Dua bulan kemudian …. Langit sore tampak mendung seakan turut merasakan kesunyian yang menggantung di antara suara langkah kaki Nadya dan Firman. Mereka berjalan perlahan di sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana Joyce sekarang tinggal—atau lebih tepatnya, terpaksa tinggal. Sejak ditangkap oleh pihak berwajib, wanita itu mengalami banyak sekali pukulan yang membuat fisik maupun mentalnya berantakan. Dinding putih yang kusam dan aroma obat yang menusuk memenuhi udara, menambah nuansa berat pada hati Nadya. “Silakan. Ini ruangan Ibu Joyce. Jam-jam seperti sekarang ini, Ibu Joyce biasanya duduk di teras belakang sambil menggendong ‘bayinya’,” ucap perawat sambil memberi tanda kutip saat mengucapkan kata bayi. Wanita cantik dengan jilbab pashmina warna mustard itu mengangguk, berterima kasih dan membiarkan perawat pergi. Kakinya bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu belakang kamar Joyce. Mata Nadya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku panjang yang menghadap tam
“Capek nggak?” Firman memecah keheningan sambil menatap Nadya yang duduk bersebelahan di teras rumah. Langit sepenuhnya gelap dan udara dingin mengelus pelan wajah mereka. Melihat Nadya banyak terdiam sejak meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Joyce dirawat, pria itu belum tega meninggalkannya. Khawatir Nadya merasa bersalah atas keadaan mantan sahabatnya itu. "Boleh kok sini bersandar di bahu. Gratis!" Nadya menghela napas, tapi akhirnya menggeser posisi duduknya mendekati Firman. “Bukan capek fisik, sih, tapi... rasanya hari ini berat banget.” Matanya menerawang ke arah taman kecil di depan mereka, sinar bulan samar-samar menerangi bunga-bunga yang berjejer rapi di bawah pohon cemara. Firman mengangguk paham. “Iya, aku ngerti. Hari ini memang berat buat kamu,” Dia melirik Nadya sejenak, lalu kembali menatap langit yang penuh bintang, “tapi kamu nggak sendirian, Na. Aku ada di sini.” Nadya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Ia menundukan pandangan, menatap jemarinya sendiri
Di sebuah restoran mewah yang elegan dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit, Nadya, Firman, dan keluarga duduk melingkar di sebuah meja panjang. Aroma makanan lezat memenuhi udara, membuat suasana semakin hangat dan nyaman. Lilin-lilin kecil di atas meja menambah keintiman momen itu, sementara pelayan dengan sigap menyajikan hidangan satu per satu—dari steak yang empuk hingga seafood segar yang disusun indah di atas piring. Nadya duduk di samping Firman, masih tersenyum bahagia setelah momen lamaran yang manis beberapa jam lalu. Di sebelahnya, Bima yang selalu ceria, sibuk memakan pasta kesukaannya dengan tawa kecil setiap kali Firman mencoba mencuri satu gigitan dari piringnya. Ting! Ting! "Mohon perhatiannya sebentar." Di ujung meja, Papa Bagaskara mengetukkan ujung sendoknya ke bibir gelas, meminta atensi. Semua pasang mata tertuju padanya. Suasana makan yang semula dihiasi percakapan dan tawa, kini menjadi tenang. "Firman," Papa Bagaskara membuka percakap
"Saya nikahkan dan jodohkan engkau, Firman Alamsyah dengan putri saya, Nadya Kinanthi Bagaskara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Nadya Kinanthi Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Firman tegas, mantap, menggema di ruangan sederhana itu. Begitu ijab kabul selesai, suasana mendadak hening, hanya terdengar isak haru dari beberapa tamu yang hadir. Nadya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Firman yang kini resmi menjadi suaminya. Hatinya bergemuruh, rasa syukur dan kebahagiaan berbaur jadi satu. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai disertai semua orang yang menengadahkan tangan mengaminkan. Nadya terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya putih yang sederhana tapi tetap terlihat elegan. Kristal Swarovski menyertai sulaman halus di sepanjang kainnya, memancarkan keanggunan yang tak tertandingi. Meski kebaya itu memeluk tubuhnya dengan s
Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil di rumah minimalis dua lantai berwarna biru. Pagi itu, suasana terasa hangat, bukan karena sinar matahari, tetapi karena kebahagiaan yang masih membara setelah bulan madu yang baru berlalu. Nadya berdiri di dapur, mengenakan apron bergambar bunga, sibuk membalik telur di wajan. Dari arah kamar, Firman muncul dengan rambut yang masih acak-acakan, mengenakan kaos polos yang melekat di badan dan celana pendek santai. Tatapannya langsung tertuju pada Nadya yang tampak begitu alami dalam balutan baju tidur satin lengan panjang dengan rambut yang tergerai hingga punggung.“Sayang,” bisik Firman di dekat telinga Nadya dengan suara berat khas orang bangun tidur. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah tidak rela sang istri meninggalkan ranjang mereka. “Kok kabur, sih? Padahal aku masih mau peluk cium kamu kayak tadi.”Nadya sedikit tersentak, tapi langsung tersenyum kecil. “Mas, ini masih pagi, jangan mulai usil, deh. Siapa suru
Alih-alih pulang setelah sarapan, Alya justru terus mengekor, membuntuti Firman untuk meminta penjelasan."Mas Firman," panggil Alya sambil menghentakkan kaki, membuat pria itu berhenti mengeringkan piring dan menoleh. Alisnya sedikit terangkat, tapi mulutnya terkatup rapat."Ceritain yang tadi, dong. Jangan bikin penasaran!""Buat apa cerita? Nggak ada gunanya." "Ada!" Alya mendekat, ekspresinya penuh tuntutan. "Aku harus tahu biar nggak salah langkah pdkt-in Mas Dani. Salah sendiri kenapa tadi mancing-mancing kayak gitu. Aku jadi penasaran, kan," imbuhnya.Firman menyeka tangannya yang basah dengan kain, lalu menghadap Alya dan menjentikkan jari di kening gadis itu."Saya nggak mancing karena kamu bukan ikan. Saya cuma kasih tahu biar kamu nggak buang waktu.""Maksudnya apa? Buang waktu gimana?" Sepasang mata Alya menyipit, lipatan di dahinya semakin jelas. Firman menghela napas panjang, melepas celemek di tubuhnya dengan gerakan cepat. Dia menatap Nadya—yang berdiri sambil menge
Alya berdiri di dalam bus TransJakarta dengan tangan kanan memegang erat gantungan di atas kepala. Setiap yang Firman katakan ke Nadya, seolah menikam jantungnya."Selama ini aku menempel dengan Mas Dani tanpa peduli perasaannya. Aku bahkan tinggal di apartemennya dengan nggak tahu malu," bisik Alya tanpa suara, menatap keluar jendela yang padat merayap oleh kendaraan. Jalanan kota Jakarta yang semrawut menambah rumit isi kepala."Sini duduk, Nak. Ada kursi kosong."Alya sedikit terhenyak saat seorang wanita berjilbab memegang lengannya. Dia menunjuk tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh penumpang yang bersiap turun di halte berikutnya."Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan lembut seolah mereka saling mengenal. Padahal Alya yakin, ini pertama kalinya mereka bertemu.Gadis yang sedang kacau perasaannya itu hanya mengangguk, enggan menjelaskan lebih lanjut. Sebelum terlibat perbincangan lebih jauh, Alya memutuskan untuk membuang pandangan ke arah lain sambil memasang earphone w
"Pasti Mas Reza suka sama kejutanku." Tepat pukul lima sore, aku keluar dari mobil. Aku sengaja meninggalkan kendaraan roda empat itu di depan gang, lanjut berjalan kaki menuju rumah yang masih berjarak 200 meter di depan sana. Satu tanganku membawa kotak berukuran sedang berisi kue ulang tahun untuk Mas Reza, sedang tangan yang lain membawa tiket liburan ke Bali. Aku tidak sabar memberikan kejutan ini untuknya. Dia pasti senang dan langsung sembuh dari sakitnya. Ya, sebenarnya tadi pagi Mas Reza agak demam. Dia izin tidak masuk kerja dan istirahat total di rumah. Aku yang kebetulan dapat banyak pesanan katering hari ini, terpaksa tidak bisa menemaninya. Aku minta maaf dan baru pulang jam tujuh malam. Dia tidak keberatan sama sekali, memintaku tidak perlu khawatir karena dia bisa mengurus dirinya sendiri. Langkah kakiku semakin dekat menuju gerbang, melewatinya tanpa suara. Seperti seorang pencuri, aku bahkan berhati-hati menutupnya. Semua demi kejutan yang sudah aku persiapkan jau
Alya berdiri di dalam bus TransJakarta dengan tangan kanan memegang erat gantungan di atas kepala. Setiap yang Firman katakan ke Nadya, seolah menikam jantungnya."Selama ini aku menempel dengan Mas Dani tanpa peduli perasaannya. Aku bahkan tinggal di apartemennya dengan nggak tahu malu," bisik Alya tanpa suara, menatap keluar jendela yang padat merayap oleh kendaraan. Jalanan kota Jakarta yang semrawut menambah rumit isi kepala."Sini duduk, Nak. Ada kursi kosong."Alya sedikit terhenyak saat seorang wanita berjilbab memegang lengannya. Dia menunjuk tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh penumpang yang bersiap turun di halte berikutnya."Mau berangkat kerja?" tanyanya dengan lembut seolah mereka saling mengenal. Padahal Alya yakin, ini pertama kalinya mereka bertemu.Gadis yang sedang kacau perasaannya itu hanya mengangguk, enggan menjelaskan lebih lanjut. Sebelum terlibat perbincangan lebih jauh, Alya memutuskan untuk membuang pandangan ke arah lain sambil memasang earphone w
Alih-alih pulang setelah sarapan, Alya justru terus mengekor, membuntuti Firman untuk meminta penjelasan."Mas Firman," panggil Alya sambil menghentakkan kaki, membuat pria itu berhenti mengeringkan piring dan menoleh. Alisnya sedikit terangkat, tapi mulutnya terkatup rapat."Ceritain yang tadi, dong. Jangan bikin penasaran!""Buat apa cerita? Nggak ada gunanya." "Ada!" Alya mendekat, ekspresinya penuh tuntutan. "Aku harus tahu biar nggak salah langkah pdkt-in Mas Dani. Salah sendiri kenapa tadi mancing-mancing kayak gitu. Aku jadi penasaran, kan," imbuhnya.Firman menyeka tangannya yang basah dengan kain, lalu menghadap Alya dan menjentikkan jari di kening gadis itu."Saya nggak mancing karena kamu bukan ikan. Saya cuma kasih tahu biar kamu nggak buang waktu.""Maksudnya apa? Buang waktu gimana?" Sepasang mata Alya menyipit, lipatan di dahinya semakin jelas. Firman menghela napas panjang, melepas celemek di tubuhnya dengan gerakan cepat. Dia menatap Nadya—yang berdiri sambil menge
Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan kecil di rumah minimalis dua lantai berwarna biru. Pagi itu, suasana terasa hangat, bukan karena sinar matahari, tetapi karena kebahagiaan yang masih membara setelah bulan madu yang baru berlalu. Nadya berdiri di dapur, mengenakan apron bergambar bunga, sibuk membalik telur di wajan. Dari arah kamar, Firman muncul dengan rambut yang masih acak-acakan, mengenakan kaos polos yang melekat di badan dan celana pendek santai. Tatapannya langsung tertuju pada Nadya yang tampak begitu alami dalam balutan baju tidur satin lengan panjang dengan rambut yang tergerai hingga punggung.“Sayang,” bisik Firman di dekat telinga Nadya dengan suara berat khas orang bangun tidur. Tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah tidak rela sang istri meninggalkan ranjang mereka. “Kok kabur, sih? Padahal aku masih mau peluk cium kamu kayak tadi.”Nadya sedikit tersentak, tapi langsung tersenyum kecil. “Mas, ini masih pagi, jangan mulai usil, deh. Siapa suru
"Saya nikahkan dan jodohkan engkau, Firman Alamsyah dengan putri saya, Nadya Kinanthi Bagaskara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan logam mulia 50 gram, dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Nadya Kinanthi Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!" Suara Firman tegas, mantap, menggema di ruangan sederhana itu. Begitu ijab kabul selesai, suasana mendadak hening, hanya terdengar isak haru dari beberapa tamu yang hadir. Nadya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Firman yang kini resmi menjadi suaminya. Hatinya bergemuruh, rasa syukur dan kebahagiaan berbaur jadi satu. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai disertai semua orang yang menengadahkan tangan mengaminkan. Nadya terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya putih yang sederhana tapi tetap terlihat elegan. Kristal Swarovski menyertai sulaman halus di sepanjang kainnya, memancarkan keanggunan yang tak tertandingi. Meski kebaya itu memeluk tubuhnya dengan s
Di sebuah restoran mewah yang elegan dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan di langit-langit, Nadya, Firman, dan keluarga duduk melingkar di sebuah meja panjang. Aroma makanan lezat memenuhi udara, membuat suasana semakin hangat dan nyaman. Lilin-lilin kecil di atas meja menambah keintiman momen itu, sementara pelayan dengan sigap menyajikan hidangan satu per satu—dari steak yang empuk hingga seafood segar yang disusun indah di atas piring. Nadya duduk di samping Firman, masih tersenyum bahagia setelah momen lamaran yang manis beberapa jam lalu. Di sebelahnya, Bima yang selalu ceria, sibuk memakan pasta kesukaannya dengan tawa kecil setiap kali Firman mencoba mencuri satu gigitan dari piringnya. Ting! Ting! "Mohon perhatiannya sebentar." Di ujung meja, Papa Bagaskara mengetukkan ujung sendoknya ke bibir gelas, meminta atensi. Semua pasang mata tertuju padanya. Suasana makan yang semula dihiasi percakapan dan tawa, kini menjadi tenang. "Firman," Papa Bagaskara membuka percakap
“Capek nggak?” Firman memecah keheningan sambil menatap Nadya yang duduk bersebelahan di teras rumah. Langit sepenuhnya gelap dan udara dingin mengelus pelan wajah mereka. Melihat Nadya banyak terdiam sejak meninggalkan rumah sakit jiwa tempat Joyce dirawat, pria itu belum tega meninggalkannya. Khawatir Nadya merasa bersalah atas keadaan mantan sahabatnya itu. "Boleh kok sini bersandar di bahu. Gratis!" Nadya menghela napas, tapi akhirnya menggeser posisi duduknya mendekati Firman. “Bukan capek fisik, sih, tapi... rasanya hari ini berat banget.” Matanya menerawang ke arah taman kecil di depan mereka, sinar bulan samar-samar menerangi bunga-bunga yang berjejer rapi di bawah pohon cemara. Firman mengangguk paham. “Iya, aku ngerti. Hari ini memang berat buat kamu,” Dia melirik Nadya sejenak, lalu kembali menatap langit yang penuh bintang, “tapi kamu nggak sendirian, Na. Aku ada di sini.” Nadya tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Ia menundukan pandangan, menatap jemarinya sendiri
Dua bulan kemudian …. Langit sore tampak mendung seakan turut merasakan kesunyian yang menggantung di antara suara langkah kaki Nadya dan Firman. Mereka berjalan perlahan di sebuah rumah sakit jiwa, tempat di mana Joyce sekarang tinggal—atau lebih tepatnya, terpaksa tinggal. Sejak ditangkap oleh pihak berwajib, wanita itu mengalami banyak sekali pukulan yang membuat fisik maupun mentalnya berantakan. Dinding putih yang kusam dan aroma obat yang menusuk memenuhi udara, menambah nuansa berat pada hati Nadya. “Silakan. Ini ruangan Ibu Joyce. Jam-jam seperti sekarang ini, Ibu Joyce biasanya duduk di teras belakang sambil menggendong ‘bayinya’,” ucap perawat sambil memberi tanda kutip saat mengucapkan kata bayi. Wanita cantik dengan jilbab pashmina warna mustard itu mengangguk, berterima kasih dan membiarkan perawat pergi. Kakinya bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu belakang kamar Joyce. Mata Nadya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku panjang yang menghadap tam
Firman melirik ke arah kaca spion, menatap cemas Nadya yang terbaring lemah di bangku belakang. Tubuh wanita itu tampak lunglai, wajahnya pucat pasi. Sesekali dia memanggil namanya, “Na... Nana, kamu bisa dengar aku?" Tidak ada respons. “Nadya!” seru Firman sambil membelokkan mobil ke arah kiri, menuju rumah sakit terdekat dari posisinya sekarang. Hanya gerakan pelan dari kelopak mata Nadya yang menunjukkan wanita itu tetap sadar, tapi cukup untuk membuat Firman sedikit lega. Tangan kirinya memegang kemudi erat, sementara tangan kanannya berkali-kali membunyikan klakson, menyingkirkan kendaraan lain yang menghalangi jalannya. “Tahan sebentar, Na. Kita hampir sampai!” Firman menggigit bibirnya dengan napas tak beraturan saat mendapati Nadya meringis menahan sakit. Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pikirannya sudah berlarian ke segala arah. Dia harus cepat sebelum wanita itu kehilangan banyak darah yang bisa membahayakan nyawa. Suara detak jantungnya sendiri terdengar
Firman melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di jalan yang sepi. Udara di luar agak panas, tapi di dalam mobil, suasananya justru terasa dingin dan tegang. Sesekali, dia melirik ke arah Nadya yang duduk di sampingnya. Sejak mereka meninggalkan tontonan Reza yang ditangkap polisi, Nadya belum mengucapkan sepatah kata pun, matanya lurus menatap jalan di depan. Merasa tercekik, akhirnya Firman memecah kesunyian. "Na, kamu yakin mau menemui Joyce?" Tanpa menoleh, Nadya mengangguk pelan. "Yakin. Gimanapun juga, dia pernah ada di masa-masa tersulitku. Aku mau kasih dia kesempatan sekali lagi buat menyesali perbuatannya. Kalau dia ngaku salah, aku nggak akan perpanjang kesalahannya selama ini. Aku biarin dia pergi dengan uang hasil penjualan rumahku. Mungkin dia bisa memulai hidup yang lebih baik di tempat neneknya." Firman mendesah pelan, menggelengkan kepala dengan sedikit heran. "Kamu terlalu baik, Na. Joyce udah khianati kamu, tapi kamu masih bisa selembut itu." Nadya terkekeh