Bab 22Semua kejadian berlalu dengan cepat sejak kerusuhan itu. Yudha juga jarang sekali masuk kantor. Kalau pun datang, hanya sebentar untuk menandatangani laporan atau mengecek ke HRD.Aku tahu apa yang tengah Yudha lakukan, beberapa kali aku mengikutinya dan semua sama, Yudha berhenti di sebuah apartemen yang sama. Entah siapa yang dia temui di sana dan urusan apa. Hari ini, aku meminta Yudha untuk datang ke kantor karena ada sesuatu yang urgen dan harus segera diselesaikan. Dia mengiyakan. Tepat pukul 10.00 WIB Yudha datang dengan tergesa. Kemejanya agak sedikit lecek dengan rambut yang sudah mulai sedikit gondrong. Duh, ingin rasanya aku mengurus semua keperluanmu, Yudh, tetapi apalah daya aku hanya kau pandang sebelah mata.“Apa ada yang urgent, Tiara?” tanyanya padaku seolah perusahaan ini tidaklah terlalu penting baginya. Padahal, sebelumnya aku tahu pasti bagaimana gigihnya Yudha memulihkan perusahaan peninggalan ayahnya ini yang waktu itu hampir saja tutup karena mengala
Bab 23“Ke-kenapa berhenti?” Dokter itu tidak menjawab, beliau memintaku untuk memastikannya sendiri.“Yudha ... kenapa napasnya berhenti?” Tanpa mendapatkan penjelasan lebih lanjut, Yudha dibawa menuju ruang UGD. Cukup lama aku menunggu sampai dokter keluar dari ruangan itu. "Dokter? Bagaimana keadaannya?" "Pasien selamat. Kami sudah memindahkan kamarnya ke ruang inap nomor 102." "Alhamdulillah. Jadi, dia baik-baik saja kan, Dok? Tapi, tadi napasnya ...." "Jangan khawatir. Dia hanya mengalami kondisi di mana pasien mengalami pemberhentian napas sejenak, selebihnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali luka-lukanya." Dokter pergi setelah menjelaskan semua itu. Tubuhku terduduk lesu di lantai dingin rumah sakit. Satu hal yang aku syukuri adalah, "Yudha masih hidup!" Meski akhirnya …. Dua hari lamanya aku menunggu Yudha sadar, sampai akhirnya di satu sore Allah mendengar pinta yang selalu kugaungkan. Yudha sadar!Akan tetapi, dada ini terasa sesak saat mendengar nama or
Bab 24: "Sayang, bisa bantu Ibu untuk menyiapkan sarapan?" Ibu masuk kamarku setelah mengetuk pintu. Kegiatan mengaji pagi ini aku selesaikan dengan cepat. "Oh, sedang mengaji, ya? Apa Ibu mengganggu kamu, Nak?" Ibu mengerutkan kening. Mungkin Ibu merasa telah mengganggu waktuku bersama Tuhan. "Tidak, kok. Aku sudah selesai. Hari ini mau masak apa untuk sarapan?" "Yang simpel saja, Nak. Bahan makanannya juga sudah sedikit. Setelah sarapan, ayo, ikut Ibu ke pasar." Aku mengangguk semangat, melepaskan mukenaku kemudian memakai kerudung blouse yang nyaman dan simpel karena ada Yudha di rumah. "Ya sudah, ayo, kita ke dapur." Aku mengekori Ibu. "Bu, Dokter Pram bilang Yudha bisa makan seperti biasa jika keadaannya sudah membaik," ujarku ketika Ibu menyodorkan sekantong plastik wortel untuk dipotong. "Jadi, Ibu tidak perlu membuatkan bubur untuknya lagi?" Ibu berhenti menyiapkan panci besar untuk membuat bubur. Meski lebih praktis untuk membeli di luar, Ibu tetap membuatkan
Bab 25 Bukankah dia … adalah wanita tua yang barusan kami lihat? Benar! Wanita tua dengan penampilan renta dan tatapan kosong itu, adalah Bu Minah? "Bu, apa benar ini adalah pengurus panti terdahulu?" tanya Ayah untuk memastikan. "Saya tidak menyangka bahwa dia sudah, maaf, setua ini." Bu Nia menjawab pertanyaan Ayah dengan tenang tanpa nada tersinggung, dia paham betul dengan situasi sekarang, karena beberapa orang tua yang datang lagi untuk mencari anak mereka sangat terkejut dengan keadaan Bu Minah sekarang. "Apa Bapak ingat tahun berapa tepatnya Bapak menitipkan anak di panti asuhan kami? Dan, coba ceritakan lebih detail mengenai penitipan anak yang dulu Bapak dan Ibu lakukan," pintanya. Bapak setuju. Dia menjadi perwakilan kami untuk menjelaskan mengenai Azmina. "Oh, iya. Maaf. Sebelumnya saya hanya mengatakan bahwa saya menitipkan anak bernama Azmina. Saya akan jelaskan lebih detail." Sekilas, aku melihat Ayah melirik pada Ibu. Tatapannya meminta persetujuan, Ibu m
Bab 26 Usai mendengarkan penjelasan dari Bu Nia mengenai kebenaran yang selama ini terkubur begitu dalam, Ayah menunduk, napasnya pendek dan memburu. Sementara itu, Ibu yang tidak dapat menahan emosinya langsung mendorong Bu Nia hingga memojokkannya ke tembok. "Iblis seperti apa yang telah menguasai hati kalian sehingga kalian berdua tega melakukan semua ini pada kami?! Bu, apa Ibu tahu seberapa terpuruknya kami selama ini? Betapa putus asanya kami setelah mengetahui bahwa Azmina telah tiada?!" Ibu menangis, suaranya serak menahan amarah. Bu Nia membuang wajah. Mengerutkan keningnya, wajahnya kelihatan sangat kesal. "Saya tidak tahu apa-apa! Kalau mau menyalahkan, ya, salahkan saja kakak saya! Toh saya hanya diberi tahu kebenarannya setelah dia melakukan itu!" hardiknya dengan suara keras. Ibu kaget mendengar jawaban dari Bu Nia. "Anda tidak merasa bersalah? Anda pikir kehilangan anak selama adalah hal remeh? Anda juga wanita, kan? Pernah melahirkan, pernah juga memiliki anak,
Bab 27PoV Yudha Sudah sebulan berlalu semenjak kami mendatangi panti asuhan dan pikiranku masih terpaku pada sebuah mobil yang datang saling bersisian dengan mobil Om Rahadi. “Sepertinya aku kenal, tapi di mana? Di mana aku melihat mobil itu? Dan kenapa aku merasa sangat familier dengan mobil itu?” Aku mencoba untuk mengingat-ingat lagi. Mobil hitam yang sering kulihat ada banyak jenis dan macamnya, tetapi entah mengapa yang satu ini malah mengganggu pikiranku. “Apa yang aku lewatkan?” tanyaku pada diri sendiri. Pagi hari ini diawali dengan kepalaku yang pusing memikirkan mobil itu selama sebulan ini. Terdengar suara ketukan di pintu. “Yud, kamu ada di dalam?” tanya Aisyah dari luar sembari mengetuk pintu kamar. Aku membuka pintu kamar, kulihat wajah cantiknya makin bersinar meski masalahnya belum benar-benar usai. “Kenapa, Aisyah? Ada yang bisa aku bantu?” Meski itu hanya ucapan basa basi, aku sebenarnya sangat berharap Aisyah meminta bantuan padaku. Entah mengapa, tet
Bab 28 “Ini rumah saya, dan saya akan menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam benak Anda!” Wajah pria itu sangat serius. Dia duduk di sampingku, di ruangan yang hanya beralaskan tikar tipis yang sudah berlubang sana sini. “Nama saya Umar,” ucapnya tiba-tiba setelah beberapa menit terdiam. “Ya, saya Yudha.” Aku menjawab spontan. “Tapi, apa maksud dari perkataan Anda barusan? Anda bilang akan menjawab semua pertanyaan dalam benak saya, apa maksudnya itu?” “Azmina … nama anak yang kalian cari tahu kebenarannya, benar Azmina, kan?” Aku mengangguk keheranan. “Apa Anda ada hubungannya dengan semua ini? Bagaimana Anda bisa mengetahui nama kembaran teman saya.” Pikiranku tidak bisa berhenti menebak. Bisa saja pria ini sama jahatnya dengan mereka dan ikut dalam rencana pemalsuan kematian Azmina bertahun-tahun silam. “Tidak, saya tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Tapi, saya tahu semuanya mengenai rahasia Azmina … mungkin cukup berguna bagi Anda.” Umar menarik napa
Bab 29 Aku dan Ibu berbelanja bulanan untuk pasokan makanan di rumah. Namun, tiba-tiba Ibu berhenti saat kami berada di depan restoran makanan Korea. “Astagfirullah, Aisyah! Belanjaan kita yang di tas warna merah mana ya? Kok, tidak ada? Perasaan Ibu pegang loh tadi.” Mataku mencari ke sana kemari, dan memang benar Ibu tidak ada belanjaan Ibu di kedua tangannya. “Sepertinya ketinggalan, Ibu tunggu saja di mobil, aku akan ambil belanjaannya di supermarket tadi.” “Ya ampun, tidak apa-apa memangnya? Kamu pasti capek juga, kan?” Aku tersenyum, menggeleng, “Tidak apa-apa, kok. Kaki Ibu kan sakit, sedangkan aku masih kuat berjalan ke sana kemari. Ibu tunggu saja di dalam mobil, aku tidak akan lama.” “Ya sudah. Terima kasih, ya, Nak. Maaf, ya, Ibu sepertinya sudah mulai pikun.” “Tidak masalah, Bu.” Sesuai rencana awal, aku mengambil belanjaan Ibu secepat mungkin agar Ibu tidak menunggu lama di mobil. Namun, saat melewati restoran makanan Korea untuk yang kedua kalinya, ak
Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak
BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban
Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman
Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,
Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur
Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu
Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen
Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam
Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de