapnya ada. Padahal aku juga capek, mencuci, masak, nyapu aku membersihkan semuanya sendiri. Tapi....""Iya, dek..." sahut Mas Arin dengan nada suara pelan."Aku sudah gak tahan, mas..." isakku.Air mataku tumpah lagi, tak henti-hentinya kuseka bulir-bul
Part 7Aku dan Mas Aris sudah sampai di kontrakan. Tak banyak yang kami bawa, hanya baju-baju untuk ganti. Sesulit inikah hidup sebagai orang tak punya? Hingga dibenci sama ibu sendiri? Atau... Adakah alasan yang lainnya yang tidak kumengerti?Rasanya hari hari kulalui begitu berat. Tapi bukankah kita harus bersabar?Aku membaringkan Reza di kasur lantai. Tangan dan pundak terasa begitu pegal karena hampir seharian menggendong si bungsu. Aryan pun berbaring di sampingnya. "Maafin kami ya, Nak. Kalian harus tidur hanya beralaskan kasur lantai yang tipis," ujarku dengan nada tertahan.Air mataku terus saja mengalir, enggan untuk berhenti walau aku menyekanya berkali-kali."Dek, udah jangan menangis terus. Istirahatlah," ucap mas Aris. Dia mengisik bahuku dengan pelan."Sekarang mandilah dulu, biar badanmu segar. Kita gantian, Mas juga mau mandi seharian rasanya begitu lelah."Aku mengangguk, bangkit dari duduk dan meraih handuk dalam tas ransel. Gegas masuk ke dalam kamar mandi, menyal
Part 8Flashback ( Masa lalu Aris )Bagian 1"Hei, jangan pergi kalian!" Suara teriakan petugas satpol PP itu mengehenyakkanku. Aku yang tengah mengamen segera berlari menghindar dari amukan. Mereka menendang para pedagang asongan yang masih nekat berjualan di sana di usir dengan membabi buta."Ayo bereskan mereka, jangan sampai ada yang lepas."Aku awalnya bersembunyi dibalik badan seseorang. Tapi rupanya aku salah strategi, mereka para petugas melihatku."Cepat tangkap mereka yang berusaha kabur!" teriak petugas itu lagi membuatjantung berdegup sangat kencang. Semua berlarian, berhambur tak tentu arah tujuan, termasuk aku. Satu hal yang ada di pikiran. Kabur dan jangan sampai tertutup."Itu mereka, kejaaaarr!" Suara gesekan sandal dan sepatu berlarian di jalanan terdengar berdecit.Aku berlari-lari dari kejaran satpol PP yang sedang merazia kami, para anak jalanan. Ya, aku menjadi anak jalanan sejak 5 tahun lalu, saat usiaku menginjak 11 tahun. Kematian kedua orang tuaku membuat
Part 9Hari-hariku berlalu penuh dengan rasa suka cita. Tinggal di lingkungan masjid membuat pribadiku lebih baik lagi. Kini,Sudah 6 tahun semenjak hari itu, hari yang paling bersejarah yang membuatku terdampar di lingkungan yang baik ini. Sejak saat itu aku menjadi giat untuk belajar agama. Hari-hariku dipenuhi oleh ceramah pak ustadz dan juga belajar mengaji. Selain menjadi marbot masjid, aku juga seringkali bekerja sebagai kuli bangunan agar aku tetap bisa melanjutkan hidup. Bukan hanya mengandalkan belas kasih orang, tapi akupun harus berjuang. Pak ustadz tidak keberatan akan hal itu, yang terpenting masjid tetap terjaga kebersihannya. Dan tibalah hari itu, hari dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengan gadis itu. Gadis dengan senyumannya yang manis. Parasnya begitu ayu, bahkan sepertinya ia punya aura tersendiri. Gadis itu yang mampu menarik perhatianku. Aku tak pernah menyadari, sejak kapan benih-benih ini muncul. Yang jelas saat itu, dia hadir di acara santunan anak yat
Part 10Aku sudah menguatkan hatiku, meski kemungkinan terburuk, aku bakal patah hati. Tak apa, aku masih bisa menahannya. Asalkan aku bisa melihat senyuman di wajah cantiknya, itu tak masalah. Hari inipun tiba, hari yang akan menjadi hari sakralmu, melepas lajang dengan seseorang yang tepat. Aku tersenyum membayangkan wajahmu. Semoga kamu bahagia, Dewi. Maaf aku tak datang di hari pernikahanmu. Biarlah hanya doaku saja yang sampai karena aku masih tak bisa bila harus bertatap wajah denganmu.Pagi menjelang siang ini, karena tak ada pekerjaan, aku tengah membersihkan masjid, agar lantainya tetap bersih dan kinclong. Begitu pula kacanya agar bebas dari debu. Aku menyibukkan diri agar tak terlalu kepikiran padanya. Perasaanku ini memanglah salah, muncul begitu saja tanpa bisa kubendung. Aku harus membuang perasaan ini jauh jauh. Aku harus menghapus semuanya.Tiba-tiba aku terperanjat kaget, saat melihat Dewi berlari menuju ke arahku, masih dengan kebaya putih dan hijabnya yang melekat.
Part 11Sementara di tempat ibu.Mbak Ayu dan keluarganya bersiap pergi meninggalkan ibu. "Kalian mau kemana?" tanya ibu."Kami pulang dulu, bu." jawab mbak Ayu"Katanya mau menginap disini? Ibu masih kangen sama cucu-cucu ibu..." ujar ibu dengan nada berat."Tidak, Bu. Kapan-kapan saja.""Kenapa?" tanyanya lagi."Tidak apa-apa. Cuma Ayu mau bilang, kali ini ibu sudah keterlaluan sama Dewi. Kasihan Dewi, Bu. Dia juga anak ibu, kenapa ibu terus menerus memarahinya. Kalau aku jadi Dewi mungkin sudah kabur sejak dulu. Sungguh aku tak kuat mendengar omongan ibu yang selalu marah-marah."Ibu terdiam."Sesekali bersikap lembutlah pada Dewi, Bu. Kasihan anak itu, dari dulu dia yang selalu membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Masa hanya gara-gara suaminya miskin ibu terus menerus mencacinya begitu? Rasanya sungguh tidak adil, Bu. Berarti kalau kita miskin, tidak menutup kemungkinan kalau kita juga akan diperlakukan sama seperti Dewi, iya kan bu?" ujar mbak Ayu.Ibu menggeleng. "Tidak n
Part 12Klotak... klotak...Terdengar bunyi berisik di ruang tengah."Bu, Bu.... mana sarapannya? Kok gak ada apa-apa di meja?" teriak Arin. Gadis itu baru keluar dari kamar, masih dengan tanktop dan hotpants yang melekay. Wajah kusut dan rambut berantakan khas orang yang baru bangun tidur.Dia membuka tudung saji di meja makan, tapi tak tersedia makanan apapun. Biasanya, pagi-pagi sekali Dewi sudah mulai memasak untuk orang serumah. Paling sering dia bikin dadar telur dan oreg tempe atau sekadar memasak mie goreng. Ya, Dewi sangat perhatian dengan keluarganya, dia merasa kasihan kalau belum tersedia sarapan di meja. Adiknya yang laki-laki akan berangkat kerja, pasti akan merasa lapar kalau tidak sarapan dulu. Sedangkan Arin, gadis itu dia terbiasa manja dengan apapun. Ia terbiasa semuanya ada yang menyiapkan. Tak pernah ia mau sekedar membantu pekerjaan rumah.Arin kemudian menghampiri ibunya yang sedang beberes di dapur. Wanita paruh baya itu tengah sibuk dengan cucian pirung di wes
Part 13"Mas, Reza panas lagi." ucapku ketika memeriksa suhu badan Reza yang kembali panas. Bahkan kemarin demamnya sudah turun. Entah kenapa sekarang panas lagi, tetapi tubuhnya terlihat menggigil, bibirnya mulai membiru."Kita bawa ke Rumah Sakit saja ya dek..." jawab Mas Aris. "Sudah berapa hari Reza panas, dek?""Empat harian mas..." jawabku penuh rasa khawatir."Ya sudah ayo ke Rumah Sakit, biar jelas." ajak Mas Aris. "Tapi...." aku bimbang, pasalnya kami tak punya uang sama sekali untuk membayar biya perawatannya. Kalau ke Rumah Sakit pasti biayanya akan sangat mahal."Kita ke Rumah Sakit dulu, lainnya kita pikirkan nanti ya," ucap Mas Aris lagi.Aku mengangguk. Kami pergi ke Rumah Sakit, menggunakan motor pak mandor yang masih belum di kembalikan. Untung saja pak mandor baik kepada kami.Sesampainya di Rumah Sakit, dokter memeriksa Reza, dan menyarankan agar dilakukan tes lab pada Reza. Kami mengangguk menyetujuinya.Setelah setengah jam menunggu, hasil tes lab itu keluar. "B
Bab 526 bulan berlalu ...Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, bayiku sudah lahir dengan normal dan sempurna. Seperti yang dibilang dokter, bayi mungilku perempuan. Sekarang usianya sudah dua bulan. Bayi perempuanku yang cantik diberi nama Ayudisa, sesuai dengan parasnya yang ayu.Teringat kembali saat persalinan waktu itu, Mas Aris menemaniku dengan kesabaran dan penuh perhatian. Rona bahagia terpancar di wajahnya. Setelah bayi mungilku lahir. Dia langsung mengadzaninya. "Dek, bagaimana kalau Mas kasih nama Ayudisa Candramaya."Aku tersenyum mendengarnya. Bukankah itu nama yang sangat cantik?"Bagus, artinya apa, Mas?""Kurang lebih artinya dewi nan cantik seperti bulan purnama. Mas cuma berharap, agar kelak dia tetap bersinar dimanapun dia berada, seperti cahaya bulan, walaupun gelap dia akan terus menyinari.""Wow, nama yang sangat indah dan juga cantik.""Seperti kamu. Terima kasih ya dek, sudah memberikan kado yang terindah lagi dalam hidup Mas," ujarnya sembari membelai lembut
Bab 51Season 2 Part 11"Hueek ... Hueek ..."Pagi-pagi sekali, aku merasa pusing dan mual. Entah kenapa kehamilan kali ini membuatku sedikit kepayahan. Padahal dulu, waktu hamil Aryan dan Reza, aku tak merasakan mabuk seperti ini."Hueek ... Hueek ..."Aku kembali memuntahkan isi perutku yang hanya berisi cairan. Seketika saat membalikkan tubuh, Mas Aris sudah berada di hadapanku dengan tatapan khawatir."Kamu gak apa-apa, dek? Kita ke dokter ya?" ajaknya dengan nada khawatir.Aku menggeleng perlahan. "Kemarin kita udah ke dokter, masa ke dokter lagi sih mas. Kata dokter juga ini normal, kamu gak usah khawatir begitu ah," jawabku lirih."Tapi mas gak tega lihat kamu kayak gini terus."Aku hanya tersenyum. Suamiku itu, dari dulu memang begitu, selalu mengkhawatirkan aku dan anak-anak."Mas, inilah perjuangan seorang istri. Makanya ...""Sudah pasti mas akan selalu menyayangimu, menjagamu, melindungimu dengan sepenuh hati. Begitu pula dengan anak-anak yang sudah kau kandung. Terima ka
Bab 50Season 2 Part 10"Ingat ya Zaky, sampai kapanpun ibu takkan pernah menganggap dia sebagai menantu!" ketus ibunya lagi, kemudian dia pergi begitu saja meninggalkan pasangan muda yang masih labil itu."Mas, aku ingin pulang ke rumah ibu. Biarkan aku tinggal di rumah ibu saja. Aku gak mau disini," ujar Arin dengan nada suara yang lirih.Zaky menoleh, ia menatap istrinya dalam-dalam."Kamu gak betah tinggal disini?" tanya Zaky.Arin menggeleng."Apa karena sikap ibuku?"Arin mengangguk ragu."Apa yang dilakukan ibu padamu? Apa kau disuruh mengerjakan semuanya?"Arin terdiam."Ah, sekarang aku paham, kenapa bibi dan mamang tukang kebon diberhentikan dari pekerjaan, ternyata karena alasan ini," ujar Zaky pada dirinya sendiri.Zaky meraih tangan Arin. Tangan yang dulu mulus kini terasa kasar dan memerah. Arin meringis kesakitan."Tanganmu kenapa?""Ini, waktu megang gunting rumput, karena aku gak bisa pakainya, jadi malah bikin tangan lecet," jawab Arin."Apaa??! Kamu bersih-bersih ke
Bab 49Season 2 Part 9Sementara di rumah orang tua Zaky"Riin... Ariiinn...!" teriakkan ibu mertua mengagetkan Arin. "Hei, jangan malas kamu! Dasar menantu tidak tahu diri!" bentaknya lagi.Arin berlari tergopoh-gopoh menghampiri ibu mertuanya. Dia menunduk, hatinya begitu sakit. Padahal ibunya sendiri tidak pernah memperlakukannya seperti itu."Tuh, cucian piring numpuk!" pekik ibu mertua lagi sambil menunjuk ke arah westafel, banyak tumpukan piring kotor disana. Padahal tadi sudah dia bersihkan sebelum Mas Zaky berangkat bekerja. Kenapa sekarang jadi banyak lagi?"Tapi bu, tadi sudah saya bersihkan. Tapi kenapa....""Jangan membantah! Kau lihat sendiri, bukan?" tunjuk ibu mertuanya begitu culas.Arin hanya mengangguk dan menuruti perintah ibu. "Kalau mau tinggal disini, jangan seenaknya sendiri okang-okang kaki! Kerja! Semuanya gak gratis!" hardik ibu mertuanya lagi.Arin menyesal melihat perlakuan sang ibu mertua yang tak menganggap dirinya sebagai seorang menantu. Baru beberapa
Bab 48Beberapa Minggu berlalu setelah berlibur."Bu, kenapa ibu senyum-senyum sendiri?" tanya Aryan dengan polosnya.Aku tersenyum menanggapi ocehan si kecil. "Iya, nak. Ibu lagi bahagia, bentar lagi kamu mau punya adek bayi," ucapku kemudian."Waah benar kah, Bu? Aryan mau punya adik lagi?" tanyanya dengan polos.Aku mengangguk sambil tersenyum."Aryan ikut senang kalau ibu senang, ibu jangan nangis lagi ya. Asyiik, Aryan mau punya adik lagi," ucapnya lagi dengan sumringah. Aryan lalu mengecup pipiku."Ibu jangan sakit ya, Bu. Aryan gak mau kehilangan adik lagi," kata Aryan masih dengan nada polosnya. Ucapanmu menggetarkan hati ibu, nak."Wah, ada apa nih kalian berdua? Kok kelihatannya senang begitu?" tanya Mas Aris saat menghampiri kami."Pak, Aryan mau punya dedek bayi..." jawab bocah kecil itu sambil tersenyum. Mas Aris beralih memandangku lalu tersenyum. "Wah sepertinya bakalan rame lagi nih, kita nambah anggota baru," sahut Mas Aris sambil sesekali melirik menggodaku."Aryaa
Bab 47"Dek, pelan-pelan... Uuh..." ucapnya lirih sambil meringis kesakitan."Tahan dikit lagi ya, mas," sahutku sembari mengobati luka di kaki suamiku. Dia tersenyum. Senyuman yang hangat dan menyejukkan. Mas Aris kembali meraih tanganku, menggenggamnya dan menciumi punggung tanganku."Makasih ya dek, sudah merawat mas dengan baik," ucap Mas Aris.Aku mengangguk. "Cepat sembuh ya, mas.""Iya sayang, I love you," ucapnya lagi yang membuatku tersipu.Beberapa tahun menikah dengannya tetap saja hatiku berdebar-debar ketika dia bilang cinta maupun sayang. Duh.... Tolong kondisikan hatiku."Mas, makan dulu ya,""Boleh, tapi mas mau disuapin sama kamu, dek...""Oh ya ampun, manja sekali suamiku..." ledekku lagi. Dia terkekeh.Aku berlalu ke dapur, mengambilkan makanan yang sudah aku masak tadi. Bahkan ibu, Dani serta Aryan belum pulang. Mereka sedang diajak jalan-jalan sama Mbak Ayu dan Mas Bagas. Sedangkan Arin sudah diboyong oleh suaminya. Ya, di rumah ini hanya kami berdua saja."Mas,
Bab 46Malam harinya, kami berkumpul di meja makan. Sekarang sudah ada anggota baru, yaitu Zaky, dia duduk disamping Arin."Bu, mbak, mas, aku minta izin akan bawa Arin tinggal bersamaku" ucap Zaky membuka percakapan."Iya nak, tadi Arin sudah bilang. Yang penting kau bertanggung jawab pada anak ibu, jangan sakiti dia. Ibu ikhlas ridho sama kalian," sahut ibu."Alhamdulillah, makasih bu.""Memangnya sekarang pekerjaanmu apa dek?" tanya mbak Ayu."Aku belum punya pekerjaan tetap mbak, tapi aku sering bantu-bantu di pabriknya Ayah. Insyaallah aku akan belajar bekerja disana," jawab Zaky. "Ya, jadi suami memang harus seperti itu. Istrimu adalah tanggung jawabmu, jangan lupa diberi nafkah dan kasih sayang," sahut mbak Ayu lagi."Iya, mba."***Beberapa hari yang laluZaky memanglah anak orang kaya, ayahnya punya pabrik kain sendiri, karyawannya sudah ribuan. Sebagai seorang pengusaha jadi dia tak punya waktu untuk memperhatikan anaknya. Sedangkan ibunya, dia wanita sosialita. Sering berk
Bab 45Arin masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Dek, kamu cantik sekali..." puji mbak Ayu. Dia menemaninya sedari tadi. Takut kalau Arin kabur lagi kayak semalam. Arin termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku putus sekolah, batinnya bersedih. Tapi ia harus terima atas konsekuensinya. Tak apa, suatu saat aku akan mengambik pendidikan kejar paket, gumamnya dalam hati berusaha menguatkan batinnya sendiri."Hei, kenapa diam saja?" tanya mbak Ayu."Mbak, kalau aku menikah sekarang berarti aku putus sekolah, iya kan?" sahut Arin dengan mata berkaca-kaca.Mbak Ayu tampak bingung menjawabnya. "Tidak dek, nanti kita minta keringanan sama pihak sekolah. Dua bulan lagi juga k
Bab 44Aku masih menunggu mas Aris pulang di teras depan rumah. Rasa khawatirku semakin membuncah. Apakah aku terlalu berlebihan?"Mbak... Mbak Dewi..." teriak suara seseorang mengagetkanku. Pak Samin terlihat berlari tergopoh-gopoh menghampiriku."Mbak... Itu mbak..." nafasnya terdengar ngos-ngosan."Ada apa ya, pak?" tanyaku."Anu mbak, mas Aris...""Mas Aris kenapa, pak?""Mas Aris kecelakaan mbak...""Apaaa...??"Deg deg deg. Rasanya tak percaya mendengar berita itu. Tubuhku limbung, lemas tak bertenaga. Tapi tiba-tiba Dani menopang tubuhku. "Dimana, pak?" tanya Dani."Itu mas, di jalan yang arah hutan larangan. Tadi bapak lewat situ gak sengaja lihat kerumunan, ternyata ada kecelakaan. Dan itu mas Aris. Tapi berita lengkapnya, bapak kurang tahu. Bapak buru-buru kesini buat ngabari kalian""Terus bagaimana keadaannya, pak?""Bapak kurang tahu mas, tapi katanya mas Aris akan dibawa ke Rumah Sakit terdekat sama warga.""Baiklah terima kasih infonya, pak""Iya sama-sama, mas"Astagh